Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SAYA HANYA INGIN SEHELAI BENANG

Saya Hanya Ingin Sehelai Benang. “Malam jumat gini, enaknya ngapain ya, Mir?” tanya Hendra.

“Aku tau maksud lu, mending ngerjain tugas trus tidur,” balasku.

“Yah... bentar doang. Nanti aku traktir makan lagi deh.”


“Traktir makan? Aku ikut dong,” sahut Wildan.

“Beuh, cepet bener lu balesnya, Dan. Yakin lu mau ikut?” ucap Hendra.

“Makan? Hayo!”

“Sebelumnya jalan-jalan dulu ya.”

“Kemana?”

“Ke Rumah Kosong deket sini.”

“Ih.. males banget.”

“Katanya tadi mau. Lu mau gak, Mir?” tanya Hendra.

“Makananya apa dulu nih?” balasku.

“Hmm... American Favourite Large gimana?”

“Okelah, dah lama gak makan pizza.”

“Lu ikut gak, Dan? Daripada di kosan sendirian.”

“Ya udah aku ikut, sekali ini aja ya.”

“Nah lumayan ada tumbal,” ucapku.

Tempat penelusuran kali ini tidak terlalu jauh. Letaknya hanya ada di ujung jalan. Tidak butuh waktu lama, kami bertiga pun sudah sampai.

Sebuah rumah kosong yang tidak terlalu besar. Sebagian atapnya sudah rusak. Kabarnya rumah ini sudah tidak pernah dihuni sejak tahun 90-an. Entah kenapa, sampai sekarang dibiarkan begitu saja. Padahal jika dilihat posisinya di pinggir jalan, harusnya menjadi lokasi yang lumayan strategi.

“Screening, Mir!” Sebelum masuk, Hendra memintaku untuk mengecek makhluk apa aja yang ada di sana.

Aku menutup mata, melihat suasana rumah itu melalui mata batin.

“Kebanyakan cewe alay, malesin banget dah,” ucapku ketika melihat banyak Kuntilanak yang menghuni rumah kosong itu.

“Ada Poci sama Genderuwo, standar semua sih, Hen. Gak ada yang aneh-aneh,” sambungku.

“Menurut lu standar, Amir!” ucap Wildan ngegas.

“Yuk masuk!”

Seperti biasa, aku harus berjalan paling depan. Setidaknya membuka jalan untuk yang lain. Takut tiba-tiba ada yang muncul mendadak, bisa bahaya di tempat agak gelap begini.

Aku masuk ke dalam rumah, sambil menyenter setiap sudut ruangan dengan ‘flashlight’ ponsel. Mungkin dulunya ruangan ini dipakai untuk ruang tamu. Jelas terlihat dari sisa-sisa sofa yang sudah hancur.

“Engap ya.”

Hendra mulai merasakan sesak.

“Iya, udah mulai rame soalnya, pada ngeliatin,” balasku.

“Dan? Lu kagak ngerasa apa-apa?” tanya Hendra.

“Kagak.”

Kami bergeser, masuk lebih dalam. Ada dua buah ruangan yang berdempetan.

“Liat sana, Mir!” pinta Hendra.

“Aku mulu.”

Aku berjalan perlahan, lalu masuk ke dalam ruangan itu. Ruangannya benar-benar kosong.

“Sini aja, lebih aman.”

Tak lama Hendra dan Wildan ikut masuk ke dalam ruangan.

“Beda ya suasananya. Pengapnya langsung ilang, cuman agak panas,” ucap Hendra.

“Di luar, lebih banyak Cewe Alay yang nonton. Mereka gak berani masuk sini, soalnya tuh di pojok ada sesepuh,” jelasku.

“Sesepuh apaan?” tanya Wildan.

“Bentuknya sih gede, mirip Genderuwo tapi bukan Genderuwo.”

“Jadi bingung aku. Maksudnya gimana?” tanya Hendra.

“Kayanya bentuk aslinya bukan begitu, cuman menyerupai Genderuwo.”

“Oh, terus sekarang dia lagi ngapain?”

“Lagi liatin Wildan.”

“Loh kok aku?”

“Abisnya lu nyorot muka dia, silau katanya.”

“Oh ya maaf, pan aku kagak tau.”

Wildan langsung menyorotkan ‘flashlight’-nya ke sudut lain.

