Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KISAH HOROR DI PESANTREN


JEJAKMISTERI - Perkenalkan namaku Basuki. Sekitar pertengahan tahun 2006, aku melanjutkan SMP di salah satu pesantren modern. Sebenarnya aku tidak mau masuk pesantren, tapi ibulah yang bersikeras agar aku belajar ilmu agama di sana. Oya, perkenalkan juga teman SD-ku namanya Hadi. Dia juga akan masuk pesantren yang sama denganku.

Pagi sekali, mobil travel berhenti di depan rumahku. Ibu dari semalam sudah mengemas semua barang-barangku. Hanya ibu yang akan mengantar ke pesantren karena bapak sedang kerja di kota.

"Jadi mondok juga kau, hah?" Mang Damin, si sopir menyeringai ke arahku.

"Jadilah Mang." ibu yang menjawab. Dia tergopoh-gopoh membawa koper yang berisi pakaianku.

Seorang kondektur dengan sigap membantu ibu, lalu memasukkan koper itu ke dalam bagasi mobil.

Di dalam mobil tampak Hadi sedang duduk dengan wajahnya yang kecut. Mungkin ia juga dipaksa untuk masuk pesantren. Sepanjang perjalanan, aku coba membayangkan seperti apa kehidupan di pesantren. Semuanya pasti akan berbeda, aku harus mulai hidup mandiri. Aku tahu, alasan terbesar Ibu memasukkanku ke pesantren tak lain karena aku sangat manja. Mungkin dia ingin mengajarkan padaku bagaimana hidup yang sebenarnya kalau tanpa orang tua.

Dua jam perjalanan, akhirnya mobil travel berhenti di sebuah gerbang pesantren yang terlihat usang. Kami disambut oleh para santri dengan senyum ramah. Mereka membantu ibu dengan membawakan barang-barangku.

"Siang Ibu, atas nama siapa?" seorang wanita menyambut kami di depan kantor pondok.

"Basuki dan Hadi," jawab Ibuku.

"Kamar anak kami di sebelah mana ya?" tanya ibunya Hadi.

"Perkenalkan saya Ustazah Farihah. Jangan khawatir Hadi dan Basuki nanti satu kamar ya. Di kamar As-salam. Rud..., Rudi."

Dia memanggil salah seorang santri yang berpakaian rapi berdasi.

"Tolong antarkan tamu kita ke kamar As-salam ya," pinta Ustazah Farihah.

"Baik ustazah," jawab santri itu.

Ia lalu membawa kami semakin masuk ke lingkungan pesantren. Banyak sekali santri berlalu-lalang membawa piring yang sudah terisi makanan. Tampaknya memang ini jam makan siang bagi santri.

Yang membuat aku bingung adalah, mereka semua berbicara bahasa Arab. Aku tidak mengerti pembicaraan mereka. Sesampainya di kamar yang mereka berinama As-salam, kami disambut lagi oleh ketua kamar di sana.

Satu kamar terdiri dari 15 orang termasuk ketua kamar.. Aku masih ingat nama ketua kamarku Kak Safrudin, dia juga memang ramah, menasehatiku agar betah di pondok. Aku tidak yakin bisa beradaptasi dengan lingkungan seperti ini

Satu minggu di pondok, aku mulai betah. Kakak kelasku baik sekali, mereka mengajariku bahasa Arab dan Inggris. Aku punya program sendiri agar cepat bisa bahasa Arab; setap hari minimal hafal satu kosakata bahasa Arab untuk digunakan dalam percakapan.

Suatu malam saat teman-temanku sudah tidur pulas dan lampu kamar sudah dimatikan, aku malah tidak bisa tidur. Kubuka pintu lemariku lalu mengambil sebuah kamus. Pelan-pelan kulangkahi satu persatu temanku yang sedang berjejer tidur dengan pulas.

Aku mendekat ke jendela untuk mendapatkan cahaya dari luar. Kubuka sedikit tirai jendela itu, ini jam dua dini hari dan pondok benar-benar sudah sepi. Kubuka lembaran kamusku dan menemukan sebuah kosakata migrofah yang berarti gayung. Kuucapkan kosa kata itu berulang-ulang agar bisa diingat.

Tiba-tiba dari luar kamar, tampak bayangan seseorang melintasi kamarku. Jelas sekali, tadi aku lihat itu bayangan seseorang yang mengenakan mukena. Mana mungkin malam-malam begini ada santriawati yang masuk kawasan santriawan. Kuintip dengan hati-hati dari balik jendela, namun tidak ada siapa-siapa di sana.

