Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TUMBAL PEMBANGUNAN WADUK KEDHUNG JATI (Part 1)


JEJAKMISTERI - Bagai mendapat durian runtuh, begitu yang dirasakan Prabowo saat mendengar kabar kalau ia memenangkan tender proyek pembangunan bendungan yang bernilai ratusan juta di desa Kedhung Jati. (jumlah ratusan juta terhitung sangat besar waktu itu). Seperti mimpi rasanya, ia yang hanya seorang pemborong kecil kecilan, bisa bersaing dan mengalahkan kontraktor kontraktor dari perusahaan perusahaan besar yang sudah cukup punya nama.

Tak dipungkiri memang, kerja keras dan keuletannya selama ini, membuat namanya semakin dikenal sebagai pemborong yang patut diperhitungkan di seantero kota ini. Kejujuran dan hasil kerjanya yang tak pernah mengecewakan kliennya, membuat pria yang sebenarnya cuma lukusan STM (sekarang SMK) ini sering salah kaprah dipanggil dengan sebutan Pak Insinyur Bowo.

Rasa bahagia yang ia rasakan sore itu, membuatnya ingin cepat cepat pulang dan mengabarkan berita baik kepada Rokhayah, sang istri yang saat itu sedang mengandung anak kedua mereka. Sambil besiul siul kecil, Prabowo meluncurkan sedan merahnya menyusuri jalanan beraspal licin di kaki Gunung Gandhul itu, menuju ke sebuah rumah mungil yang selama ini menjadi tempat tinggalnya.

Namun sampai di rumah, kebahagiaan yang ia rasakan sedikit surut, saat Rokhayah mengutarakan niatnya untuk ikut ke Kedhung Jati.

"Kedhung Jati tak begitu jauh Yah, nanti aku usahakan setiap tiga atau empat hari untuk pulang kesini," Prabowo mencoba membujuk.

Bukan tanpa alasan kalau ia merasa sedikit keberatan dengan keinginan Rokhayah. Perempuan itu sedang hamil besar. Dan Kedhung Jati bukanlah tempat yang cocok untuk Rokhayah yang sudah terbiasa hidup di kota. Desa terpencil yang sedikit terisolir, jauh dari keramaian, bahkan untuk berbelanja kebutuhan sehari hari saja warganya harus menempuh jarak empat kilometer menuju ke pasar. Belum lagi desas desus yang selama ini santer beredar, bahwa Kedhung Jati masih menyimpan banyak tempat tempat yang dipercaya 'angker' oleh sebagian besar warganya.

"Tiga atau empat hari? Seharipun aku tak bisa jauh dari kamu Mas," Rokhayah kekeuh dengan keinginannya. "Lagipula, selama ini, setiap dapat proyek di luar kota aku selalu ikut kan? Kenapa sekarang Mas Bowo merasa keberatan?"

"Kemarin kemarin kan kamu belum hamil Yah," jelas Prabowo. "Lagipula, Kedhung Jati berbeda dengan desa desa lain yang pernah kita datangi. Desa itu, masih sangat terbelakang. Coba kamu bayangkan, untuk sekedar beli cabe saja kamu harus jalan kaki sejauh empat kilometer. Belum lagi suasananya yang sepi, jauh dari keramaian. Dan yang lebih tak baik lagi, kudengar di deaa itu masih banyak tempat tempat yang angker! Aku tak mau nanti sampai terjadi apa apa dengan calon anak kita!"

"Hufh!" Rokhayah mendesah. Akhir akhir ini sang suami memang sangat mengkhawatirkan calon anak kedua yang dikandungnya. Anak pertama mereka, sudah semenjak tamat SMP ikut dengan sang bibi, adik Rokhayah yang sudah sekian lama menikah namun belum juga dikaruniai anak. Praktis semenjak kepergian Lastri rumah menjadi sepi. Jadi tak heran kehadiran anak kedua mereka ini sangat mereka nanti nantikan.

