Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PETAKA KERIS KALAMUJENG


JEJAKMISTERI - Pusaka keris KALAMUJENG pernah ditanam di halaman rumah. Jin penunggu pusaka ini ternyata menebarkan aroma sangat buruk. Akibatnya, beberapa malapetaka pun datang mendera. Seperti apakah akhir kisahnya...?

*******
Gara-gara piranti mistis yang ditanam ibu di beranda rumah, kami sekeluarga mengalami teror gaib yang sangat mencekam. Ibu terpaksa memilih langkah ini demi melindungi kami, anak-anaknya, dari ancaman serangan ilmu gaib. Ibu pasti tak menyangka bahwa pilihan yang dilakukannnya justru berakibat fatal bagi aku, adikku, juga suamiku. Ya, akibat ini semua kami banyak mengalami kemalangan, yang hampir-hampir saja membuat kami pasrah menghadapinya. Bahkan, adikku menghembuskan nafas terakhirnya setelah didera penyakit yang cukup aneh.

Manusia memang tak bisa menolak kemalangan yang akan menimpa dirinya. Begitulah yang terjadi dengan aku dan keluargaku. Andai aku harus menyesali takdir ini, maka satu-satunya orang yang patut aku persalahkan tak lain dan tak bukan adalah Bapakku. Lelaki yang sebelumnya amat aku banggakan itu tiba-tiba berubah menjadi pengkhianat yang sangat kejam dan menyakitkan. Di ambang usia kepala lima, Bapak tergoda pada sesosok perempuan sebaya diriku, anak sulungnya. Bapak lebih memilih perempuan itu ketimbang keluarga yang telah dibangunnya selama berpuluh-puluh tahun lalu.

Sementara itu, walau telah dibujuk oleh kerabat dan adik-adiknya, Ibu bersikukuh tak mau hidup dimadu. Baginya, kenyataan ini terlalu menyakitkan.

"Maafkan Ibu, Lina! Sulit bagi Ibu untuk menerima perlakuan Ayahmu. Sudah hampir 30 tahun Ibu mendampinginya dalam suka dan duka.
Sekarang, Ayahmu menusuk Ibu dari belakang. Menyakitkan sekali! Ibu tak mungkin bisa memaafkannya. Selama ini Ibu selalu memberikan kepercayaan kepada Ayahmu. Ibu benar-benar tak menyangka kalau dia akan mengkhianati Ibu. Kenyataan inilah yang tak bisa Ibu terima." Tutur Ibu diantara air mata yang menganaksunga diatas wajahnya yang mulai keriput didera usia.

Betapa aku turut merasakan sakitnya perasaan Ibu waktu itu. Sebagai anak tertua dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan, aku memang tak bisa berbuat apa-apa untuk menolong Ibu. Paling-paling aku hanya bisa larut dalam tangis bersamanya.

Jauh sebelum tragedi perceraian itu pecah kami, Ibu dan anak, memang pernah melabrak Ayah ke rumah istri mudanya. Sebagai perempuan normal, terlebih Ibuku, memang langsung terbakar emosinya saat mendengar bahwa Ayah sudah kawin lagi, bahkan istri mudanya itu dibelikan rumah sederhana di sebuah kompleks perumahan di daerah Bogor. Dan hari itu merupakan puncak dari kemarahan kami berempat

Senja yang cerah itu berubah menjadi suasana yang sangat mencekam berselubung amarah, ketika kami menyatroni Ayah di rumah istri mudanya.

Ayah berusaha keras membendung kemarahan Ibu, sementara aku dan kedua adikku kalap menyerang istri muda Ayah yang sebaya denganku.
Perempuan yang kuakui memang cantik itu tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa menangis dan meminta ampunan, ketika kami bertiga mengeroyoknya.
Tanpa menaruh belas kasihan, kami menjambak, mencakar, meninju dan menendangnya. Kalau saja tidak ada dua orang satpam perumahan yang melerai kami, entahlah apa jadinya perempuan yang konon menurut kabar berstatus janda saat menikah dengan Ayah itu.

