Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KELUARGA TUMBAL PESUGIHAN

Saya akan menceritakan ulang kisah yang benar-benar terjadi. Dialami langsung oleh narasumber yang pernah tinggal di sebuah desa di pelosok Jawa Timur.

"KELUARGA TUMBAL PESUGIHAN"

Disini aku akan menjadi narasumber..
Perasaanku selalu sedih bercampur takut ketika mengingat kembali kejadian tragis yang menimpa keluargaku di tahun 2008 lalu. Cerita ini kubagikan bukan untuk menakut-nakuti, hanya sekadar peringatan untuk kita semua :

Jangan pernah sekali-sekali meminta pertolongan kepada jin dalam hal apapun. Kamu bukan (Jun, dan jin) jelas tak selucu Om Jin. Ini bukan sinetron Jin dan Jun...

Cerita bermula saat aku dan keluargaku terpaksa pindah dari Pulau Jawa ke Sulawesi. Ini karena usaha bapakku bangkrut. Kami terpaksa mengikuti saran salah satu kerabat ibuku yang ada di kota kecil di Sulawesi untuk pindah. Di tempat baru ini, kami menempati salah satu rumah.

Milik teman kerabat ibuku. Kami tak perlu membayar, cukup merawat rumahnya saja. Dengan bantuan teman-teman ayah di Surabaya, ayahku
mencoba peruntungan baru dengan membuka warung di pinggiran kota besar di Sulawesi.

“Yah, kenapa nggak minjem uang di bank aja buat modal, biar bisa bikin usaha yang lebih besar?” tanyaku saat kami mencari ruko untuk disewa.
“Hush! Uang bank itu riba! Nanti usahanya nggak berkah! Lagipula apa yang bisa dibuat jaminan!” jawab ayahku sedikit ngegas.

Aku sendiri sebenarnya sangat keberatan saat keluargaku memutuskan pindah. Tapi mengetahui ayahku sudah kepalang pontang-panting mengurusi kami, aku tidak pernah berani berbicara secara langsung soal ketidak setujuanku. Aku sudah cukup nyaman dengan kota Surabaya.
Di sana, semuanya ada. Lalu tiba-tiba harus pergi begitu saja? Ini jelas membuatku sedikit tak nyaman. Tapi semua masih bisa kutahan, apalagi setelah melihat kedua kakakku yang bertekad pindah kuliah juga.

Anggota keluargaku ada lima, termasuk aku. Ada ayah, ibu, kakak perempuanku yang paling tua, kakakku yang nomor dua yang saat ini duduk di kelas 11 SMA, dan aku yang masih kelas 6 SD. Jarak tempuh dari rumah ke ruko yang disewa ayahku untuk membuka warung cukup jauh.

Kata ayah sih, biar dekat dengan Kota P. Sedangkan, tempat tinggal kami memang cukup jauh dari keramaian. Membantu kedua orang tuaku mempersiapkan warung jadi kebiasaan baru kami sekeluarga.

Di masa-masa ini, aku benar-benar merasakan keluarga kami semakin dekat. Tapi tanpa kusadari, orang tuaku menyembunyikan rahasia besar dari kami bertiga.

“Pak, nanti Arif bantu-bantu di warung, ya. Hari ini sekolah cuma setengah hari karena guru-guru pada rapat semua,” ujarku di suatu pagi.
“Iya, nggak apa-apa. Bantu-bantu di warung,” jawab ayahku

Tak sampai jam 11 siang, kegiatan belajar mengajar diliburkan dengan alasan rapat. Dari sekolah, warung ayahku bisa dijangkau dengan naik ojek. Ini bisa memakan waktu lebih dari satu jam. Tapi sesampainya di warung..

BRAAKKKK!
Suara keras menyambut kedatanganku. “POKOKNYA AKU MAU BALIK KE S !” terdengar suara teriakan dari dalam warung.

Tak berselang lama, kakak perempuanku keluar sambil memegangi pipinya yang merah. Aku langsung lari ke dalam warung. Kulihat
ibuku menangis di salah satu bangku panjang warung, sementara ayahku terdiam di belakang kaca etalase lauk warung. Ibu yang melihat langsung meraih tanganku. Ia memelukku erat-erat, seakan aku mau pergi.
“Ada apa, Buk?” tanyaku. Ibuku hanya menjawab pertanyaanku dengan tangisnya.

