Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

AKHIR RIWAYAT PABRIK GULA


Ini akan menjadi cerita terakhir saya tentang kisah pabrik gula, cerita yang tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup karena tidak hanya menyangkut diri saya melainkan semua penduduk desa yang hidup tepat di samping kerajaan demit yang konon masih di percaya bahkan sampai saat ini. 

Selepas sholat isya, saya biasa berkumpul bersama kawan di jalanan pertigaan tepat di samping jalur utara sebelah gerbang besi yang sudah lama bobrok. kami nongkrong dan sekedar bercerita sembari menghabiskan malam. dari tempat kami duduk, kami bisa langsung melihat pohon beringin. 
pohon beringin ini sudah pernah saya ceritakan, berada di belakang bangunan sekolah taman kanak-kanak tempat dimana rumor tentang kuburan jaran (kuda) pernah santer terdengar, salah satu dari sekian banyak cerita paling sakit tentang pabrik ini adalah pohon beringin ini.

Beberapa warga desa mengaku pernah melihat sosok anak kecil mengenakan pakaian putih polos sedang bermain-main di bawah pohon beringin ini. karena pohon ini tepat berada di belakang bangunan TK, tak ada yang curiga, orang berpikir mungkin dia anak kecil yang belum di jemput. 
suara langkah kaki saat menginjak rumput terdengar, seorang paruh baya mendekati anak kecil itu yang sedang bermain sulur-sulur pohon. langit sudah mulai gelap, membuat si lelaki semakin takut kalau terjadi sesuatu yang membahayakan pada anak itu. 
"nduk nduk" teriak si lelaki namun tak di hiraukan oleh anak perempuan itu, dia masih asyik bermain, melihat jalanan sudah kosong, bangunan TK pun sudah tak berpenghuni akhirnya lelaki itu nekat mendekati pohon, ia harus melewati pagar besi berkarat, di panjatlah pagar itu. 

Dengan susah payah lelaki itu melewati pagar besi berkarat, ia menoleh ke arah akar-akar pohon beringin tempat di mana dia melihat anak perempuan itu, namun hal ganjil terjadi, anak perempuan yang ia lihat dari pertigaan jalan menghilang. hanya tanah cokelat dan rumput liar. 
bulukuduk lelaki itu berdiri, ia merasakan perasaan tak enak, benar kata orang bila ada yang harus di hindari, pabrik gula ini adalah salah satunya. ia berniat memanjat untuk pergi tapi tiba-tiba terasa sesuatu menarik baju'nya. "pak de, kate ten pundi?" (pak de mau kemana?) 
"nduk, koen iku lapo nang kene maghrib-maghrib ngene" (nak, kamu ngapain di sini maghrib-maghrib gini) kata si lelaki, ia menunduk menatap si anak perempuan yg melihatnya dengan ekspresi senang.

"melbu liwat ndi awakmu mau?" (masuk lewat mana kamu?)

si anak menunjuk. 
ia menunjuk sebuah lubang besar potongan dari pagar kawat, tanpa pikir panjang si lelaki menyuruh anak itu merangkak kesana sementara dia memanjat kembali bagian pagar besi. anak perempuan itu menurut.

setelah keduanya berhasil melewati pagar, lelaki itu menggendong anak itu. 
berbagai pertanyaan di tanyakan mulai siapa orang tuanya, kenapa dia bisa sampai di tempat itu termasuk menceritakan tentang cerita-cerita seram yang ada di pabrik ini untuk membuat si anak jerah dan tidak melakukan itu lagi, namun anehnya si anak perempuan justru tertawa. 
"aku gak wedi pak de, aku lak kuat seh" (aku gak takut pak de, kan aku kuat) lelaki itu tak mengerti maksud ucapan anak perempuan itu, ia masih menggendong tepat di punggungnya sesekali melihat wajah anak perempuan itu yang benar-benar manis. hingga sampailah lelaki itu di ujung 
terdengar suara benda jatuh, lelaki itu berbalik mencari tahu suara apa itu, "opo iku sing rotoh nduk??" (apa itu yang jatuh nak?) sembari mencari bersama namun tak di temukan apapun. hari sudah mulai gelap, lelaki itu pun melanjutkan perjalanannya keluar dari bangunan tua TK. 

Si lelaki kembali mengajukan pertanyaan pada anak perempuan itu tapi kali ini ia tak menjawabnya. karena merasa aneh, lelaki itu menoleh untuk melihat wajah anak perempuan itu saat dengan mata kepala sendiri lelaki itu menyaksikan anak perempuan yang ia gendong tak memiliki kepala. 
dari jauh sayup-sayup suara anak perempuan itu terdengar, si lelaki melihat kepala anak perempuan itu tepat di sekitar rumput liar tengah tersenyum menatapnya. "pak de, ndas'ku rotoh, tolong sampeyan pundutno" (pak de kepalaku jatuh, tolong ambilkan ya) 
itu adalah sepenggal cerita yang akan membuka kisah sebenarnya.
********
Sudah lebih dari satu tahun sejak demo karyawan yang menolak penutupan pabrik ini namun karena perusahaan benar-benar bangkrut akhirnya pabrik ini tetap di tutup dan dalam jangka waktu satu tahun saja, pabrik ini menunjukkan jati dirinya. warga desa bahkan sampai membuat peraturan tidak tertulis, salah satunya adalah ketika malam sudah datang, hindari jalanan yang melewati pabrik gula, lebih baik memutar daripada di ganggu oleh dia yang paling sering menampakkan diri.

Si janda merah. 
Mungkin namanya terdengar lucu tapi sayangnya tak ada satupun yang mau menceritakan pengalamannya setiap kali dia menampakkan diri. kabarnya, butuh bertahun-tahun untuk menghilangkan trauma saat melihatnya secara langsung dan salah satunya adalah cerita tetangga saya. 
tahun itu adalah tahun saat motor masih langka di miliki oleh orang dan transportasi becak adalah transportasi masal yang paling sering di pakai.

pak Sugeng mengayuh becak'nya berniat untuk pulang setelah seharian penat ia menarik becak di kota. awalnya ia ingin memutar, namun mengingat tenaganya yang tinggal tidak seberapa ia akhirnya memutuskan melewati jalanan di jalur selatan. salah jalur paling sepi yang bahkan sudah tidak di lewati lagi saat hari sudah gelap, namun pak Sugeng yakin tak akan ada yang terjadi kepada dirinya. 
singkatnya saat desa sebelah pabrik gula sudah nampak terlihat seorang tengah berdiri di samping jalan melambai-lambaikan tangannya.

pak Sugeng yang melihatnya awalnya bingung, ia ingin memutar dan berbalik saja tapi sosok itu terlihat seperti manusia normal, kakinya menapak tanah, di dekatilah dia meski kecurigaan masih ada di dalam benak pak Sugeng.