Penyerangan itu mungkin pula menjadi puncak kemarahan Ayah. Dua hari setelah kejadian itu, Ayah mengambil keputusan sepihak dengan menjatuhkan talak pada Ibu. Bagai api disiram bensin, Ibu menyambut keputusan ini. Alhasil, walau belum resmi bercerai lewat pengadilan agama, namun sejak hari itu Ayah tak pernah pulang lagi ke rumah. Dia tinggal bersama istri mudanya, yang akibat penyeranganku dengan kedua orang adikku hari itu, kandungannya keguguran. Agaknya, ini pula yang membuat Ayah marah besar kepada kami, anak-anaknya.

Mungkin, seharusnya aku dan adik-adikku meminta maaf akibat peristiwa memalukan hari itu. Tapi, aku sendiri tak tahu dari mana harus memulai, sebab disaat yang sama kebencian terhadap Ayah sudah begitu memuncak di dalam otakku. Mungkin ini memang tidak sepatutnya. Baik atau buruk, dia tetap seorang Ayah yang telah membesarkanku, yang telah begitu banyak berkorban demi kehidupanku.

Tapi, perempuan mana yang tidak turut merasakan sakit hati bila melihat ada kaumnya yang dikhianati oleh lelaki yang sangat dicintainya, terlebih dia adalah Ibuku sendiri. Apalagi di saat yang sama aku juga harus menanggung beban perasaan lain yang teramat berat, yakni rasa malu pada suami yang baru menikahi ku kurang lebih sebulan lamanya. Harga diriku sepertinya hancur di mata suamiku sendiri. Entah apa penilaiannya setelah dia melihat kenyataan yang terjadi? Tapi aku yakin, Mas Suryaha suamiku, pun tidak pernah berfikir bahwa Ayah akan tega melakukan semua ini, sebab kesan yang dibangun Ayah selama ini memang terlalu baik. Dia seolah-olah suami dan Ayah yang penuh dengan tanggung jawab.

Siapa menyangka kalau Ayah menyimpan kebusukan di balik itu.

PERGI KE ARAB SAUDI

Selang tiga bulan setelah perceraian, diam-diam Ibu mengambil langkah yang sangat radikal. Wanita yang sangat aku cintai ini memutuskan untuk pergi ke Arab Saudi dan bekerja sebagai TKI.

"Apa mungkin Ibu bisa? Ibu kan sudah tua?" Tanyaku sambil memandang Ibu dengan perasaan sulit dipercaya.

"Ibu tahu Ibu sudah tua," jawabnya sambil balas menatapku dengan teduh.
"Kalau Ibu berangkat lewat perusahaan jasa pengerah tenaga kerja, rasanya memang mustahil bisa diterima. Tapi syukur, ada teman Ibu yang sudah sukses bekerja disana, tepatnya di Provinsi Dahran, Arab Saudi. Kebetulan dia baru pulang ke Tanah Air. Dia lah yang akan membantu dan mengurus semua dokumen keberangkatan Ibu. Nantinya Ibu akan bekerja di rumah majikannya, sebab majikannya itu memang membutuhkan pegawai baru."

"Tapi mengapa harus Ibu, bukan aku saja?" Protesku.
Ibu menghela nafas berat. Sembari membelai rambutku, dia menjelaskan dengan bijak, "Nak, kamu kan baru menikah. Kasihan suamimu. Dia pasti akan sangat kehilangan kamu kalau kamu harus pergi jauh. Lagi pula, suamimu kan bisa mencukupi semua kebutuhanmu. Jadi, tidak ada alasan buat Ibu bekerja, apalagi sebagai TKI di luar negeri."

Aku terdiam meresapi kedalaman perkataan Ibu. "Kamu pasti tahu dan ikut merasakan bagaimana kehancuran hati Ibu saat ini, bukan? Sejujurnya, Ibu mau menerima tawaran teman Ibu bekerja di rantau orang bukan semata-mata karena ingin mencari uang. Ibu juga berat berpisah dengan kalian. Tapi Ibu harap, dengan bekerja di tempat yang jauh, Ibu bisa melupakan semua hal yang menyakitkan selama ini. Sekali lagi, Ibu harap kamu mengerti dan bisa memberi pengertian kepada adik-adikmu," tambah Ibu dengan suara bergetar sebagai tanda tertekan perasaan yang teramat berat.

