HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 14)
Hari sudah malam. Derai hujan seperti musik alam menabuh atap rumah. Aku memandang langit-langit kamar. Majalah anak-anak kubiarkan telungkup di dada. Aku belum tertarik melanjutkan untuk membacanya. Pikiranku melayang jauh kemana-mana. Ingat kakek Haji Majani, pasti malam ini beliau tengah mememberikan pengajian pada jemaahnya. Ingat dengan peristiwa pagi tadi, bagaimana aku dan macan kumbang geram dengan Bapaknya Koh Ayung lalu iseng ngerjainnya. Ingat pula ketika duel dengan Putri Selasi harimau putih kecil yang lincah jago kuntau lalu terakhir berjumpa dengan tujuh Pandeka minyak dari Gunung Talang. Semuanya serba ajaib.
Akhirnya aku lelah sendiri. Aku mencoba memejamkan mata, meski batinku belum ingin tidur. Untung aku tidak punya PR. Aku enggan sekali membuka buku pelajaran dua hari ini. Tiba-tiba aku ingat Merry, Nita, Endang, Nurli dan Enny. Tumben mereka tidak ada yang datang ke rumahku ngajak bermain. Atau Hengky, Hendro, Suandi tidak seperti biasanya mereka tidak mengajakku untuk bermain kelereng atau layang-layang. Kemana mereka? Aku merasa seperti bertahun-tahun tidak bermain dengan mereka.
“Mereka sengaja tidak disuruh datang menemuimu. Sebab tugasmu beberapa hari ini berat” Suara Putri Selasih lembut. Kubuka mata. Rasa kantuk dan lelahku hilang seketika.
“Siapa yang melarang mereka datang? Kamu menghalangi mereka untuk bermain bersamaku? Tugas apa memangnya dibebankan padaku?” Aku membatin.
“Bukankah beberapa hari ini banyak sekali hal yang tidak masuk akal mengitari hidupmu? Aku tahu kamu sangat lelah mulai dari ketika diajak nenek Kam pulang ke gunung Dempu sampai pada petang tadi kamu menjadi mediator dan berkenalan dengan inyiak Gunung Talang” Lanjut Putri Selasih lagi.
Aku berpikir sejenak. Apa yang dikatakan Putri Selasih ada benarnya. Banyak sekali hal yang tidak masuk akal dan tidak terduga beberapa hari ini. Semuanya seperti tumpukan batu saling tindih dan terasa berat sekali mengendap di batinku. Termasuk juga mengapa Putri Selasih selalu dekat denganku?
“Tidak usah heran mengapa aku sangat dekat dengan nadimu. Aku sudah ditakdirkan untuk mendampingimu dan ikut kemanapun kamu pergi. Kecuali ketika aku diminta pulang, sejenak aku akan meninggalkanmu. Tapi itu pun tidak akan lama, selebihnya meski kita tidak berdampingan namun batin kita akan jadi satu” Ujar Putri Selasih menjelaskan.
Aku berusaha memahami kata-kata Putri Selasih. Maksudnya pulang sejenak lalu batin kita jadi satu? Apa maksudnya? Siapa saja yang mengetahui kalau Putri Selasih dekat denganku? Bagaimana jika tiba-tiba aku terlihat seperti berbicara sendiri padahal aku sedang berbicara dengan Putri Selasih? Apakah tidak memancing orang-orang mengatakan aku gila?
Ah, aku tidak mau seperti itu. Lebih baik Putri Selasih tidak usah ikut aku. Ikut yang lain saja. Aku membatin kembali. Aku mendengar Putri Selasih tertawa kecil.
“Kalau bisa dipindahkan, pindahkanlah aku dengan siapa saja” Nadanya menggodaku. Putri Selasih sepertinya paham betul kalau aku tidak bisa melakukannya selain pasrah dan menerima.
“Maksudku kamu pindah sendiri ke orang lain. Ke adikku, kakakku, ibuku atau siapa saja yang kamu suka. Yang jelas bukan aku. Atau ke teman-teman karibku” Lanjut batinku.
“Tidak bisa, kita sudah ditakdirkan yang maha kuasa untuk hidup berdampingan” Ujarnya lagi.
“Tapi aku tidak pernah berdoa untuk bisa hidup berdampingan dengan nenek Gunung sepertimu Putri Selasih? Aku tidak ingin dibayang-bayangi dirimu” Kataku lagi. Aku merasakan akan berhadapan dengan hal aneh-aneh. Padahal aku ingin hidup normal seperti kawan-kawanku tanpa ada yang membayangiku. Aku ingin bermain sepeda, main kelereng, main layang-layang, blusukan ke sawah-sawah. Bermain di sungai dan lain-lain. Aku juga tidak ingin melihat makhluk lain selain manusia. Yang nyata-nyata aja.