"Justru karena aku sedang hamil Mas, makanya aku bersikeras untuk ikut. Ini bukan semata mata keinginanku lho, tapi juga keinginan calon anakmu," Rokhayah mengelus perutnya yang membuncit itu. "Calon dede kita ini, ingin menyaksikan betapa kerasnya sang bapak bekerja untuk memperjuangkan masa depannya. Lagipula, siapa bilang suasana di desa terpencil tak baik untuk ibu hamil? Kan malah bagus, udaranya masih segar belum tersentuh polusi, suasananya juga masih sepi, jauh dari kata stress akibat hiruk pikuknya kehidupan seperti disini. Soal desas desus keangkeran desa itu, itu hanya omong kosong Mas. Masa sampeyan masih juga percaya dengan hal hal yang begituan sih?!"

Skak mat. Prabowo tak bisa berkutik lagi kalau Rokhayah sudah menyinggung soal calon anak mereka. Mau tak mau sepertinya ia memang harus meluluskan keinginan Rokhayah, daripada nanti perempuan itu ngambek dan berpengaruh pada janin yang dikandungnya, bisa runyam urusannya.

"Baiklah, kamu boleh ikut," kata Prabowo akhirnya, membuat wajah Rokhayah berubah menjadi sumringah. "Tapi janji, disana nanti ndak boleh rewel!"

"Asyiiiikkk...!!! Siap juragan! Terimakasih banyak ya!" Rokhayah bersorak bagai anak kecil mendapat mainan baru, lalu memeluk sang suami dan mendaratkan kecupan lembut di pipi laki laki itu.

****

Keesokan harinya, jadilah kedua pasangan itu berangkat menuju ke desa Kedhung Jati. Segala persiapan dan perbekalan telah mereka persiapkan dengan matang, agar nantinya tak perlu bolak balik lagi ke kota.

Sepanjang perjalanan Rokhayah tak henti hentinya berceloteh mengagumi pemandangan di kiri kanan jalan. Prabowo hanya tersenyum simpul melihat tingkah sang istri itu.

Sampai di Kedhung Jati, sepertinya apa yang dikhawatirkan Prabowo tak perlu dipikirkan lagi. Sambutan perangkat desa disana cukup hangat. Bahkan Pak Bayan, tetua desa itu telah menyiapkan pondok mungil untuk tempat mereka tinggal selama mengerjakan proyek di desa itu. Tak begitu besar memang, namun cukup bersih dan asri, membuat Rokhayah langsung jatuh hati saat pertama melihat pondok itu.

Seperti kebiasaan sebelumnya Prabowo tak mau membuang buang waktu. Setelah beristirahat sebentar di pondok itu, ia meminta Pak Bayan untuk menemaninya meninjau lokasi yang akan dijadikan proyek bendungan.

Rokhayah yang lagi lagi bersikeras untuk ikut, kali ini harus sedikit menelan kekecewaan. Dengan tegas Prabowo menolak keinginan sang istri itu.

"Jalan kesana itu sulit, harus menyusuri pematang sawah yang terjal dan licin. Belum lagi nanti kalau ada hewan berbisa semacam ular atau sejenisnya. Lagipula kamu masih harus membereskan barang barang kita ini kan?" ujar Prabowo tegas.

Rokhayah hanya bisa manyun. Namun ia tak mau memaksa juga. Benar apa yang dikatakan oleh suaminya itu.
"Tak apa," Pak Bayan yang tanggap dengan keadaan menyela. "Sebentar, biar saya panggil anak saya dulu, biar nanti menemani Bu Insinyur disini. Sekalian nanti bisa bantu bantu kalau ada yang bisa dibantu."

Ah, syukurlah. Rokhayah harus berterimakasih kepada Bayan tua itu. Ia memang masih sedikit enggan kalau harus sendirian di tempat yang masih asing ini. Dan Halimah, anak perempuan Pak Bayan itu ternyata cukup rajin dan cekatan. Tanpa disuruh gadis berusia belasan tahun itu sudah sibuk sendiri mengatur dan membereskan barang barang mereka yang masih berantalan di ruang tamu.

***

Prabowo sempat berdecak kagum saat melihat lokasi proyek. Cukup jeli juga pihak perangkat desa ini dalam memilih lokasi. Pertemuan dua sungai yang cukup besar, tentu bisa menampung cukup banyak cadangan air untuk mengairi area persawahan di desa ini saat musim kemarau tiba.

