Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TERSESAT 40 HARI DI ALAM GAIB GUNUNG SEMERU

JejakMisteri - Berawal dari sebuah keinginan untuk mendaki gunung.

Waktu itu Bima mempunyai keinginan untuk mendaki ke Gunung Semeru sebelum tiba hari pernikahannya. Jadi 2 bulan kedepan Bima ini akan melangsungkan pernikahan, oleh karena itu sebelum hari pernikahan itu dilaksanakan dia ingin mendaki gunung yang mungkin adalah pendakian terakhirnya.


Sebelumnya Bima ini memang cukup aktif di kegiatan pendakian dan dia mempunyai niat, setelah menikah dia akan berhenti mendaki gunung untuk fokus ke masa depan bersama istrinya.

Dia mencoba menghubungi teman dekatnya yang sudah biasa mendaki untuk mengajaknya, tapi waktu itu temannya tidak bisa karena ada kesibukan yang memang tidak bisa ditinggalkan, akhirnya dia berinisiatif untuk pergi ke gunung Semeru sendiri aja alias Solo hiking, karena di sisi lain Bima sudah cukup akrab dengan salah satu petugas di sana, dia juga sudah pernah sekali mendaki ke sana bersama teman se pendakiannya.

Sebelum hari keberangkatan Bima mengajak calon istrinya untuk bertemu di sebuah tempat untuk bilang kalau dia akan pergi mendaki ke Gunung Semeru untuk yang terakhir kalinya.

Seorang wanita yang menurut Bima sangat cantik dan anggun. Dengan sedikit khawatir calon istrinya pun mengizinkan dengan syarat Bima harus hati-hati dan harus pulang dengan selamat.

Awalnya Bima berniat mengajak calon istrinya itu tapi dia tidak mau karena memang calon istrinya Bima ini bukan tipe orang yang suka dengan kegiatan pendakian. Calon istrinya Bima ini lulusan pesantren.

Karena memang sudah mendapatkan izin dari calon istrinya Bima berniat untuk pergi mendaki nanti hari Minggu, tiga hari setelah dia izin ke calon istrinya itu.

Nah, singkat cerita tibalah hari Minggu, setelah sudah siap dengan peralatannya dia menemui sang ibu untuk meminta izin, sambil mencium tangan ibu dia bilang,

"Bu, Bima mau izin ndaki untuk yang terakhir, doain Bima Biar selamat sampai rumah lagi ya Bu"

Setiap kali akan pergi mendaki Bima selalu seperti itu, dia selalu meminta izin pada ibunya dan memohon doa restu agar kembali pulang dengan selamat. Setelah izin diberikan Bima lekas berangkat menuju ke pinggir jalan raya untuk menunggu angkutan umum.

Mengingat ini adalah pendakian terakhir Bima sengaja tidak membawa kendaraan sendiri, dia pergi dengan menaiki kendaraan umum. Setelah menempuh sekitar 1.5 jam perjalanan sampailah Bima di daerah Tumpang, Malang. Sesampainya di sana dia menyewa mobil Hardtop untuk mengantarkannya ke desa terakhir.

Sesampainya di desa terakhir Bima menghubungi temannya atau kenalannya yang bertugas di pos pendaftaran, setelah dihubungi temannya itu meminta Bima untuk langsung menuju ke pos pendaftaran dan ketemu di sana. Di pos pendaftaran dia disambut oleh temannya itu,

"Halo Bima apa kabar lama juga nih nggak ke sini?"
"Iya nih lagi banyak urusan, oh ya bulan Oktober aku nikah datang ya". Jawab Bima.

Karena memang mereka ini sudah cukup lama tidak ketemu disitu mereka ngobrol-ngobrol sambil ngopi di pos, setelah cukup lama ngobrol temannya Bima tanya, mau nanjak kapan dan Bima berniat untuk nanjak siang ini juga.

Siang itu itu tidak terlihat banyak pendaki lain karena memang di tahun 2012 itu bisa dibilang pendaki gunung masih sangat jarang.
Sebelum memulai perjalanan Bima sempat bertanya pada temannya, banyak nggak yang mendaki hari ini?
Menurut temannya Bima kalau hari ini cuma sedikit tapi kalau kemarin banyak dan kebanyakan belum turun. 
Setelah izin diberikan Bima pamit sama temannya untuk memulai pendakian nya.

Di awal-awal perjalanan masih belum ada yang aneh, Bima berjalan seorang diri tanpa bertemu dengan pendaki lain pun. Pos demi pos dilewati hingga akhirnya dia sampai di danau Ranu kumbolo pada pukul 12 siang.

Sesampai di Ranu Kumbolo itu Bima langsung jalan menuju ke area camp yang letaknya ada di ujung seberang danau. Sampai di situ terlihat cukup banyak pendaki lain yang sedang camp, Bima kemudian mengeluarkan alat masak untuk memasak makanan karena sesampai di Ranu Kumbolo itu dia sudah mulai lapar.

Setelah selesai masak dan makan dia santai-santai dulu di Ranu Kumbolo sambil menghabiskan 1 batang rokok. Dia juga sempat berjalan keliling tenda pendaki lain untuk menyapanya.
Setelah itu dia kembali ke tempat istirahatnya tadi untuk membereskan peralatan yang masih tercecer setelah itu dia bergegas melanjutkan perjalanan.