"pak, ngapunten kulo bade mantok tapi pun mboten wonten becak maleh, saget bapak ngeteraken kulo" (pak mohon maaf saya mau pulang tapi sudah gak ada becak lagi, bapak mau antar saya) pak Sugeng menatap kaki perempuan itu di mana ia masih menapak tanah, mungkin bodoh kalau bertanya apakah dia hantu tapi pak Sugeng mengatakannya, mungkin ia ingin lebih memastikannya. "njenengan menungso mbak?" (anda manusia kan?)

perempuan itu tersenyum. Setelah tawar-menawar harga akhirnya pak Sugeng sepakat, ia harus memutar balikkan becak'nya karena lokasi tempat tinggal perempuan itu jauh di belakang.

perempuan itu pun naik, pak Sugeng mulai mengayuh becaknya sembari sesekali ia mengajak bicara. Untunglah selama perjalanan perempuan itu mampu mengimbangi pak Sugeng, ia banyak bercerita mulai dari pernikahannya hingga pengalaman pernah keguguran.

Pak Sugeng hanya mendengarkan meski sesekali ia berkata "sabar adalah kunci utama hidup manusia"

Perempuan itu, tertawa. di tengah jalan tiba-tiba perempuan itu berkata kepada pak Sugeng.

"Pak ngapunten, biasane ten mriki enten rencang kulo, mboten nopo-nopo to tiang'e nunut pak, kulo tambah bayarane sampean" (pak mohon maaf, biasanya di sini ada teman saya, gak papa kan bila dia ikut, uangnya nanti saya tambah ya pak)

pak Sugeng awalnya curiga, mana ada orang yang kerja di sekitaran sini, tapi ucapan perempuan itu terdengar meyakinkan, sudah lama pak Sugeng tinggal di sini jadi ia merasa yakin tahu seluk beluk wilayah ini termasuk pekeraan di sini, namun, jauh di depan benar saja, ada seorang perempuan lagi mengenakan pakaian putih tengah berdiri melambai pada becak pak Sugeng.

Dua perempuan, satu berwarna merah, satu berwarna putih, sudah mirip seperti bendera indonesia.

Pak Sugeng mengangkut keduanya, lewatlah dia di depan beberapa pos tempat orang ronda dan setiap kali pak Sugeng lewat, wajah orang-orang yang ronda tampak aneh. tak hanya satu tapi nyaris setiap orang yang melihatnya tampak menatap dengan wajah kaget namun tak ada satupun yang bicara. 
berusaha untuk tak menghiraukan itu, pak Sugeng sampai di rumah dua perempuan itu.

rumahnya besar, megah, dengan rumah-rumah tetangga, pak Sugeng sampai takjub, siapa sangka sebelum pulang dia mengangkut wanita kaya raya.

"pak monggo mlebet dilek nggih" (pak silahkan, masuk ya) 
"mboten pun mbak, kulo mantok mawon" (tidak mbak, saya langsung pulang saja)

perempuan yang mengenakan pakaian putih masuk lebih dulu, sedangkan yang mengenakan pakaian merah memaksa pak Sugeng untuk masuk dulu, uangnya ada di dalam. ucapnya meyakinkan pak Sugeng. Lelah menolak, pak Sugeng akhirnya mengangguk, ia menurut.

Tepat setelah masuk rumah besar itu betapa kagetnya pak Sugeng rupanya isi rumah jauh lebih mewah dari yang ia bayangkan, perempuan itu menarik tangan pak Sugeng mengajaknya menuju meja makan. "maem sik nggih pak, soale kulo maturnuwun sanget loh di teraken sampek griya" (makan dulu ya pak, soalnya saya terimakasih sekali sudah mau di antar sampai rumah)

Pak Sugeng menggeleng, tapi perempuan itu memaksa sampai mengancam tidak mau membayar kalau pak Sugeng menolak terpaksa pak Sugeng menurutinya. Perempuan itu meninggalkan pak Sugeng menuju kamar, tak lama ia kembali dan memberikan uang yang sudah di janjikan naas entah kenapa kaki pak Sugeng tiba-tiba terasa sakit, akhirnya ia di bawa menuju kamar tempat pak Sugeng nanti menghabiskan malam 
"pon sampean istirahat ae dilek, engken nek wes enak'an mantok. mboten nopo-nopo kok" (sudah, anda istirahat saja dulu, nanti kalau sudah baikan baru pulang. gak papa kok)

Keinginan pak Sugeng untuk menolak tampaknya akan sulit melihat kondisinya. ia akhirnya berbaring tidur. 
Malam itu jauh lebih sunyi. pak Sugeng sudah terlelap dalam tidurnya. ia berbaring sendirian di atas ranjang yang besar itu, tiba-tiba saat ia berbalik tangannya tanpa sengaja menyentuh sesuatu.

pak Sugeng membuka mata saat melihat kain putih ikut berbaring di sampingnya. Bukan hal aneh bila awalnya pak Sugeng melihat itu seperti guling, tapi semakin lama aroma anyir bau busuk mulai tercium di hidung pak Sugeng yang membuatnya akhirnya berdiri dan memeriksa benda apa yang ada di sampingnya. kaget setengah mati adalah hal pertama yang pak Sugeng rasakan saat melihat wajah hitam dengan kapas di hidung tengah berbaring menatapnya.

lompatlah pak Sugeng sebelum ia mulai lari tunggang langgang. Rumah besar megah yang ia lihat tadi berubah menjadi bangunan tua tak terurus, penuh dengan rumput liar yang tumbuh di tembok beserta lumut, pak Sugeng masih berlari saat ia melihat meja tempat ia menyantap hidangan.

Muntah isi perut pak Sugeng menyaksikan apa yang ada di atasnya. 
piring yang di penuhi belatung, dengan ulat-ulat di atasnya beserta tanah hitam berceceran di atasnya dengan daging bangkai ayam.

Pak Sugeng memutuskan lari menuju pintu rumah saat dari belakang seseorang memanggilnya.

"Mas, ojok ninggal adek," (mas jangan ninggalin adek) Pak Sugeng berbalik dan di lihatlah perempuan berambut panjang dengan pakaian warna merah yang begitu mencolok sementara di belakangnya sosok wajah hitam yang di bungkus kain putih mengintipnya dari balik pintu. pak Sugeng lantas pergi karena perempuan itu mendekatinya, terbang.

itu adalah kesialan yang lebih terdengar seperti aib bagi siapapun yang pernah bertemu dengannya, karena itulah sangat jarang ada yang mau bercerita ketika pengalamannya bertemu dengan si janda merah terjadi.

Sekarang jalanan tempat si janda merah berada menjadi jalan utama perumahan di sini, cerita akhir riwayat pabrik gula kita mulai.

****************

Suara gedor pintu terdengar keras. pintu terbuka, pak Lurah melihat di depan rumahnya di penuhi oleh warga, wajah mereka tak ada satupun yang bersahabat

"onok opo iki?" (ada apa ini?)

"temen tah iku pak!! nek pabrik'e kate di bongkar!!" (benar kah itu kalau pabrik mau di bongkar) 
"maksud'e yo opo?" (maksudmu apa?)

"delok'en dewe pak, mosok lurah dewe gorong eroh" (lihat sendiri saja sana, masa pak Lurah sendiri gak tau)

Sore itu, pak Lurah bersama warga bergerak bersama menuju pabrik yang sudah setahun ini di tutup. Di lihatlah gerbang Timur perbatasan dengan desa dimana sudah terparkir alat-alat berat.