“Terus ada apa lagi, Mir?” tanya Hendra.

“Tuh di jendela, ada yang lagi berdiri, ngeliatin kita.”

“Wujudnya?”

“Permen Sugus.”

“Apaan tuh?”

“Pocong, Wildan.”

“Ih...” Wildan langsung memalingkan wajahnya.

“Mau masuk lebih dalem? Apa sampe di sini? Capek aku kalau lama-lama,” ucapku.

“Ruangan sebelah lagi aja, Mir,” pinta Hendra. 

Kami pun berpindah ke ruangan sebelah. Suasananya lebih dingin dan kelam. Pasti pernah ada tragedi memilukan sebelumnya. Cuman aku sedang hemat energi, tidak mau melihat flashback-nya.

“Gila, langsung merinding aku,” ucap Hendra.

“Sama.” Wildan juga merasakan hal yang sama. Mau tidak mau aku tetap harus mencari sumber energi negatif ini.

Kuedarkan pandangan, melihat setiap sudut ruangan dan juga plafon yang bolong.

“Oh...” Aku berhasil menemukan sumbernya.

“Apa, Mir?” tanya Hendra.

“Dan, lu mau coba ngerasain gak?”

“Enggak deh, Mir. Serem.”

“Ngerasain doang, bukan ngeliat.” Aku mencoba meyakinkannya.

“Coba aja, Dan. Aku juga udah mulai sensitif nih karena sering-sering penyelusuran.”

“Hmm.. janji ya gak kenapa-napa.”

“Aman. Tutup mata lu!” Aku memegang pundaknya, untuk membuka sedikit mata batinnya.

“Lu ngerasain apa, Dan?”

“Gak ngerasain apa-apa.”

Aku membukanya sedikit demi sedikit, hanya sebatas untuk merasakan tidak untuk melihat. Khawatir Wildan akan trauma ketika melihat wujudnya.

“Sekarang?”

“Dingin, Mir.” Aku buka sedikit lagi.

“Kok dada aku sesek ya,” ucap Wildan.

“Ok, sip, buka matanya.” Wildan membuka matanya.

“Udah segitu aja, kalau lagi takutnya nanti kaget liat dia ada di depan muka lu.”

“Parah, si Amir,” ucap Wildan kesal.

“Sosok apan sih, Mir?” tanya Hendra.

“Cewek gak pake baju.”

“Beneran? Tau gitu lanjut tadi,” ucap Wildan.

“Wah mulai songong,” balas Hendra.

“Becanda, Hen.”

“Itu gak pake baju doang, apa semua?” tanya Hendra.

“Telanjang aja gitu.”

“Ya ampun, kok bisa sih?”

“Kalau kata Si Kingkong sih, itu tandanya dia meninggal gak bawa apa-apa.”

“Maksudnya?”

“Kasarnya, dia mati bunuh diri. Jadi semua amalan dunianya hangus.”

“DISINI?” Wildan meninggikan suara.

“Iya, cuman gak di ruangan ini, tapi di ruangan yang agak belakang.”

“Balik yuk, aku dah mulai merinding terus ini,” keluh Wildan.

“Ya udah deh. Pizzanya medium ya, kan cuman bentar.”

“Bebaslah, daripada lama-lama di sini.”

“Cabut deh, Mir,” ajak Hendra.

“Oke, siap.”

Di luar rumah, aku merasakan ada yang aneh dengan Wildan. Dia terlihat lebih murung.

“Napa lu, Dan?” Aku menepuk pundaknya.

“Perasaan berat banget pundak aku.”

Aku langsung memfokuskan pandangan ke tubuh Wildan. Benar saja, sosok wanita tadi ternyata ikut bersamanya.

“Dia ikut ternyata.”

“Siapa, Mir?” tanya Hendra.

“Cewe yang tadi.”

“Usir, Mir! Asli dada aku mulai sesek nih,” ucap Wildan.

“Bentar aku pengen tau maksudnya apa ikut sama lu.”

“Sompral sih lu, Dan,” ejek Hendra.

Sosok itu sedang berusaha masuk ke dalam tubuh Wildan. Sejak tadi memang dia ingin sekali berkomunikasi denganku, tapi selalu aku tolak.