Kalau ada Putri Selasih pasti akan selalu mengingatkan dan mengatur hidupku. Ah aku tidak mau. Kali ini aku tidak mendengar Putri Selasih menanggapi kata-kataku. Lama kutunggu hingga akhirnya aku memanggil-manggilnya. Namun tidak juga ada jawaban.
Akhirnya aku bangun dari tidur. Sambil duduk aku mencari-cari siapa tahu Putri Selasih ada di sekitarku. Tidak ada. Aku merasa sedikit bersalah. Apakah Putri Selasih pergi meninggalkanku tanpa pamit, karena tersinggung dengan ucapanku? Muncul pula perasaan menyesal. Aku sudah menyakiti hatinya.
Akhirnya aku memfokuskan batin untuk melihat keberadaan Putri Selasih. Aku berusaha mencari dimana posisinya. Hmm..rupanya dia duduk manis di samping nenek Kam. Dia pura-pura tidak melihat padaku. Di hadapan mereka ada tujuh orang, dua perempuan, lima lelaki duduk berhadapan-hadapan dengan nenek Kam. Di antara lelaki itu ada macan kumbang. Diapun sama seperti yang lainnya tidak mempedulikan keberadaanku. Sepertinya mereka tengah membicarakan sesuatu.
Aku diam berdiri tidak jauh dari mereka. Aku tidak berani untuk lebih dekat lagi. Dalam hati aku bertanya siapa tujuh manusia ini? Wajah dan warna mereka berbeda-beda. Satu di atara mereka berkulit agak kekuning-kuningan, tatapannya nampak garang. Dua diantaranya bekulit agak gelap. Selebihnya sawo mateng. Mata mereka semua sama, berkilat-kilat. Hanya warnanya saja yang berbeda. Ada yang kebiruan, ada yang kehitaman, dan ada yang kecoklatan. Melihat fisik mereka, dua orang yang bertubuh besar tinggi, termasuk yang berkulit kekuningan. Selebihnya berperawakan sedang seperti macan kumbang. Padahal menurutku si Kumbang sudah besar tinggi tapi ternyata masih kalah dengan yang dua orang itu. Sementara yang perempuan berperawakan sedang bahkan langsing, semampai.
“Itu cucuku. Tapi belum waktunya aku memperkenalkan dia dengan kalian, kecuali Kumbang yang sudah kenal terlebih dahulu” Nenek Kam menujuk padaku tanpa menoleh. Aku terperangah. Siapa mereka? Mengapa harus ada waktu segala untuk mengenalkan aku pada mereka? Nenek aneh. Aku membatin.
Tak lama berselang ke tujuh orang itu bangkit lalu bersalaman dengan nenek Kam. Lalu ketujuhnya berjalan menuju jalan. Wow! Aku terkejut bukan main. Tiba-tiba ketujuhnya berubah menjadi harimau dengan warna yang berbeda-beda. Hanya macan kumbang saja yang kupahami benar warna dan bentuk tubuhnya. Lalu ketujuhnya serentak melompat dan makin jauh entah ke mana.
Aku masih terpaku melihat hal aneh depan mataku. Berbagai macam pertanyaan yang sulit kurumuskan bermain di benakku. Aku tak tahu mau berbicara apa. Aku belum bisa mengendalikan diri mengusir rasa kagetku.
“Dek..Dek..kalau ngantuk tidur aja. Rebahan sini” Ibu menggamit dan merebahkan tubuhku. Aku terkaget. Mataku terbuka. Rupanya ibu menyangka aku tertidur sambil duduk. Akhirnya aku mengalah dan diam saja. Aku pura-pura memejamkan mata kembali. Aku bertanya dimana nenek Kam dengan suara kuberat-beratkan seperti orang mengigau.
“Nenek ada, sedang ngobrol dengan Bapak di bawah. Ada tamu Bapak dari Lintang datang malam ini” Ujar Ibu sambil membetulkan posisi kepalaku. Mataku terbuka lebar. Aku tidak bisa berpura-pura mengantuk meski ibu sibuk melempar selimut ke tubuhku agar kutarik. Akhirnya kutarik juga selimut merah yang diberikan ibu. Lalu kuraih majalah, aku mulai membaca setelah tadi terjedah dengan obrolan dengan Putri Selasih.
Dalam hati aku merasa aman, karena Putri Selasih ada bersama nenek Kam. Jadi dia tidak akan mengusikku. Tidak mengajak aku ngobrol lagi. Tidak dibacanya isi hatiku lagi.