Pak Lurah mendatangi pihak yang terlibat dari sana baru di ketahui bila sebagian area pabrik akan menjadi hak milik perumahan salah satu perusahaan swasta tapi keseluruhan bangunan harus roboh. 
mendengar bangunan harus roboh, wajah pak Lurah dan warga tampak getir, ada kengerian yang terpampang di mata mereka semua.

"pak koyok'e kudu di pertimbangno maneh, kapan iku di laksanakno" (pak sepertinya ada yang harus di pertimbangkan, kapan itu akan di laksanakan)

"besok pak" 
Malam itu pak Lurah akhirnya menghubungi pihak yang lebih tinggi, atasan dari kontraktor yang bekerja namun rupanya tak membuahkan hasil, esok bangunan-bangunan tua pabrik akan di robohkan.

Pak Lurah hanya mengatakan satu hal. "nek onok sing mati, ojok nyelok-nyelok, awakmu gak eroh onok opo nang jero kunu nggih" (kalau besok sampai ada yang mati, jangan memanggil-manggil kami, kalian tidak tahu ada apa di dalam sana)

Pak Lurah pergi. Sementara warga membubarkan diri. Tepat di samping lapangan, di bagian barat pabrik di bangun rumah sementara untuk para pekerja kontraktor.

Hal pertama yang di lakukan keesokan harinya adalah menghancurkan bangunan utama di samping cerobong asap. salah satu tempat di mana Aji manunggal berada. Tidak ada satupun warga yang tahu bagaimana cara mereka untuk menghancurkan bangunan utama itu karena gambaran tinggi bangunan itu nyaris setengah cerobong asap.

yang terjadi selanjutnya adalah, orang yang bertanggung jawab terhadap proyek itu menemui pak Lurah, rumor yang terdengar, 4 orang tewas di tempat.

Sampai saat ini, berita ini menjadi semacam rahasia umum. hanya warga yang tahu selebihnya tak ada yang muncul di permukaan. Berikutnya kita akan masuk jauh lebih dalam di mana saat penghuninya mulai menunjukkan eksistensinya yang semakin gila, warga menyebut peristiwa ini dengan sebutan "Demit'e mudal"
--------
Malam jum'at kliwon. Saya ingat peristiwa pertama yang menimpa tetangga rumah saat kali pertama mereka menunjukkan kehadirannya dan sekarang adalah hari yang bertepatan dengan malam jum'at kliwon yang sama. Dulu, rata-rata rumah penduduk di desa ini hanyalah sebatas anyaman bambu dengan jarak antar satu rumah dengan rumah lain cukup jauh ditambah dengan kebun pisang dan kebun singkong yang di tanam di area lahan kosong sehingga ketika malam bisa di bayangkan bagaimana suasana desa. 
sunyi, sepi, dan mencekam.

Malam itu suasana tampak berbeda, hal itu bisa di rasakan oleh semua orang dewasa, sampai-sampai kakek-nenek saya manggil keluarga besar buat tinggal di satu rumah yang sama, untuk apa?

kakek saya cuma bilang. "nggindari bagebluk" (menghindari penyakit) 
di salah satu rumah gubuk di antara kebun pisang dan singkong ada sebuah keluarga kecil, satu lelaki paruh baya, pak Mamat bersama isterinya bu Ndah.

Sejak sore, anak semata wayangnya yang masih berusia 2 tahun menangis terus-menerus, hal itu membuat pak Mamat resah. Bu Ndah terus berusaha menimang meninak bobok'kan anaknya namun tak kunjung berhasil, ia bergantian dengan pak Mamat sampai-sampai pak Mamat akhirnya membuat ayunan dari sewek di ruang tengah, sementara satu dari mereka tidak tahu kenapa mengintip ke sela anyaman bambu 
"dek perasaanku gak enak iki" ucap pak Mamat memandang isterinya yang sama gelisahnya dengan dirinya.

"podo mas, ket sore wes gak enak perasaanku" (sama mas, dari sore tadi perasaanku sudah gak enak)

Suara tangisan masih terdengar meraung-raung semakin malam semakin menjadi-jadi, bu Ndah masih berusaha menenangkan anaknya, ia mengayunkannya perlahan-lahan, sementara pak Mamat masih mengintip kebun pisang yang berada tak jauh dari rumahnya, di tengah keheningan malam tiba-tiba terdengar suara pelan-pelan sekali.

"pung pung pung.." wajah pak Mamat pucat. 
"dek awakmu krungu gak?" (dek kamu dengar gak?) kata pak Mamat memastikan.

"ora mas, onok opo?" (tidak mas, ada apa?)

Dengan nafas berat pak Mamat berlari masuk kamar, ia keluar dengan parang di tangannya. "awakmu nang kene ae, sek yo" (kamu di sini dulu saja ya) 
jaman itu sedang marak-maraknya kejadian tentang "Punggut", buat yang tidak tahu punggut, punggut itu semacam orang yang menuntut ilmu tapi dengan cara yang salah, cara yang salah itu adalah setiap anggota tubuhnya di pasangi susuk berbeda.

Yang paling buruk dari punggut adalah merampok. Ilmu yang mereka pakai dalam susuknya adalah, di kedua tangannya di isi banteng, di kaki nya di isi oleh kuda, sedang badannya di isi oleh belut, kepalanya di isi dengan kura-kura, dan semua itu adalah semacam ajian turun temurun.

penjelasannya panjang.  Setiap susuk memiliki alasan sendiri, sebagai contoh kenapa di badannya di isi belut hal itu ketika ia tertangkap warga ia masih bisa lolos karena belut sangat gesit, dan kenapa di kaki di isi kuda hal itu memungkinkan bagi punggut untuk lari sekencang mungkin. 
suara pung-pung konon berasal dari makhluk tak kasat mata yang terganggu dengan kehadiran punggut karena sewajarnya mereka membuat tidak nyaman penghuni dunia lain.

Pak Mamat menelusuri kebun pisang namun sayang ia tak menemukan apapun saat terdengar suara langkah kaki mendekat parang sudah di angkat oleh pak Mamat sebelum ia menebas namun ia urungkan saat tahu yang mendekat adalah isterinya sendiri, bu Ndah.

"loh koen kok isok nang kene?" (kok kamu bisa ada di sini?) tanya pak Mamat bingung.

"bukan e sampean mau sing nyelok aku mas" (bukannya kamu yang tadi manggil-manggil aku)

Hening, Pak Mamat dan bu Ndah saling memandang saat sadar ia meninggalkan anak semata wayangnya di rumah sendirian. Detik itu juga mereka berlari menuju rumah. "sing nyelok awakmu iku sopo dek" (siapa juga yang manggil kamu dek)

"tapi aku krungu suaramu nyelok jalok tolong mas" (tapi aku tadi mendengar suaramu manggil minta tolong mas) sahut bu Ndah, di tengah kepanikan itu tiba lah mereka di depan rumah. dleg. rumah pak Mamat terlihat gelap gulita tanpa ada satupun cahaya yang menyinarinya.