Aku melihat ayahku memegangi kepalanya sambil beberapa kali mengumpat. “kenapa, Buk?” aku mencoba lagi bertanya pada ibuku. “Mbakmu pengen balik nang Suroboyo,” sahut ayahku. Sementara ibuku masih diam, sambil terus menyeka air matanyaa “Arif ngerti kan, ayah baru mau mulai usaha. Usaha ayah disana bangkrut. Mulai lagi dari nol itu nggak gampang, nak,” ujar Ayah lagi

Aku melihat ayah memegangi tangannya. Tak lama, beliau menangis sambil mengumpat pada dirinya sendiri. Di warung kami, hanya ada kami bertiga, tanpa ada pembeli satupun sedari tadi. Warung sesepi ini adalah hal biasa semenjak ayahku membuka usaha warung dan itu sejak dua bulan lalu.

Tiba-tiba ayahku bangun dari tempat duduknya, menghampiri ibu, berbisik kepadanya, lalu pergi tanpa sedikitpun melihatku.

Ayahku kembali terlambat hari itu. Namun kepulangannya petang itu benar-benar mengubah keluarga kami. Aku ingat betul, ketika aku menyambut ayahku di depan pintu dengan riang, ibuku seperti ragu untuk menyambut, dia hanya menyilangkan kedua tangannya di dadanya, terlihat gelisah.

“Kakakmu ke mana?” tanya ayahku. “Di kamar, Yah. Jangan marahi Kakak, ya,” pintaku pelan. Ayahku menjawabnya dengan senyum untuk kemudian berjalan menuju kamar. Ibu lantas menyuruhku tidur. Aku yang waktu itu masih bocah pun tahu wajah ibu benar-benar sepeti orang yang Kebingungan.. Sayangnya, aku tak berani bertanya.

Semenjak malam itu, semuanya seolah menjadi mudah. Warung keluarga kami tiap harinya ibarat hari pertama bioskop memutar film box office. Hampir tak pernah sepi pembeli.

Terpaksa aku dan saudariku harus ikut membantu jaga warung. Sekitar empat bulan berlalu semenjak kami menjalankan warung, ayahku memutuskan membuka cabang baru yang berada di pusat kota, sekaligus merekrut karyawan dengan jumlah yang tak sedikit.

Hidup kami benar-benar berubah drastis. Belum ada setahun keluarga kami sudah bisa membeli rumah yang bahkan, lebih besar dari rumah kami di Surabaya. Ayahku membeli rumah di kota, lengkap dengan perabotannya. Keuangan keluarga kami kembali stabil, bahkan jauh lebih baik.

Aku bahkan tak perlu lagi naik ojek pangkalan untuk berangkat ke sekolah. Mobil yang terparkir di rumah ada tiga, belum termasuk mobil operasional restoran. Di tahun 2009, keluarga kami sudah memiliki tiga restoran besar dengan karyawan yang jumlahnya ratusan. Kakak perempuanku juga tak lagi merengek-rengek minta
kembali ke kota Surabaya.

Sampai pada suatu hari, akhirnya aku tahu sebuah rahasia.

Saat itu aku dan tiga temanku sengaja berkunjung ke warung ayahku. Bangunan warung yang dulu hanya bisa memuat tujuh hingga sembilan orang,

Tapi menurut salah satu temanku, ia melihat hal ganjil pada salah satu karyawan restoran kami.
“He, itu karyawan ayahmu kan?” tanyanya sambil menunjuk salah satu karyawan perempuan. Aku mengangguk.
"Itu ada yang mbuntuti kok dia diem aja sih?” ujarnya.
“Apa sih, Mad! Itu kakak pelayan cuma sendirian, kok kamu bilang ada yang mbuntuti. Jangan ngawur. Jangan-jangan kamu naksir ya cok?” timpal Tejo, salah satu temanku yang memang kocak.

“Benar ini, Jo. Aku tadi lihat ada makhluk hitam besar di belakang mbaknya!” jawab Ahmad.
“Sudah-sudah, habiskan makanan kalian. Habis ini kuajak kalian ke tempat yang yahud!” ujarku mencoba memisahkan pertikaian kawan-kawanku. Mereka menurut.
Selesai menyantap hidangan, kuajak mereka ke salah satu bukit yang tak jauh dari perkampungan dekat restoran.

Bukit tersebut adalah salah satu spot favoritku untuk melihat pemandangan sekitar. Tak jauh dari bukit itu juga ada telaga jernih nan segar.
“Masih jauh nggak, Wan? Lelah aku ini,” ujar Ahmad.
“Bentar lagi kok!” jawabku.

