Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TUMBAL PEMBANGUNAN WADUK KEDHUNG JATI (Part 2)


JEJAKMISTERI - "TIDAAKKKK...!!! JANGAANNNN...!!!" Prabowo berteriak lantang, hingga urat urat di lehernya menegang. Butiran keringat sebesar biji jagung membasahi wajah dan sekujur tubuhnya. Sekuat tenaga laki laki itu mencoba menggerakkan tubuhnya yang tiba tiba menjadi kaku bak patung batu. Namun sekeras apapun ia berusaha, sepertinya sia sia. Jangankan untuk bergerak, sekedar mengalihkan pandangan dari pemandangan mengerikan yang terpampang di hadapannyapun ia tak mampu.

Sementara Rokhayah yang tergolek tak berdaya diatas dipan hanya bisa menangis dan meratap, saat sosok perempuan bertubuh ular itu dengan kasar merobek daster yang dikenakannya, lalu menjilati perutnya yang membuncit dengan lidahnya yang panjang bercabang kemerahan itu.

"Kumohon! Kau boleh melakukan apapun terhadapku! Tapi tolong, jangan sakiti istriku! Jangan ambil calon anakku!" Prabowo menghiba kini, dengan air mata yang mengalir deras di kedua belah pipinya.

"Cih! Memohonlah sesukamu, seperti putriku yang memohon saat engkau membunuhnya kemarin dengan sangat kejam! Kau pikir aku akan perduli hah?! Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa Prabowo! Kau bunuh anakku, maka aku juga akan mengambil calon anakmu ini!" perempuan berbadan setengah ular itu tertawa mengikik, sambil mengusap usapkan kuku kuku tangannya yang panjang dan runcing tajam itu ke perut Rokhayah.

"Kumohon Nyai! Apapun akan kulakukan untukmu, asal jangan kausakiti istri dan calon anakku!" pinta Prabowo lagi dengan suara bergetar.

"Hihihi...!!! Terlambat Prabowo! Sudah terlambat! Kau tak akan mungkin menghidupkan putriku yang telah mati! Kau tau rasanya kehilangan seorang anak Prabowo? Sangat menyakitkan! Dan kau juga akan merasakan sakit yang sama, seperti apa yang telah kurasakan! Nyawa harus dibayar dengan nyawa Prabowo! Hihihi...!!!" perempuan siluman bertubuh ular itu lalu mengangkat tangannya tinggi tinggi, dengan kuku kuku yang runcing dan tajam mengarah kebawah, lalu dengan sekali sentak kuku kuku yang tajam itu ia hunjamkan ke perut Rokhayah.

"JANGAAAANNNN...!!!" Prabowo menjerit setinggi langit.

"CRRAALLLLPPPSSS...!!!" kuku kuku tajam itu menghunjam dalam di perut Rokhayah.

"HUAAGGGHHHH...!!!" Rokhayah melenguh hebat dengan tubuh mengejang. Kedua mata perempuan itu melotot menahan sakit hingga nyaris terlompat keluar dari rongganya. Darah segar muncrat dari mulutnya yang terbuka lebar. Juga dari luka yang menganga di perutnya.

"ROKHAYAAAAAHHHH...!!!"

"Mas! Nyebut Mas! Istighfar!" samar Prabowo mendengar suara panik Rokhayah, disusul dengan tubuhnya yang terguncang guncang hebat. Sontak Prabowo membuka matanya, lalu terlonjak bangun dan memeluk tubuh sang istri dengan sangat erat, hingga Rokhayah nyaris tak bisa bernafas.

"Rokhayah..! Rokhayah...! Ah, syukurlah, kukira kau..."

"Tenang Mas! Tenang! Istighfar! Tarik nafas panjang dan hembuskan pelan pelan! Ini, minum dulu biar tenang!" Rokhayah mencoba melepaskan pelukan sang suami di tubuhnya, lalu menyodorkan segelas air putih yang segera ditenggak oleh Prabowo sampai tandas.

"Sampeyan itu mimpi apa to? Kok sampai teriak teriak kayak orang ketakutan gitu?" tanya Rokhayah setelah Prabowo mulai nampak tenang.

"Ah, bukan apa apa Yah! Hanya mimpi buruk! Sangat buruk!" jawab Prabowo disela dengus nafasnya yang masih sedikit tersengal.

"Ya sudah kalau begitu, ndak usah diceritain. Pamali kata orang kalau mimpi buruk diceritain ke orang lain. Lebih baik sampeyan tidur lagi. Besok ada rapat kan sama perangkat desa di kelurahan?" bujuk Rokhayah.
Prabowo melirik jam yang tergantung di dinding pondok itu. Sudah hampir Shubuh. "Bisa tolong kau seduhkan kopi Yah? Sudah hampir Shubuh, sepertinya percuma kalau mau tidur lagi."

"Ya sudah, tunggu sebentar ya Mas," Rokhayah beranjak ke dapur, sementara Prabowo keluar menuju ke kamar mandi yang letaknya terpisah dari bangunan utama pondok itu. Suasana di luar masih gelap. Hanya lampu berkekuatan lima watt yang menerangi bangunan kamar mandi sederhana tanpa atap itu.