"Apa mungkin ada orang yang iseng?" tanyaku dalam hati.

Aku kembali duduk di dekat jendela sambil bersandar ke dinding. Kubuka kembali kamus bahas Arab itu. Lalu menghafalkan kosakata migrofah yang berarti gayung.

"Migrofah, gayung. Migrofah, gayung," gumamku sambil memejamkan mata agar tetap ingat.

Tiba-tiba ada seseorang mengetuk kaca jendela kamarku. Persis tiga ketukan.

"Siapa sih?!" aku kesal lalu membuka tirai jendela itu, tapi tetap tidak ada siapa-siapa.

Tak lama berselang perutku mulas, ingin buang air besar. Kuletakkan kamusku lalu beranjak pergi ke toilet. Lokasi toilet ada di paling ujung gedung ini. Saking tak kuat ingin buang hajat, aku lari terbirit-birit.

Toilet di pondok berbeda dengan toilet pada umumnya. Jadi, dalam satu ruangan ada 11 toilet yang berjejer dan hanya disekat dengan tembok yang tidak terlalu tinggi sehingga kalau jongkok maka teman yang sedang buang hajat di sebelah kita bisa terlihat kepalanya. Jadinya bisa buang hajat sambil ngobrol sama teman.

Nah, malam itu aku langsung masuk ke dalam toilet dan buang hajat. Setelah selah selesai, aku baru sadar kalau emberku tidak ada gayungnya. Di samping kananku, terdengar suara gemericik air dan bunyi gayung, tapi aku tidak dapat melihat orang tersebut. Mungkin saja dia sedang tertunduk.

"Kak, aku boleh pinjem migrofah, nggak?" tanyaku. Kugunakan kosakata yang barusan kuhafalkan.

"Boro-boro migrofah, kepala aja nggak punya," jawabnya dan jelas itu suara wanita.

Aku berdiri melihat ke samping toilet itu, benar saja ada sosok tanpa kepala yang sedang jongkok di atas kloset. Aku pun lantas berteriak, lari terbirit-birit tanpa cebok. Santri di gedung itu sampai bangun karena teriakanku sangat keras.

***
Suara Tengah Malam

Semenjak kejadian itu, aku tidak mau lagi pergi ke toilet tersebut. Sebagai penggantinya, aku selalu menggunakan toilet gedung sebelah. Cerita tentang hantu tanpa kepala menyebar luas ke semua santri, mereka bahkan menamai setan itu dengan sebutan Siti Migrofah.

Hanya segelintir orang yang percaya akan ceritaku. Banyak santri yang menganggap kalau itu cerita fiktif belaka yang aku jadikan alasan untuk berhenti mondok. Saat Ibu dan Bapak menjengukku, kuceritakan semua kejadian itu. Anehnya mereka malah tertawa.

“Hantu migrofah? Hahaha…, bagus itu. Jadi kamu bisa terus ingat kosakata migrofah. Hantu itu bantu hafalanmu!” kata Bapak.

“Iya Pak benar juga. Seharusnya kamu berterima kasih sama hantu itu,” tambah Ibu.

Siang itu kami sedang makan bersama di sebuah saung tempat para orangtua menjenguk anaknya.

“Ini serius Bu… ada hantu di pondok ini.”

“Hantu itu ada di mana-mana, Bas. Kita ini berdampingan hidup dengan mereka. Jangan takut, kita makhluk paling mulia di muka bumi,” Ibu menjawabnya dengan santai.

“Aku mau berhenti mondok aja, Bu.”

Bapak malah tertawa lagi, “Tuh kan Bu, ujung-ujungnya minta berhenti.”

“Boleh-boleh,” Ibu mengangguk tangannya sibuk mengupas kulit jeruk.

“Serius boleh, Bu?” jelas saja aku sumringah.

“Tapi setelah enam tahun,” kata Ibu, disambut tawa Bapak yang terbahak-bahak.

Aku pun kembali menampakkan wajah murung.

“Aku serius, Bu.”

“Ya, Ibu juga serius. Kamu nggak boleh berhenti mondok. Belajar ilmu agama di sini.”