Setibanya di puncak bukit, kukira semua kawanku sumringah. Aku benar-benar puas bisa menunjukkan tempat ini. Tapi saat itu aku tak sadar ada yang aneh dengan Ahmad, kukira dia cuma lelah.
“Kenapa, Mad? Kok mukamu pucet gitu? Kalo kamu lelah, habis ini kita renang di telaga!”ujarku.
Ahmad tak merespon, malah menatapku kosong.

Ketika kami berjalan menuju telaga, Ahmad menarik lenganku. Aku melihat mukanya yang benar-benar ketakutan. Temanku yang satu ini memang dikenal cukup peka dengan hal-hal gaib.
“Wan, makhluk hitam besar yang tadi kulihat di restoran sekarang lagi lihat kita dari telaga,” bisik Ahmad.

“Aku nggak lihat apapun!” jawabku sambil melihat telaga dari kejauhan. Sementara dua kawanku yang lain sudah lari dan melepas bajunya.
“Ayok, aku renang dulu ya!” ujar Tejo.

Aku mencoba tak menggubris apa yang dikatakan Ahmad dan langsung ikut njebur. Ketika Aku, Tejo, dan Budi asyik berenang, Ahmad hanya melihat kami dari pinggiran telaga.

“Kamu kenapa, Mad?” teriak Budi.
Ahmad hanya diam dari kejauhan. Setelah hampir setengah jam berenang, aku memutuskan untuk mentas. Tak lama kemudian, Tejo juga ikut mentas di sisi telaga. Tapi ada yang ganjil. Tejo melambaikan kedua tangannya padaku dan Ahmad, tanpa bersuara. Kami langsung berlari mendekatinya.
“Ada apa, njing?” tanyaku.

Tejo masih terdiam. Ia mengigil sambil memeluk kedua kakinya. Ahmad mendekat dan berbisik ke Tejo, setelah itu Tejo menangis sejadi-jadinya dan berteriak.
“Budi, Mad! Tadi aku mendengar Budi minta tolong! Kukira dia kram, mau kubawa dia ke pinggir telaga.
Tapi ketika kutarik tubuhnya, kok ya berat banget! Tubuhku ikut ditarik ke dalam telaga, sampai akhirnya aku kehabisan nafas dan kulepaskan Si Budi. Aku takut, Mad!” jelas Tejo.

Aku seakan tak percaya apa yang diucapkan Tejo. Mungkinkah ini prank?
Tapi melihat Tejo yang biasanya kocak jadi ketakutan seperti ini, jelas memunculkan banyak pertanyaan dalam benakku. Lalu, di manakah Si Budi berada?

Aku dan Ahmad masih berusaha menenangkan Tejo yang gemetaran. Sementara itu, Budi tak jua muncul dari dalam air.
Dengan keadaan yang masih bingung, Ahmad tiba-tiba berteriak. Seperti kerasukan.
“Jo, awas kau Jo!” teriak Ahmad tiba-tiba.
Kedua tangan Ahmad sudah mencekik leher Tejo yang masih linglung.

“Woy! Kau ngapain Mad?” teriakku pada Ahmad.
Pupil Ahmad tertarik ke atas, matanya membelalak, suaranya berat, tak seperti Ahmad yang biasanya.

Sadar ada yang tak normal dengan Ahmad, kutarik tangannya dari leher Tejo sekuat mungkin, namun Ahmad tak bergeming.
Tangannya seperti sudah menempel erat di leher Tejo.
“Istighfar Mad, istighfar! Tejo mati nanti kalau kau cekik!” ujarku.

Kubacakan ayat-ayat suci sebisaku ke telinga Ahmad, kalau tidak salah Surah An-Naas. Baru kubacakan dua ayat, Ahmad menoleh. Mukanya benar-benar tak seperti Ahmad yang biasanya.

Selama mengenalnya, ia tak pernah membuat ekspresi semengerikan ini.
Kukira Ahmad menoleh padaku karena sudah sadar. Tapi ternyata tidak.

Ia malah menonjok dadaku dengan keras menggunakan tangan kirinya hingga tubuhku terpental.
“Kenapa kau lepaskan aku Jo? Kenapa?” teriak Ahmad tepat di muka Tejo. Sepertinya yang merasuki tubuh Ahmad adalah arwah Budi yang sekarang tampaknya sudah tewas tenggelam.

Tejo ketakutan setengah mati.
“Sorry Bud, ma-maaf. Aku nggak kuat narik tubuhmu, Bud!
To-tolong lepaskan aku, Bud!” jawab Tejo sambil terbata-bata.