“Preet! Uh!!” Aku terlonjak. Putri Selasih lagi! Rupanya dia mengejekku? Dia tahu isi hatiku. Sialan!
“Kan sudah kubilang aku sangat dekat dengan nadimu. Kamu tidak akan pernah bisa mengusirku anak kecil keras kepala. Kecuali jika Tuan Raje Nyawe meminta aku untuk kembali” Ujarnya sedikit ketus.
Aduh, aku kembali dibilang keras kepala? Apa urusannya jika aku tidak mau? Kok maksa? Ingin rasanya aku mengajak Putri Selasih duel kembali. Tak peduli meski dia bisa kuntau. Aku ingin sekali memukulnya, minimal menepuknya. Tapi kembali aku berpikir, ini sudah malam. Tidak mungkin aku melakukan hal seperti sore tadi.
Kulihat Putri Selasih tersenyum menang. Dalam hati aku ngedumel. Putri Selasih sudah pandai mengejekku. Ingin sekali aku mengikat bibirnya yang dilancipkan itu. Putri Selasih sudah mulai kurang ajar!
“Kau sombong, mentang-mentang bisa kuntau, punya kepandaian tinggi, bisa menghilang, bisa jadi harimau” Ujarku iseng. Aku sadar, aku tidak akan bisa melawannya dengan kondisi sekarang. Aku tidak pandai menghilang sepertinya, aku juga tidak punya ilmu kuntau tingkat tinggi seperti yang dikuasainya. Aku juga tidak bisa berubah menjadi harimau sepertinya. Entahlah, aku ingin dia pergi saja. Cukuplah aku mengenalnya. Titik!
Putri Selasih tertawa terkekeh-kekeh. Aku berusaha untuk tidak memerhatikannya lagi. Terserah dia mau tertawa mau menagis. Tapi siapa pula yang disebutnya Tuanku Raje Nyawe? Siapakah beliau? Apa hubungannya dengan Putri Selasih? Akhirnya aku diam saja. Nafas Putri Selasih yang mendengus kubiarkan. Aku tak peduli. Aku berusaha mengunci batinku agar tidak berinteraksi dengan segala macam di sekelilingku. Termasuk juga laba-laba di sudut kamar melotot dari tadi mengawasiku.
Tak berselang lama aku tertidur. Aku sudah tidak tahan lagi menahan mataku yang terasa berat. Nenek Kam masih juga ayik ngobrol di bawah. Aku sengaja tidur di sisi pinggir dengan maksud kalau nenek Kam mau tidur akan terasa olehku. Otomatis aku akan terbangun. Nyatanya aku terbangun setelah matahari sudah mulai mincul dan seisi rumah sudah terjaga semua. Tidak ada yang membangunkan aku seperti Kakek Haji Majani. Aku menggerutu sambil turun tangga.
Di bawah aku melihat Bapak minum kopi sembari mendengarkan RRI berita pagi. Pekerjaan rutinnya setelah salat subuh. Berita itu berisi tentang warga Jambi tewas diterkam harimau petang kemarin. Diberitakan warga Jambi berinisial AN dan LK hendak pulang setelah berburu babi di hutan lindung Gambut. Tiba-tiba AN diserang harimau dari belakang. Melihat kejadian itu LK spontanitas mengarahkan senampannya pada harimau yang menyeret AN temannya. Namun tidak mengenai sasaran. Karena melihat itu, LK akhirnya berlari meminta pertolongan pada Polhut terdekat. Akhirnya pencarian pun dilakukan. Tapi hingga berita ini disampaikan tubuh korban belum ditemukan apakah masih hidup atau sudah tewas.
Aku juga ikut terbengong mendengar berita itu. Mendengar kata harimau bulu kudukku langsung meremang. Bukan takut tapi emosional harimau yang menerkam manusia itu seperti konek dengan batinku. Bapak masih asyik menyimak berita selanjutnya. Mataku tertuju pada koran Kompas dan Merdeka tergeletak begitu saja di atas kursi. Biasa, mang Acin jurnalis sekaligus penjual koran satu-satunya di kota kecilku ini sangat rajin. Usai subuh dia akan mengantarkan Koran-koran pada pelanggan sepajang kota.
Gambar harimau di halaman depan koran Merdeka langsung menarik perhatianku. Meski gambar itu buram karena warnanya hitam putih, namun cukup bagiku untuk memahami kalau itu memamang gambar harimau. Lalu judul berita Warga Tanjab Timur Jambi Tewas diterkam Harimau. Aku langsung meraihnya. Kubaca berulang-ulang judul beritanya. Kejadiannya kemarin. Seorang warga kabupaten Tanjab Timur Jambi tewas diterkam harimau ketika melintas di hutan lindung Gambut. Persis berita di RRI. Aku memandang Bapak. Tidak ada reaksi apa-apa mendengar orang diterkam harimau. Koran masih kupegang. Aku harus memberitahu nenek Kam, batinku. Semoga saja beliau bisa menjelaskan mengapa harimau di Jambi itu menerkam bangsa manusia itu?
