Kisah Mistis Tersesat di Gunung
Kisah ini dialami oleh 6 orang yang sebut saja mereka adalah Nungki, Edo, Latif, Abidin, Faidza dan Dita. Dimana waktu itu mereka berenam sedang melakukan pendakian ke gunung Butak.
Sebelum ke cerita saya akan memberitahu sedikit tentang gunung Butak ini.
Gunung Butak adalah gunung yang mempunyai ketinggian 2.868 Mdpl yang berada di perbatasan Kab. Malang dan Kab. Blitar. Gunung ini letaknya berdekatan dengan gunung Kawi, tidak ada catatan sejarah atas erupsi dari gunung Butak sampai sa’at ini.
----xxx----
Awal cerita, waktu itu tepat tanggal 22 Juli 2015. Pukul 6 pagi mereka berenam berangkat dari kota Surabaya menuju ke kota Malang untuk tujuan mendaki ke gunung Butak.
Mereka berenam adalah seorang mahasiswa dan mahasiwi di salah satu kampus yang berada di Surabaya. Setelah menempuh kurang lebih 2 jam perjalanan dengan mengendarai motor sampailah mereka di Kota Batu, Malang dan langsung menuju ke desa Pesanggrahan yang merupakan desa terakhir di lereng gunung tersebut.
Karena pada waktu itu belum dibangun pos pendaftaran di desa itu mereka menuju ke rumah salah satu warga atau rumah terakhir untuk menitipkan motor sekaligus meminta ijin mendaki pada pemilik rumah tersebut, setelah itu mereka mempersiapkan dirinya masing-masing dan peralatan yang dibawa.
Tepat pukul 9 pagi perjalanan dimulai, sebelum berangkat pemilik rumah tempat mereka menitipkan motor sempat berpesan untuk berhati-hati selama didalam hutan karena waktu itu kondisi gunung Butak pasca kebakaran, takutnya masih ada api yang masih menyala.
Perjalanan dilakukan dengan posisi Nungki paling depan dan Edo di paling belakang karena diantara mereka berenam Nungki dan Edo lah yang lebih berpengalaman di bidang pendakian, disisi lain Nungki sudah pernah mendaki ke gunung ini beberapa bulan sebelumnya.
Di awal-awal perjalanan mereka melewati jalanan paving yang juga merupakan jalan untuk warga setempat kalau hendak ke ladang. Kurang lebih 10 menit berjalan mereka mulai memasuki hutan yang cukup rimbun.
Menurut Nungki yang sebelumnya sudah pernah mendaki ke gunung ini estimasi perjalanan kalau dari rumah terakhir hingga sampai di sabana itu memakan waktu kurang lebih 9 – 10 jam, bisa lebih cepat juga bisa lebih lambat tergantung seberapa cepat jalannya, jadi kira-kira maghrib mereka sudah bisa sampai di sabana, paling lambat isya’.
(Sabana adalah tempat camp terakhir sebelum summit ke puncak)
Selangkah demi selangkah mereka berjalan hingga tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul 12 siang. Karena pada waktu itu tidak bangunan pos mereka istirahat di sebidang tanah datar untuk makan. Jadi kalau dihitung dari seberapa lama berjalan mereka sudah menempuh hampir setengah perjalanan.
Sambil memasak makanan seringkali Faidza bertanya pada Nungki masih berapa lama lagi untuk sampai di sabana, Nungki pun memberitahu Faidza kalau nanti kira-kira pukul 6 sore mereka sudah bisa sampai di sabana itu.
Diantara mereka berenam bisa dibilang Faidza ini fisiknya paling lemah, jadi setelah selesai makan di tempat itu mereka melanjutkan perjalanan dengan sangat pelan untuk mengimbangi Faidza yang seringkali minta break karena kelelahan.
Setelah cukup lama berjalan waktu sudah menunjukan pukul 3 sore. Karena memburu waktu agar tidak malam dijalan Nungki meminta pada teman-temannya untuk sedikit mempercepat jalannya tapi mau cepat bagaimana dengan kondisi Faidza yang seperti itu.
Akhirnya Nungki tidak bisa memaksakan keada’an biar saja jalan pelan-pelan yang penting sampai meskipun malam di jalan.
Kurang lebih pukul 4 sore mereka masih didalam hutan yang cukup lebat dan Nungki yang berjalan didepan tidak sengaja membawa teman-temannya ke jalur yang salah hingga semakin jauh.