Ahmad yang saat ini di depan mataku hanyalah jasad semata. Aku merasa saat ini kami sedang menghadapi kemarahan Budi yang tidak diterima karena dibiarkan tenggelam oleh kawan sepermainannya.
“Budi, kalau ini benar kau, tunjukkan di mana jasadmu, Bud! Kita secepatnya akan mengangkatmu dari dalam telaga!” ucapku cepat.

Ahmad melirik ke arahku.
“Ini juga gara-gara kau, Rif! Kau bawa kami buat jadi tumbal bapakmu! Bangsat kau, Rif!” ucap Budi dalam tubuh Ahmad.

Aku makin bingung. Apa maksud ucapanmu barusan? Apa salahku?
Hari semakin sore, sebentar lagi maghrib. Cengkraman Ahmad tiba-tiba melonggar, tubuh Tejo jatuh ke tanah. Ia sudah tak sadarkan diri. Tak lama setelah itu, Ahmad menoleh kepadaku dengan ketakutan lalu tersungkur, tak jauh dari tubuh Tejo.

Aku tak bereaksi ketika itu. Kejadian yang menimpaku sore itu benar-benar membuatku ketakutan sekaligus bingung. Aku tak pernah mengalami hal-hal mistis seumur hidupku.

Di tengah kebingungan, terdengar sayup-sayup suara perempuan yang sedang tertawa di tengah hutan. Terdengar dekat.
“Ya Allah..,” batinku. Kucoba tetap tenang. Kuanggap itu hanyalah suara gesekan antar batang bambu yang tak jauh dari telaga tempat kami berenang.

Surup menjelang malam, satu temanku tak ada yang tahu rimbanya, entah tenggelam entah dimakan setan. Jasadnya bahkan tak mau muncul ke permukaan. Sementara dua temanku yang lain, saat ini tak sadarkan diri.
Aku mencoba mendekati kedua tubuh temanku yang tak jauh dari bibir telaga.

Belum sampai tiga langkah, suara yang tadi kembali muncul. Kali ini terdengar lebih jauh. "Hi hi hi..”
Aku tak berani melihat ke belakang, kucoba untuk tetap maju menggapai tubuh temanku.

“Mad, bangun, Mad. Ayo cari pertolongan!” ucapku sambil menggoyang-goyangkan tubuh Ahmad.

Tak ada jawaban, baik Ahmad maupun Tejo benar-benar seperti mati. Padahal cuman pingsan. Ketika kutarik kedua tubuh temanku itu menjauh dari bibir telaga, kembali muncul suara yang menakutkan.
“MAU KAU BAWA KEMANA MAKANANKU?”

Kali ini suaranya jelas dan menggema.
Aku langsung gemetaran, tanpa menunggu waktu lama, aku lari terbirit-birit meninggalkan temanku.

Aku sudah lupa bahwa kami berangkat berempat. Yang kupikirkan waktu itu: aku harus menjauh dari telaga secepat mungkin!
Setelah berlari cukup lama, aku pun tiba di pinggiran kampung.
"Tolong-tolong! Telepon polisi!” teriakku kepada orang-orang yang berlalu lalang.

Tak ada satupun yang menggubrisku. Sampai akhirnya, datang seorang bapak-bapak yang menghampiriku.

“Mas Arif, ada apa?” tanyanya.
“Tolong temen saya, Pak, te-temen saya di telaga, Pak! Tolong teman saya tenggelam di telaga atas bukit!” ujarku dengan gagap.

Bapak paruh baya tersebut bisa menangkap perkataanku. Ia memasukkan tangan ke sakunya, mengambil telepon genggamnya.
Nak tenang dulu, saya akan teleponkan polisi. Sekarang sudah gelap, kamu sudah makan?” kata Si Bapak.

Hari semakin gelap, bapak itupun mengantarkanku ke restoran milik ayahku. Aku masih tak percaya kejadian senaas itu menimpa teman-temanku.
Sementara, saat pikiranku masih tak beraturan, bapak yang tadi mengantarkanku tiba-tiba saja mencengkeram lenganku dengan kuat.

“Nak, kau yakin itu restoran milik ayahmu?” tanyanya.

“Iya, Pak..”

“Kau yakin?” tanyanya lagi.

“Memang kenapa pak?” Tak ada jawaban. Tapi langkah kami terhenti. Aku semakin kebingungan. Restoran milik keluarga kami hanya berjarak tak lebih dari 50 meter dari tempat kami berpijak saat ini. Tapi entah kenapa, bapak-bapak itu terdiam, seperti melihat sesuatu di restoran kami. Sementara menurutku, tak ada yang aneh dari restoran yang tiap hari kulihat tersebut.