Aku tak kuasa mencegah kepergian Ibu. Mungkin dia memang benar, dengan berada di tempat yang jauh dan disibukkan oleh pekerjaan, maka dia akan lebih mudah melupakan semua kepahitan hidup yang dialaminya.

Tanpa perlu menghadapi kerepotan yang berarti, Ibu akhirnya berangkat ke Arab Saudi. Walau perpisahan ini terasa amat berat, namun kami, Kakak beradik, berusaha melepas kepergian Ibu dengan seulas senyum tulus. Kami memang sudah bersepakat tak akan menangisi kepergiannya, sebab kami tak ingin membuat Ibu bersedih saat meninggalkan kami ke tempat yang jauh.

Selepas kepergian Ibu, suasana rumah terasa berubah sangat sepi.

Lebih-lebih lagi setelah adikku yang nomor dua memutuskan untuk kost di Jakarta, sebab belakangan hari ini lalu-lintas memang semakin macet dan dia takut sering terlambat masuk kantor.
Aku tak bisa mencegahnya. Paling-paling aku hanya bisa berpesan agar dia selalu menjaga diri dengan baik.

RUMAH BERUBAH MENCEKAM

Perpisahan, terlebih dengan orang-orang yang kita cintai, memang selalu saja menghadirkan kesunyian yang sempurna. Tapi dibalik ini, aku juga merasakan ada sesuatu yang lain. Maksudku sesuatu yang tidak sewajarnya. Ya, sepinya rumah terasa sangat mencekam bagiku. Terlebih, ketika aku sedang berada seorang diri. Aku merasa ada pemilik sepasang mata misterius yang selalu mengawasi gerak-gerikku. Bahkan, ketika aku berada di dalam kamar mandi dan dalam keadaan telanjang sempurna, aku merasa seolah-olah sepasang mata misterius itu semakin jalang menatap tubuhku. Tak heran kalau aku sering mencari-cari sesuatu yang kurasakan seperti ada, namun sesungguhnya tiada itu. Tak jarang pula aku berdialog dalam batin berkecamuk, seraya berulangkali menegaskan bahwa apa yang kurasakan tak lebih hanya halusinasi ku belaka. Ya, mungkin ini terjadi karena perasaan yang masih tertekan akibat harus berpisah dengan dua orang yang sangat aku cintai. Mungkin pula karena sesekali, aku juga menyesali perceraian Ibu dan Bapak.

Entahlah apa yang sesungguhnya terjadi. Yang pasti, menurut perasaanku sepertinya suasana rumah memang terasa jauh berbeda, persisnya sejak kepergian Ibu. Entah dimana letak perubahannya. Bagiku, rumah tak hanya berubah mencekam, namun juga terasa berhawa panas. Padahal, dulu rumah kami terasa sejuk, sebab memang banyak pepohonan baik di halaman depan, samping, maupun belakang.
Kebetulan, rumah kami berdiri diatas areal tanah yang cukup luas di daerah Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat.

Puncak dari keresahan perasaanku terjadi ketika suatu malam aku bermimpi melihat seekor ular besar yang tengah mengerami telur-telurnya. Lalu, telur-telur ini menetas dan puluhan ekor anak ular itu masuk ke dalam kamarku.
Anehnya, anak-anak ular yang menjijikan itu kemudian mengerubungi suamiku yang sedang tertidur pulas. Karuan aku menjerit-jerit ketakutan, meski jeritanku sepertinya hanya tersangkut di kerongkonganku. Aku pun terjaga dengan nafas tersengal-sengal. Kulihat Mas Suryana yang tertidur pulas disampingku, dan ternyata tak ada anak-anak ular menjijikan itu.

Pada awalnya, aku menganggap mimpi itu hanya sebagai bunga tidur semata. Tapi, dua hari kemudian terjadi sebuah peristiwa yang sama sekali aku tak pernah terlintas dalam pikiranku. Peristiwa ini menimpa Mas Suryana, suamiku. Dia di tahan di kantor polisi dengan tuduhan telah menabrak seorang anak kecil dan menyebabkannya terluka parah.