“Iya Bas. Jangan berhenti mondok. Bapak mau kamu pintar ilmu agamanya, biar nanti bisa mendoakan Bapak sama Ibu kalau udah nggak ada. Kau tahu Bas? Punya anak soleh itu adalah amal kebaikan yang pahalanya nggak akan pernah putus bagi kedua orangtuanya.”

Mendengar penjelasan Bapak, aku pun tertunduk. Apa boleh buat, aku harus tetap melanjutkan perjalananku di pondok ini. Setelah selesai menjenguk, kuantar Ibu dan Bapak sampai ke gerbang pondok. Sesaat sebelum mereka pergi, Bapak berkata padaku.

“Jadilah anak soleh, Bas,” kata Bapak sambil tersenyum.

***

Setiap malam Ustazah Laila sering mengaji Al-Quran tanpa spiker di masjid pondok. Beliau memang salah satu ustazah yang sangat rajin. Malam itu aku izin ke ketua kamarku untuk mencuci pakaian di toilet masjid. Dia selalu mengizinkanku asal jangan terlalu larut malam.

Kebetulan saat itu tidak banyak pakaian yang aku cuci, hanya dua buah celana dan satu baju. Dari dalam masjid terdengar suara merdu Ustazah Laila, aku suka mendengar beliau mengaji tengah malam seperti ini, membuat suasana jadi hangat.

Selesai mencuci, kubawa pakaianku ke belakang gedung. Namun di tengah perjalanan, aku bertemu dengan seorang wanita yang berjalan dengan santai sambil membawa Al-Quran.

“Kebiasaan kamu nyuci baju malam-malam begini, Bas,” itu jelas sekali Ustazah Laila.

“Ustazah. Bukannya tadi lagi ngaji ya di masjid?”

“Orang saya baru mau ngaji, udah sana cepat tidur udah malam besok harus sekolah,” suruh beliau.

“Ustazah, sumpah tadi aku dengar suara ustazah lagi ngaji di masjid.”

Lalu suara itu terdengar kembali, itu suara Ustazah Laila sedang membaca surat Al-ikhlas. Suara itu bahkan terdengar sangat keras, terkesan membentak-bentak.

“Tuh…, itu suara ustazah,” kuletakkan ember yang berisi pakaian. Wajahku kebingungan.

Ustazah Laila mengerutkan dahi, ia mendengarkan suara itu dengan seksama.

“Astagfirullah…,” katanya, ia lalu menghampiri sumber suara tesebut.

Aku penasaran dan mengikutinya dari belakang.

Dia masuk ke dalam masjid lalu menyibakkan tirai pembatas barisan lelaki dan perempuan. Suara perempuan mengaji masih tedengar keras memenuhi ruangan masjid. Tapi tidak ada siapa-siapa di dalam sana. Walau pun aku dan ustazah sudah masuk ke dalam masjid, suara itu tak mau berhenti.

“Basuki, cepat pulang ke kamarmu,” pinta Ustazah Laila.

Malam itu benar-benar sangat menakutkan.

***

“Jin itu ada yang jahat ada juga yang baik. Sebagian dari jin juga ada yang muslim. Ya bisa jadi apa yang kau dengar di masjid itu adalah jin muslim. Jadi janganlah takut,” aku menceritakan kejadian semalam pada Ustaz Didi. Dan dia menanggapinya dengan santai.

"Kamu jangan khawatir, jin itu tidak akan ganggu lagi."

"Dari mana ustaz tahu kalau dia nggak akan ganggu lagi?"

"Nanti malam ustaz bicara sama jin itu," katanya.

Aku terkagum-kagum mendengar pernyataan Ustaz Didi. Dia memang terkenal sebagai ustaz yang sakti.

Itu baru segelintir kisah mengerikan yang pernah kualami di pondok. Yang paling aku ingat adalah tentang si Sandi. Dia adalah temanku satu kamar. Asalnya dari Tangerang, dia anak yang misterius, pendiam, dan punya tatapan yang mengerikan. Nanti akan kuceritakan tentang anak menakutkan itu, dan bagaimana dia menjadi penyabab kesurupan masal.

***
Dijenguk Ayah yang Sudah Meninggal

Namanya Sandi, dia itu pendiam. Berbicara seperlunya saja dan memisahkan diri dari santri lain. Di pondok biasanya kami makan bersama dan saling berbagi lauk pauk. Namun lain halnya dengan Sandi, dia selalu makan sendirian di depan lemarinya. Yang dia makan pun hanya nasi putih dan garam. Padahal, dapur pondok menyediakan lauk pauk yang beragam.