“Kita tunggu polisi di sana saja,” ujar bapak tersebut sambil menunjuk ke salah satu pos polisi kosong.

Aku bermaksud mengajak para karyawan kami untuk ikut membantu menolong temanku. Tapi, Si Bapak mencegah. Katanya, lebih baik tak mengganggu orang yang bekerja.

Bapak tersebut kemudian mengucap satu hal yang masih kuingat sampai hari ini.
“Nak, masakan di restoranmu mungkin enak. Tapi jangan lupa, berdoalah sebelum kau makan,” ujarnya.
Setelah menunggu hampir dua jam, satu mobil kepolisian tiba bersama tim SAR, lengkap dengan perlengkapan selam mereka. Tak menunggu lama, kami segera menuju ke lokasi kejadian. Beberapa warga ada yang membuntuti kami.

Kabar adanya anak yang tenggelam di telaga, didengar orang-orang, di sekitar restoran keluargaku. Mereka berkumpul, berduyun-duyun mendatangi telaga seperti mau melihat festival.

Belum sampai telaga, salah satu dari anggota polisi menemukan seorang anak laki-laki dari pinggir jalan setapak. Ia memegangi anak yang menggigil tersebut.

"Ahmad!” teriakku.
Anak itu menoleh padaku. Benar, itu adalah Ahmad. Aku bersyukur Ahmad selamat. Namun ketika aku mendekatinya, ia malah berlindung di belakang petugas polisi yang menemukannya tadi, seperti ketakutan melihat wujudku.

“Saya akan mengamankan adik ini ke bawah bukit dulu,” ujar petugas tersebut, kemudian berlalu. Ketika aku berpapasan dengan Ahmad, aku mendengar sedikit bisikan, “Keluargamu, pemuja setan!”

Aku menoleh cepat, siapa yang berbisik padaku tadi. Tidak mungkin Ahmad, kawanku yang selalu berhati-hati dengan ucapannya yang mengatakan hal setibanya di telaga, polisi segera memasang garis polisi, sementara petugas SAR sudah bersiap menyisir lokasi tersebut. Tak lama aku dipanggil bapak yang tadi menolongku.

“Ini anak yang melapor tadi, Pak..
Nak, bisa kau jelaskan di mana temanmu tadi?” ujar Si Bapak seperti itu. 
Ahmad bersama petugas tersebut sudah menghilang dari jalan setapak. Aku bersama rombongan melanjutkan perjalanan menuju telaga.

Setibanya di telaga, polisi segera memasang garis polisi, sementara petugas SAR sudah bersiap menyisir lokasi tersebut.

Petugas sudah menghubungi keluarga dari kedua temanku. Mereka akan segera menuju lokasi.
Budi tenggelam di telaga, Pak. Kalau Tejo tadi sudah ada di sana lho, kok nggak ada pak? Tadi tubuh Tejo terakhir kali saya lihat di situ pak. Tepat di pinggir telaga, dekat pohon itu, sumpah saya tidak bohong, Pak!” ujarku

Tubuh Tejo tak lagi di tempat terakhir aku meletakkannya. Apa mungkin Tejo sudah melarikan diri setelah kutinggalkan? Tidak mungkin. Ia bersama Ahmad dan tak sadarkan diri. Ahmad bahkan harus dibantu untuk menuruni bukit.

Siapa yang lantas membawa tubuh Tejo?

Kepalaku teringat dengan sosok hitam yang mengejarku tadi...

Mungkinkah makhluk itu tadi sudah memakan Tejo?”
Bulu kudukku berdiri, aku bukan orang yang tidak punya rasa setia kawan, tapi saat ini aku benar-benar ketakutan. Asalkan aku selamat, tak apa kawanku dimakan iblis sekalipun.

Berjam-jam menunggu, pencarian tak membuahkan hasil. Polisi menyisir di darat di sekitar telaga. Sementara, ada empat orang tim SAR yang menyelam mencari keberadaan Budi.

Waktu sudah menjelang jam 11 malam, para petugas mulai berputus asa karena tak segera menemukan titik terang. Kakak Budi tiba di lokasi, bersama dengan ayah Tejo. Setelah berbincang dengan petugas, mereka melirikku, kemudian melengos begitu saja.