Awalnya Nungki tidak sadar kalau ternyata jalur yang dilewatinya itu salah karena dari tadi tidak ada jalur lain selain jalur yang dia tapaki, dia baru sadar setelah dia menjumpai jalan yang dibuntu oleh tebing yang cukup tinggi 100 meter di depannya.
Melihat kalau itu adalah jalan buntu dia meneriaki teman-temannya yang ada dibelakang,
“Stop stop kayaknya kita salah jalan ini”
Mendengar Nungki berteriak seperti itu Faidza semakin lemas, lalu dari paling belakang Edo membalas,
“Yang bener kamu Ki?”
“Kayaknya sih gitu soalnya didepan tebing gak ada jalan lagi”, jawab Nungki.
“Lah terus kita kemana nih?”, tanya Edo lagi.
Dari jarak 50 meter didepan Nungki berjalan kembali ke teman-temannya, sesampai di tempat teman-temannya dia mencoba membuat teman-temannya agar tidak panik dulu karena disisi lain Nungki masih ragu kalau didepan adalah jalan buntu.
“Kalian tenang ya jangan pada panik dulu, kita jalan kedepan lagi siapa tau disana ada jalannya”
Dengan lemas Faidza berkata,
“Kita jalan balik aja Ki kayaknya didepan jalannya makin rimbun itu”
Karena masih belum yakin kalau jalan yang dilalui ini salah Nungki meminta pada mereka untuk menunggunya disini.
“Gini aja kalian tunggu disini dan jangan kemana-mana biar aku sama Edo kesana dulu siapa tau ada jalannya”.
Mereka berempat Abidin, Latif, Faidza dan Dita duduk lemas di sebidang tanah sedangkan Nungki dan Edo berjalan mendekati tebing didepan untuk mencari jalan.
Ketika sedang jalan berdua Edo bertanya pada Nungki,
“Ki, kalo emang salah jalan kenapa gak balik aja?”
“Bentar Do, aku gak yakin kalau kita nyasar soalnya dari tadi aku jalannya gak ngerasa nyimpang”, jawab Nungki.
“Emang pas kamu kesini dulu jalannya gimana?”, tanya Edo.
“Perasa’an gak ada persimpangan sama sekali mangkanya aku gak yakin kalau kita kesasar”, jawab Nungki.
Sesampai di dekat tebing ternyata benar, disitu memang jalannya dibuntu oleh tebing kemudian Nungki mengajak Edo untuk berjalan sedikit naik melipir tebing siapa tau dari atas dia bisa melihat jalur yang benar.
Sesampai di atas barulah Nungki yakin kalau memang mereka ini tersesat karena dari atas Nungki tidak melihat ada jalur, yang dilihat hanya hutan lebat dengan beberapa bukit yang menjulang.
Karena hari semakin gelap Nungki mengajak Edo untuk kembali turun ke tempat teman-temannya tadi, sesampai di tempat teman-temannya sedang menunggu itu Nungki dan Edo kaget karena mereka tidak melihat keberada’an 4 temannya tadi.
“Ki, anak-anak dimana?”, tanya Edo pada Nungki.
“Gak tau perasa’an mereka tadi disini?”. Jawab Nungki.
Nungki dan Edo berteriak memanggil teman-temannya,
“Wooooy... Bidin... Latif... Faidza... Dita...?? kalian diamana?”
Tapi tidak ada jawaban dari mereka.
Nungki dan Edo dibuat panik dengan keada’an ini.
“Apa mungkin mereka jalan turun Ki?”, ucap Edo pada Nungki.
“Masa sih? Kayaknya enggak deh, masa mereka tega ninggalin kita?”, jawab Nungki.
“Yaudah kita cari aja dulu di sekitar sini siapa tau kita yang lupa”, lanjut Edo.
Nungki dan Edo mengitari area tersebut sambil teriak memanggil nama mereka, tapi sudah sekitar 30 menit mencari mereka tidak juga menemukan keberada’an teman-temannya.
Nungki memberi usul pada Edo,
“Gini aja Do, mungkin mereka beneran jalan turun. Kita jalan turun aja pelan-pelan sambil cari mereka”.
Mengingat hari itu sudah gelap Edo menyetujui usul Nungki kemudian mereka berdua berjalan kembali turun dengan pelan.
....
Disisi lain Abidin, Latif, Faidza dan Dita yang tadi menunggu Nungki dan Edo kembali, mereka tertidur karena kelelahan.