Perjalanan kembali dilanjutkan Sekitar jam 1 siang. Menurut Bima dulu pas dia ke sini, estimasi perjalanan kalau dari Ranu Kumbolo ke Kalimati itu kira-kira memakan waktu kurang lebih 4 sampai 5 jam, jadi perkiraan dia bisa sampai di Kalimati antara jam 5 sampai 6 sore. Kalimati adalah camp terakhir sebelum meloanjutkan perjalanan ke puncak Mahameru.

Setelah berjalan melewati tanjakan legendaris (Tanjakan Cinta) Bima takjub dengan pemandangan yang disuguhkan.
Di depan terpampang jelas sabana yang sangat luas yang ditumbuhi bunga berwarna ungu kebiru-biruan. Melihat semua itu Bima sedikit bernostalgia, dulu Sabana ini tidak se-keren ini sekarang yang sudah berbeda.

Dia segera berjalan turun dari bukit menuju ke Sabana tersebut, nah ketika berjalan diantara bunga-bunga itu Bima sempat berpikir, "Andai saja Nindy tau semua ini, pasti dia akan senang".
Nindy adalah nama calon istrinya Bima.

Pelan-pelan Dia berjalan melewati Sabana itu sehingga tidak terasa sampailah Bima di depan pintu hutan, jadi setelah melewati Sabana itu jalannya mulai memasuki hutan.

Bima terus berjalan masuk ke dalam hutan tersebut, ketika sedang di dalam hutan keanehan mulai dirasakan oleh Bima. Di dalam hutan itu tiba-tiba kabut turun cukup tebal, bersamaan dengan itu tiba-tiba bulu Kuduk Bima berdiri tanpa sebab.

Tanpa memperdulikan semua itu dia terus berjalan menyusuri hutan dan lama-kelamaan muncul rasa takut di dalam diri Bima, karena semakin ke sana kabut yang turun ini semakin tebal di lautan yang dilewatinya ini terlihat cukup gelap karena tebalnya kabut itu.

Sampai disini Bima bingung harus terus jalan atau bagaimana, kalau terus jalan takutnya nanti kesasar tapi kalau berhenti takut keburu malam, di sisi lain selama perjalanan dari Ranu Kumbolo hingga sampai di hutan ini Bima tidak menjumpai 1 pendaki lain pun. Akhirnya Bima memutuskan untuk tetap jalan aja dengan pelan mengikuti Jalan setapak yang dilewati.

Lama dia berjalan dan sudah berjam-jam tapi Bima belum juga keluar dari hutan tersebut.
Sampai disini Bima mikir,

“Perasa’an dulu gak sejauh ini deh hutannya, apa jangan-jangan aku nyasar?”

Setelah cukup jauh berjalan samar-samar di depan terlihat ada sebuah papan kayu, melihat itu Bima berpikir, "Ah itu di depan pasti pos peristirahatan Cemoro kandang".
Dia cepat-cepat berjalan menuju ke ke tempat itu dengan tujuan untuk istirahat sebentar di sana. Sesampainya di tempat itu ternyata benar itu adalah area peristirahatan Cemoro kandang dan Bima berniat untuk istirahat di tempat itu sekalian menunggu pendaki lain yang lewat agar dia bisa bareng.

Tas carier dia lepas dan meletakkannya di dekat pohon, tapi baru saja tas itu diletakkan, dari depan terlihat ada dua buah cahaya yang menyorot ke arah Bima, karena waktu itu cukup berkabut Bima mikirnya mungkin itu senter dari pendaki lain.

Bima mengurungkan niatnya untuk beristirahat di tempat itu, dia mengambil tasnya lagi untuk menyusul pendaki yang ada di depan itu agar dia bisa bareng, tapi semakin Bima mendekati cahaya itu, cahaya itu itu malah semakin menjauh.

Karena mengiranya itu adalah Senter dari pendaki lain Bima teriak,

"Mas, tungguin saya mau bareng".

Tapi tidak ada jawaban dari pendaki itu.

Akhirnya Bima mempercepat jalannya hingga sedikit lari untuk mengejar pendaki tersebut sambil sesekali teriak,

"Mas, tunggu mas... saya mau bareng..".

Tapi tetap saja tidak ada jawaban dan dua cahaya yaitu itu tidak juga terkejar, hingga akhirnya Bima kelelahan dan tidak sanggup mengejar pendaki tersebut.

Disini Bima terduduk lelah di sebidang tanah sambil dia berfikir, "Dua orang itu kok jalannya cepet banget ya?".

Sambil duduk itu dia mengeluarkan logistik di dalam tasnya untuk dimakan, terlihat jam di hp sudah menunjukan pukul 5 sore dan suasananya masih seperti tadi, cukup berkabut dan sedikit terang. Karena tidak ingin kemalaman di jalur Bima lekas melanjutkan perjalanan agar segera sampai di Kalimati.

Dia kembali berjalan menyusuri Jalan setapak, tapi sudah cukup jauh berjalan dia tidak juga keluar dari hutan ini malahan jalur setapak yang dilewatinya ini semakin ke sana semakin sempit dan rimbun. Sampai disini Bima berhenti sebentar untuk melihat jam di hp-nya lagi, ternyata waktu masih menunjukkan jam 5 sore.

Melihat itu Bima tersentak karena seingat Bima, terakhir kali dia melihat jam itu jam 5 sore tapi setelah cukup lama berjalan waktu masih saja menunjukan jam 5 sore.
"Apa jangan-jangan jam hp-ku ini rusak? Tapi nggak mungkin, masa iya jam di HP bisa rusak? Kan aneh?", pikir Bima.

