Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Legenda Ki Ageng Selo (Part 17) – Keselamatan yang Berarti


JEJAKMISTERI - Setelah tersadar, aku sudah berada di tempat semula. Tepat di samping telaga angker BPM angker itu. Kulihat ke sana dan kemari tak kutemukan teman-teman, bahkan Amelia pun sudah tidak berada di sana.

Dalam benakku, aku merasa gundah, sedih, dan menyesal tak mampu menyelamatkan Amelia dari para Gawur itu. Tak mau berlama-lama berada di tempat itu, aku pun bergegas memaksa kedua kakiku yang terasa berat untuk melangkah untuk kembali ke tempat perkemahan itu.

Sesampainya di sana, aku dikejutkan oleh semua siswa dan para guru sudah berkumpul di sana dengan penuh suka tawa. Aku melangkah ke arah mereka sambil menahan rasa sakitku.

“Ada apa ini?” tanyaku yang seperti dongkol mengenai apa yang terjadi kala itu. “Bagaimana kalian bisa setenang ini padahal kita sedang terjebak di tempat angker ini?” lanjutnya.

Bagos hanya nyengir melihatku, “Lihatlah, Mam! Kabut yang mengurung kita di tempat ini telah musnah. Pak Bus, dan Aan akan segera sampai ke tempat ini untuk menjemput kita.”

Kulihat sekeliling tempat itu, namun aku sudah tidak menemui kabut-kabut yang menyelimuti tempat ini. Pak supir dan bu Ike datang menemuiku sembari mengucapkan rasa terima kasih, karena telah menolong Amelia dan siswa-siswi kelas satu lainnya.

“Nggak papa, bu, pak! Lagian ini semua sudah merupakan tugasku untuk menolong sesamanya.” Jawabku sekenanya. “Lalu, bagaimana soal Roni, bu?” tanyaku balik.

Bu Ike langsung meneteskan air mata mendengar pertanyaanku itu. Dia pun enggan menjawab pertanyaanku dan segera berlalu. Melihatku yang lagi bingung itu, pak Suryo yang merupakan supir sekolah itu langsung mengatakannya.

“Roni... dia sudah meninggal, nak!” kata Pak Suryo yang terasa berat menceritakannya. “Kata dek Intan dan Siwi, ada sebuah kabut hitam yang tiba-tiba masuk ke dalam tubuh Roni. Dalam sekejap, dia langsung memuntahkan darah beserta organ-organ dalam. Anehnya organ-organ dan darah Roni serasa panas mendidih!” lanjutnya. Kemudian Pak Suryo itupun berlalu, meninggalkanku sendirian dengan perasaan gundah.

Aku yang terkejut dan sempoyongan segera menuju ke dalam tenda, merenung, mencoba menyikapi kegagalanku kali ini.

“Sial! Lagi-lagi aku harus kehilangan seseorang yang seharusnya menjadi tanggung jawabku. Ya Allah, Roni...” kataku seraya mengumpat pada nasib dan kegagalanku. “Meskipun dia jahat, tapi tetap saja dia merupakan tanggung jawabku. Aku... aku,”

Setelah perasaanku sudah agak tenang, aku pun kembali ke rombongan adek-adek kelas yang lagi berkumpul di samping api unggun itu. Kulihat ke sana ke mari, aku tak kunjung menemukan keberadaan Amelia, maupun kedua teman-temannya, Intan dan Siwi.

Aku pun segera bertanya kepada Bagos dan Syaiful mengenai keberadaan mereka bertiga, dan mereka berdua hanya menjawab kalau bu Ike meminta kehadirannya di samping semak-semak itu.

Merasa ada yang janggal, aku meminta mereka berdua untuk mengantarku menemui mereka, dan tanpa menolak sedikitpun mereka pun menuruti keinginanku.

“Oke lah, kau pasti sudah begitu senang ya, menjadi sesosok hero yang menyelamatkan adik-adik kelasmu?” tanya Syaiful dalam perjalanan. “Aku jadi iri padamu, Mam. Semua orang pada memujimu, sedangkan kami sama sekali tak dilihat oleh mereka,” tambahnya.