Pak Mamat dan bu Ndah membuka pintu, seketika di lihatnya sesuatu sedang mengayun-ayunkan timangan anak mereka sambil bernyanyi lirih. "nung.. tileeem'o" (tidur ya nung..) 
yang membuat pak Mamat dan bu Ndah mematung adalah anak mereka yang tadi menangis meraung-raung, diam, seperti menikmati ayunan dari siapapun yang entah tengah membungkuk membelakangi mereka.

Bu Ndah sontak memegang tangan pak Mamat, ketakutan.
"sopo iku mas" (siapa itu mas) dari belakang sosok itu mengenakan kebaya lengkap dengan jarik sewek, rambutnya keriting panjang nyaris menyentuh lantai tanah.

ia masih menimang sembari bersenandung lirih sebelum tiba-tiba ia berhenti menyadari kehadiran orang tua mereka yang hanya bisa mematung memandanginya. 
perlahan sosok itu menoleh menatap pak Mamat ekspresi wajahnya tersenyum.

Bu Ndah hanya bisa menutup mulut, sementara pak Mamat gemetar hebat melihat di hapadannya ada sesosok wanita tua berkulit keriput dengan lidah yang sangat panjang terjulur di lantai tengah melihat mereka 
"anak'e njenengan lucu" (anak anda lucu) katanya, suaranya sangat halus terdengar seperti berbisik, satu tangannya membelai kepala anak pak Mamat, setelah berkelut dengan ketakutan pak Mamat memberanikan bertanya.

"enten urusan nopo njenengan ten mriki?" (ada urusan apa di sini) 
"omahku di rusak le, ratu moreng-moreng aku di kongkon jarak deso'mu, tapi mari ndelok anak'mu aku gak tego.. pindah'o le mari iki akeh sing mati ojok sampe anak'mu iki dadi salah sawijine" (rumahku di rusak nak, Ratu marah-marah, aku di suruh mengobrak-abrik tempat tinggal kalian
tapi, setelah lihat anakmu, aku gak tega. pindah saja setelah ini banyak yang akan mati jangan sampai anakmu menjadi salah satunya)

Sosok itu kemudian mengangkat anak pak Mamat sebelum membawanya menuju pawon (dapur), bu Ndah seketika menjerit, memukul punggung pak Mamat. Rupanya diamnya pak Mamat memiliki maksud lain karena setelahnya terdengar suara anaknya menangis dari arah dapur, pak Mamat menuju kesana lalu kembali ke tempat bu Ndah yang menangis.

"ra di jopok, mek di gowo nang pawon. iku ngunu pamit mbah'e" (gak di ambil, cuma di bawa aja. Itu mbah mau pamit)

Malam itu adalah malam terakhir saya melihat pak Mamat, karena keesokan harinya, beliau satu keluarga pindah rumah, namun pak Mamat sudah menyampaikan itu kepada mbah No. juru kunci yang memegang pabrik gula.

Disini, mbah No mulai turun tangan. 
mbah No, nama itu pasti tidak asing bagi yang mengikuti pabrik gula ini.

Beliau selama ini rupannya hanya diam, namun diamnya beliau bukan bermaksud membiarkan semuanya terjadi, karena sebenarnya mbah No tahu bahwa akibat dari perobohan pabrik gula ini akan berimbas pada desanya. Setelah kematian 4 orang, pengelola sudah meminta tolong pada mbah No untuk di bantu menyingkirkan atau setidaknya melancarkan urusan perobohan pabrik gula ini namun mbah No sendiri yang mengatakannya di depan mereka bahwa dirinya tidak akan sanggup.

Pihak pengelola sepertinya memiliki cara lain, salah satunya mendatangkan 5 orang yang kabarnya siap mati. di sini saya baru tahu kalau rupanya bagi mereka yabg hidup dan tahu hal-hal gaib seperti ini, uang adalah hal kesekian kalinya di bandingkan harga diri.

Maksud saya adalah, mereka sukarela menggadai nyawa bukan untuk uang, melainkan harga diri bahwa mereka sanggup dan bisa menangani semua penghuni di dalam pabrik gula ini, salah satu yang akan menjadi akhir cerita mereka masing-masing. Malam itu saya inget, di depan gapura desa ada meja panjang di atasnya berbagai hidangan yang luar biasa tersaji di atasnya, rupanya pihak pengelola ingin menjamu kami warga desa sebagai kompensasi atas pekerjaan mereka yang kebetulan tepat di samping desa kami, anehnya.. tak ada satupun warga yang mau menyentuh makanan itu, semua warga hanya berdiri melihat kepulan asap makanan yang tersaji di depan mereka, bahkan tak ada satupun orang tua yang melepaskan tangan anak-anaknya agar tidak mendekati makanan di atas meja itu. 
alasannya, makanan itu adalah syarat tumbal. Sejujurnya waktu itu saya dan anak-anak lain sempat tergoda karena kami memang sebagian besar bukan orang yang punya, makan daging hanya saat qurban saja., melihat hal itu satu dari teman saya di panggil mbah No, ia menutupi mata teman saya sebelum di suruh melihat meja itu.. 
saat itu juga, teman saya jatuh pingsan.

Hanya Endah yang berani melihat meja itu meski beberapa kali ia memuntahkan isi perutnya. Endah hanya memberitahu di samping meja-meja itu ada wanita yang wajahnya hancur beserta puluhan pocong tengah menjilati makanan itu. 
meski pengelola sudah membujuk bahwa semua makanan ini gratis namun hingga larut tak ada satupun yang menyentuhnya.

Mbah No mendekati pengelola, ia merangkulnya, membisiki bahwa 5 orang yang mereka bawa tidak akan bisa menyentuh batas cerobong bahkan mbah No bertaruh dengan kepalanya, bukan tersinggung dengan mbah No, 5 orang itu malah tertantang sampai satu dari mereka langsung datang ke cerobong asap malam itu juga meski 4 yang lain menolak dan menasehati agar sabar dalam membabat alas ini, tapi sayangnya satu orang itu paling kebal di antara yang lain. Awalnya ia berniat pergi sendiri namun 2 orang kuli di suruh menemani.

Di batasan pabrik gula bagian timur untuk sampai ke cerobong asap harus melewati kolam limbah tempat di mana banyak sekali terdengar suara anak-anak, hal itu di ceritakan oleh seorang yang kebetulan mendampingi 
Dimas, panggil saja begitu. selama ia berjalan di tepian kolam limbah ia yakin bahwa benar, banyak sekali suara anak-anak seperti tengah bermain-main. Sedikit kembali ke belakang sebelum menjadi kolam limbah tempat ini adalah pemandian saat pabrik gula dalam masa keemasannya. Dan selama menjadi kolam pemandian, tidak terhitung berapa banyak yang meninggal karena tenggelam atau karena tragedi lain yang kebanyakan memakan korban anak-anak kecil.

Kolam pemandian akhirnya di tutup dan di alih fungsikan menjadi kolam limbah yang juga sempat memakan korban anak-anak. Tragedi ini pernah saya ceritakan di penghuni pabrik bagian timur.