Yang lebih anehnya lagi, sudah cukup jauh Bima berjalan tapi kondisinya masih sama seperti tadi, sedikit terang dan berkabut. Harusnya sekarang ini sudah gelap. Kira-kira tadi dia sudah 1 jam jalan.

Sampai di sini Bima mulai merasa ada yang tidak beres dengan tempat ini, lalu dia memutuskan untuk putar balik menuju ke tempat peristirahatan Cemoro kandang tadi, tapi malah semakin aneh.

Dia udah merasa berjalan balik cukup lama tapi tidak juga sampai tapi tidak juga sampai di tempat peristirahatan Cemoro kandang dan... Jam di hp-nya pun masih menunjukkan pukul 5 sore tidak lebih sedikit pun.

Bima benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi, dia memutuskan untuk menaruh tasnya dan berteriak sekencang-kencangnya untuk meminta tolong,

“Toolooong... Ttolooooong...”.

Tapi tidak ada satu orangpun yang membalas teriakan Bima bahkan menolongnya.

Karena sudah tidak tahu apa yang harus dia lakukan Bima terduduk lemas sambil terus memandangi jam di hp-nya yang masih menunjukan jam 5 sore dan tidak menunjukkan pergerakan sama sekali.

Bima mulai cemas, karena dia mengira kalau dia tersesat. Untuk menenangkan fikiran dia mengeluarkan sebatang rokok kemudian dihisap sambil melihat-lihat keadaan sekitar, yang terlihat hanyalah hutan yang di selimuti kabut tipis, tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Sepi, tenang, tidak terdengar suara apapun, bahkan angin pun tidak terasa berhembus.

Sambil merokok itu Bima berfikir bagaimana kelanjutan perjalanannya, dia benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi, hingga akhirnya dia memutuskan untuk lanjut berjalan balik dengan tujuan siapa tahu nanti di perjalanan balik bisa bersimpangan dengan pendaki lain.

Setelah rokok sudah habis dia kembali menenteng tasnya kemudian berjalan tapi sangat jauh Bima berjalan kembali, dia tidak juga menjumpai papan yang sebelumnya dia lihat tadi. Jalan yang dilewati nya pun masih sama, sempit dan rimbun.

Bima kembali terduduk lemas di sebidang tanah sambil bersandar pohon, tidak lama kemudian terdengar ada suara,

"Srek... srek.. sreek..".

Seperti suara orang yang sedang berjalan.

Mendengar itu Bima langsung melihat ke berbagai arah untuk mencari sumber suara tersebut, lalu dari sela-sela kabut terlihat ada seseorang yang yang sedang berjalan ke arahnya. Melihat itu Bima langsung berdiri dari duduknya untuk menanti kedatangan orang itu.

Perlahan orang itu mendekat ke arahnya, setelah dekat tampak jelas itu adalah laki-laki paruh baya, mengenakan tudung tani dan menggendong keranjang, sepertinya bapak ini habis dari ladang.
Belum sampai Bima menyapa, orang itu bilang dengan menggunakan bahasa Jawa,

"Sampeyan iki sinten? Golek opo nangkene?"
(Kamu ini siapa, cari apa disini?)
"Kulo ajenge muncak Semeru pak tapi dereng ndugi", jawab Bima.
(Saya mau ke puncak Semeru pak tapi belum sampai)

Orang itu memperhatikan Bima dari ujung kaki sampai ujung rambut, sepertinya ada yang aneh dengan Bima. Setelah memperhatikan itu itu dia bilang,

"Yo uwes nek ngunu ayo melu aku", ucap bapak itu.
(Ya udah ayo ikut saya)

Bima segera mengambil tasnya dan ikut berjalan bersama orang itu, sambil berjalan Bima bertanya,

"Njenengan ndugi pundi pak?"
(Bapak dari habis mana?)
"Bar nyambangi sawah", jawab si Bapak.
(Habis jenguk sawah)
"Sawahe ten sebelah pundi?", tanya Bima lagi.
(Sawahnya di sebelah mana?)
"kae nang kono", Ucap bapak itu sambil menunjuk ke arah belakang.
(Itu disana)

Mendengar itu Bima berfikir, "Perasaan dari tadi aku gak liat ada sawah? Apa mungkin aku emang gak ngeliat?".

Bima berpikir seperti itu karena waktu itu kan cukup berkabut jadi mungkin dia tidak melihat sawah si bapak.

Tidak lama berjalan mengikuti bapak itu sampailah Bima di sebuah perkampungan dan Bima kaget, "Loh kok sampai di perkampungan? Perasaan tadi aku lewat sini nggak ada perkampungan?". Ucapnya dalam hati.

Sesampai di perkampungan itu si bapak bilang,

"Iki desoku, aku ndek kene iki Lurah"
(Ini desaku, aku disini sebagai Kepala Desa)
"Ooh injih Pak, kulo nembe ngertos", jawab Bima.
(Oh iya, saya baru tahu)
"Ayo leren nang omahku disek", ajak si bapak.
(Ayo istirahat di rumahku dulu)

Melihat perkampungan itu Bima merasa lega, dia mengira ini adalah desa yang ada di lereng gunung Semeru, urusan mendaki gunung sudah dilupakan yang penting sekarang dia tidak tersesat dan selamat.