Aku bergegas ke dapur mencari nenek Kam. Benar saja, beliau sedang asyik menikmati kopi dan sepiring ketan serundeng. “Nek, di Jambi ada manusia diterkam nenek gunung. Hilang hingga kini.” Bisikku. Aku melihat ekspresi nenek Kam biasa saja. Tidak ada nuansa risau atau kaget sepertiku. Beliau hanya mengangguk kecil. Melihat itu aku langsung menyodorkan Koran yang memuat gambar harimau.
“Ini gambar harimau Jawa. Bukan harimau Sumatera. Orang yang hilang itu salah satu pemasok daging nenek gunung. Dialah orang yang dicari oleh para inyiak gunung Talang. Dia tidak akan ditemukan, sama halnya dengan Ayung.” Ujar nenek Kam pelan.
“Oooh” Aku menarik nafas lega. Kembali kupandangi gambar harimau di koran. Dalam hati aku berkata, harimau Jawa? Bagaimana nenek Kam tahu kalau ilustrasi koran ini gambar harimau Jawa? Padahal gambarnya tidak jelas sama sekali. Dalam hati aku berharap, esok akan mendengar kembali berita tentang orang hilang karena ditangkap oleh nenek gunung. Agar habis orang jahat yang suka menjerat dan membunuh nenek gunung.
Ciiiiit!!
“Aduh…du..du..duuuh” Telingaku ditarik seseorang hingga tubuhku terangkat menahan sakit. “Berdoa itu yang bagus-bagus. Berdoalah supaya tidak ada lagi orang jahat yang berniat membunuh nenek gunung. Begitu!” Aku terkejut. Nenek Ceriwis tiba-tiba ada di sampingku. Rupanya beliau menarik telingaku. Kapan datangnya adik nenek Kam satu ini.
Ibu yang sedang masak sampai menoleh dan heran mendengar kata aduh dari mulutku. Darimana pula nenek Ceriwis ini datang? Mengapa tiba-tiba ada di sini. Nenek Kam senyum-senyum melihat ekspresiku.
“Hiiiaaaat” secepat kilat aku menyapu kakinya. Ini pembalasanku. Nenek Ceriwis terjerengkang. Beliau tidak menyangka kalau aku akan melakukannya. Nenek Kam tertawa terpingkal-pingkal. Aku tahu, beliau tidak sempat untuk marah padaku. Ibu menatap kami sekilas dengan tatapan heran. Aku berlari mendekati Bapak. Berlindung dipelukannya.
***
Aku berjalan lesu di atas lapangan rumput sekolahku yang berembun. Embun yang menempel di ruput, membuat sepatu dan kaos kakiku basah. Sekolah masih sepi. Hanya beberapa orang saja kulihat bergegas meletakkan tas ke kelas, lalu berhamburan ke luar bermain sejenak jelang lonceng masuk berbunyi.
Udara masih terasa dingin. Embun tipis masih mengendap pelan. Pagi ini aku sengaja berangkat lebih awal. Aku diantar kakak sulungku pakai sepeda. Kebetulan sekolahnya sudah libur. Jadi kesempatan bagiku bermanja-manja padanya. Aku langsung menuju kelasku yang berseberangan dengan kantor. Kulihat guru IPA-ku bapak Sudibyo sudah berdiri di depan kelas mengawasi kawan-kawanku yang datang lebih pagi untuk piket. Mereka menyapu dan memunguti sampah di sekitar kelas.
Aku minta izin untuk meletakan tas sekolahku. Lalu menghamapiri Pak Dib, begitu kami memanggilnya. Kami menyalaminya dan mencium punggung tangannya. “Pagi-pagi mengapa terlihat lesu? Belum sarapan ya?” Pertanyaan pertama dari guruku yang bersahaja ini sembari menaikkan kaca matanya yang melorot di ujung hidungnya. Aku hanya menjawab dengan menggeleng dan sedikit tersenyum.