Berbeda dengan Dimas, Raden yang juga bertugas menemani tak hanya mendengar suara anak kecil melainkan sosok lelaki tua berbusana putih yang mengawasinya dari pohon Sono yang besar. Lelaki tua itu menggeleng pada Raden firasat buruk itu yang Raden rasakan selama berjalan di belakang, terlebih saat melewati bangunan gudang yang sudah lama tidak di pakai, Raden mendengar suara teriakan orang meraung meminta tolong tempat di mana tragedi kebakaran hebat pernah terjadi yang memakan nyawa karyawan kontrak, menapaki rumput liar dengan besi-besi berkarat peninggalan pabrik yang masih terpasang Dimas dan Raden harus membungkuk mengikuti langkah lelaki yang ada di depannya yang meski berjalan namun sulit untuk mereka kejar saat sosok berkulit hitam pekat tengah duduk di dekat tangki. 
bentukannya seperti jinggo, besar, tinggi bahkan kepalan tangannya sama seperti dua tangan manusia normal di satukan.

Orang yang mereka ikuti membungkuk pada sosok hitam, terjadi pembicaraan lama sebelum lelaki itu mendekati Raden dan Dimas mengatakan bahwa mereka harus berhenti. 
"ojok melok. Sampe nang kene ae" (jangan ikut lagi, sampe sini saja) katanya pada Dimas dan Raden yang mengangguk menurut.

Tak lama lelaki itu lenyap menuju cerobong yang jaraknya sudah tidak jauh lagi dari tempat mereka duduk menunggu. Hampir 2 jam lebih tak ada kabar tentang orang yang harus mereka dampingi, Dimas mulai gelisah sementara Raden seperti melamun menatap sesuatu.

"ndelok opo ndul?" (lihat apa ndul?) tanya Dimas namun Raden hanya diam saja tak berani menjawab, bingung, Dimas semakin khawatir 
"di perikso ae, atiku gak enak" (di periksa saja yuk, hatiku gak tenang) tawar Dimas namun pikiran Raden seperti tidak ada di tempatnya, ia hanya mengangguk saja mendengar Dimas yang membuatnya curiga.

"koen iku kenek opo?" (kamu itu kenapa?)
tiba-tiba tanpa di duga-duga, Raden mencekik Dimas kuat-kuat, ia mendengus seperti kerbau, sambil tangannya menghantam wajah Dimas berkali-kali.

Dimas melawan namun tenaga Raden jauh lebih kuat, sekuat apapun Dimas melepas cengkramannya Raden bertambah semakin kuat lagi..
"KOEN IKU LAPO BLOK" (kamu itu ngapain blok) teriak Dimas terus-terusan, pergumulan itu sangat lama sampai nyaris Dimas akhirnya menyerah, wajah Raden merah padam saat tiba-tiba entah darimana munculnya seorang lelaki tua yang menunduk dan mendorong Raden sampai jatuh. 
"koncomu gak popo" (temanmu gak papa) kata lelaki tua itu, "gowo muleh ae, sing mok enteni gak bakal mbalek" (bawa pulang saja, yang kamu tunggu tidak akan kembali lagi)

Dimas tak mengerti, ia ingin bertanya siapa lelaki tua itu namun sepertinya ia sadar lelaki itu bukan dari bangsanya. sehingga Dimas langsung menurut dan membawa kembali Raden yang jatuh pingsan, sesampainya di tempat Mes, Dimas menceritakan semuanya.

4 orang lain hanya menggeleng, seakan takjub, namun dari wajah-wajah yang Dimas lihat, mereka mulai menunjukkan ekspresi ketakutan. 
"piye, ra mbalik iku, pancen goblok, ijen ra eroh dalan muleh" (gimana ini, tidak kembali pasti, memang bodoh dia, sendirian, gak tau jalan pulang)

Yang lain hanya menanggapi diam, sampai satu orang melangkah maju, "mene golekno jaran loro ambek kebo ireng loro yo" 
(besok carikan saya kuda dua sama kerbau hitam dua)

"njenengan kate mbabat gawe tumbal kewan, opo gelem?" (anda mau menumbalkan nyawa binatang, apa dia mau?) tanya yang lain.

"gak. syarat, gade'no nyowone wong deso" (gak, hanya syarat menumbalkan pakai nyawa orang desa saja) 
semua orang yang ada di sana, diam. 
bangunan belanda adalah salah satu peninggalan paling menggiurkan terlepas dari bangunan utama semua bangunan tersebut bernilai uang yang tidak sedikit.

Hal itu menjadi pertimbangan bagi pengembang sampai rentetan kejadian aneh mulai terjadi dan pengembang memutuskan mulai besok, warga sekitar di perbolehkan ikut andil menghancurkan bangunan-bangunan tua tersebut dengan imbalan batu bata dari bangunan itu boleh di miliki untuk selanjutnya di jual.

Aneh. itu yang pertama saya pikirkan tentang berita ini saat tersebar di setiap rumah warga desa. Warga yang sebelumnya skeptis dengan pengembang setelah mendapat berita ini berbondong-bondong menyerbu masuk ke dalam situs bangunan-bangunan tua seperti rumah dan gedung sekolah TK, tujuan mereka sama, menghancurkan untuk di ambil batu batanya lalu di jual dengan harga tinggi. Sedikit informasi, batu bata bangunan situs belanda itu besarnya dua kali lebih besar dari batu bata biasa sehingga harganya cukup mahal. hal ini membuat warga melupakan larangan juru kunci untuk tidak masuk ke dalam pabrik tua, semua sudah tidak perduli lagi dengan bahayanya. Saya sendiri gak pernah menyalahkan warga karena saya dan keluarga juga salah satu yang ikut menghancurkan bangunan-bangunan itu karena kami semua sama. hidup dalam lingkup ekonomi kekurangan. lalu, dimana hubungannya dengan 4 orang pintar yang sebelumnya saya ceritakan? 
banyak rumor menjelaskan alasan sebenarnya pengembang melakukan hal tersebut adalah saran dari mereka juga karena beberapa makhluk yang dominan di pabrik gula ini pemilih dan tumbal mereka bukan sembarang nyawa.

Jadi tujuan sebenarnya adalah tumbal pilihan. Gagal meyakinkan warga, mbah No sebagai juru kunci akhirnya tidak lagi melarang melainkan memberi wejengan bila langit sudah mulai gelap aktifitas di pabrik harus di tinggalkan dan semua harus kembali ke rumah masing-masing.

Satu minggu berjalan normal, semua warga menurut, tapi minggu berikutnya, akibat perebutan batu bata yang kian tidak kondusif ada sebuah keluarga yang nekat tetap menambang batu bata bahkan ia tak mendengarkan saat adzhan berkumandang, lokasi ia menambang tepat di bangunan TK di samping pohon beringin besar. 
sebut saja beliau bu Sinih.

Bu Sinih ini janda beranak lima, empat laki-laki dan satu perempuan.