Bima berjalan mengikuti si bapak hingga sampai di depan rumahnya. Rumahnya ada di paling ujung perkampungan tersebut,terlihat sangat besar dan mewah. “Wajar sih namanya juga kepala desa”, pikir Bima.

Bapak itu kemudian mengajak Bima untuk masuk ke dalam, sesampainya di dalam bapak itu meletakkan tudung tani dan keranjang yang digendongnya kemudian duduk di sebuah kursi dan memanggil istrinya,

"Buk, bapak muleh, gawekne ngombe iki enek tamu"
(Buk, bapak pulang, buatin minum ini ada tamu)

Mendengar itu Bima sempat menolak karena sungkan, "Aduh gak usah repot-repot pak, biar saya langsung pulang aja".
Tapi bapak itu bilang tidak apa-apa dan meminta Bima untuk istirahat dulu disini. Bapak itu kemudian meminta Bima untuk duduk di kursi di sebelahnya.

“Kalau dilihat-lihat sepertinya bapak ini adalah orang baik, pantas dia dipilih sebagai Kepala Desa di kampung ini”. Pikir Bima.
Tidak lama kemudian datanglah istri bapak itu sambil membawa dua gelas air putih, kemudian beliau bertanya pada Bima,

"Sampeyan iki asale ngendi?"
(Kamu ini asalnya dari mana?)
"Kulo saking Lumajang bu", jawab Bima.
(Saya dari Lumajang Bu)
"Ooh yo uwes di ombe sik banyune", ucap si ibu.
(Oh yaudah di minum dulu airnya)

Ibu itu kemudian kembali kedalam dan Bima meminum air yang di suguhkan. Setelah itu si bapak menunjukan sebuah kamar pada Bima dan memintanya untuk istirahat dulu. Karena sungkan Bima menolak tapi bapak itu terus memaksa Bima agar istirahat dulu aja.

Berhubung waktu itu Bima juga merasa ngantuk dan bapak itu terus memaksa akhirnya dia menerima tawaran si bapak untuk istirahat dulu, disisi lain kalau memaksa pulang nanti malah terjadi apa-apa di jalan.

Tidak lupa Bima mengucapkan terima kasih banyak pada si bapak karena sudah merepotkan, lalu si bapak pamit pada Bima untuk pergi ke balai desa karena urusan dan meminta Bima untuk istirahat di dalam kamar yang sudah ditunjukan.

Bima membuka pintu kamar itu dan masuk kedalam, sesampai di dalam dia sangat takjub karena kamarya ini sangat mewah, dindingnya terbuat dari kayu dan dihiasi guci-guci kuno dan ranjang tempat tidurnya terbuat dari kayu dengan tiang yang penuh dengan ukiran. Jadi suasananya itu benar-benar kejawen.

Bima melepas sepatunya dan meletakkan tasnya di dekat lemari kemudian dia merebahkan badanya diatas kasur hingga tidak terasa dia tertidur.

Setelah bangun dari tidur Bima merasa ada yang aneh dengan dirinya, dia tidak ingat apapun tentang apa yang sudah dia lakukan sebelumnya, yang dia ingat hanyalah namanya adalah Bima. Seakan-akan dirinya ini seperti orang yang baru lahir. Yang dia tahu hanyalah sekarang dia berada ada di dalam kamar, di rumah bapak kepala desa itu.

Bima kemudian keluar dari kamar dan terlihat bapak kepala desa sekeluarga sedang duduk di meja makan, terlihat seperti akan makan.

Melihat Bima yang baru keluar dari kamar si bapak memanggilnya untuk mengajaknya makan bersama. Tanpa ada perasaan sungkan lagi Bima berjalan menuju ke meja makan untuk ikut makan bersama.

Nasi dan sayuran sudah tersaji di meja makan. Di meja makan itu terlihat ada si bapak beserta istrinya dan satu anak gadisnya yang berparas sangat cantik, berkulit putih, bibirnya merah alami, bola matanya cokelat dan rambutnya panjang se-punggung. Gaun hijau yang dipakainya menambah kecantikan alami gadis itu.

Sambil makan seringkali Bima melirik ke arah anak gadis si bapak. Setelah selesai makan si bapak memperkenalkan anak gadisnya itu kepada Bima sekaligus bertanya namanya Bima,

"Iki anak wadonku, jenenge Puspo Rini, sampeyan jenenge sopo?"
(ini anak gadisku, namanya Puspa Rini, kamu namanya siapa?)
"Nami kulo Bima pak", jawab Bima.
(Nama saya Bima pak)
"Yowes, mari ngene melu bapak nang sawah yo le, ewangi bapak ngeramut tanduran", ajak si bapak.
(Iya sudah habis ini ikut bapak ke sawah ya, bantu bapak bercocok tanam)
"Injih pak, bapak kiyambak namine sinten?", tanya Bima.
(Iya pak, bapak sendiri namanya siapa?)
"Celuken aku pak lurah ae", jawab si bapak.
(Panggil aku bapak kepala desa aja)

Bima mengiyakan ajakan si bapak untuk ikut pergi ke ladang. Setelah makan itu dia pergi ke ladang bersama si bapak.

Sesampainya di ladang terlihat si bapak sedang yang menanam sayuran, ada bayam, buncis, kacang panjang, kangkung dan berbagai jenis sayuran lainnya. Pantas saja tadi pas makan lauknya sayur semua, pikir Bima.