“Sudahlah, tak perlu memikirkan hal itu. Lagipula kita adalah teman, jadi tak perlu menyimpan rasa benci maupun iri itu.” Jawabku bijak.

Kami bertiga pun bergegas menuju ke tempat di mana Amelia dan kedua temannya berada. Di sana aku melihat Intan dan Siwi yang terlihat masih terpukul atas kematian Roni, selain itu, mereka masih mampu tersenyum melihat kedatangan kami bertiga.

“Kalian baik-baik saja?” tanyaku segera.

“Baik-baik saja kok kak. Terima kasih atas semua bantuannya, kak!” jawab Intan sembari mengarahkan senyum. Aku terlihat biasa melihat senyuman manis gadis cantik itu, namun Bagos, duh, sudah terlihat klepek-klepek dah.

Tiba-tiba aku merasakan sebuah aura kecil jahat yang muncul dari sekitar sana. Dengan sedikit membaca Al-Falaq dan An-Naas, aura jahat itu akhirnya membentuk sebuah titik di mana terlihat jelas.

“Oh ya, Amelia di mana?” tanyaku.

“Lho? Tadi dia ada di sampingku, lalu kemana dia?” jawab Siwi bengong. “Kenapa kak Umam?”

“Ah, tidak apa-apa. Syaiful, Bagos. Kalian tetap di sini ya! Ada urusan kecil yang perlu kuselesaikan,” suruhku.

Mereka berdua Cuma mengangguk pertanda mengerti. Walaupun kulihat dari tatapan mereka, aku menyaksikan pandangan yang begitu penasaran akan sikapku barusan. Kuacuhkan mereka dan bergegas mencari di mana Amelia berada.

Tak butuh waktu lama sampai aku bertemu Amelia yang saat itu sedang digandeng oleh bu Ike. Kulihat kondisi Amelia dengan mata biasa, tidak muncul hal-hal yang aneh, namun setelah kulihat pakai mata batin,

“Astagfirullah, “

“Ada apa, nak?” tanya bu Ike. Dia terlihat terkejut melihatku mencoba melepaskan genggaman bu Ike ke Amelia.

“Lepaskan, bu. Dia bukan Amelia!” tegasku, namun tiba-tiba Amelia langsung mencakar kedua tangan bu Ike. Bu Ike langsung menjerit saat itu, membuat Amelia tertawa terkekeh.

“Dasar! Setelah penguasamu mati, muncul satu demit yang mengambil alih kuasanya.” Ucapku menggeleng. Bu Ike hanya melongo melihatku berbicara aneh dengan Amelia.

“Kamu ngomong apa, nak?”

“Aku ngobrol sama sosok demit yang nempel ke Amelia. Sepertinya dia ketempelan sesosok demit saat dia di bawa kembali ke perkemahan, bu!” jawabku menjelaskan.

Bu Ike segera menyisih, sementara aku mencoba menghindari setiap cakaran Amelia yang di arahkan padaku. Meskipun gerak gerak tubuhku sudah mampu menghindari setiap cakaran yang dilayangkan oleh Amelia, namun beberapa cakaran itu ada juga yang mendarat ke tangan dan tubuhku, membuatku mengerang kesakitan.

“Ahgg... Amelia, sadarlah!” aku mencoba memanggilnya supaya dia tersadar. “Jangan biarkan demit itu menguasaimu. Aku yakin kalau kau bisa mengeluarkannya sendiri!”
Tiba-tiba Amelia menggerang-gerang kesakitan. Aku suruh dia untuk membacakan ayat kursi supaya demit yang menempel padanya terbakar. Namun, kulihat bibir Amelia terasa kaku, ngilu, sehingga ayat-ayat itu tak bisa keluar dari mulutnya.

Reflek, dia kembali menyerangku, mengenai kakiku kali ini, sehingga aku langsung terjatuh sembari menahan rasa ngeri. Tak berhenti sampai di situ, Amelia langsung menaikiku dan mencekikku kuat-kuat.