Ayah Tejo membawa seekor ayam hitam legam, seekor ayam cemani. Ia mendekati telaga. Aku melihatnya dari belakang. Ia berkomat-kamit di bibir telaga, tepat di mana aku terakhir kali melihat jasad Tejo sebelum kabur.

Tangan kirinya memegangi tubuh ayam cemani yang sebenarnya belum cukup besar, sementara tangan kanannya terlihat mencekik leher ayam.

“Krroook khook,” suara ayam tercekik.

Ayam cemani sekarat dilempar ke telaga. Tak sampai 10 detik, muncul mayat dari kedalaman telaga. Mengambang begitu saja. Itu adalah jasad Budi.

Aku, petugas polisi, warga, bahkan para petugas SAR yang ada di lokasi, benar-benar seperti kehabisan kata-kata. Bagaimana bisa dari tadi para petugas sudah menyelam di sekitar titik itu, namun tak ada satupun petugas menemukan jasad korban.

Sementara ayah Tejo yang baru saja datang, berjampi-jampi lalu melemparkan ayam cemani. Tiba-tiba saja, ada mayat mengambang di depan kami semua!
Jasad Budi dibawa ke tepian telaga oleh tim SAR. Tubuhnya sudah putih pucat. Dari mulutnya, keluar cairan putih. Begitu pula dari kedua lubang hidungnya. Matanya membelalak. Hingga kini, aku masih ingat betul ekspresi wajah mayat Budi. Ia seperti marah kepadaku.
Kakak laki-laki Budi seperti tidak kaget dengan kejadian yang menimpa adiknya. ia mengusap dahi adiknya dengan lembut. Setelah berbincang dengan beberapa petugas, jasad Budi akhirnya dibawa ke rumah sakit untuk diotopsi.

Perlahan, mobil ambulans yang membawa jasad Budi menjauh dari tengah hutan. Menembus jalan setapak hingga hilang dari pandanganku.

Tiba-tiba, aku dikagetkan oleh sebuah tangan yang menepuk bahu kiriku cukup keras. Saat aku menoleh, tepat di depanku, ada raut muka seorang bapak dengan wajah muramnya. Ia adalah ayah Tejo, yang sampai saat ini belum diketahui rimbanya. Nak, bisa kau telepon ayahmu sekarang?” tanyanya tiba-tiba.

Aku melihat wajahnya yang sayu. Tubuhnya yang begitu dekat denganku membuatku dengan jelas bisa menghirup aroma menyan yang menusuk hidung.
"Lebih baik kau ingatkan bapakmu agar lebih berhati-hati, atau keluargamu sendiri yang akan merasakan akibatnya!” gertaknya.

Aku tak benar-benar paham apa yang dibicarakan Ayah Tejo. Kupikir dia benar-benar membenciku saat ini, dan aku tak bisa menyalahkannya karena akulah orang yang meninggalkan Tejo di tengah hutan.

Yang kutakutkan hanyalah tentang keluargaku. Apakah hal gaib yang menimpaku dan kawan-kawanku berhubungan dengan keluargaku? Tapi apa gerangan? Bahkan, tak ada satupun keluargaku yang tahu aku bermain ke telaga bersama kawanku sore tadi. Setelah diinterogasi cukup lama di Polsek terdekat, ayahku menjemputku.

“Syukurlah kau selamat, Nak,” ujar ayahku sambil menyetir mobil.

Aku yang duduk di sisi ayahku tak benar-benar mendengarkan apa yang ia ucapkan. Aku masih kepikiran dengan ucapan ayah Tejo.
Tejo sendiri masih belum diketahui dimana jasadnya. Pihak kepolisian mengatakan, mereka masih akan menyisir lokasi seminggu ke depan.

Ayahnya juga tak ketinggalan. Ia memutuskan untuk ikut mencari jasad anaknya sendiri.
Ayah Tejo yang merupakan orang asli Banten, memang dikenal sebagai orang yang memiliki kelebihan, terutama dalam hal gaib.

“Rif? Kau kenapa, Nak? Bengong begitu dari tadi. Kau tak dengar apa yang ayah bilang tadi?” ucap ayahku.
"Eh apa, Yah? Maaf, aku ngantuk,” jawabku singkat.

“Kau jangan begitu kalau orang tua lagi ngajak bicara, tidak sopan namanya!” ayahku mulai menaikkan nadanya.

“Iya, Yah, maaf. Yah, apa ada yang Ayah sembunyikan dari kami?” ujarku balik bertanya.

“Maksudmu apa?”
Sesuatu yang Ayah sembunyikan dari aku dan Kakak, atau Ibu?” ujarku.