Di ladang itu Bima Ikut si bapak menyirami tanaman, setelah selesai dengan semua itu mereka kembali pulang dan sesampai di rumah mereka disambut oleh anak gadisnya si bapak yang masih terlihat sangat cantik dan anggun. Lalu si bapak meminta pada Puspa Rini untuk mengambilkan minuman untuknya dan Bima.

Si bapak dan Bima kemudian duduk di teras rumah menunggu air yang sedang diambil. Tidak lama kemudian terlihat Puspa Rini datang dengan membawa dua gelas air, setelah meminum air itu si bapak pamit untuk pergi ke balai desa larena ada urusan di sana dan meminta pada anak gadisnya untuk menemani Bima di sini.

Di teras rumah Bima duduk bersama Puspa Rini sambil ngobrol-ngobrol tentang kegiatan tadi di ladang, ternyata Puspa Rini orangnya asik kalau diajak ngobrol dan obrolan itu membuat Bima dan Puspa Rini menjadi semakin akrab.

Hari-hari dilalui Bima seperti itu, pergi ke ladang, makan dan tidur di rumah si bapak, hingga pada suatu ketika si bapak menawari Bima sesuatu,

"Le, awakmu lak wes suwe toh urep nang kene, bapak pengen nikahno awakmu karo Puspo Rini, yen gelem sawah sakmunu ombone iku engko kanggo awakmu, garapen, olahen kanggo bondo urepmu karo Puspo Rini. Ning ono syarate, awakmu kudu manggon nang kene selawase”.
(Nak, Kamu kan udah lama tinggal di sini, Bapak ingin menikahkan kamu dengan Puspa Rini, kalau mau sawah yang sangat luas itu itu buat kamu, kamu olah untuk bekal hidupmu dengan Puspa Rini. Tapi dengan syarat kamu harus tinggal disini selamanya")

Mendengar itu Bima tersentak dan tidak tahu kenapa spontan dia berucap,

"Waduh pak maaf, kalau untuk semua itu saya tidak pantas".

kalau dipikir secara logika, mustahil Bima menolak tawaran dari si bapak.

(Sekarang kalian pikir, kurang apa coba, mau dinikahkan dengan anak gadisnya yang sangat cantik, dikasih sawah yang sangat luas dan otomatis dia juga akan menggantikan si bapak untuk jadi kepala desa di kampung ini nantinya).

Harta, Tahta dan wanita itu sudah di depan mata tapi Bima malah menolaknya. Mungkin waktu itu Bima masih di sayang sama sang maha pencipta hingga kata-kata itu bisa terucap dengan sendirinya.

Setelah menolak tawaran itu si bapak bilang lagi,

"Ora usah gupuh, bapak yo ora mekso, dipikir alon-alon disik mbok menowo atimu mantep"
(Jangan buru-buru, bapak juga tidak memaksa, dipikir pelan-pelan siapa tau nanti kamu berubah pkiran)

Si bapak memberi Bima waktu untuk memikirkan tawarannya itu, beberapa hari ini dia diberi banyak waktu oleh si bapak untuk berduaan dengan anak gadisnya agar Bima bisa lebih mengenal anaknya lebih jauh.

*****

Pada suatu hari Puspa Rini mengajak Bima keluar rumah untuk jalan-jalan keliling kampung dan Bima pun mau, di sisi lain selama Bima berada di rumah si bapak dia ini belum pernah keluar rumah, dia keluar rumah hanya untuk ke ladang membantu si bapak.

Pergilah mereka keluar dan berjalan menyusuri kampung, terlihat kampung ini sangat asri dan damai, udaranya sangat sejuk tanpa dicemari asap knalpot kendaraan.
Bangunan rumah yang berada di kampung itu sebagian besar terbuat dari kayu yang sudah diukir. Banyak hewan ternak yang yang dilepas liarkan di hutan, sapi, kerbau, bebek dan jenis hewan ternak lainnya. Seakan mereka hewan ternak itu sudah akrab dengan pemiliknya.

Terus berjalan menyusuri kampung, terlihat penduduknya ini unik, ada yang jalannya pincang hingga merangkak, ada yang matanya lebar dan melotot, ada yang tangannya panjang sebelah dan macam-macam, tapi anehnya melihat semua itu Bima tidak merasa takut sama sekali justru dia malah merasa beruntung karena dia mempunyai tubuh yang sempurna dan... Di kampung itu tidak ada yang namanya malam, cuacanya selalu berkabut dan tampak suram, seperti kalau menjelang maghrib.

Di tengah-tengah perkampungan itu samar-samar Bima mendengar ada suara wanita yang memanggil-manggil namanya,

"Bima.. Bima... pulang... pulang"

Mendengar itu Bima langsung menoleh ke berbagai arah untuk mencari tahu siapa yang memanggil-manggil namanya itu, tapi tidak terlihat ada seorangpun yang sedang memanggil namanya. Suara itu terus terdengar di telinga Bima hingga lama-kelamaan kepalanya ini merasa pusing.

Setelah cukup lama berjalan berkeliling kampung Bima dan Puspa Rini sampai di sebuah telaga yang airnya sangat jernih.

Di pinggir Telaga terlihat ada seorang gadis kampung yang sedang berjalan menyusuri Telaga tersebut sambil membawa beberapa potong bambu dan mengenakan kemben khas jawa, sepertinya gadis itu hendak mengambil air di Telaga tersebut. Gadis itu berjalan lewat di depan Bima dan Puspa Rini yang sedang duduk.