Bapak Sudibyo adalah guru senior di sekolahku. Perawakannya yang kurus tinggi, rambutnya selalu disisir rapi ke samping, klimis karena selalu memakai minyak rambut cap putri duyung. Aku sangat paham aromanya, karena Bapakku juga memakai minyak rambut yang sama. Di mulutnya bertengger rokok paper yang lancip, lebih banyak matinya daripada menyala. Tiap kali hendak menghisapnya, pak Dib akan memantik penekel (korek yang digerek dengan jempol) tak pernah lepas dalam genggamannya. Penekel ini juga dijadikan alat beliau menjitak kepala siswa yang nakal. “Ayo ikut Pak Dib, yok” Beliau menyambar tanganku lalu membimbingku. Beberapa mata memperhatikan aku dan pak Dib. Jantungku sedikit bergetar. Dalam hati aku bertanya, apakah aku ada kesalahan sehingga beliau memanggilku? Beberapa mata memandang padaku. Tatapan mereka pun sama melas dan penuh tanya. Bisa jadi mereka pun menyimpulkan bahwa aku kena marah dan akan mendapat hukuman.
Sekolahku memang terkenal disiplin. Dan tidak biasanya siswa dan guru akan berjalan bergandengan. Apalagi dibimbing guru paling senior di Xaverius ini. Nyaris semua siswa segan bahkan takut dengan guru. Demikain juga denganku. Selain dada yang berdebur kencang, tanganku tiba-tiba terasa dingin namun dahi berpeluh. Kami berdua melintas di lapangan sekolah yang luas. Sepatu pak Dib sama seperti sepatuku. Basah. Aku tidak paham apa maksud guruku ini membimbingku menuju rumahnya yang terletak persis di sisi timur sekolah. Hanya pagar kawat jaring saja menjadi pembatas sekolah dan rumahnya. Di depan rumahnya, ibu Dib, istrinya berjualan makanan dan segala jenis jajajanan lainnya.
Biasanya akan kami serbu sambil berteriak-teriak minta dilayani lebih dulu dari sisi pagar pembantas tiap kali istirahat sekolah. Dan makanan favoritku adalah kemplang mie. Apalagi jika mienya masih hangat dan disiram sambal encer, tak hanya mengenyangkan tapi nikmatnya itu luar biasa.
Beberapa siswa yang baru datang berlari-lari kecil menyongsong pak Dib untuk menyalaminya. Sejenak beliau memperhatikan pakain tiap siswa, apakah sudah rapi atau belum. Baju harus masuk ke dalam rok atau celana. Harus ada bed sekolah, memakai tali pinggang, rambut pendek atau diikat, wajib pula pakai kaos kaki. Soal sepatu tidak mesti sama warnanya. Kalau sudah terlihat rapi beliau menyuruh siswa untuk meletakkan tas mereka terlebih dahulu ke kelas.
Kami berdua masih melintas lapangan sekolah yang cukup luas kadang sambil melompat-lompat kecil. Pak Dib mengajakku ngobrol.
“Nenekmu masih di sini ya, Nak? Bapak dengar, nenekmu hebat, sakti.” Ujar beliau membuka pembicaraan. Aku hanya menganggung sambil menatap mata cekungnya. Dalam hati aku bangga ternyata guruku satu ini tahu kalau aku punya nenek yang hebat.
“Bapak dengar, nenekmu melawan penjual daging dan menghancurkan meja dagangannya. Mengapa?” Tanya beliau ingin tahu. Dengan semangat kuceritakan jika pagi itu aku ikut beliau ke pasar dan diajak ke pasar daging. Ternyata pedagang daging itu menyimpan daging nenek gunung.
“Tukang daging tidak mau mengaku jika dia menyimpan daging nenek gunung. Makanya nenekku marah. Karena nenek tahu kalau dia memperjualbelikan daging setue” Ujarku mejelaskan. Pak Dib menggaguk-angguk. Lama-lama tanganku yang dingin terasa hangat digenggamannya. Aku pasrah tidak berani menarik tanganku. Dan tidak berani pula balas menggenggam tangannya. Kami melangkah ke luar pintu gerbang lalu berbelok ke kanan menuju rumahnya.
Sampai di rumahnya, beliau memintaku menunggu sebentar. Beliau masuk ke dalam rumah dan menyuruhku menunggu. Melihat kehadiranku, Ibu Dib tersenyum dan menawarkan makanan jualannya sambil tangannya sibuk mengemasi meja dan merapikan dagangannya. Aku mengaguk dan berterimakasih. Aku jawab kalau aku masih kenyang dan sudah sarapan. Dan itu benar, pagi-pagi sekali ibu sudah menggoreng nasi kesukaan kakak sulungku. Jadi kami sarapan nasi goreng. Hanya Nenek Kam saja yang dibuatkan ibu bubur sum-sum karena nenek tidak biasa makan nasi pagi-pagi.