Ketika tidur itu Faidza merasa ada yang membangunkan, terasa ada yang memegang pundaknya sambil bilang,
“Nduk, ndang tangi, wes bengi, digoleki koncomu”
(Nak bangun, udah malam, dicari temanmu)
Merasa ada yang membangunkan Faidza bangun karena dia mengira yang membangunkan itu adalah Nungki dan Edo tapi setelah dilihat ternyata bukan, yang membangunkan itu adalah seorang nenek-nenek mengenakan tudung tani sambil menggendong bakul.
Masih dalam keada’an ngantuk Faidza lekas membangunkan 3 temannya,
“Eh bangun-bangun udah malam nih”
Ketiga temannya pun bangun dan setelah mereka semua sudah bangun Faidza kaget karena nenek yang membangunkannya tadi tiba-tiba sudah tidak ada entah kemana perginya dan yang lebih kaget lagi ternyata waktu itu hari sudah gelap.
Faidza tidak memikirkan tentang nenek yang membangunkan tadi, dia lekas melihat jam yang sudah menunjukan pukul 6 sore.
“Eh kok udah malem, Nungki sama Edo kemana?”, ucap Faidza panik.
“Gak tau, emang mereka belum balik?”, jawab Abidin.
“Aku juga gak tau”, jawab Faidza.
Mereka bertiga bingung karena melihat Nungki dan Edo belum juga kembali, berkali-kali mereka berteriak memanggil Nungki dan Edo tapi tidak ada jawaban dari mereka.
Mereka bertiga tidak tahu harus berbuat apa, seringkali Dita mengajak untuk berjalan kembali turun tapi mengingat Nungki dan Edo belum kembali dari perginya akhirnya mereka memutuskan untuk menunggunya dulu di tempat itu.
Karena malam itu udaranya cukup dingin mereka menggelar matras dan memakai jaketnya masing-masing sambil menunggu Nungki dan Edo kembali.
Sambil menunggu mereka saling mengobrol,
“Ini kita beneran tersesat gak sih?”, ucap Dita memulai obrolan.
“Gak tau aku juga belum pernah kesini”, jawab Abidin.
Setelah cukup lama menunggu dan mengobrol Nungki dan Edo belum juga kembali hingga waktu sudah menunjukan pukul 7 malam.
Melihat Nungki dan Edo belum juga kembali mereka semakin panik,
“Eh ini gimana? Nungki sama Edo gak balik-balik nih?”, Ucap Faidza.
“Iya nih, mana dingin banget lagi disini”, sahut Dita.
“Apa jangan-jangan mereka ninggalin kita disini?”, lanjut Faidza.
“Enggak lah, itu gak mungkin aku paham sama mereka”, sahut Abidin.
Tidak lama setelah itu sayup-sayup mereka mendengar suara dari bawah,
“Bidin.. Latif... Faidza... Dita...”
Itu adalah suara Nungki dan Edo.
Mendengar itu mereka semua lekas menyahutnya,
“Woooy.. Nungki... Edo... kami disini...”.
Dan suara itu membalas,
“Kalian dimana...? Arahkan senter keatas dan jangan kemana-mana...?
Mereka berempat pun menyorotkan senter keatas secara bersama’an.
....
Dari sisi lain Nungki dan Edo yang waktu itu sedang berjalan turun melihat jauh diatas ada cahaya senter yang disorotkan oleh teman-temannya itu.
“Ki, itu mereka disana...!”, ucap Edo.
Nungki dan Edo pun segera kembali keatas menuju ke sumber cahaya senter itu, setelah 20 menit berjalan sampailah Nungki dan Edo di tempat teman-temannya itu dan... tempat Abidin, Latif, Faidza dan Dita itu ternyata masih ditempat yang sama.
Melihat itu Nungki dan Edo benar-benar tersentak karena tadi di tempat ini mereka tidak melihat keberada’an 4 temannya itu bahkan tadi mereka juga sudah mencarinya lama disekitar sini tapi tetap tidak ada.
Sesampai disitu Nungki bertanya,
“Kalian habis dari mana? Udah dibilang jangan kemana-mana”
“Kita gak kemana-mana kok, dari tadi kita disini nungguin kalian tapi kalian gak balik-balik”, jawab Latif.
“Gak kemana-mana gimana orang tadi kita nyari’in kalian disini gak ada kok”, jawab Nungki.