Melihat gadis itu dari dekat sekilas Bima ingat sesuatu, sepertinya gadis ini tidak asing baginya, "Aku kok kayak pernah ketemu sama orang ini ya? Tapi dimana?", ucap Bima dalam hati.

Bima coba mengingat-ingat kapan dia pernah bertemu dengan gadis ini, ketika sedang memikirkan semua itu Pusparini memecahkan konsetrasinya,

"Mas, kenapa? Lagi mikirin apa?"
"Eh enggak Rini, aku kok kayak pernah lihat orang tadi ya?", jawab Bima.
"Ketemu dimana?", Tanya Puspa Rini.
"Nah itu dia aku gak ingat kapan aku ketemu", jawab Bima yang masih bingung.

Telaga di dekat batu mereka membahas perjodohan yang ditawarkan si bapak, Rini sudah setuju dengan perjodohan itu tapi belum dengan Bima.

Melihat kalau Bima belum bisa menerima perjodohan itu terlihat mata indahnya Rini berlinang air mata, sepertinya dia sudah jatuh hati pada Bima.

Melihat Rini Yang sepertinya kecewa Bima mencoba menenangkannya,

"Rini, kamu jangan sedih, aku bukan tidak mau menerima perjodohan itu hanya saja aku belum siap menerima semua pemberian si bapak".

Rini kemudian melihat ke arah Bima dengan tatapan sayu.

Sebenarnya Bima tidak tega melihat Rini seperti itu, bola mata cokelat yang tadinya terlihat indah sekarang menjadi sayu. Lalu Bima menjelaskan pada Rini,

"Beri aku waktu untuk memikikrkan semua ini, kalau sudah tiba sa'atnya aku bisa menerima aku akan menerima perjodohan ini". Ucap Bima sambil mengusap mata Rini yang sudah di penuhi air mata.

Perlahan Rini mulai senyum, kemudian Bima mengajak Rini untuk pergi meninggalkan Telaga untuk kembali pulang.

Sesampainya di rumah Bima langsung masuk ke dalam kamar dan merebahkan badannya di atas tempat tidur dan otaknya masih terus kepikiran oleh suara wanita yang tadi memanggil-manggil namanya dan juga gadis yang ditemui di Telaga tadi hingga tidak terasa Bima tertidur.

Di dalam tidurnya Bima bermimpi sedang berada di tengah-tengah kampung itu, lalu dari kejauhan ada seorang wanita paruh baya yang melambaikan tangannya pada Bima, seakan wanita ini ini sedang memanggil Bima. Bima pun berjalan mendekat ke arah wanita itu, sesampai di tempat wanita itu sepertinya Bima mengenalnya. Wanita itu kemudian memeluk Bima sambil berkata,

"Pulang nak, pulang, ditunggu ibumu dirumah"

Mendengar itu Bima berpikir, "Pulang? Ibuku? Pulang kemana?".

Wanita itu kemudian melepaskan pelukannya dan pergi meninggalkan Bima, belum jauh meninggalkan terlihat ada seorang gadis yang sedang membawa beberapa potong bambu sedang berjalan di depan Bima yang tidak kain itu adalah gadis yang ditemui Bima di pinggir telaga. Wanita itu melemparkan senyum pada Bima dan lagi-lagi wanita itu mengingatkan Bima pada seseorang yang pernah dia kenal.

Wanita itu berlalu meninggalkan Bima, di saat yang bersamaan Bima merasa pusing memikirkan kejadian ini, di dalam kepalanya timbul pertanyaan,

"Siapa orang yang yang memelukku tadi dan Siapa gadis yang melemparkan senyum kepadaku tadi?".

Ketika sedang bingung memikirkan semua itu Bima bangun dari tidurnya dan bangunnya Bima itu masih dengan keadaan pusing di kepalanya.

Masih dalam kondisi berbaring di tempat tidur Bima melihat ke arah sebelah lemari yang disitu terdapat tas carrier dan sepatunya dan seketika itu juga Bima ingat kalau dia pernah diajak bapak-bapak untuk mampir ke rumah ini.

Mengingat semua itu Bima lekas bangkit dari tidurnya dan keluar kamar untuk menemui si bapak, tapi saat itu rumah terlihat sangat sepi sepertinya orang-orang rumah sedang keluar, lalu terlihat Rini datang sambil membawa piring yang berisi makanan,

"Mas Bima udah bangun, ayok mas makan dulu", ucap Rini sambil menaruh makanan itu diatas meja.

Bima menghampiri Rini dan mereka pun makan bersama, sambil makan Bima bertanya pada Rini,

"Sepi banget, bapak dan ibu kemana Rin?"
"Bapak sedang ke balai desa, kalau ibu sedang ke ladang", jawab Rini.

Setelah makan terlihat Bapak baru pulang dari Balai Desa dan ikut duduk di meja makan, lalu si bapak bilang,

"Wes tangi Bima? Mari dijak Puspo Rini nandi ae maeng?"
(Udah bangun Bima? Habis diajak Puspa Rini kemana aja tadi?)
"Mlaku-mlaku ning kampung pak terus lenggah ten pinggir tlogo", jawab Bima.
(Jalan-jalan di kampung Pak terus duduk di pinggir Telaga)

"Piye le, wes dipikir ta tawarane bapak?", tanya si bapak tentang keputusan Bima.
(Gimana nak, udah dipikirkan tawaran bapak?)