Langit sudah gelap, seorang warga yang berniat pulang melihat bu Sinih dan keluarganya lantas ia mendekati, "buk pun Sorop, mboten mantok?" (buk sudah mau malam, gak pulang?) 
"mari ngene nggih mas, tanggung" (habis ini ya mas, tanggung) jawab bu Sinih, orang yang memperingatkan melihat anak-anak bu Sinih semua memukul-mukul batu bata berusaha memisahkannya dengan semen yg sudah mengeras beratus-ratus tahun tapi ada satu anak perempuan bu Sinih yang aneh. 
anak perempuan ini berdiri di salah satu tembok yang setengahnya sudah roboh, tingginya 2 kali tinggi orang dewasa, cukup tinggi untuk seorang anak berusia 13 tahun ia berdiri menatap pohon beringin.

Orang itu lantas kaget, "buk anak njenengan lapo iku??" (buk anakmu ngapain?) bu Sinih tidak kalah terkejut. ia lantas berteriak sembari berlari-lari kecil mencoba membantu anaknya turun namun si anak seperti melamun, terjadi kehebohan yang membuat orang-orang berlari mendekat, mereka berteriak meminta anak itu turun namun yang terjadi selanjutnya adalah anak itu menjatuhkan diri dengan kepala menghantam tanah lebih dulu, lehernya seketika patah.

Dia terjatuh dengan suara berdebam yang keras, seketika hening, anak perempuan itu tak bergerak lagi. 
kalau kalian pernah melihat sesuatu mencuat dari leher seperti itu, hal ini sama dengan pemandangan yang di saksikan oleh warga. Tidak ada darah hanya benjolan yang mencuat, bu Sinih langsung pingsan. warga tidak ada yang berani mendekat, tak beberapa lama mbah No datang, ia marah. 
mbah No hanya memijat leher anak itu dan melarang wargamendekat kecuali yang sudah di tugaskan untuk mencari ranting daun kelor.

Setelah dapat, 2 warga di minta mendekat untuk menahan leher dan kepala anak itu sebelum di pukul dengan keras.

Seketika ia langsung membuka mata 
namun tampak ada yang salah, anak itu hanya diam menatap lurus ke mbah No sambil mengedehkan leher.

Dia tertawa, suaranya seperti suara nenek-nenek, melengking, dia bicara menggunakan kromo alus.

"kulo nyuwun cah iki dek" (saya mau bocah yang satu ini ya dek)

Semua warga kaget, mbah No yang biasanya gampang terprovokasi namun kali ini beliau juga tampak menaruh hormat.

"ngapunten, niki wonten ibuk'e. sak'ake kulo nyuwun ojok di jupuk, nek purun nyowo kulo" (maaf, ini ada ibunya. kasihan saya mohon jangan di ambil kalau mau nyawa saya saja) 
anak itu terus tertawa dengan bukan suaranya, tak beberapa lama ia memanggil mbah No, memintanya mendekat, membisikinya sesuatu.

Wajah mbah No merah padam, setelahnya anak itu di gendong salah satu warga menuju desa.

Endah yang berdiri di samping saya mengatakan dia melihat 
siapa yang tengah di gendong itu adalah wujud wanita tua dengan rambut putih panjang tak berbusana, di lehernya ada satu kepala kecil seperti kepala bayi, dan dia adalah salah satu yang paling berkuasa yang tinggal tak jauh dari gedung utama.

Saya merinding waktu mendengarnya. 
selepas itu tak ada yang tahu dengan anak itu karena mbah No mengunci kamar di mana hanya ada beliau dan bu Sinih namun yang jelas mbah No sedang membuat kesepakatan entah apa.

Tapi setelah itu, desa saya mengalami fenomena lain yang di sebut Sanca poteh. Sanca poteh itu hanya nama sebutan saja, konon makhluk ini jarang keluar, ia tinggal di sebelah utara tidak jauh dari pohon beringin, pemilik lahan dengan rumput yabg panjang, mereka yang sudah membaca cerita ini sebelumnya pasti tahu dia siapa.

Makhluk ini salah satu yang terbuas. 
setiap malam bila terdengar suara gemeresak seperti glangsing yang di tarik itu adalah dia Sanca poteh tengah berkeliling dari satu rumah ke rumah lain, saat terjadi fenomena ini para bapak terutama kaum lelaki sudah berjaga di pintu kamar dengan garam yang sudah di suwuk. 
"Saaak...Saakkk...Sakkkk" suara seperti itu benar-benar membuat siapapun merinding, namun yang paling di takuti bukan suara itu melainkan suara setelahnya, yaitu suara mendesis.

Kenapa suara mendesis begitu menakutkan, karena itu artinya dia sudah memilih satu nyawa dari satu rumah, fenomena puncak kejadian ini memang bertepatan dengan upacara mantos batur, karena imbasnya ke warga desa, mereka yang mengaku melihat Sanca poteh adalah perwujudan dari wanita setengah ular dan dia biasa menari-nari di depan sebuah rumah.

Keesokan harinya satu orang pasti mati, banyak yang menjadi korban, kebanyakan orang-orang tua, akhirnya rumor tersebar, ada yang bilang itu takhayul atau orang yang meninggal karena memang sudah waktunya namun kejadian ini terjadi berulang-ulang, bahkan dalam satu minggu ada 3 sampai 4 orang meninggal. Aneh, bila warga desa saya menjadi sumber Sanca poteh maka desa seberang tepatnya barat pabrik menjadi sumber dari satos pocong (seratus pocong) dan sialnya hal ini menelan korban juga. Kita bedah satu persatu bencana ghaib ini.

Setiap kali malam ada saja orang yang melihat dari dalam rumah bila di luar ada suara orang tengah berjalan namun bila di periksa tak ada apa-apa, terkadang ada yang melihat wujud manusia normal tapi anaknya berkata itu pocong. Sebut saja Abidin, salah satu dari warga yang pernah bertemu dengan salah satunya.

Waktu itu malam, ia baru pulang dari rumah teman, ia menaiki sepeda kumbang sendirian, saat memasuki gapura desa Bidin merasa aneh karena tiba-tiba mencium aroma bangkai tikus. Bidin pun berhenti. Ia mencari sumber bebauan itu tapi dia tak menemukannya, lantas ia melanjutkan perjalanan, aneh, saat ia mengayuh sepedanya Bidin merasa berat, Bidin tahu apa yang terjadi maka ia sudah berniat mau lari, pergi meninggalkan sepedanya namun belum juga ia melompat dari sepeda di depan berbaris nyaris 6 makhluk putih berwujud kain putih dengan wajah menghitam yang hancur berkeping-keping, Bidin pun menghentikan sepedanya, ia mematung, ia sadar di belakangnya pun sudah ada satu yang tengah duduk sambil berbicara pada Bidin.

"mas, bukakno tali pocong kulo nggih" 
Bidin akhirnya turun dari sepeda di lihatnya pocong itu, Bidin ingin lari tapi kaki'nya seperti tak dapat bergerak tak hanya yang di belakangnya, semua berbicara sesuatu hal yang sama.

Mereka meminta tali pocong di atas kepalanya agar di buka. Bidin terlihat ragu, di lain hal ia ketakutan namun suara-suara memohon itu terdengar begitu membuat Bidin merasa kasihan, lantas tangan Bidin mulai bergerak dimana si pocong mendekatkan kepala tepat di wajah Bidin, bau bangkai tercium semakin menyengat sementara Bidin berusaha menyentuh kain. 
di situ Bidin tiba-tiba urung, ia dengan berani berkata bahwa ia tidak sanggup dan memberanikan diri pergi dari tempat itu, konon setelah sampai di kamar, Bidin masih melihat pocong itu memanggil-manggil dari jendela kamar, memohon agar tetap di bukakan tali pocong yang mengikatnya 
Bidin tetap menolak.