Prabowo bergidig sambil mengusap tengkuknya yang tiba tiba merinding itu. Matanya nanar mengawasi suasana di sekitar kamar mandi. Entah mengapa, ia merasa ada yang sedang mengawasi dirinya, meski tak sesosok bayanganpun yang ia lihat. Buru buru ia menuntaskan hajatnya untuk buang air kecil dan membasuh wajah, lalu kembali masuk ke dalam pondok.

***

Rapat di balai desa ternyata berjalan dengan sangat alot. Prabowo yang mengira kalau persiapan pembangunan bendungan itu telah final, terpaksa harus ikut berpikir keras begitu mengetahui bahwa masih banyak masalah yang perlu dicari jalan keluarnya. Dari masalah pembebasan lahan, warga yang meminta untuk ikut dilibatkan dalam proyek, hingga permintaan tumbal dari sesepuh desa.

Dua masalah yang pertama tak begitu membuat Prabowo pusing. Masalah pembebasan lahan itu murni urusan warga dengan pihak pemerintah. Dan perwakilan dari kabupaten yang hadir di rapat itu akhirnya bisa memberi jalan tengah, meski samar samar Prabowo masih mendengar kasak kusuk warga yang merasa kurang puas dengan keputusan itu. Bahkan selintas ia mendengar bisikan seorang warga yang menyumpahi agar pembangunan bendungan itu tidak berjalan lancar.

Soal permintaan warga yang ingin dilibatkan dalam proyek, Prabowo justru bersyukur. Ia memang masih membutuhkan beberapa tambahan tenaga kerja. Dan sepertinya warga disini cukup bisa diandalkan.

Tapi masalah yang ketiga, Prabowo nyaris menepuk jidat saat sesepuh desa minta disediakan tumbal. Di zaman yang sudah serba canggih seperti ini, kok ya masih ada saja yang percaya dengan hal hal yang begituan. Dalam pikiran Prabowo, tumbal yang dimaksud adalah kepala bocah yang ditanam di pondasi bendungan seperti yang sering ia baca di cerita cerita horor atau di film film.

Namun setelah sesepuh desa menjelaskan bahwa yang dimaksud tumbal itu hanyalah kepala seekor kerbau, Prabowo bisa menarik nafas lega. Demi menghormati adat desa setempat, Prabowo tidak hanya menyanggupi untuk menyediakan kepala kerbau, tapi ia berjanji akan membeli seekor kerbau yang gemuk, yang nantinya setelah dipotong dan diambil kepalanya, dagingnya bisa dinikmati bersama warga desa di upacara selamatan nanti.

Sampai siang menjelang, rapatpun selesai. Setelah berbasa basi sebentar, Prabowopun pamit untuk kembali ke pondok. Masih banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan. Namun ditengah perjalanan, terbersit niat untuk kembali meninjau lokasi proyek itu. Iapun lalu membelokkan langkahnya menyusuri pematang demi pematang sawah hingga sampai di tempuran kali yang akan dibangun bendungan itu.

Teriknya matahari musim kemarau membuat Prabowo lebih memilih untuk duduk diatas sebuah batu besar yang dinaungi rindangnya pohon trembesi, sambil memandang ke tengah sungai. Sedikit banyak ia sudah bisa membayangkan, seperti apa pelaksanaan dan bentuk bendungan yang akan ia bangun. Bendungan yang mungkin akan menjadi bendungan terbesar di kota ini, mengingat dibangun dibawah pertemuan dua sungai yang lumayan besar. Bendungan yang akan membuat namanya semakin dikenal jika ia berhasil membangunnya dengan sempurna. Bahkan mungkin orang akan mengenang namanya sebagai satu satunya arsitek yang berhasil membangun bendungan terbesar di kota itu.

Tanpa sadar Prabowo tersenyum. Namun senyum itu segera sirna begitu Prabowo teringat dengan mimpinya semalam. Resahpun melanda. Apalagi saat teringat kata kata laki laki tua di balai desa tadi bahwa kali tempuran (pertemuan antara dua sungai menjadi satu) ini dikenal sebagai tempat yang masih angker. Perempuan bertubuh ular dalam mimpinya itu, adakah hubungannya dengan ular yang kemarin ia bunuh? Dan tumbal kepala kerbau yang diminta oleh sesepuh desa tadi, adakah hubungannya dengan 'para penghuni' tempat ini? Lalu sumpah serapah warga yang merasa tak puas dengan keputusan rapat tadi, dan menyumpahi agar pembangunan bendungan itu tak berjalan lancar?

"Ah, Sial!" Prabowo memaki dalam hati. Sudah sering ia mengalami kendala saat sedang melaksanakan sebuah proyek. Namun tak sekompleks dengan yang dihadapinya saat ini. Iseng Prabowo memungut sebutir kerikil berbentuk pipih, lalu melemparkannya sekuat tenaga ke permukaan sungai berair tenang itu. Batu pipih itu beberapa kali memantul di permukaan air, sebelum akhirnya melayang di udara dan mendarat tepat di rumpun pohon pisang yang tumbuh di seberang sungai.

"Aduh!" suara perempuan Cumiik mengejutkan Prabowo.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close