Mimpi malam itu seakan menjadi pertanda kemalangan ini. Ya, betapa tidak! Kami tidak hanya harus kehilangan harta benda, bahkan lebih parah dari itu Mas Suryana babak belur dihakimi massa, dan hampir-hampir mendekam di dalam penjara. Masih untung Bapak anak itu seorang yang bijak. Dia membebaskan Mas Suryana dari tuntutan hukum dengan catatan harus menanggung seluruh biaya pengobatan anaknya hingga sembuh. Untuk menanggung biaya pengobatan ini, Mas Suryana terpaksa harus menjual sepeda motor kesayangannya.

Kecelakaan yang menimpa suamiku, juga sepertinya diliputi misteri. Menurut kesaksian Mas Suryana, bukan sepeda motornya yang telah melanggar anak itu.
Saat kecelakaan itu terjadi, Mas Suryana sedang mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan yang sangat pelan.
Saat anak itu menyeberang jalan, tiba-tiba ada sepeda motor lain yang menyalip Mas Suryana dengan kecepatan tinggi.
Sepeda motor inilah yang menabrak si anak. Malangnya, Mas Suryana yang bermaksud memberikan pertolongan malah langsung dihakimi massa dan dituduh sebagai pelaku penabrakan, sampai kemudian dia diseret ke Polsek terdekat.

Walau berulang kali Mas Suryana membeberkan duduk persoalan yang sebenarnya di hadapan polisi, namun polisi tidak akan mudah percaya. Apalagi sejumlah saksi yang dimintai keterangan dalam BAP semuanya menuduh Mas Suryana sebagai pelaku penabrakan itu.

Setelah peristiwa nahas itu, dan Mas Suryana harus kehilangan sepeda motornya, maka dia terpaksa berhenti bekerja sebagai tenaga freelance di bidang pemasaran sebuah perusahaan jasa keuangan non perbankan. Maklum saja, sepeda motor ini seumpama kaki yang berguna untuk mempercepat langkah dalam pekerjaannya. Tanpa sepeda motor, Mas Suryana seperti kehilangan kakinya. Karena itu pada akhirnya dia memilih bekerja di rumah dengan membuka agen kredit uang dengan jaminan BPKB kendaraan dan sertifikat rumah maupun tanah.

Syukur Alhamdulillah usaha kecil-kecilan ini bisa berjalan lancar. Namun, kemalangan kembali harus kami hadapi. Ketika itu ada seorang nasabah suamiku, yang sebut saja bernama Haji Komar. Pak Haji yang pemilik sebuah perusahaan kontraktor kelas menengah ini ceritanya membutuhkan uang sejumlah Rp. 100 juta. Untuk mendapatkan pinjaman uang sejumlah itu, dia bermaksud menjaminkan sertifikat rumahnya. Tentu saja suamiku menyanggupinya, dengan catatan dia diberi succes fee bila nantinya pinjaman itu cair.

Haji Komar menyanggupi kesepakatan itu. Tapi sebelumnya dia bermaksud meminjam uang secara pribadi kepada Mas Suryana. Mulanya suamiku keberatan. Namun setelah Haji Komar menunjukkan sertifikat rumah yang akan dijaminkannya, bahkan dia bersedia meninggalkan copy-nya, Maka Mas Suryana pun menyerah. Apalagi uang yang dipinjam Pak Haji hanya Rp. 10 juta.

Untuk mengadakan uang Rp. 10 juta itu bagi kami sangatlah berat. Mas Suryana harus menguras semua saldo rekening tabungannya, bahkan dia juga harus pinjam sana sini kepada teman-temannya. Tapi tak mengapa. Yang penting urusan lancar, ditambah lagi tergiur dengan succes fee yang dijanjikan Haji Komar.