“Hahaha, kau memang manusia lemah. Tak kusangka kalau keempat pemimpin kami bisa terbunuh oleh makhluk lemah macam kalian,” Amelia tertawa sembari menunjukkan muka yang begitu mengerikan, kornea matanya tak terlihat, dan kulitnya berubah keriput, seperti wajah orang tua.

Bu Ike yang melihatku, merasa tak tega, dan bergegas menolongku dengan menarik tangan Amelia, namun sialnya, dengan sekali hentakkan tangan, bu Ike langsung terpental sejauh dua meter.

Disaat kami sudah mulai terdesak, dari belakang sana, kakakku, Vita, langsung bergegas menuju ke arahku dan merapalkan mantra. Entah apa yang dia baca, namun seketika Amelia pun jatuh pingsan.

“Alhamdulillah,” ucap Vita lega. Dia pun segera menolongku untuk bangkit. Di saat yang bersamaan, Syaiful dan Bagus sudah tiba di tempatku saat ini. “Syukurlah, aku datang tepat pada waktunya. Kalau tidak, kau pasti sudah mati, dek!”

Aku langsung menolak uluran tangan Vita yang diulurkan untukku. Jujur saja, aku masih benci setengah mati padanya. Peristiwa kelam masa lalu, tewasnya Astrid, dan penghianatan yang dilakukannya, membuatku belum sanggup untuk memaafkannya.

Dengan tubuh lemas dan tergopong-gopong, aku bergegas meninggalkan tempat itu, diikuti oleh Syaiful dan Bagos. Sementara Vita hanya tersenyum pahit menatapku dan bergegas menolong Amelia diikuti oleh bu Ike.

Pada malam harinya, Aan, Misbah, dan Amidanal menyalakan api unggun di tengah perkemahan. Semua tampak ceria kala itu, sebagai penghibur atas lara dan kengerian yang kami alami beberapa hari ini.

Oh ya, yang belum kalian tahu, jenazah Roni sudah dibawa ke rumah duka tadi siang di dampingi oleh Pak Mujab dan Pak Idris.

Saat itu aku menatap api unggun dengan perasaan sendu dan gusar. Aku tak menyangka kalau aku gagal lagi menyelamatkan seseorang yang menjadi tanggung jawabku. Dalam lamunanku, tiba-tiba kak Vita datang dan menepuk pundakku.

“Apa yang sedang kau pikirkan, hm?” tanyanya dengan wajah sok manis. “Kalau kau melamun begitu, nanti kesambet loh!”

“Bukan urusanmu, kak! Kenapa kakak membantuku tadi? Padahal aku sendiri sudah cukup untuk menolong Amelia,” jawabku ketus, sembari balik bertanya akan sikapnya tadi.

“Beneran, nih? Kakak lihat kalau kau tidak bisa mengatasinya seorang diri.” Vita menyikut lenganku bermaksud mengejek. “Aku datang ke sini karena mendapat firasat buruk dari Nana. Dia meramal kalau dirimu sedang berada dalam bahaya yang bahkan dirimu tak bisa mengatasinya. Jadi, kakak ingin jadi orang pertama yang menolongmu!” tambahnya.

Tak beberapa lama kemudian, Amelia, Intan, dan Siwi datang menemui kami berdua. Dia ingin mengucapkan rasa terima kasihnya padaku karena telah menolongku beberapa kali.

“Kak, terima kasih kakak sudah menolongku tadi dan kemaren. Saya selaku putri bungsu dari keluarga bangsawan Prida mengucapkan rasa terima kasih yang begitu besar buat kakak!” Amelia memberikan rasa hormatnya padaku layaknya seorang putri dari keluarga bangsawan.

Wait! Dia berasal dari keluarga Prida!?

“Tunggu dulu! Sepertinya aku tahu nama keluarga itu. Apa hubunganmu dengan Niken?” tanyaku terkejut, mencoba memastikan hubungan apa yang ia miliki dengan Niken.

Amelia, Intan, dan Siwi hanya tersenyum lucu, seolah mengejekku. “Kak Niken adalah putri utama keluarga Prida, dan dia adalah kakakku.”