Tidak lama berselang pak Dib ke luar. Di tangan beliau ada empat buku, dan penggaris panjang. “Nak, Bapak minta tolong, kamu letakkan buku dan penggaris ini di meja guru kelas 6A” ujarnya. Aku menerima bukunya dan mengganguk. Selanjutnya aku pamit kembali masuk halaman sekolah. Rasanya bangga sekali bisa membawakan buku guruku. Aku merasa siswa emas yang paling disayang. Beberapa temanku menyapa dan turut minta izin membawakan buku pak Dib. Kami berjalan dan bercerita. Sampai di kelas 6A, kebetulan letaknya bersebelahan dengan kelasku, aku meletakkan buku pak Dib di atas meja guru sesuai pesannya.
Di timur, langit berwarna kemerahan. Pertanda kota kecilku hari ini akan mendapatkan cahaya matahari penuh. Langit nampak cerah sedikit awan. Aku bersama beberapa orang kawanku duduk-duduk di bawah pohon rambutan sekolah, memperhatikan kakak kelasku bermain kelereng. Tanganku terasa gatal ingin ikut bermain kelereng sebenarnya. Tapi aku takut dengan wali kelasku, Bapak Muslimi. Beliau melarang perempuan ikut bermain kelereng. Makanya aku hanya berani main kelereng di luar sekolah.
Sambil menikmati permainan kakak kelasku, aku melihat di atara mereka ada yang bermain curang. Dalam permainan kelereng ini ada sebutan tarohan. Tarohan artinya kesepakatan meletakkan kelereng ke dalam segitiga yang sengaja di lukis di tanah dalam jumlah tertentu. Ada empat orang yang bermain kelereng. Lalu mereka sepakat tarohanya lima biji. Artinya di dalam segitiga itu ada dua puluh kelereng. Tapi aku melihatnya hanya tujuh belas kelereng. Yang lain sepertinya tidak terlalu memperhatikan itu . Yang terlihat adalah segitiga kecil itu sudah penuh dengan kelereng.
Aku iseng mencari tahu siapa yang curang dalam permainan ini. Salah satu yang bermain ada Antonius, yang sering kupanggil Apek karena matanya sangat cipit. Dia kulihat paling lincah dan pemisan (jitu) tiap kali meci (menjentik kelereng dengan jari tengah atau telunjuk). Beberapa kali aku melihat sekali main dia bisa menghabiskan satu segitiga hanya dia sendiri. Yang lain kadang tidak punya kesempatan untuk memperebutkan buah kelereng yang dijadikan tarohan saking lihainya dia bermain. Kantong celananya sudah penuh. Dia menang banyak.
Seperti penonton bola kaki, biasanya yang nonton akan turut berkomentar dan paling ribut mengikuti gerakan kelereng yang dipeci. Halaman sekolah makin ramai. Ada yang berlari-lari, ada yang ngobrol sambil duduk-duduk, ada yang melakukan berbagai bentuk permainan. Baik lelaki maupun perempuan semua sama. Bermain kejar-kejaran, benteng, petak lele sambil berteriak, kadang menjerit-jerit riang. Nyaris setiap sudut sekolah berisi anak-anak yang bermain.
Sebentar lagi lonceng masuk pasti akan berbunyi. Aku mengawasi gerak-gerik Apek. Kakak kelasku satu ini rupanya tidak hanya lihai dalam bermain, tapi juga lihai menipu kawan-kawan. Tiap kali meletakkan tarohan, dia pasti yang terakhir. Jika yang lain meletakkan lima kelereng sesuai tarohan tapi Apek sembari pura-pura menyusun agar kelereng tidak keluar dari segitiga, rupanya tangannya sempat menyembunyikan tiga kelereng di sela jarinya. Jadi jumlah tarohan hanya tujuh belas biji kelereng. Dan ini dilakukannya berulang-ulang tanpa ada menyadarinya.
Aku menatap tajam tangan Apek. Tiga kelereng di sela jarinya masih menempel, hendak dimasukannya dalam kantong celana. Gerakannya sangat cepat. Pantas kawan-kawan yang lain tidak tahu kalau dia licik. Dia pandai mengalihkan perhatian yang lain dengan gerakan dan ocehannya yang ramai. Mirip tukang obat. Aku mengedipkan mata, fokus agar tangannya yang menyimpan kelereng menjadi kaku. Dan benar!
Tangan Apek lurus dan kaku seperti kayu. Dia kaget dan berteriak mencoba menggerakan tangannya. Tapi setiap kali bergerak maka akan terasa makin kaku.
“Tolong-tolong, tangan kananku tidak bisa digerakkan” Ujarnya. Wajahnya nampak pucat. Yang lain mendekat dan berusaha memegang tangan Apek. Semua terlihat cemas bercampur heran. Tiga kelereng yang disembunyikan Apek tiba-tiba jatuh. Dan ketahuanlah kalau Apek bermain curang.