Namun, apa yang terjadi kemudian?
Saat akad kredit siap dilakukan antara kedua pihak, dalam hal ini pihak perusahaan pemberi kredit dan pihak Haji Komar, hal yang tak terpikirkan sebelumnya itu terjadilah. Haji Komar ternyata telah menggadaikan sertifikat rumahnya yang semula akan diagunkannya kepada Bank, dengan alasan terlalu lama menunggu proses pencairan kredit yang diurus oleh suamiku.

Gara-gara persoalan prinsipil itu, karuan saja akad kredit pun dibatalkan.
Celakanya, Mas Suryana dibebani tanggung jawab untuk mengganti uang comitmen-fee dengan pihak notaris sebesar Rp. 1juta. Uang sejumlah ini terus terang sangat berat saja sangat berat bagi kami. Dan sekali lagi, untuk mengadakannya kami harus pinjam kesana sini.

Ibarat pepatah. Sudah jatuh tertimpa tangga! Itulah yang menimpa aku dan suamiku. Gara-gara kepincut iming-iming kami harus menanggung utang yang sangat besar, sehingga kami pun sulit untuk membayarnya.

Berulang kali kami menagih uang sebesar Rp. 10 juta yang dipinjam oleh Haji Komar, tapi dia selalu janji-janji. Bahkan, belakangan hari, pengusaha yang sudah di ambang pailit itu menghilang entah kemana. Kantornya di Sawangan, Depok, selalu terkunci bila kami mendatanginya. Rumahnya yang ada di kawasan perumahan elit yang terletak di daerah Cibubur juga telah dipindahkan tangan kan kepada warga keturunan India.

KEMATIAN SANG ADIK

Sepertinya, irama sang nasib masih terus menorehkan catatan hitam dalam perjalanan hidup yang harus kujalani.
Ketika aku dan suamiku masih dibuat senewen mencari jalan keluar untuk melunasi hutang-hutang kami, tanpa memberi kabar terlebih dahulu Pujiyanti, adikku, yang bekerja sebagai kasir di sebuah Bank Swasta di Jakarta, tiba-tiba pulang ke rumah. Andai saja Puji pulang dalam keadaan sehat, tentu saja akan menyambutnya dengan penuh suka cita. Tapi, dia datang dalam keadaan sakit.

"Kamu kenapa, Puji?" Tanyaku sambil menatap wajahnya yang nampak melepuh seperti terkena iritasi berat.

Puji memelukku dengan penuh haru.
"Aku cuti, Kak! Aku sakit!" Katanya sambil menahan tangis.

"Iya, tapi kamu sakit apa?" Tanyaku seraya mengguncang bahunya dan menatapnya.

"Menurut dokter, aku terkena alergi. Tapi sudah hampir sebulan diobati, ternyata tidak sembuh-sembuh juga. Makanya aku minta cuti," jelasnya.

Perih menelusup ke dalam batinku. Terlebih setelah seminggu kembali tinggal bersama-sama kami, sakitnya Puji ternyata kian bertambah parah. Keharuan pun kami alami ketika hasil diagnosa terakhir dokter menyimpulkan bahwa Puji terkena gejala awal Kanker Kulit.

Betapa sulit bagi puji menerima kenyataan ini. Dengan penyakit yang dialaminya, dia merasa telah kehilangan segalanya. Dulu, diantara kami bertiga kakak beradik Puji lah yang paling cantik. Kulitnya yang bersih, hidungnya yang mancung, dan matanya yang agak sipit, seringkali membuat aku dan Nilamsari, adik bungsuku merasa iri. Tapi kini semuanya hilang. Paras Puji yang mulus terawat berubah seperti wajah monster yang menakutkan. Kulitnya mengelupas dan sering kali bernanah. Demikian pula di bagian tubuh lainnya, terutama pangkal lengannya.

Aku sering melihat Puji menangis dalam kesendirian. Sampai suatu malam, persisnya dua hari menjelang kematiannya, Puji menceritakan sesuatu yang membuat bulu kudukku merinding. Ternyata, sebelum sakit menderanya, Puji juga pernah bermimpi tentang ular-ular menjijikan itu.