Keesokan paginya saat bergegas ke sekolah, di samping rumah miliknya banyak orang berkumpul, Bidin mendekat bertanya perihal apa yang terjadi, di situ Bidin baru mengetahui, tetangganya wajahnya hancur tak berwujud karena di sembur oleh pocong yang mau ia tolong 
Bidin terdiam kaku. bersyukur atas keputusan yang ia ambil.

Ketika seseorang bertemu dengan makhluk ini ia meminta di bukakan tali di atas kepalanya secara tidak langsung wajahnya akan berhadap-hadapan dengan si penolong saat itu pocong ini menyemburkan sesuatu ke wajah korbannya. Semua rentetan kejadian bencana ghaib ini rupanya bermula dari upacara Mantos Batur, yaitu menyembelih kuda dan kerbau bersamaan di 4 penjuru yang di lakukan namun sialnya sekelas upacara ini pun tak di terima oleh mereka yang sudah menetap ratusan tahun di tanah pabrik ini. Kuda dan Kerbau yang di sembelih tak ada satupun yang mengeluarkan darah pun dengan leher sudah di koyak-koyak parang, binatang itu berlarian masih hidup sampai hari ke empat di mana bangkainya di pendam di dalam tanah sebagai jaminan awal yang bertujuan mengusir secara halus. 
pengusiran yang di lakukan adalah menjanjikan tempat baru yaitu tempat yang sudah cukup di kenal yaitu Alas Purwo namun rupanya itu adalah penghinaan bagi mereka yang akhirnya tak terima, serangkaian kejadian mistis terjadi di mana hidung mereka terus mengeluarkan darah, perlahan-lahan mereka mendapati sakit yang aneh mulai dari rasa gatal yang tidak bisa habis hingga kepala mereka menggeleng terus menerus, tapi mereka tak menyerah, janji harus di tepati hal itu mutlak meski nyawa taruhannya.

Janji kepada si pengelola bila mereka akan menuntaskannya 
hal ini juga yang membuat mbah No marah karena resiko yang di ambil oleh orang-orang itu terlalu jauh, bahkan mbah No hanya sebatas menggarisi desa nya agar tidak terlibat lagi karena rasa gatal yang mereka dapat itu adalah rasa gatal dari penghuni cerobong. 

Kulit yang mereka garuk menjadi aneh karena tiba-tiba terasa mengeras seperti sisik ular dan itu terus terjadi setiap malam sampai salah satu dari mereka akhirnya jatuh setelah memuntahkan isi perutnya terus menerus, di pantatnya ia mengeluarkan nanah. 

Entah malam ke berapa hal ini terjadi terus menerus dan sudah berapa banyak korban yang jatuh karena sebelum cerita ini berakhir, pengelola menyembunyikan korban yang sebenarnya, yang saya ingat malam terakhir adalah pabrik tua ini kedatangan tamu dari kota G**s*K 
orang ini kabarnya datang sendiri, hal pertama yang ia lakukan adalah menyambangi warung lele, sambil memandangi pabrik tua itu terus menerus,

Ada hal yang menarik karena sudah berminggu-minggu ibu penjual warung tak pernah di kunjungi pembeli, orang itu hanya tersenyum, memandang kepala buntung yang ada di rak atas warung tersebut,

"nggih buk, mari iki warung'e rame maneh" (iya buk, warung ini nanti akan ramai lagi)

Sementara dia duduk, tiba-tiba mbah No muncul menemani orang asing itu yang mengangguk memberi salam. 
"panggon Wingit ngene nek di kasari tambah ngajorno nyowo e wong gak salah, mestine isok di akali, oleh aku melu mudun" (panggon angker begini gak seharusnya di paksa bisa mengancam nyawa yang gak bersalah, harusnya bisa di perhitungkan, boleh saya ikut turun tangan) untuk pertama kalinya mbah No menerima orang dari luar untuk masuk ke dalam pabrik, hal itu juga yang membuat mbah No berkata bahwa sebagian pabrik bisa di tinggali namun sebagian lagi harus tetap seperti itu.

Mbah No menunjuk tempat di mana Ratu berada dan lelaki itu mendekatinya, ini akan menjadi cerita terakhir saya tentang pabrik gula ini sekaligus penutup seri ini selamanya.

Jadi malam ini, saya akan membawa kalian kembali ke masa saat pabrik ini benar-benar terlihat hitam sampai orang asing pun berdatangan tentu dengan tujuan tertentu. Pasti banyak yang bertanya kenapa mbah No menerima lelaki misterius ini, sangat kontras dengan orang-orang yang di datangkan oleh pihak kontraktor padahal mereka sama-sama memiliki tujuan yang sama yaitu menyelesaikan konflik yang sudah lama mendekam di atas tanah wingit ini. Di sinilah saya baru tahu bila lelaki ini bukan lelaki biasa, seperti yang pernah saya jelaskan, lelaki ini memiliki postur yang tinggi, tegap dengan jambang dan rambut gimbal panjang, wajahnya tegas tak ada senyuman sedikitpun bahkan ketika ia tahu sesaat setelah melewati gerbang, seratus macan putih yang menjaga area gerbang utara dekat dengan pohon Randu mengeram marah ketika kaki lelaki ini menginjak tanah milik mereka.

Tak ada satupun makhluk yang ada di sini menerima kehadiran lelaki misterius ini. Malam itu, hanya berdua mbah No dan lelaki ini berjalan beriringan dengan di belakang masih di buntuti ratusan macan putih meski marah tak ada yang berani menyentuh lelaki ini, di sini mbah No bertanya "ket kapan wes dadi Jugrak?" (sudah berapa lama jadi Jugrak?) lelaki itu tersenyum pada mbah No, ia menjawab dengan suara lirih seperti orang kesakitan, "sudah hampir 4 tahun, saya sudah cari kemana-mana biar semua ini berakhir tapi tidak ada yang bisa mematikan saya, semoga di sini saya bisa mati dengan tenang, kasihan keluarga saya mbah" 
"aku tau krungu sak jahate menungso iku sing ndadino menungso lain Jugrak, 4 tahun iku gak diluk, mbah oleh ndelok?" (aku pernah dengar sejahat-jahatnya manusia itu yang menjadikan manusia lain Jugrak, 4 tahun bukan waktu sebentar, mbah boleh lihat?"

Lelaki itu membuka pakaian. 
lelaki itu menanggalkan pakaiannya membiarkan mbah No melihatnya sebelum ia menutup mata dan menggelengkan kepalanya

Lelaki itu menutup kembali tubuhnya sebelum kembali berjalan, ia memberitahu pada mbah No bahwa yang ada di tubuhnya tidak seberapa dengan yang ada di kedua kakinya 
mbah No tak berkomentar, ia tidak bisa membayangkan sekuat apa lelaki ini.