“O, rupanya kamu menyembunyikan tiga kelereng di sela jarimu? Curang!” Kata Herlan mulai marah. Dia langsung menyita lima kelereng taruhanya. Yang lain juga marah. Apek hanya bisa pasrah menerima cercahan kawan-kawannya sembari tetap menahan tangannya yang kaku.
“Syukurin! Kakulah tanganmu kedua-duanya. Rupanya kamu bermain curang! Dasar sekewet! ” Ujar Budiman sembari menjitak kepala Apek. Permainan kelereng bubar seketika. Kami tidak bisa lagi menonton permainan seru kakak kelasku ini.
Melihat kondisi Apek, aku jadi kasihan. Lalu kembali aku membatin, berharap tangan Apek lentur seperti semula. Benar saja, bersamaan lonceng sekolah yang dipukul tujuh kali, Apek merasa lega karena tangannya bisa digerakan kembali.
“Nah, Pek, kamu diisengin oleh hantu pohon rambutan ini. Dia marah melihat kamu curang.” Ujar Hendri meyakinkan. Apek hanya manggut-manggut. Nampak sekali jika dia belum dapat menghilangkan rasa cemas dan herannya. Yang lain bergidik ngeri mendengar hantu pohon rambutan. Ada juga yang menimpali, jika hantu pohon rambutannya berbulu seperti rambutan. Taringnya sampai ke perut dan lain sebagainya.
“Untung kamu cuma iseng membuat tangannya kaku, Dek. Kalau kamu suruh dia pipis dalam celana, alangkah malunya dia. Anak kelas enam, pipis di celana!” Ujar Putri Selasih tertawa. Aku ikut tertawa.
Akhirnya aku menahan tawa khawatir orang melihatku seperti orang gila. Aku segera bergegas masuk kelas sambil senyum-senyum membayangkan jika Apek pipis di celana ketika sedang bermain. Jam pertama di mulai. Pak Muji guru matematikaku berdiri di depan kelas. Usai berdoa dan mengucapkan salam beliau meminta kami mengeluarkan buku matematika, dan meletakannya di atas meja. Materi hari ini tentang penghitungan bilangan pecahan. Aku menggerutu dalam hati. Aku paling malas kalau sudah bertemu dengan hitungan. Apalagi guru matematika satu ini terkenal kiler. Kalau tidak bisa mengerjakan tugas atau salah ketika latihan, alamat rotan yang selalu ditangannya itu akan menyebat betis. Dan rasanya bukan main perihnya. Biasanya sampai besok masih akan terlihat merah. Aku kaget tiba giliranku menyelesaikan soal di papan tulis. Padahal otakku sedang kosong.
Bagaimana aku harus menyelesaikannya? Sementara aku belum sepenuhnya paham dengan bilangan pecahan ini. Aku membantin minta Putri Selasih membantuku. Kupanggil-panggil namun masih juga tidak ada repon. Aku ingin dia membantuku menyelesaikan soal di papan tulis ini.
“Tidak mau Dek, kan yang sekolah kamu. Nanti aku ketahuan nenek Kam, kita bisa kena marah” Ujarnya. Aku menghentakan kaki geram.
“Sekadar membantuku menyelesaikan soal ini saja tidak apa-apa. Nanti biar aku kasih tahu nenek Kam” Ujarku segera. Aku menunggu Putri Selasih berkomentar. Lama menunggu ternyata Putri Selasih memang enggan membantuku. Dia tidak merespon keinginanku. Akhirnya aku pasrah, berusaha fokus menyelesaikan soal yang diberikan Pak Muji. Ekspresinya yang menakutkan, membuat tubuhku sedikit dingin dan gemetaran.
Kulihat temanku lebih kurang sama, belum juga diselesaikannya. Mendengar suara pak Muji “Kok lama sekali? Bisa tidak?” Persis mendengar suara geledek siang bolong. Mengagetkan! Mendengar itu aku semakin tidak bisa berpikir.
Memang guruku yang satu ini ditakuti semua orang. Tidak pernah tersenyum. Wajahnya selalu tegang. Ketemu di jalan aja kalau kelihatan dari jauh kawan-kawanku pasti memilih bersembunyi. Berbeda dengan guruku yang lain, Pak Somad, Pak Heri, Pak Albert, Pak Sudibyo, Pak Djunaidi, semuanya murah senyum. Kecuali guru PKK-ku, Ibu Mari namanya. Suka pilih kasih. Dia cuma sayang, ramah dengan kawan-kawanku yang keturunan Tionghoa saja. Sementara dengan kami anak suku Besemah, Jawa, Padang, Palembang atau campuran jawa Cina, beliau tidak peduli. Padahal beliau sangat jauh dikatakan cantik. Kulitnya hitam, kurus dan keriput, suara melengking, cerewet lagi.