Bima terdiam sejenak, lalu dia menjawab,

"Sepuntene pak, kulo sampun gadah calon, rong ulan maleh kulo ajenge nikah"
(Maaf pak, saya sudah punya calon, 2 bulan lagi saya akan menikah)

Si bapak kemudian memegang pundaknya Bima sambil berucap,

"Yo uwes rapopo yen iku dadi keputusanmu bapak gak iso mekso"
(Yaudah gpp, kalau itu sudah jadi keputusanmu bapak tidak bisa memaksa)

Setelah kata-kata itu terucap terlihat Rini memasang raut wajah yang sedih, sepertinya dia sedang menahan tangis. Kemudian Si Bapak bertanya lagi pada Bima,

"Nek ngunu saiki opo sing mbok karepno?"
(Kalau begitu sekarang apa yang kamu inginkan)
"Kulo pengen mantuk pak, kulo mpun dangu ten mriki, ibuk kulo mangke madosi", jawab Bima.
(Saya ingin pulang pak, saya sudah lama disini nanti ibu saya nyariin)

Bima bilang kalau dia ingin pulang, lalu si bapak lanjut berkata,

"Yowes mari ngene ben diterno Puspo Rini dalane muleh"
(Yaudah habis ini biar ditunjukan Puspa Rini jalan pulang)

Si Bapak kemudian meminta pada Rini untuk mengantarkan Bima menuju jalan pulang.

Bima kembali masuk ke dalam kamar untuk mengambil tas dan sepatunya setelah itu dia pamit sama si bapak dan istrinya yang kebetulan baru pulang dari ladang. Setelah berpamitan Rini mengajaknya untuk pergi ke sebuah tempat menuju jalan pulang.

Di perjalanan menuju ke tempat tersebut terlihat Rini sangat berbeda dengan sebelumnya, dia tampak murung, sepertinya dia sangat sedih. Tidak lama berjalan sampailah mereka di sebuah tempat yang disitu terdapat sebuah gapura.

Mereka berhenti tepat di depan gapura tersebut, terlihat wajah Rini sudah dipenuhi oleh air mata, sepertinya dia enggan melepas kepergian Bima. Dengan keadaan yang seperti itu Rini memberitahu Bima,

"Setelah melewati gapura ini Mas Bima bisa kembali dan bisa pulang", ucap Rini sambil menahan kesedihannya.
"Ya udah aku pulang dulu terima kasih sudah mengantarkan sampai ke sini". Ucap Bima sambil memegang puncaknya Rini.

Bima kemudian berjalan mendekati gapura itu, sebelum akan masuk melewati gapura dia melihat Rini sedang melambaikan tangannya sebagai tanda perpisahan dan Bima pun melambaikan tangannya juga.

Mungkin berat bagi Rini untuk melepas kepergian Bima, tapi mau bagaimana lagi Bima punya kehidupannya sendiri, jadi mau tidak mau dia harus pergi untuk pulang.

Setelah melewati gapura itu Bima nengok lagi ke belakang untuk melihat Rini untuk yang terakhir kalinya tapi seketika itu gapura yang tadi dilewati beserta Rini yang sedang berdiri hilang begitu saja, yang terlihat hanyalah hutan pinus yang cukup lebat.

Melihat gapura itu yang tiba-tiba hilang Bima menjadi bingung setelah ini dia harus kemana, dia terus berjalan menapaki jalur setapak yang ada hingga akhirnya dia menjumpai sebuah papan kayu. Anehnya jalannya Bima ini seperti ada yang menuntun dengan sendirinya kakinya ini terus berjalan tanpa dia tahu akan kemana.

Melihat keadaan disekitarnya Bima malah semakin bingung, "Aku ini sedang di mana dan mau ke mana?". Pikir Bima.

Dengan sendirinya kakinya terus melangkah hingga dia menjumpai sebuah danau yang sangat luas dan beberapa orang yang di tepi danau tersebut. Tanpa menghiraukan orang-orang yang ada di tepi danau kaki Bima terus melangkah menyusuri pinggir danau tersebut tanpa berhenti dan tanpa merasa lelah.
Setelah lama berjalan di depan terlihat ada sebuah perkampungan dan kakinya ini dengan sendirinya melangkah ke arah perkampungan tersebut.

Ketika akan sampai di perkampungan itu terlihat ada beberapa orang yang sedang mengerumuni sebuah bangunan, hingga akhirnya Bima kenal dengan salah satu orang yang ada di situ. Sebut saja dia adalah Fandi, temannya Bima waktu itu.

"Udah turun Bro, mau langsung pulang apa istirahat dulu?", sapa Fandi.
"Iya nih, kayaknya aku langsung pulang aja deh", jawab Bima.
"Yaudah kalo gitu hati=hati dijalan ya", ucap Fandi.
"Tapi aku gak tau jalan pulang", jawab Bima.

Meskipun mengenal Fandi tapi Bima tidak tahu arah jalan pulang, bahkan dia juga tidak tahu sekarang dia ini ada di mana.

Bisa dibilang waktu itu Bima ini seperti orang linglung, yang ada di dalam pikirannya hanya kampung yang yang dia tempati sebelumnya termasuk si bapak dan anak gadisnya.

Awal Bima melihat perkampungan ini dia menganggap kalau ini adalah perkampungan yang sebelumnya ditempati tapi ternyata bukan.

Melihat Bima dalam keadaan seperti itu Fandi sudah mengira kalau Bima ini sedang dalam kondisi yang tidak stabil, alias gangguan jiwa. Kemudian Fandi mengajak Bima untuk pergi ke salah satu rumah warga yang mandi sudah kenal dengan pemilik rumahnya. Sesampai di rumah tersebut Fandi menanyakan apa yang sedang terjadi pada Bima hingga dia jadi seperti ini.