"Aku melihat ada ular besar di rumah kita ini, Kak. Ular besar itu mengerami telur-telurnya. Lalu, telur-telur itu menetas, dan kulihat banyak sekali anak ular. Ular-ular kecil itu bergerak cepat mengejarku. Karena takut, aku ingin lari. Tapi, kakiku seperti sudah terpaku diatas lantai tempatku berdiri. Aku tak berdaya ketika ular-ular itu mengerubungi tubuhku. Aku hanya bisa menangis dan menjerit-jerit meminta pertolongan. Kulihat Kakak dan Nilam. Tapi kalian hanya diam, tak mau menolongku."

Mendengar cerita Puji, aku merasa yakin ada sesuatu pertanda dibalik mimpi itu. Intinya, mimpi tentang ular itu bukanlah semata-semata bunga tidur. Bukankah dua hari sebelum Mas Suryana terkena fitnah berupa tudingan menabrak anak kecil itu, aku juga telah memimpikan hal yang sama? Ya, aku mimpi tentang ular besar yang mengerami telurnya, lalu telur itu menetas, untuk kemudian lahirlah anak-anak ular yang bergerak cepat mengerubungi tubuh suamiku. Bedanya, Puji menyaksikan sendiri semuanya, dan anak-anak ular itu mengerubungi dirinya.
Apakah ini sebagai pertanda bahwa siapa yang dikerubungi anak-anak ular itu akan tertimpa suatu kemalangan?

Entahlah! Namun, dari dua kasus yang terjadi setidaknya aku menyimpulkan demikian. Dalam mimpiku Mas Suryana yang dikerubungi, dan dialah yang menerima kemalangan. Sedangkan dalam mimpinya, Puji merasa anak-anak itu mengerubungi dirinya, dan kemudian dia sendiri yang mengalami kemalangan.

Ya, kemalangan itu menjelma dengan sempurna setelah sang maut merenggut nyawanya. Ajal menjemput Puji ketika Subuh menjelang, setelah sepanjang malam merintih-rintih kesakitan. Betapa mencekam detik-detik kematiannya.
Berulangkali Puji menjerit-jerit laksana harimau terluka, akibat menahan sakit yang tak terperikan. Menyongsong detik-detik penghabisan, adik yang amat kusayangi ini masih sempat membisikkan sesuatu di telingaku, "Kayak... Ibu menaruh sesuatu di dalam rumah ini. Ambil dan musnahkan, Kak!"

Aku tak tahu apa yang dimaksudkan oleh Puji. Ketika itu aku tak kuasa untuk bertanya padanya. Tangis dan kesedihan terasa mencekik leherku. Aku tak sanggup untuk berkata-kata, selain menuntun Puji mengucapkan lafadz: Lama Ilaaha Illaallah! Dalam hati aku berdoa: Semoga Tuhan mengakhiri penderitaannya.

Tuhan mendengar doaku. Puji menghembuskan nafas terakhir beberapa detik setelah adzan Subuh berlalu. Kami sekeluarga melepas kepergiannya dengan tangis. Namun, kami mencoba ikhlas, sebab kami yakin Tuhan telah memberiku jalan terbaik baginya.

Kematian Puji di usia yang masih sangat belia, 21 tahun, sungguh merupakan pukulan batin yang sangat berat bagiku. Kendati demikian, dengan pertimbangan tidak ingin membuat Ibu histeris akibat dihempas kesedihan, maka aku memutuskan tidak menyampaikan berita duka ini padanya.
Sulit membayangkan kalau Ibu sampai tahu kematian anak gadis yang sangat disayanginya ini. Bisa-bisa jiwanya memberontak. Apa jadinya nanti kalau dia mendadak ingin pulang ke Tanah Air? Ah, tentu akan terjadi kerepotan dan kepanikan yang teramat sangat.

Karena itulah, sekali lagi, kuputuskan untuk merahasiakan kepergian Pujiyanti kepada Ibu. Demikian pula kuputuskan untuk merahasiakan semua kemalangan yang aku hadapi bersama suami.

Tetapi yang terpenting dari semuanya itu adalah pesan yang dibisikkan Puji untuk terakhir kalinya: "Kaak... Ibu menaruh sesuatu di dalam rumah ini. Ambil dan musnahkan, Kak!" Agaknya, misteri inilah yang sesungguhnya menjadi pangkal dari semua kemalangan yang kami alami.