“Kok aku sedih banget ya.” Sosok itu mulai memberikan perasaannya ke Wildan. Tiba-tiba Wildan menangis.

“Nah loh, anak orang nangis,” ucap Hendra.

“Pegangin, Hen! Bukan Wildan itu.” Sosok itu berhasil masuk ke dalam tubuh Wildan. Seperti aku lupa menutup mata batinnya rapat-rapat. Dia masih saja menangis.

“Kenapa ngikut sama dia?” tanyaku. Wanita itu tidak menjawab, malah terus menangis.

“Salah kamu sendiri, kenapa lakuin itu. Sekarang nyesel kan?”

“Tolong saya...” Wanita itu sudah mau berbicara.

“Saya tidak bisa menolong kamu, lebih baik pergi. Jangan ganggu anak ini lagi.”

“Dingin.. tolong saya.”

“Salahmu sendiri, hanya gara-gara lelaki, sampai nekat bunuh diri.”

“Saya menyesal, tolong saya.” Wanita itu terus mengiba.

“Sudah terlambat, sekarang kamu tanggung akibatnya.”

“Tolong beri saya pakaian. Dingin....”

“Enggak!”

“Beri saya sehelai benang saja, setidaknya bisa mengurangi rasa dingin ini.”

Sehelai benang ini merujuk ke satu ucapan doa untuknya. Itu bisa sedikit menghangatkan tubuhnya.

“Ini sudah takdirmu dan saya tidak mau ikut campur.”

“Tolong...” Sosok itu kembali menangis, berharap aku membantunya.

“Kamu mau gak dingin kan?” Aku sentuh pundak Wildan, lalu mulai merapal doa. Sosok itu pun menjerit kesakitan.

“Panas.. panas... bukan ini maksud saya!” Sosok itu marah.

“Keluar atau saya bikin gosong badanmu!”

Sosok itu tertawa. Begitulah makhluk labil, sebentar menangis sebentar tertawa. Aku sudah benar-benar hapal dengan tingkahnya. Datang meminta belas kasihan. Eh ujung-ujungnya, ketauan belangnya.

“Hahaha... saya mau ikut sama dia.”

“Oke....” Aku kembali merapal doa.

“Panas... panas... argh..!” Sosok itu keluar dari tubuh Wildan.

Wildan langsung terduduk, tubuhnya terlihat lemas sekali. Sampai tidak kuat untuk berdiri. Aku dan Hendra terpaksa memapahnya kembali ke kosan.

Daritadi Wildan hanya diam saja, tidak berbicara sepatah katapun. Aku jadi khawatir dengannya. Setibanya di kamar kosan, Wildan langsung dibaringkan di tempat tidur.

“Ambil minum, Hen!” perintahku. Dengan cepat Hendra menuangkan air ke dalam gelas.

“Minum dulu, Dan.” Aku menyodorkan gelas berisi air itu padanya. Wildan bangkit dan meneguknya sampai habis.

“Lagi!” pinta Wildan.

“Haus, Mang?” ejek Hendra sambil menuangkan air ke gelasnya. Kembali Wildan meneguknya.

“Udah ya, gak lagi-lagi aku ikut sama kalian,” ucap Wildan marah.

“Lu pasti iseng kan, Mir? Sengaja banget biar aku kemasukan,” sambungnya masih dengan emosi membara.

“Kagak, Dan. Sumpah aku lupa nutup rapet tadi,” elakku.

“Jangan marah dong, Dan,” rayu Hendra.

“Gimana kagak marah sih, ngeliat sosok begituan.”

“Loh lu liat sosoknya?” tanyaku.

“Iya.. lidahnya ngejulur gitu, ampe air liurnya netes-netes. Asli aku ampe syok banget, Mir.” Emosi Wildan sudah mulai mereda.

“Emang gitu, Mir?” tanya Hendra.

“Huuh, gara-gara kemasukan, jadi gak sengaja liat sosoknya.”

“Ya udah sih, Dan. Pan lu sendiri yang pengen liat tadi.” Hendra tertawa meledek.

“Pokoknya harus ada kompensasinya, titik!”

“Aku tambah Meat Lover Medium buat lu sendiri deh,” tawar Hendra.

“Asik.” Wildan pun tersenyum.

“Modus banget,” ucapku.

“Yee... biarin.” Wildan pun tertawa ngakak. 

SEKIAN

close