Aku juga heran, hampir semua pakaian Sandi berwarna putih. Pakaian di lemarinya yang berbeda warna hanya baju pramuka, celana hitam dan batik sekolah. Aku tidak paham apa maksud dari pakaiannya yang serba putih itu.

Dia juga punya batu berwarna putih yang ukurannya sekepalan tangan. Batu itu selalu ia bawa ke mana-mana, kadang ada saja temanku yang iseng membicarakan batu milik si Sandi. Katanya itu batu berhala dan harus dimusnahkan. Aku sendiri sih tidak berani berkata macam-macam tentang batu itu karena aku yakin itu bukan batu sembarangan.

Hal itu terbukti, pernah suatu ketika pondok dilanda penyakit bisul. Banyak santri yang bisulan dan yang terparah adalah Hadi teman SD-ku. Dia punya bisul di bagian bokong sebelah kanan sehingga kalau dia lagi di kelas, posisi duduknya pasti miring.

Semakin lama bisulnya Hadi semakin membesar dan bengkak, tapi anehnya tak kunjung pecah. Di saat genting seperti itu datanglah Reno, dia anak kamar sebelah yang katanya bisa memecahkan bisul dengan alat yang ia buat sendiri. Cara kerja alat itu sederhana semacam alat bekam hanya saja menggunakan gelas kaca.

Ia juga menggunakan koin yang dibungkus dengan kertas untuk menyulut api. Hadi malam itu tidak bisa tidur, bokongnya terasa panas seperti dibakar. Aku tak tega melihatnya, akhirnya aku panggil Reno untuk membantu si Hadi.

“Kau tenang Di. Gua ini profesional. Anak kamar lantai dua aja sembuh sama gua.”

“Allah yang menyembuhkan Ren,” potongku.

“Ya maksud gua itu,” kata Reno.

“Udah jangan banyak omong cepat pecahin bisulnya,” sergah Hadi sambil meringis.

Reno menggulung lengan bajunya, dia lalu menyibakkan sarung Hadi. Tampaklah bisul yang memerah dengan titik hitam di puncaknya.

Reno menggelengkan kepala, “Udah parah nih.”

Ia meletakkan koin yang dibungkus kertas menyerupai sumbu lalu meneteskan minyak tanah pada kertas tersebut, lengan kanannya merogoh korek api di kantong celana. Dinyalakannya sumbu tersebut, sekita api berkobar di atas bisul Hadi. Lengan kanan Reno meraba-raba.

“Gelas mana gelas?!” Reno panik.

“Gelas apa?” tanyaku balik.

“Gelas gua!” dia semakin panik lantaran api tambah besar.

“Lu dari tadi nggak bawa gelas kok,” sergahku. Dan ternyata dia memang lupa bawa gelas.

Api semakin membesar, Hadi berteriak kepanasan.

“Tolongin gua!” wajahnya merah seperti akan menangis.

“Gayung pake gayung aja!” kuserahkan gayung pada Reno.

Dia langsung menutup kobaran api itu dengan gayung, tapi bukannya padam malah gayung itu terbakar. Keadaan semakin kacau, dan tiba-tiba ada seseorang yang melemparkan batu ke arah Hadi. Itu batu berwarna putih, api langsung padam, bisul Hadi pecah seketika.

“Kamu nggak apa-apa?” Sandi menyentuh pundak Hadi.

Tampak wajah Hadi berkeringat, napasnya tersengal-sengal. Ia sangat ketakutan sehingga tidak bisa menjawab apa pun. Sandi lalu mengambil kembali batu putih miliknya.

“Reno, lain kali hati-hati ya,” kata Sandi sambil menatap Reno yang masih terlihat panik.

Kejadian itu membuatku yakin kalau batu yang dimiliki si Sandi ada penunggunya. Bukan sekali dua kali aku dan teman-teman kamar mendengar suara aneh dari dalam lemari Sandi. Batu itu seperti bergetar mengeluarkan suara gaduh dari dalam lemari, tapi tak ada satu pun yang berani menegur Sandi termasuk ketua kamarku. Dia diam saja pura-pura tidak mendengar suara itu, tampaknya dia memang tidak mau bermasalah dengan si Sandi.

***

Tengah malam aku terbangun karena mendengar suara tawa dua orang yang seperti sedang bermain. Suara itu berasal dari balik lemari dekat dengan pintu, saat aku hendak bangun seseorang menggenggam tanganku. Itu Hadi yang tidur di sebelahku, ternyata dia juga terbangun.