“Beneran Ki, kita dari tadi disini gak kemana-mana malahan kita khawatir sama kalian yang gak balik-balik dari atas”, sahut Dita.
Mendengar pernyata’an itu Nungki heran, kok bisa terjadi hal seperti ini?
Disitu Faidza hanya duduk lemas, tubuhnya menggigil kedinginan dan kondisinya sudah drop, sesekali dia menangis menyesali perjalanan ini hingga beberapa kali Dita mencoba menenangkan Faidza.
Melihat kondisi Faidza yang seperti itu Nungki memutuskan untuk bermalam di tempat itu, karena tempatnya tidak begitu luas 3 tenda mereka dirikan secara berdekatan.
Setelah tenda sudah berdiri Faidza masuk kedalam tenda ditemani oleh Dita sedangkan mereka yang cowok membagi tugas, Latif dan Abidin memasak makanan sedangkan Nungki dan Edo pergi mencari kayu untuk digunakan sebagai api unggun.
Sambil mencari kayu Edo bilang ke Nungki,
“Ki, ada yang aneh gak sih tadi? perasa’an tadi disini kita udah nyari anak-anak lama lo tapi katanya mereka gak kemana-mana?”
“Itu dia, aku juga gak habis pikir tadi jelas-jelas mereka gak ada disini kan?”, jawab Nungki yang sepemikiran dengan Edo.
“Kok bisa gitu ya?”, lanjut Edo.
“Yaudah biarin aja yang penting sekarang kita sudah berkumpul dan jangan bahas ini ke anak-anak ya Do”. Pinta Nungki pada Edo.
Di dalam tenda Faidza masih dengan keada’annya yang menggigil kedingingan sambil menangis ingin pulang hingga beberapa kali Dita coba menenangkannya.
Tidak lama kemudian masakan sudah matang dan api unggun sudah dinyalakan, mereka membujuk Faidza agar mau makan hingga akhirnya mereka makan didepan tenda sambil memikirkan kelanjutan perjalanan ini.
Disitu Nungki meminta ma’af pada teman-temannya karena sudah membawa mereka ke jalur yang salah hingga tersesat tapi teman-temannya tidak menyalahkan Nungki, bagi mereka ini adalah musibah.
Karena malam semakin larut mereka istirahat kedalam tenda dan memutuskan untuk kembali turun besok kalau hari sudah terang, didalam tenda Nungki tidak bisa tidur memikirkan kejadian janggal yang tadi tentang teman-temannya yang sesa’at hilang dari tempat ini.
Di tenda satunya Hal yang sama juga dialami oleh Faidza, dia tidak bisa tidur karena kepikiran tentang sosok nenek bertudung tani yang membangunkannya tadi, dia cerita sedikit pada Dita tentang sosok nenek itu hingga membuat Dita merinding.
Singkat cerita pagipun tiba. Pukul setengah 6 pagi Nungki bangun terlebih dahulu, setelah bangun dia mengambil kompor dan nestingnya untuk membuat kopi, sambil membuat kopi Nungki melihat-lihat keada’an sekitar dan yang dia lihat hanyalah hutan rimba.
Tidak lama kemudian terlihat Edo keluar dari tenda disusul Latif dan Abidin lalu mereka menyiapkan makanan ringan berupa roti, setelah roti sudah siap santap Faidza dan Dita juga terlihat keluar dari tenda kemudian mereka makan-makan.
Sambil makan Faidza bertanya pada Nungki,
“Ki, kita jadi balik turun kan?”
“Iya, pendakian ini dibatalin aja lagian persedia’an air dan logistik juga tinggal sedikit”, jawab Nungki.
Setelah selesai makan mereka berkemas untuk kembali berjalan turun, ketika sedang berkemas, dari bawah sekilas Faidza melihat ada wanita mengenakan tudung tani sedang berjalan, dia berjalan diantara semak-semak yang cukup rimbun.
Melihat itu Faidza kaget sambil berucap,
“Eh siapa itu?”, ucap Faidza sambil melihat kearah semak-semak.
Spontan mereka semua menoleh kearah Faidza pandangan Faidza tapi tidak ada siapa-siapa yang mereka lihat, Edo bertanya pada Faidza,
“Ada apa Za?”
“Tadi kayaknya ada orang lo disitu”, jawab Faidza sambil menunjuk kearah wanita tudung tani yang sempat dilihatnya.