"Memang itu tujuan kami memilih lokasi ini Pak Insinyur," jelas Pak Bayan. "Bendungan yang lama, yang ada saat ini, tak cukup mampu untuk mencukupi kebutuhan pasokan air untuk sawah warga. Jadinya disaat musim kemarau begini, banyak sawah sawah warga terpaksa dibiarkan kering karena tak bisa digarap."

"Luar biasa! Sebuah keputusan yang sangat tepat Pak," puji Prabowo. "Dan saya yakin, selain untuk keperluan irigasi, nantinya kehadiran bendungan ini bisa menjadi semacam wahana wisata kecil kecilan di desa ini."

"Saya percaya Pak," ujar Pak Bayan. "Kemampuan Pak Insinyur dalam menangani proyek, sudah sering saya dengar. Dan saya sangat bersyukur, akhirnya Pak Insiyur Bowo yang memenangkan tender proyek ini."

"Ah, jangan terlalu berlebihan Pak Bayan. Dan jangan panggil saya Insinyur. Saya bahkan sama sekali tak pernah menginjakkan kaki di bangku kuliah."

"Haha, ternyata selain hebat sampeyan juga rendah hati ya," Pak Bayan tertawa lepas. "Baiklah kalau begitu, sepertinya hari sudah siang. Apa tidak sebaiknya kita pulang dulu. Istri saya sudah menyiapkan hidangan ala kadarnya untuk makan siang nanti. Dia akan kecewa kalau Pak Insinyur tak berkenan untuk mencicipinya."

Prabowo melihat arloji di pergelangan tangannya. Baru pukul sepuluh lewat sedikit. Masih pagi. Dan ia belum puas menjelajah tempat ini. Namun untuk menolak niat baik Pak Bayan, ia juga merasa segan. Akhirnya Prabowo mempersilahkan Pak Bayan untuk pulang duluan, dan berjanji nanti pas jam makan siang ia akan datang bersama Rokhayah.

Sepeninggal Pak Bayan, Prabowo segera menjelajah tempat itu, sambil mengkira kira seperti apa rancangan bangunan bendungan yang akan ia garap nanti. Terlalu asyik mensurvey, Prabowo sampai tak memperhatikan langkah kakinya. Seekor ular sebesar lengan tak sengaja terinjak olehnya.

"Sial!" Prabowo terlonjak mundur. Wajahnya membias pucat saat binatang melata itu mengangkat kepalanya sambil mendesis desis memamerkan lidahnya yang merah panjang bercabang.

Sadar dirinya terancam, Prabowo pelan pelan meraih sebatang dahan kering sebesar lengan yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berdiri. Prabowo tak mau ambil resiko. Ia tak tau apakah ular itu berbisa atau tidak. Tapi jika binatang itu sampai berani menyerangnya, ia juga tak akan segan seganuntuk melawan.

Benar saja, sambil terus mendesis desis, ular itu menarik kepalanya ke belakang sedikit, lalu meluncur cepat ke depan, tepat ke arah Prabowo yang sudah bersiaga menunggu serangan.

"Syyiiuuuutttt...!!!"

"Bhuuukkk...!!!"

Ular itu menggeliat geliat si atas tanah, saat dahan kayu di tangan Prabowo tepat menghantam kepalanya.

"Mampus kau binatang sial! Salah siapa berani menyerangku!" dengus Prabowo sambil kembali mengayunkan dahan kayu di tangannya berkali kali menghajar tubuh si ular yang sudah tak bergerak gerak lagi itu.

Prabowo tersenyum puas. Digunakannya dahan kayu yang tadi ia jadikan senjata itu untuk mencutat bangkai ular itu dan melemparkannya ke tengah sungai. Prabowo tak sadar, bahwa ada sepasang mata yang mengamati semua gerak geriknya dari balik kerimbunan rumpun pohon pisang tak jauh dari tempat itu. Sepasang mata yang tajam memerah menahan amarah.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya
close