“Sssttt… jangan,” Hadi menggelengkan kepala.

“Itu siapa?” bisikku.

“Sandi.”

“Sama siapa?” tanyaku lagi dengan suara pelan.

“Nggak tahu. Udah dari tadi dia ketawa-ketawa gitu.”

Karena penasaran, aku melepas genggaman Hadi lalu mengendap-endap ke lemari dekat pintu. Dari celah lemari itu, kulihat Sandi bermain dengan anak kecil, umurnya sekitar enam tahunan. "

"Siapa dia?" tanyaku dalam hati.

Saat aku sedang serius mengintip tingkah mereka, tiba-tiba saja anak kecil itu menoleh ke arahku sambil tersenyum, dia lalu menunjuk ke arahku. Segera aku kembali ke tempat tidur sebelum si Sandi mengetahuinya.

Keesokan harinya, kulaporkan kejadian itu pada ketua kamar, sayangnya tidak ditanggapi. Ketua kamarku mungkin saja mendengar suara itu dan dia takut kalau harus menegor si Sandi. Hadi menceritakan kejadian itu ke kamar sebelah hingga menyebar luas ke semua santri.

Selain perilakunya yang misterius itu, keluarga sandi juga tidak kalah aneh. Di pondok itu, hanya sandi yang sering dijenguk ayahnya tengah malam. Aku sampai hafal berapa kali di dijenguk dalam sebulan. Itu hampir setiap minggu dan pasti malam Sabtu.

Saat santri sedang tidur pulas, si Sandi malah dijenguk tengah malam. Aku sering membukakan pintu untuk ayahnya Sandi. Aku juga sering dikasih uang tip, ayahnya memang baik. Kata Sandi, ayahnya adalah orang sibuk sehingga dia hanya bisa menjenguk Sandi di malam hari saja.

Setiap Sandi dijenguk pasti satu kamar makmur oleh makanan. Bapaknya Sandi sering membawa nasi timbel dengan lauk pauk yang nikmat, juga makanan ringan yang lumaya banyak. Si Sandi tidak pernah memakan pemberian bapaknya itu, dia malah membagikan semua makanan yang ia punya ke teman-teman kamarnya.

Ya, kami sih merasa diuntungkan. Asal perut kenyang itu sudah membuat kami senang. Tapi semua itu berubah menjadi mencekam saat kami tahu kalau ayahnya Sandi sudah lama meninggal. Hal itu baru kami ketahui saat pengumuman peringkat semester ganjil, si Sandi menjadi juara 2 dan namanya ayahnya disebut dengan gelar almarhum di depan namanya. Setelah kami satu kamar tahu kebenaran itu, kami tak mau lagi menerima makanan pemberian Sandi.

***

Malam berikutnya, saat semua orang sudah tidur lelap. Pintu kamar diketuk, aku tahu itu pasti ayahnya Sandi yang rutin menjenguk di malam Sabtu. Kulihat Sandi bangun lalu berjalan ke arah pintu. Sayup-sayup, kudengar percakapan mereka dari balik lemari itu.

“Mereka sudah tahu Ayah dan tidak mau menerima makanan dariku lagi,” kata Sandi.

“Nanti Ayah beri mereka pelajaran,” timpal Ayahnya.

Aku semakin takut mendengar ancaman itu. Sebisa mungkin kupejamkan mata, kututup kepalaku dengan bantal agar tidak mendengar percakapan mereka.

“Dia orangnya Ayah,” tiba-tiba saja si Sandi sudah berdiri di depanku sambil menunjuk wajahku.

“Ke… kenapa, ya?” aku terbata-bata melihat wajah ayahnya yang datar dan pucat.

***
Akibat Mengencingi Pohon Angker

“Siapa namamu?” tanya ayah Sandi.

“Ba… Basuki, Pak,” jawabku terbata-bata dan masih dalam posisi telentang.

“Berdiri,” pintanya.

Kuturuti perintahnya. Ragu-ragu aku berdiri sambil tertunduk. Aku tidak berani menatap wajah ayah Sandi yang mengerikan itu.

“Pegang lenganku!”

Dia menjulurkan lengan kanannya. Perlahan kupegang lengannya itu.

“Ada denyut nadi?” tanyanya.

Aku mengangguk, padahal aku tidak merasakan sedikit pun denyut nadi di pergelangan tangannya.