“Mana? Dimana?”, tanya Edo.
“Tadi disana, di semak itu”, jawab Faidza.
Edo segera berlari ke semak yang dimaksud Faidza, sesampai disitu Edo tidak melihat ada siapa-siapa kemudian Edo kembali ke teman-temannya,
“Gak ada siapa-siapa kok Za”, ucap Edo.
“Beneran tadi ada orang disitu”, jelas Faidza.
“Yaudah cepetan berkemas kita langsung turun habis ini”, sahut Nungki.
Mereka melanjutkan berkemas setelah selesai berkemas mereka mulai berjalan kembali turun, sambil berjalan turun Faidza celingukan melihat sekitar untuk mencari wanita tudung tani yang tadi sempat dilihatnya dan.. seketika itu juga Faidza teringat dengan nenek yang membangunkannya kemarin karena tudung tani yang dikenakan nenek itu sama persis dengan tudung tani yang dipakai wanita tadi.
Karena waktu itu Faidza tidak melihat keberanda’an wanita itu dia mengabaikannya dan terus berjalan turun.
Lama berjalan, tapi jalan yang mereka lalui ini semakin lama semakin sempit dan rimbun hingga membuat Nungki yang berjalan didepan berhenti,
“Bentar-bentar perasa’an kemarin gak kayak gini deh jalannya?”, ucap Nungki pada teman-temannya.
“Iya ki, ini kayaknya bukan jalan, kemarin gak serimbun ini kok”, sahut Edo dari belakang.
“Yaudah balik naik dulu”, ajak Nungki.
Merekapun kembali berjalan sedikit naik untuk berunding, sesampai di tempat yang cukup datar mereka coba mengingat-ingat jalan yang kemarin mereka lewati tapi tidak ada satupun dari mereka yang ingat.
Mereka bingung tidak tau harus kemana, mau terus jalan turun jalannya rimbun, mau kembali naik sudah terlanjur jauh.
Melihat keada’an ini Faidza lemas begitupun yang lain, lalu Abidin memberi usul,
“Gini aja, ini kan gunung, kita terus jalan menurun aja menerabas semak nanti juga sampai dibawah”.
Karena usul Abidin itu masuk akal mereka menyetujuinya, mereka bergegas melanjutkan perjalanan lagi dengan menerobos semak yang cukup rimbun dengan sebatang kayu, dan setelah cukup jauh berjalan menerobos semak jalan mereka terhenti karena didepan mereka adalah jurang yang cukup dalam. Jadi posisi mereka waktu itu sudah berdiri di bibir jurang.
Melihat itu Nungki mengajak mereka untuk kembali sedikit naik karena takut terpeleset kedalam jurang itu, sesampai di tempat yang dirasa aman mereka kembali berunding,
“Gimana nih, didepan jurang kita gak bisa terus jalan turun”, ucap Latif.
“Ya mau tidak mau kita balik keatas”, jawab Edo dengan lemas.
“Hah balik? Udah sejauh ini kita balik keatas lagi?”, sahut Dita yang sudah sangat kelelahan.
“Ya mau gimana lagi Dit? Emang mau turun ke jurang itu?”, jawab Edo.
Mereka semua terduduk lemas dengan keada’an ini, yang ada dalam fikiran mereka hanyalah pulang, pulang dan pulang.
Mengingat waktu itu mereka sudah berjalan jauh hingga sampai disini Nungki memberi usul,
“Gini aja, melihat kondisi kita yang seperti ini kalo balik keatas kita gak mungkin, kita jalan aja menyusuri bibir jurang siapa tau nanti disana kita menemukan petunjuk”
Karena memang tidak memungkinkan untuk kembali keatas mereka menyetujui usul Nungki, mereka lanjut berjalan menyusuri bibir jurang.
Waktu sudah menunjukan pukul 5 sore dan mereka masih didalam hutan rimba tanpa ada petunjuk jalan, rasanya hutan ini tidak ada ujungnya.
Karena kelelahan mereka memutuskan untuk istirahat, ketika sedang istirahat Faidza menangis ingin segera pulang.
Karena waktu itu hari sudah akan gelap Nungki mengajak mereka mencari tempat datar untuk digunakan bermalam, dengan sangat terpaksa mereka berdiri dari duduknya untuk mencari tempat.