Apakah itu? Nah, begini ceritanya...

Tujuh hari setelah kematian Pujiyanti, aku bermimpi sesuatu yang sangat aneh.
Dalam mimpi ini aku merasa bertemu dengan almarhumah. Kulihat Puji berlinang air mata lalu, menuturkan kata-kata ini padaku: "Setiap hari tubuhku dicambuk tujuh kali oleh tujuh malaikat. Setelah itu aku disuruh menyeberangi Titian rambut. Tolonglah aku, Kak! Aku tidak bisa menyeberangi Titian itu, sedangkan aku takut terjatuh di sungai api yang ada di bawahnya." Setelah itu, aku pun terjaga dengan tubuh gemetar karena rasa takut yang menguasai jaringan syarafku.

Dua malam berturut-turut mimpi itu datang di dalam tidurku. Walau aku tidak bisa menafsirkannya, namun aku merasa yakin kalau mimpi itu bukanlah bunga tidur semata. Karena itulah, kuputuskan untuk menceritakan hal ini kepada Mas Suryana dan Nilam, adikku. Kami kemudian berdiskusi untuk mencari jalan keluarnya. Nilam menawarkan diri akan meminta tolong Arya, pacarnya, yang katanya punya paman mengerti banyak tentang hal-hal yang berhubungan dengan dunia gaib.

Pamannya Arya, pacarnya Nilam, itu bernama Ustadz Syakib. Dia menyambangi rumah kami persis pada malam Jum'at. Mengawali ritualnya, Pak Ustadz menunaikan sholat sunnah sekitar 8 rakaat. Setelah itu dia meminta kami semua berkumpul. Lalu aku, Nilam, Mas Suryana, juga Arya, berkumpul di ruangan tengah. Kami duduk bersila di atas permadani yang sudah kami hamparkan sebelumnya.

"Saya mohon nanti kalian mengikuti lafadz-lafadz dzikir yang akan saya bacakan. Lakukan dengan khusyuk dan hati yang ikhlas," pesan Ustadz Syakib.
Setelah itu dia pun mulai melantunkan doa dan silsilah. Salah satunya ditujukan kepada para Rizalul Goib.

Ketika lafadz-lafadz dzikir dilantunkan satu demi satu, dengan bilangan tertentu, maka sesuatu di luar dugaan pun terjadi. Nilam mendadak jatuh tak sadarkan diri. Lalu, dalam keadaaan mata terpejam, terdengarlah suara tangis dan rintihan dari mulutnya. Subhanallah! Aku mengenali suara itu sebagai suara milik almarhumah Pujiyanti, adikku.

"Aku menderita di alam sana. Tolong sempurnakanlah kematianku..."

Begitulah salah satu penggalan kalimat yang terucap dari mulut Nilam. Tak terasa aku pun menangis. Mengapa Puji menderita di alam sana? Mengapa kematiannya ingin disempurnakan? Apa yang terjadi? Dosa-dosa apa yang telah diperbuatnya semasa hidup, sehingga Tuhan tidak menerima kematiannya?

Pertanyaan itu bertubi-tubi menghujam dadaku. Untunglah aku merasa sedikit lega setelah mendengar penjelasan Ustadz Syakib, "Sesungguhnya saat kematian adikmu memang belum tiba pada waktu yang semestinya. Takdir itu datang dengan cepat karena adanya intervensi jin laknatullah yang bersarang di dalam rumah ini."

Aku hanya terdiam mendengar kata-kata Pak Ustadz yang belum kumengerti benar apa maksudnya itu. Soalnya mampu menyelami kedalaman perasaanku, Pak Ustadz pun kembali berkata, "Penyakit yang diderita oleh almarhumah Pujiyanti adalah penyakit akibat rekayasa jin sebangsa siluman ular. Karena tak tahan dengan penyakit itu Puji harus cepat menyongsong ajalnya. Insya Allah kematiannya akan sempurna setelah kita menemukan keris pusaka tempat jin itu bersemayam, yang memang tertanam di dalam rumah ini."