Orang yang ditemui itu sudah cukup tua, lalu terdengar si pemilik rumah itu berkata,

"Temanmu ini habis di bawa makhluk lain ke alamnya selama 40 hari, tapi dia beruntung karena masih dikembalikan, itulah sebabnya di asekarang jadi seperti ini".

Mendengar itu Fandi benar-benar kaget lalu terdengar Fandi bertanya pada orang itu, bagaimana agar Bima bisa kembali normal, menurut orang itu dia harus pulang ke rumahnya dan bertemu dengan orang tuanya, karena dengan itu dengan sendirinya nanti dia akan ingat dengan dunianya sendiri.

Di rumah itu Bima masih terus diam tanpa bicara 1 kata pun, dia hanya bisa mendengar percakapan antara Fandi dan pemilik rumah itu, lalu terdengar lagi si pemilik rumah itu meminta pada Fandi Untuk mengantarkan Bima pulang ke rumahnya karena kalau harus pulang sendiri dia tidak akan bisa. Akhirnya Wandi berinisiatif untuk mengantarkan Bima pulang dan Bima pun hanya menurut kemanapun Fandi mengajaknya.

Fandi mengantarkan Bima pulang dengan menggunakan motornya, di sepanjang perjalanan Bima merasa semakin bingung melihat keadaan sekitar yang sangat ramai.

Sesampai di depan rumahnya tiba-tiba Bima ingat kalau rumah ini adalah tempat tinggalnya. Fandi kemudian mengajak Bima untuk masuk ke dalam rumahnya, di dalam rumah Bima melihat ada seorang wanita yang tidak lain dia adalah ibunya.

Melihat itu tiba-tiba Bima ingat semuanya, ingat kalau ini adalah tempat tinggalnya dan wanita ini adalah ibunya. Bima langsung lari merangkul sang ibu sambil menangis.

Melihat Bima yang tiba-tiba seperti itu sang Ibu bingung lalu dia bertanya pada Fandi apa yang sebelumnya terjadi pada Bima, tapi Fandi tidak mengatakan yang sejujurnya pada ibunya kalau Bima habis di bawa makhluk lain ke alamnya disisi lain Fandi juga tidak tahu persis kejadiannya.

Melihat keadaan Bima yang sepertinya sudah normal Fandi pamit pada Bima dan ibunya. Bima mengucapkan banyak terima kasih pada Fandi karena sudah mau mengantarkannya pulang.

Di rumah Bima menceritakan tentang apa yang dialaminya di gunung itu pada ibunya, mendengar cerita dari Bima sang Ibu terlihat sangat kaget.

(Tau nggak, ternyata wanita paruh baya yang waktu itu melambaikan tangan dan memeluk Bima itu adalah gambaran dari ibunya Bima yang terus mendoakan anaknya selama Bima pergi ke gunung waktu itu. Pantas saja waktu itu Bima merasa seperti kenal dengan wanita itu dan seorang gadis yang membawa potongan bambu di telaga waktu itu adalah gambaran dari Nindy, calon istrinya Bima yang mungkin dia juga turut mendoakan Bima agar selamat sampai kembali pulang).

Mengetahui semua kejadian itu Bima tidak habis pikir, "Kok bisa Kejadian itu bisa aku alami, Andai saja waktu itu aku menerima tawaran si bapak untuk dinikahkan dengan anaknya sudah dipastikan sekarang aku tidak pulang dan tinggal di sana”.

Singkat cerita, beberapa hari setelah itu Bima menghubungi Fandi untuk mengajaknya bertemu dengan tujuan untuk balas budi. Mereka bertemu di sebuah tempat yang berada di kota Malang, setelah bertemu, sekali lagi Bima mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya pada Fandi, lalu Fandi bertanya pada Bima apa yang sebenarnya terjadi waktu itu.

Bima pun menceritakan semua itu pada Fandi dan... selama Bima berada di kampung itu hingga bertemu dengan si bapak dan anak gadisnya ternyata cuma 3 hari, tapi menurut orang yang mereka temui waktu itu Bima sudah tinggal di alam sana selama 40 hari.

Benar saja, Bima juga merasa kalau dia sudah tinggal di rumah si bapak sangat lama.

Bima benar-benar beruntung karena masih dikembalikan ke alamnya kalau tidak mungkin sekarang ini Bima sudah tinggal di sana dan dinikahkan dengan gadis itu dengan penuh kemewahan.

(Nah ini sedikit info ya, menurut orang terdekat saya yang tau akan hal-hal seperti itu, di alam gaib itu kehidupannya sama seperti alam kita, ada kampung dan ada penduduknya, tapi nggak gitu penduduknya ini semuanya aneh, ada yang kakinya putus, ada yang yang matanya lebar, ada yang jalannya ngesot dan lain-lain, persis dengan apa yang sudah saya ceritakan tadi yang dialami Bima.

Nah selama berada di kampung ingatan Bima ini dihilangkan oleh mereka, jadi dia tidak bisa mengingat alamnya sendiri dan yang dia tau hanyalah alam mereka, kalaupun bisa kembali ke alam nya sendiri dia ini akan tampak seperti orang linglung karena di dalam pikirannya masih di alam sana).

~~~SEKIAN~~~

close