“Aku masih hidup. Jangan menakut-nakuti temanmu. Kasihan Sandi,” lanjutnya.

“Baik, Pak. Maafkan saya.”

Aku minta maaf. Padahal aku sama sekali tidak merasa bersalah. Dia lalu beranjak dari kamar, sedangkan aku sempat pipis sedikit di celana saking takutnya. Aku tidak akan pernah lupa kejadian mengerikan itu.

Keesokan paginya, aku bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa semalam. Aku juga memaksakan diri untuk makan nasi timbel yang dibawa oleh ayah Sandi semalam. Semua teman-temanku di kamar terheran-heran melihatku yang lahap memakan nasi timbel pemberian si Sandi.

“Lu enggak takut, Bas?” tanya Hadi.

“Enggak. Ini makananya enak kok. Lu mau?” kusodorkan nasi timbel itu.

“Enggak. Gua enggak berani. Itu tuh makanan yang dibawa sama orang yang udah….”

“Udah apa?” tiba-tiba Sandi ada di belakang Hadi. Ia menatap Hadi dengan tatapan tajam.

“Udah em… itu udah…,” Hadi salah tingkah.

“Udah menjenguk lu Sandi,” jawabku dengan santai.

“Ya itu maksud gua,” Hadi membenarkan posisi pecinya. Dia masih terlihat gugup sekaligus takut.

“Enak enggak makanannya?” Sandi melirik ke nasi timbel yang sedang aku makan.

“Wah gila sih ini enak banget. Ibumu yang masak ya?”

“Bukan, tapi Ayah yang masak,” jawab Sandi.

“Ueee…,” Hadi malah mual. Itu membuat Sandi seketika melirik ke arahnya.

“Maaf, kayaknya gua masuk angin,” Hadi pun pergi ke luar kamar.

Aku tahu pasti dia membayangkan hal menjijikkan pada makanan ini. Apalagi yang memasaknya adalah orang yang sudah meninggal. Sandi masih memperhatikanku yang sedang makan.

“Ma…, mau ikut makan?” tanyaku ragu-ragu.

“Enggak,” jawabnya singkat.

***

Di belakang gedung kamarku, ada sebuah pohon kedongdong yang katanya angker. Menurut cerita yang beredar dari mulut ke mulut, katanya pohon itu tidak mempan ditebang. Pihak pondok sudah berkali-kali mencoba untuk menebang pohon itu, tapi batangnya sangat keras dan tidak mempan oleh alat apa pun. Sampai saat ini pohon itu masih tumbuh subur di belakang gedung kamarku.

Ada juga orang yang bilang kalau pohon itu dihuni kuntilanak. Aku juga mendengar pengakuan dari beberapa santri yang pernah ditertawakan kuntilanak penghuni pohon kedondong. Semua santri takut pada pohon itu, terkecuali Reno. Dia memang santri yang bebal dan sok tahu.

Suatu sore setelah selesai olahraga, aku, Hadi, dan Reno nongkrong di belakang gedung sambil minum es jeruk yang kami buat sendiri. Tiba-tiba Reno melirik pohon kedongdong yang tak jauh dari tempat kami nongkrong.

“Kalian percaya sama keangkeran pohon itu?” tunjuk Reno ke arah pohon.

“Iya lah, udah jangan diomongin nanti penunggunya dengar,” kata Hadi.

“Kalian semua tertipu. Kalian tahu, gua sering lihat Mang Jasim, tukang bangunan pondok ini, ngambil buah kedondong di pohon ini. Isu tentang pohon anger itu pasti hanya akal-akalannya Mang Jasim saja agar tidak ada santri yang berani memakan buahnya. Buah itu pasti dia jual ke pasar.”

“Masa sih, Ren?” aku mengerutkan dahi.

“Kalian enggak percaya? Nih gua buktikan ya,” Reno memelorotkan celananya kolornya.

“Eh… eh… Ren! Mau ngapain lu?”

Dia kencingi pohon kedongdong itu, aku dan Hadi terkejut melihat perilaku Reno.

“Gila lu, Ren,” Hadi menggelengkan kepala.

“Jangan bawa-bawa gua ya. Lu yang kencing sendiri dan gua nggak mau ikut ketulah,” sergahku pada Reno.

“Sama, Ren. Gua juga enggak mau kena batunya nanti,” Hadi sependapat denganku.