Pagi harinya, menjelang waktu Dhuha, Ustadz Syakib memang membuktikan apa yang dikatakannya. Dia menyuruh Mas Suryana dan Arya menggali tanah di depan beranda rumah kami. Persisnya di depan pintu utama. Aneh, dari dalam tanah sekitar setengah meter, ditemukan sebilah keris dengan bilah berornamen seekor ular. Pak Ustadz menyebutnya sebagai Keris Kalamujeng. Aku sendiri merinding melihat ornamen ular itu, sebab sepertinya perwujudan ular itulah yang muncul di dalam mimpiku.

Menurut Pak Ustadz, penanaman keris ini dimaksudkan untuk melindungi penghuni rumah dari serangan ilmu hitam. Karena tidak ada yang memberi sesaji, maka jin yang mendiami keris itu mengamuk dan menebar malapetaka.

"Allah memberikan kebebasan kepada makhluknya untuk berbuat apapun. Demikian juga kepada siluman Kalamujeng itu. Karena itulah, jangan sekali-kali berbuat syirik kepada Allah. Mintalah perlindungan hanya kepadaNya," nasehat Ustadz Syakib.

"Kaak... Ibu menaruh sesuatu di dalam rumah ini. Ambil dan musnahkan, Kak!" Setelah mengaitkan penemuan keris dengan kata-kata terakhir almarhumah Pujiyanti tersebut, maka aku meyakini Ibulah yang menanam keris itu di depan beranda rumah kami. Seingatku, Ibu memang pernah mengajak Puji ke rumah Kakek di Jampang Surade, sebelum seminggu kepergiannya bekerja di Arab Saudi.

Mungkin, Ibu mengambil pusaka itu dari kakek, dan menanamnya.
Maksudnya tiada lain agar kami terhindar dari ancaman serangan ilmu hitam. Ya, diam-diam, Ibu rupanya kuatir istri muda Bapak yang asli orang Pandeglang, Banten, itu akan membalas dendam dengan cara gaib atas perlakuan yang kami perbuat tempo hari. Paranoid inilah yang membuat Ibu bertindak diluar kewajaran. Maklum saja, masa kanak-kanak Ibu memang dibesarkan di lingkungan yang sarat dengan kepercayaan dan budaya mistik.
Apalagi kami sekeluarga juga termasuk insan-insan yang kurang taat dalam beragama...

TERPAKSA MEMBOHONGI IBU

Sudah setahun lebih Ibu berada di tanah rantau. Lewat surat-surat yang dikirimnya, sepertinya Ibu berada dalam keadaan yang membahagiakan. Sekali waktu, lewat suratnya, Ibu pernah bertanya soal Pujiyanti, sebab katanya dia bermimpi bertemu Puji yang tengah mengaji namun sambil menangis. Walau pahit dan sambil menahan tangis kutulis sebait kalimat ini: "Keadaan Puji baik-baik selalu. Dia selalu mengaji bila rindu pada Ibu. Doakan Puji agar bahagia selalu...."

Kadangkala, bila kita mencintai seseorang, maka kita harus bisa menyembunyikan kesedihan yang kita alami. Setidaknya, inilah yang kulakukan buat Ibu. Aku tak ingin dia tahu penderitaan yang kami alami.

Begitulah torehan catatan hitam yang menghiasi lembar-lembar sejarah hidupku. Lewat tulisan ini.

Sejujurnya, sejak kejadian itu kami sekeluarga terasa amat sulit dalam mencari rezeki. Bahkan, untuk makan saja kami harus mengharapkan bantuan dari keluarga yang masih peduli melihat keadaan kami. Sebenarnya, kami malu dengan semua ini. Saya dan suami sudah berusaha keras mencari pekerjaan.
Begitu pula dengan Nilam, adikku, yang sudah tamat SMK. Malangnya, sampai sejauh ini peruntungan belum berpihak kepada kami.

Dan, semoga catatan hitam hidupku ini menjadi bahan renungan bagi pembaca tercinta.

SELESAI

close