Setelah beberapa meter berjalan akhirnya mereka menemukan tempat yang cukup datar yang hanya cukup untuk mendirikan 2 tenda, sesampai di tempat itu mereka mendirikan 2 tenda dengan posisi berhadapan dan disambung dengan flyset ditengah-tengahnya, setelah itu Nungki mengeluarkan logistik yang tersisa dan akan dimasak untuk makan malam.
Melihat logistik yang tersisa Nungki berfikir,
“Ini kalau dimakan sekarang besok mau makan apa?”
Disisi lain persedia’an air juga sudah sangat menipis.
Akhirnya Nungki hanya memasak sebagian logistik yang tersisa dengan tujuan agar besok mereka masih bisa makan, setelah masakan sudah matang mereka makan dengan lahap karena sore itu mereka sudah sangat kelaparan.
Setelah selesai makan Nungki bilang pada teman-temannya bahwasanya persedia’an makanan dan air sudah menipis jadi sebisa mungkin mereka harus menghemat untuk perjalanan selanjutnya.
“Ki, kita harus ngapain lagi habis ini”, ucap Faidza dengan lemas.
“Kita bermalam dulu aja Za, hari udah mau gelap kalau lanjut jalan yang ada kita malah semakin tersesat”, jawab Nungki yang juga sudah lemas.
Akhirnya malam itu dengan terpaksa mereka bermalam lagi di dalam hutan rimba.
Karena malam itu Nungki dan Edo tidak kebagian tenda mereka tidur di antara 2 tenda yang berdiri dengan hanya beralaskan matras dan beratap flyset.
Latif, Abidin, Faidza dan Dita sudah tidur nyenyak didalam tenda, karena suhu sangat dingin Nungki mengajak Edo mencari kayu untuk digunakan sebagai api unggun untuk mengusir hawa dingin, setelah api sudah menyala mereka berdua duduk didekat api tersebut sembari minum kopi dan membicarakan kelanjutan perjalanan besok. Jadi sebisa mungkin besok mereka harus sudah keluar dari hutan ini karena mengingat persedia’an makanan sudah menipis.
Waktu sudah menunjukan pukul 9 malam, Nungki dan Edo kemudian beranjak tidur. Malam itu entah jam berapa Faidza terbangun dan membangunkan Dita untuk mengantarkannya buang air kecil.
Dita membangunkan Nungki dan Edo yang waktu itu tidur didepan tenda karena menghalangi jalannya,
“Ki, Do, bangun dulu aku mau lewat”
“Mau kemana?”, jawab Nungki terbangun.
“Faidza mau kencing”, jawab Dita.
“Ooh yaudah kencing dibelakang tenda aja”, jawab Nungki kemudian melanjutkan tidurnya.
Faidza dan Dita pun segera keluar dan menuju kebelakang tenda, melihat di sebelah kanan tenda mereka terdapat bekas api unggun mereka lewat kiri.
Setelah selesai buang air kecil, dari belakang tenda Faidza melihat ada seorang wanita yang sedang duduk di sebelah kanan tenda tepat di sebelah bekas api unggun.
Melihat itu Faidza langsung menggandeng tangan kirinya Dita dan berjalan kembali masuk kedalam tenda dan ketika mereka akan masuk kedalam tenda Faidza melihat lagi kearah bekas api unggun dan.. wanita yang tadi terlihat duduk itu sudah tidak ada.
Faidza tidak memberitahu hal ini kepada Dita, sesampai kembali didalam tenda mereka melanjutkan tidurnya hingga pagi.
Sekitar pukul 5 pagi mereka semua bangun, setelah bangun mereka makan logistik yang masih tersisa hingga habis, jadi setelah ini sudah tidak ada lagi yang bisa mereka makan. Sambil menunggu hari terang mereka berkemas untuk kembali berjalan mencari jalan keluar.
Kurang lebih jam 6 pagi mereka kembali berjalan menyusuri bibir tebing dengan hanya bekal 1 botol air yang tersisa, mereka berjalan menyusuri bibir jurang hingga semakin jauh kebawah.
Lama berjalan dan 1 botol air yang tersisa tadi sudah habis terminum, jadi sekarang sudah tidak ada persedia’an makanan dan minuman apapun.
Semakin jauh mereka berjalan turun hutan yang mereka lalui ini semakin rimbun dan vegetasi semakin tertutup hingga tidak ada celah sinar matahari yang masuk kedalam hutan itu.