"sopo sing ndadekno kowe ngene" (siapa yang menjadikanmu seperti ini)

"yang jelas ada yang gak suka sama keluarga saya, sebenarnya adik saya yang mau di jadikan Jugrak tapi biar saya saja yang menebusnya" 
tanpa terasa, perjalanan mereka hampir melewati gudang lama, di sini lelaki itu berhenti memandang jauh pintu seng yang di pasang serampangan, lelaki itu masih diam ia mendengar jeritan orang-orang tanpa kulit, "tumbal nyowo" kata si lelaki yang di jawab anggukan sama mbah No. 
"iyo. di bakar urip-urip mek gawe keserakahane sing nduwe pabrik" (iya, di bakar hidup-hidup hanya karena keserakahan pemilik pabrik ini)

Malam itu lebih dingin dari biasanya dan tak jauh dari tempat mereka berdiri seorang perempuan yang seperti sudah menunggu mereka berdua. Wajah perempuan itu cantik sekali itu yang mbah No ceritakan sebelum beliau meninggal.

Si lelaki itu pun juga tahu bahwa perempuan ini bukan manusia dari aci-aci nya, ia menunduk tanpa bicara si lelaki menyadari di depannya adalah salah satu yang paling berkuasa di tempat ini. 
"ulo opo bajul?" (ular apa buaya?) tanya si lelaki yang cukup di tanggapi mbah No dalam diam, ia merasa tak enak namun untungnya si perempuan menoleh ia tersenyum pada lelaki itu sebelum menjawab pertanyaan, "bajol poteh mas" (buaya putih mas) di sini saya di beritahu bahwa dulu perempuan ini sering mampir ke desa saya biasanya laki-laki yang ia cari, cara untuk tahu bahwa dia manusia atau bukan adalah dengan cara melihat aci-aci di bawa hidung, di atas mulut, bila tidak ada lekukkan bisa di pastikan dia siluman
ada cerita tersendiri dari siluman ini, yang jelas setelah kematian pemuda desa, warga meminta juru kunci sebelum mbah No untuk menghentikan terorr perempuan ini dan cara yang di gunakan kabarnya juru kunci menceburkan anak genderuwo ke sungai dekat pabrik semenjak saat itu tak ada lagi kabar perempuan ini yang meminta pemuda lagi, namun sekarang mbah No juga baru tahu bila ia rupanya mengabdi di dalam kerajaan demit ini.

Mbah No bahkan sampai bilang, sebagai manusia ia memiliki batasan salah satunya rupanya banyak yang jauh lebih berbahaya bila di bandingkan oleh Wungkul atau gerandong yang pernah terang-terangan menyerang, mbah No melihat pertama kalinya peliharaan Naga yang berjaga di cerobong asap, pabrik yang besarnya hampir 2 kali cerobong asap itu sendiri, anehnya baru kali ini ia di ijinkan melihat, mbah No sempat berpikir, mungkin selain mengantar Jagrak ia juga tidak akan kembali alias mereka menginginkan dirinya juga, maka bila itu terjadi juru kunci lain harus siap menggantikannya setidaknya itu yang mbah No rasakan saat sayup-sayup tabuhan ludruk terdengar dari kejauhan, rupanya ini adalah pesta yang sering saya dengar dari karyawan-karyawan pabrik dulu, musiknya memabukkan dan konon berbeda-beda, ada yang melihat ludruk ada yang melihat pewayangan atau tari-tarian jawa lama, namun yang di lihat malam ini adalah pesta untuk menyambut si jagrak.

Wajah semua makhluk yang ada di sana tak ada satupun yang menerima, nyaris semua masam bahkan macan putih yang sudah mengitari tempat itu masih mengeram marah ingin menerkam, mbah No tahu bagi mereka aroma jagrak seperti aroma daging busuk karena mereka di buat dari ilmu jawa kuno, si perempuan yang mengantar melepaskan pakaian lelaki itu di situ mbah No melihat lagi, tubuh tegap dengan beberapa bagian bolong di mana mbah No bisa melihat tulang belulang lelaki itu, kedua kakinya pun sama, kata orang jawa gerowak (daging berlubang) ia di tuntun ke tengah acara, lelaki itu hanya berpesan bahwa ia berpamitan dan meminta mbah No mengantarkan kembali pakaian miliknya ke sanak keluarganya

Mbah No menyanggupi, di situ mbah No juga melihat ada satu orang yang ia kenal bergabung bersama makhluk-itu, ia adalah salah satu paranormal yang hilang, lelaki itu duduk di atas pelepah pisang dan itu memang harus di lakukan sebelum kedua tangannya di patahkan dengan makhluk hitam besar yang menurut saya dari penuturan mbah No dia yang pernah membuat Endah lumpuh, namun itu hanya perkiraan saya bila di dengar dari fisiknya, lelaki itu menjerit membiarkan makhluk itu mengerumuninya, melahap apa yang ada di depannya, di atas tanah itu lalu di tanam pohon Waru kecil, dan itu adalah batasan tempat kontraktor boleh membangun namun mbah No meminta syarat sejumblah uang untuk keluarga si lelaki pohon itu masih ada sampai sekarang, di depannya ada pasak yang di potong dari bambu di tancapkan tepat di depan pohon.

Ada satu yang bikin saya ngeri saat mendengar cerita ini adalah perkataan mbah No dalam merapalkan mantera atau apapun itu dengan bahasa jawa tapi sayangnya saya gak bisa hanya ada beberapa kalimat yang bisa saya tangkap salah satunya "saat pasak ini lepas, jangan salahkan saya kalau dia meminta tumbal yang lebih banyak"

Jagrak bagi makhluk seperti mereka sama dengan seribu nyawa manusia, sesuai permintaan Ratu di sini. 
kalau kalian datang ke perumahan ini, akan ada batasan sebuah pohon yang sangat besar, pohon itu tumbuh tidak normal anehnya di balik pohon itu ada tanah cukup luas yang sayangnya tak tersentuh konon makhluk penghuni pabrik ini setengahnya masih ada di sana, dan setengahnya pergi. 
saya banyak mengurangi esensi akhir cerita ini karena percaya atau tidak cerita ini banyak membuat saya dan keluarga saya jadi pesakitan, namun saya percaya bahwa ada makna baik di balik cerita ini.

Oh ya, sebenarnya saya mengenal lelaki ini, alasan kenapa dulu mbah No mau cerita kepada saya. yang ingin saya katakan lelaki ini adalah orang paling baik yang pernah saya kenal, tapi ya sudah dasarnya manusia yang jahat itu memang ada namun syukurlah sekarang keluarga lelaki yang di tinggalkan ini serba berkecukupan hingga sampai saat ini. Orang jawa tahu. "Jagrak itu seperti musibah, karena ia menanggung segala bencana di dalam sebuah keluarga karena setelahnya kebaikan akan menyertai keluarga tersebut" kurang lebih seperti itu pengertiannya dan Jagrak berbeda dengan santet karena ini lebih di kenal di jawa timur tepatnya. di bagian jawa timur pesisir utara. tahu di mana? silahkan mencari tahu sendiri.
~~~SEKIAN~~~


close