“Kok nanya gitu? Ada apa?”
“Tak apa, Yah. Jawab saja dengan jujur.”
“Tidak ada, nak,” jawab ayahku singkat.

Perbincangan berhenti. Suasana benar-benar hening seakan ayahku menciptakan tembok antara dirinya dan diriku. Aku sadar ada yang ia sembunyikan dariku. Tapi kupikir, itu tak penting selama keluargaku bahagia.

Kami tiba di rumah dengan sambutan yang tak lazim. Ibuku berlari dari arah pintu menuju halaman, kemudian memeluk Ayah yang baru saja keluar dari mobil.

Ia menangis sambil meneriakkan nama kakak perempuanku.
“Mas, Mas, Ratih mas..,” ucap ibuku sambil terisak.

“Iya, Ratih kenapa, Bu? Ibu tenang dulu, bilang jangan sambil nangis begitu,” ucap ayahku.

Aku hanya memperhatikan kedua orang tuaku dari belakang. Ibu melirikku, kemudian menyambarku, memelukku dengan erat.
Bu, kenapa, Bu?” tanyaku.

“Maafkan Ayah Ibumu yang berdosa ini, nak,” jawab ibuku. Jawaban yang sebenarnya sudah menunjukkan ada yang tidak beres dengan keluarga kami.

SUDAH! JELASKAN DENGAN SINGKAT, RATIH KENAPA?!” bentak ayahku sambil menarik lengan ibuku. Hampir saja aku terjatuh karena ikut tertarik.

“Ratih sudah tiada mas. Tubuhnya di dekat pintu belakang rumah, di pagar,” ucap ibuku sambil terisak.
Hah? Di pagar? Apakah ibuku sedang bercanda?
Rani di mana? Belum pulang?” tanya Bapakku.

Ibuku mengangguk cepat. Kami bertiga segera bergegas menuju ke pekarangan belakang rumah.

Ayahku tiba-tiba ambruk sambil terkaget. Ibuku kembali menangis, semakin menjadi-jadi. Waktu mungkin sudah lewat tengah malam.
Tiga ujung pagar berkarat menancap di leher, dada, dan perut. Mulutnya terkoyak hingga ke pipi kirinya.

Aku seperti melihat adegan dalam film SAW, namun bedanya kali ini aku melihat adegan nyata. Ibuku sudah seperti kesurupan. Namun aku seperti mulai menikmati pemandangan menyeramkan yang ada di hadapanku.

Ketika kami semua masih shock, jari-jari di tangan kiri saudariku bergerak-gerak. Kulihat betul mimik mukanya yang tersenyum kemudian tertawa dengan lucu.

“He-he-he..”

Ibuku pingsan, ayahku ketakutan. Sementara, aku tersenyum kegirangan..
Mendadak aku menjadi liar. Aku seperti kehilangan kontrol tubuhku sendiri. Aku berusaha berteriak, namun kerongkonganku seperti bukan milikku lagi. Kesadaranku mulai menipis, sementara malam kian hening.

Semuanya menjadi gelap. Lalu entah datang dari mana, tiba-tiba terdengar suara tanpa wujud, menjerit-jerit. Aku yakin itu suara seorang perempuan.

Ia terus menjerit, ketakutan. Matanya menengadah ke atas. Tepat di depannya, sesosok hitam seolah siap menyantapnya kapanpun. Beberapa saat kemudian, perempuan itu terbaring lunglai. Aku ikut menggigil melihat pemandangan yang terjadi di depanku

Mungkinkah ini mimpi? Setahuku, aku baru saja dijemput ayahku pulang dari kejadian di bukit tadi. Teman-temanku sudah ketemu? Oh ya, kakak perempuanku sedang sekarat menancap di pagar? Bagaimana keadaannya?
Sementara aku bertanya-tanya, tiba-tiba sesuatu menggelinding hingga menyentuh kaki kiriku. Sebuah kepala. Lehernya masih meneteskan darah segar. Aku tercekat, melangkah mundur. Potongan kepala itu kembali menggelinding hingga wajahnya menghadap ke atas.

Aku tahu betul siapa pemilik potongan kepala tersebut. Aku ambruk, dengkulku menyentuh tanah. Kuraih potongan kepala itu. Kupeluk erat-erat sambil menangis. Tangisku semakin menjadi-jadi. Dan tanpa kusadari, makhluk hitam besar sudah ada di depanku.