Seasampai disini mereka sudah sangat kelelahan, wajah mereka pucat, debu dan pasir pun sudah menyatu di badan mereka hingga akhirnya mereka semua terduduk lemas karena sudah kelelahan dan tidak tau harus bagaimana lagi, mereka sudah pasrah dengan keada’an ini, sesekali terdengar Faidza berucap lirih,
“Aku ikhlas kalau harus mati disini, semoga jasadku bisa ditemukan”
Mendengar ucapan Faidza dalam hati Nungki berkata hal yang sama.
Karena kelelahan tidak terasa mereka semua tertidur kecuali Faidza yang tidak bisa tidur, dia memperhatikan teman-temannya yang sedang tidur sambil dalam hati berkata,
“Apakah kita akan mati disini?”
Mata Faidza sudah dipenuhi dengan air mata dan otaknya sudah blank.
Tidak lama kemudian dari bawah dia melihat ada seorang wanita berkerudung sambil menggendong rumput dipunggungnya, wanita itu terlihat sedang memperhatikan Faidza sambil berjalan naik kearahnya.
Melihat itu Faidza berfikir,
“Apa itu orang yang pernah aku lihat kemarin?”.
Ketika sudah dekat ternyata dia adalah ibu-ibu paruh baya yang sedang mencari rumput.
“Nak, kalian ngapain pada tidur disini?”, ucap ibu paruh baya itu.
“Ibu ini siapa?”, tanya Faidza setengah sadar.
“Ibu orang sini, kebetulan lagi cari rumput dibawah”, jawabnya.
Mendengar jawaban itu seakan Faidza tidak percaya, dia merasa sangat senang karena ternyata ibu ini adalah warga sekitar.
Faidza segera membangunkan teman-temannya,
“Eh bangun bangun kita selamat, kita selamat”
Teman-temannya pun bangun, setelah bangun ibu itu berteriak memanggil suaminya dan datanglah suami ibu itu sambil membawa beberapa potong kayu.
Setelah itu mereka diajak untuk berjalan mengikuti bapak dan ibu itu, dengan tenaga yang tersisa mereka berdiri dan berjalan mengikuti beliau.
Baru beberapa menit berjalan ternyata mereka sudah keluar dari hutan dan terlihat perkebunan warga. Mereka benar-benar tidak percaya kalau ternyata mereka sudah dekat dengan pemukiman warga padahal sebelumnya mereka tidak melihat ada tanda-tanda kehidupan disini.
Mereka terus berjalan mengikuti bapak dan ibu itu hingga sampai dirumah beliau, kemudian ibu itu memberi mereka makan dan memberinya tumpangan untuk istirahat dirumahnya.
Setelah makan mereka membersihkan badan kemudian tidur dirumah beliau untuk mengembalikan tenaga yang sempat terkuras habis selama tersesat didalam hutan dan bangun-bangun ternyata hari sudah gelap.
Setelah bangun kondisi mereka sudah agak fit dan mereka menceritakan tentang tersesat selama 2 hari 2 malam itu pada bapak pemilik rumah.
Beruntungnya waktu itu istri beliau dengan sengaja masuk kedalam hutan dan bertemu mereka, padahal sebelumnya beliau tidak pernah masuk ke hutan tersebut tapi entah kenapa tiba-tiba waktu itu beliau ingin masuk kedalam hutan tersebut dan andaikan tidak bertemu dengan ibu itu entah bagaimana nasib mereka berenam.
Malam itu mereka diminta untuk menginap dulu dirumah tersebut, ke’esokan harinya Nungki, Edo dan Abidin pergi ke rumah terakhir tempat mereka menitipkan motor untuk mengambil motornya sedangkan Latif, Faidza dan Dita menunggu dirumah itu.
Setelah itu mereka menjemput Latif, Faidza dan Dita kemudian pamit pada pemilik rumah untuk kembali pulang ke Surabaya.
Mereka mengucapkan beribu-ribu terima kasih pada bapak dan ibu yang sudah menolongnya dan pertolongan itu tidak bisa mereka lupakan dan hingga sa’at ini.
Beberapa hari setelah kejadian itu di kampus mereka membicarakan kejadian itu, mulai dari Nungki dan Edo yang kehilangan 4 temannya hingga Faidza yang dibangunkan sosok nenek gaib.
Kejadian ini menjadi pengalaman yang sangat pahit bagi mereka semua dan mereka jadikan sebagai pembelajaran penting.
~~~SELESAI~~~