Tidak jelas salah apa, jarinya yang berkuku panjang seringkali mencubit kecil lengan kami sampai biru. Untung beliau guru. Kalau bukan sudah lama kukerjain. Pernah suatu kali ular milik Pak Albert lepas dan masuk kamarnya. Nyaris semua anak berkata sukurin, coba langsung gigit saja kakinya.
Aku kembali kaget mendengar suara pak Muji. Pertanyaannya sudah apa belum, kembali seperti geledek.
“Sudah pak, tapi saya tidak tahu benar atau salah.” Jawabku. Padahal aku asal isi saja tanpa berpikir. Aku malas berdiri lama-lama di depan kelas.
“Angka ini dari mana munculnya? Ini diapakan? Angka ini pecahan berapa” suara menggelegar Pak Muji mungkin terdengar jarak seratus meter sambil menunjuk-nunjuk setiap angka dengan rotan panjangnya. Beberapa detik kita tidak menjawab, rotan langsung mendarat di kaki.
Aku sudah terpejam untuk menahan perih. Dan ‘Plek! Plek! Benar saja, dua sebatan tajam mendarat di betis kiri kananku. Ajaib! Aku tidak merasakan apa-apa. Hanya suaranya saja seperti menggali telinga.
Kawan-kawan yang melihat ikut-ikutan ngeri. Kali ini dua kaki temanku kena sabetan rotan, aku melihat wajahnya merah hendak menangis. Pasti sakit sekali. Lalu kami di suruh duduk. Aku lega bukan main seperti mendapatkan nyawa baru, aku menarik nafas dalam-dalam.
Mata tajam Pak Muji menyapu seluruh kelas. Beliau kembali bertanya siapa yang bisa mengerjakan tugas di depan kelas. Tidak ada satupun kawan-kawanku yang menggangkat tangan. Semuanya merunduk takut. Melihat situasi kelas diam akhirnya satu kelas dipukul dengan rotan. Kecuali aku dan temanku yang sudah dapat jatah duluan. Selebihnya beliau marah-marah sambil menjelaskan. Urat keningnya kelihatan seperti garis fertikal ke kepala. Kami semua diam tak bergerak jangankan bersuara, menggerakan tubuh saja tidak berani hingga dua jam pelajaran.
Teng! Teng! Suara lonceng berbunyi dua kali, pertanda jam pelajaran matematika selesai. Setelah memberikan petunjuk pekerjaan rumah, beliau melangkah ke luar dengan cepat. Belum lagi bayangan beliau hilang dari balik pintu, spontanitas kelas mejadi gaduh.
“Iih, persis di dalam neraka!” Ujar Hendri mengelus dada. Sahabatku yang hobby menyayikan lagu Rhoma Irama ini kerap kali ingin kabur tiap pelajaran matematika.
“Untung aku tidak terkencing di celana” Timpal Budiman. Selebihnya kawan-kawanku saling memperlihatkan bekas sabetan rotan di punggung, Salah satu kawanku anak pindahan, Fanny gadis Tionghoa yang lembut, menundukan kepala di meja. Rupanya dia menangis. Mungkin punggungnya masih terasa nyeri seperti yang lainnya.
Aku mencoba memeriksa betisku. Bersih. Tidak ada tanda bekas sabetan rotan. Biasanya akan membekas panjang dan merah. Beberapa kawanku pun ikut-ikutan memeriksa betisku.
“Kok tidak merah, Dek?” Tanya Arif sambil melihat kedua betisku.
“Iya, ngg tahu. Padahal suaranya kencang sekali” Ujar Acen yang duduk di belakangku. Aku hanya mengangkat bahu. Dalam hati aku berpikir, mungkin kerjaan Putri Selasih melindungi betisku dari sabetan rotan pak Muji.
“Iya, Bapak Muji itu kejam sekali. Masak marah sama bininya, dilampiaskan dengan siswa. Hatinya selalu penuh amarah ” Ujar Putri Selasih. Dalam hati aku berterimakasih pada Putri Selasih.
“Hei! Sampaikan dengan orang tua kalian ya, kalau kalian kena pukul rotan Pak Muji!” Tiba-tiba Pak Muji menongolkan kepalanya dari balik pintu setelah mendengar kami ribut. Kami terdiam serentak. Sebelumnya sudah lega dan merdeka, kembali ciut. Saling pandang satu sama lain. Di sudut ruang aku melihat macan kumbang mengedipkan mata. Lalu melambai pergi.
Bersambung..