Tubuhku tak bergerak. Aku masih sesenggukan sambil memeluk kepala kakakku. Bajuku sudah penuh dengan darah. Ia merebut potongan kepala tersebut dari genggamanku, lalu melahapnya. Darah menetes dari taring bawahnya yang menjulur ke atas hingga hampir menyentuh mata.

Sementara dari belakang, muncul dua orang yang berjalan mengikuti langkah makhluk tadi

Mereka tak asing, pikirku. Mataku tak mungkin salah. Mereka adalah ayah dan ibuku. Tapi kenapa? Kenapa mereka tiba-tiba muncul dan mengikuti makhluk tadi?

Aku mencoba memanggil keduanya, namun suaraku tak keluar dari kerongkongan. Pandanganku merayap. Aku sedang berada di sebuah kebun bambu tanpa penerangan sedikitpun. Tapi anehnya, mataku bisa melihat makhluk menyeramkan tadi. Kupikir ini terlalu nyata untuk menjadi sebuah mimpi.
Aku bergerak dan berlari mengejar kedua orang tuaku. Kuraih tangan mereka. Ayah dan ibuku masih bergeming, seakan aku tak berada di situ. Aku berusaha sekuat tenaga, hingga akhirnya satu patah kata keluar dari tenggorokanku yang serak.

“Tolooong!”
Ibuku menoleh. Aku ingat benar dia berekspresi dingin, namun tetap berusaha tersenyum. Ia mengenaliku. Ada apa, Bu? Siapa sebenarnya makhluk itu? Kenapa kalian mengikutinya padahal dialah yang memakan Kak Ratih? Tapi, tak ada satupun kata yang keluar dari mulutku.

Ibuku melenggang. Aku tak berani mengikuti mereka lagi. Saat aku berusaha menarik ibu dan ayahku, tanpa tersadar, dari sisi makhluk hitam tadi, ratusan makhluk serupa muncul dan bersorak ganjil. Mereka sedang berpesta?
Tapi, tak ada satupun dari makhluk itu yang menyadari keberadaanku.

Aku benar-benar tak dipedulikan. Sampai akhirnya dari kejauhan, aku melihat kakak perempuanku yang kedua sedang berlenggak-lenggok di tengah kerumunan.

Sejak kapan Retno sepandai itu menari tradisional?

Terkadang ia melenturkan tubuhnya, menggeliat di tanah dengan kedua tangannya penuh luka cakar.

Di sisi lain, orang tuaku terlihat bersujud ke makhluk hitam tadi, makhluk yang ukurannya jauh lebih besar dibandingkan makhluk-makhluk yang mengelilingi Retno.
Aku seperti menyaksikan keluargaku sedang bermain peran. Tanpa sadar, aku berlari mendekati orang tuaku. Berlari, berlari. Tapi sama sekali aku tak mendekati mereka seincipun.

Suasana kembali gelap..
"Nak, sadar..,”

Suara laki-laki menyadarkanku. Orang tersebut adalah Ayah Tejo.

“Pak? Di mana Ibu saya?” ujarku.
Ia terdiam, kemudian mengusap dahiku yang berkeringat..
Kadang manusia memang bisa khilaf, tapi jika sudah sejauh ini, ayahmu sudah memancing makhluk yang harusnya tak ia usik,” jawabnya tanpa ekspresi.

Kulihat halaman belakang rumahku sudah penuh dengan orang. Polisi dan warga setempat.

Suasana halaman belakang rumahku tiba-tiba menjadi tenang. Dingin, hening, sekaligus ganjil. Beberapa jam berlalu, masih hening, hingga suara tangisan itu muncul entah dari mana. Beberapa polisi datang membawa kantong jenazah lengkap dengan keranda beroda. Tiga kantong jenazah,
satu kain kafan sisanya.

Ranjang jenazah kemudian melintas di hadapanku.

Suara rodanya berdecit-decit bagai jeritan tertahan.

Selintas, kafan yang menutupi jasad itu tersingkap diterpa angin.
Dari balik kain yang tersingkap itu, sepasang mata mendelik menatapku. Seketika itu aku terdiam.

Ibuku tak pernah menatapku dengan ekspresi semenyeramkan itu.

~~~SELESAI~~~

Jadi itu lah konsekuensinya jika manusia melakukan pesugihan. Tidak hanya keluarga orang lain yang akan menjadi tumbal, orang yang melakukan pesugihan-nya pun akan mati mengenaskan dan akan menjadi budak. Sesuai dengan perjanjian yang telah di sepakati dulu.. 
wassalam,,,


close