“Halah, kalian itu dimakan sama mitos dan kebohongan. Lihat saja, gua masih baik-baik aja, kan?” Reno tersenyum, gayanya tengil sekali.

Tidak butuh waktu lama bagi Reno untuk merasakan akibat dari perbuatannya itu. Setelah tadi sore mengencingi pohon angker, malamnya Reno berteriak kesakitan. Kelaminnya membengkak. Ia bahkan menangis karena tidak kuat menahan rasa sakit.

Kami lalu membawanya ke puskesmas pesantren. Namun, rasa sakitnya tidak kunjung sembuh. Dia berteriak sambil meminta ampun pada penghuni pohon kedongdong itu.

“Emangnya kamu ngapain di pohon itu?” tanya petugas puskesmas.

“Kencing, Bu. Dia kencing di pohon itu,” aku yang menjawab karena Reno tak berhenti berteriak kesakitan.

“Aduh kayak kebakar nih, tolong!” Reno terus menceracau.

“Coba panggil si Sandi,” pintaku pada Hadi.

Tidak lama kemudian, Sandi muncul. Dia melihat kondisi Reno lalu menggelengkan kepala.

“Enggak bisa ini. Aku enggak bisa tolong dia,” katanya.

“Kenapa?” tanyaku.

“Penunggu pohon itu sangat marah,” jawab sandi lagi.

Reno pun harus dirawat di puskesma pesantren itu. Keesokan paginya, kelamin Reno semakin parah, membengkak, dan memerah seperti mau meledak. Di saat seperti itu, untung saja ada Ustaz Didi yang datang menjenguknya.

“Tolong ambilkan air putih,” pinta Ustaz Didi, dia menyibakkan sarung Reno.

Air itu dibacakan doa-doa oleh Ustaz Didi lalu disemburkannya air tersebut pada kelamin Reno.

“Lain kali jangan gegabah, Ren.”

Kata Ustaz Didi, ia lalu menutup kembali sarungnya Reno. Beberapa hari kemudian, Reno akhirnya sembuh. Dia tidak berani lagi mempermainkan pohon kedongdong itu. Bahkan, Reno tidak mau lagi diajak nongkrong bareng di sana.

***

Di belakang pondokku, ada sebuah sungai besar. Kalau musim hujan, airnya akan naik sampai masuk ke komples pondok. Sungai itu terkenal dengan jembatannya yang angker. Namanya jembatan Cimuning, aku pernah mendengar cerita dari salah satu santri tentang keangkeran jembatan itu.

Dulu, menjelang magrib ada seorang pedagang cilok yang hendak pulang ke kampungnya yang berada di seberang sungai. Namun, di tengah-tengah jembatan itu, tiba-tiba muncul sekawanan anak kecil dari semak-semak. Mereka menghampiri pedagang cilok itu sambil membawa uang sepuluh ribuan.

“Mang beli, mang!”

Ada sepuluh orang anak yang mengerumuni si pedagang cilok. Jelas saja hal itu membuatnya senang lantaran dagangnya akan laris. Ia pun berhenti di tengah-tengah jembatan untuk melayani pelanggannya.

Setelah semua anak mendapatkan cilok, mereka berlarian kembali ke tepi jembatan. Selang beberapa saat, uang yang diterima si pedagang cilok berubah jadi daun kering.

Si pedagang cilok terkejut melihat tumpukan daun di lacinya. Lalu dari ujung jembatan tampak anak-anak kecil itu muncul lagi. Kali ini wajah mereka penuh dengan darah dan mulutnya juga bertaring. Bajunya kumal, kedua matanya merah menyala. Mereka membawa lembaran daun, menghampiri si pedagang cilok.

“Mang beli lagi, mang!” teriak anak-anak kecil itu membuat pedagang cilok lari terbirit-birit.

***

Cerita tentang keangkeran jembatan itu memang sudah melegenda. Yang aku heran adalah, akhir-akhir ini si Sandi sering mendatangi jembatan itu tanpa sepengetahuan pengurus pondok.

Usai magrib, para santri pergi ke beranda kamar masing-masing untuk mengaji Alquran. Tapi, si Sandi malah pergi ke jembatan itu. Karena penasaran, aku dan Hadi mengikuti dia dari belakang. Sepanjang perjalanan si Sandi tampak mengobrol sendirian, seperti ada makhluk halus yang menemaninya.