“Kakak benar-benar lucu. Tak kusangka kalau kakak juga teman dari kak Niken.” Ucap Siwi yang terlihat masih tertawa, walaupun masih dia tahan dengan tangannya.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Semua teman-temanku sudah pada tidur dengan nyenyaknya, menanti hari esok yang cerah. Sementara diriku harus terus menatap bulan yang kala itu terasa sunyi.

Lamunanku terpecah setelah melihat kak Vita dan kak Nana datang menghampiriku dan bermaksud untuk berbicara serius mengenai sesuatu.

“Mam, Pak Khoirul bilang padaku kalau Test of Faith akan segera dilaksanakan. Mbah Jayos dan Mbah Ibu sudah sepakat kalau dirimu akan diikutkan dalam ujian itu,” kata Vita membuka pembicaraan. Terlihat dari mukanya kalau dia memancarkan aura ketakutan dan keprihatinan padaku. “Ujian itu akan dimulai minggu depan, dan setelah melihat kemampuanmu sampai saat ini, aku ingin kau untuk mengundurkan diri dari ujian itu!”

“Iya, dek Umam! Dalam ujian kali ini aku merasakan sebuah hawa-hawa yang begitu mengerikan. Jikalau kau masih memaksa ikut ujian itu, maka kau tak akan selamat!” tambah Nana yang sepertinya dia mengetahui akan nasibku dari Clairvoyance-nya.

“Hmph, apa urusan kalian berdua, hm? Jikalau kakak dan adikku sudah bisa lulus dari ujian itu, mengapa aku tak bisa?” jawabku yang sama sekali tak peduli dengan kekhawatiran mereka. “Aku akan lulus dari tes itu, supaya keluarga kita tahu akan kemampuanku! Tidak harus selalu terbayang-bayang oleh pujian-pujian yang selalu diucapkan keluarga kita pada kak Vita dan juga Danang.”

Plakk...!

Suara tamparan keras kak Vita mendarat tepat ke pipi kananku. Pipiku terasa terbakar kala itu. Aku pun berbalik ke arah kakakku. Dia terlihat sudah meneteskan air mata kekhawatiran. Aku merasa bersalah kala itu, namun aku tak bisa melakukan apapun untuk menghapus tetesan air matanya yang sudah berjatuhan ke tanah.

“Bodoh kau, Mam! Test of Faith adalah sebuah test yang mengharuskan kita mempunyai rasa ketenangan batin dan kebijaksanaan. Bagaimana kami tidak khawatir padaku ketika di dalam hatimu masih menyimpan rasa kebencian dan kedengkian seperti itu!?” ujar kak Vita memarahiku. “Test itu sangatlah berbahaya dan aku tak mau kehilanganmu! Tak mau!”

Setelah itu, kak Vita segera pergi dari sana, diikuti oleh Nana, pelayan setianya. Namun sebelum beranjak pergi, Nana memberiku satu nasehat penting.

“Jikalau kau pikir kebencianmu yang sudah kau tabung selama tiga tahun ini mampu menyelamatkanmu dari test itu, maka lakukanlah! Selamanya kau takkan bisa melewati test berbahaya itu hanya bermodal rasa bencimu pada kakakmu dan juga demit-demit itu!” kata Nana mencoba menasehatiku dengan kata-kata bijaknya. “Setelah kau mampu melewati test itu, atau bahkan jikalau kau mampu melewati test itu, ayahmu tak akan pernah berharap banyak darimu, Mam! Kau sudah seperti anak terbuang dari keluarga Marwan, dan Cuma sebagai pengganti dari kakakmu seorang!”

Dan Nana pun berlalu. Meninggalkanku yang lagi termenung di depan api unggun sembari menatap bulan yang begitu terang malam itu.
“Aku tak peduli jikalau aku adalah sesosok pengganti maupun bayangan akan kehebatan kakakku! Yang kuperlu saat ini adalah menjadi diriku sendiri dan membuktikan pada ayah maupun keluarga besarku kalau aku bisa melewati ujian bodoh itu!” gumamku mantap. “Astrid... akan kubuktikan padamu kalau diriku bisa menyamaimu juga!”
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close