Akhirnya kami tiba di ujung jembatan Cimuning. Sandi duduk di ujung jembatan itu, ia seperti sedang menunggu seseorang. Aku dan Hadi bersembunyi di balik pepohonan. Tak lama kemudian, Sandi tersenyum seperti melihat kedatangan seseorang yang ditunggunya.

“Hadi lu dengar itu?” bisikku.

“Iya, ada yang bersiul,” jawab Hadi.

“Di, lihat itu!” tunjukku.

Apa yang kami lihat benar-benar membuat kami terkejut sekaligus merinding. Sandi memang tidak seharusnya ada di pondok pesantren ini. Dia tidak sama seperti kami, atau mungkin dia bukan manusia seperti kami.

***
Riwayat Sandi

Kulihat ada seorang wanita menghampiri sandi. Yang membuatku terkejut adalah, kedua kaki wanita itu melayang. Dia mengenakan baju warna merah dan kain batik. Aku dan Hadi terkejut bukan main, Sandi dibawa oleh wanita itu berjalan ke tengah jembatan. Aku hendak mengikutinya, tapi si Hadi menahan tanganku.

“Mau ke mana?” tanyanya.

“Ngikutin si Sandi,” jawabku.

“Jangan. Terlalu berbahaya,” kata hadi.

“Tapi kalau dia hilang gimana?” tanyaku lagi.

“Kita lapor ketua kamar aja.” Hadi memberi saran.

“Ya sudah ayo pulang,” kataku.

Kami pun pergi dari sana, sesekali aku menoleh ke belakang. Dari kejauhan masih terlihat punggung Sandi yang semakin menjauh dibawa oleh wanita misterius itu. Sesampainya di beranda kamar, aku menceritakan apa yang kulihat di jembatan Cimuning.

“Sandi, Kak. Sandi dibawa setan,” kataku sambil mengatur napas.

“Hah? Dibawa setan?” kata ketua kamarku.

“Iya, Kak. Ayo selamatkan dia,” ujar Hadi.

“Apaan sih. Kalian jangan mengada-ngada ya. Itu si Sandi lagi ngaji,” kata ketua kamar kami sambil menunjuk ke arah kanan.

Dan benar saja, kulihat Sandi sedang khidmat mengaji di beranda kamar. Dia menoleh ke arahku dengan tatapan datarnya.

“Tapi kak, sumpah demi Allah aku lihat si Sandi tadi dibawa sama wanita misterius di jembatan,” kataku mencoba untuk meyakinkan ketua kamar.

“Iya wanita itu kakinya melayang, Kak,” tambah Hadi.

“Hati-hati sama yang kalian lihat,” Sandi berdiri dan menatap ke arah kami berdua.

Tatapan itu selalu membuatku takut.

“Emang kenapa?” tanyaku.

“Yang kalian lihat itu setan!” bentak Sandi.

Aku seketika merinding. Tak lama berselang, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari lantai dua. Semua Santri di lantai bawah pun seketika menutup Alquran-nya. Mereka berhamburan naik ke lantai dua untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.

Aku pun penasaran lalu ikut naik ke lantai dua. Sesampainya di sana, kusaksikan seorang santri yang sedang kesurupan. Dia mengamuk sendiri, tak ada yang berani mendekatinya. Mulutnya terus menceracau tidak jelas.

Tingkahnya menjadi semakin aneh, kedua tangannya bersidekap, dia lalu melompat-lompat seperti pocong sambil tertawa dengan suara keras. Jelas sekali itu bukan suaranya, kalau didengarkan itu seperti suara lelaki yang sudah lanjut usia.

Santri itu terus-terusan melompat ke sana sini, kedua matanya melotot.

“Kalian lihat. Tak ada lagi di dunia ini yang bisa menyelamatkan kalian. Kalian akan disesatkan!” kata-kata itu keluar dari mulutnya disambut dengan tawanya yang terbahak-bahak.

Saat orang-orang berkerumun menyaksikan kesurupan itu, secara tidak sengaja, aku melihat Sandi mengintip dari jendela kamar, dia malah tersenyum melihat kesurupan itu. Aku heran kenapa dia malah kelihatan senang?

***

Sandi tampak tersenyum melihat orang kesurupan. Entah apa yang ada dipikirannya. Aku terus memperhatikan tingkah si Sandi, tiba-tiba kedua bibirnya bergerak-gerak sambil menatap ke arah santri yang sedang kesurupan itu.

Santri itu tiba-tiba melirik ke arah si Sandi. Kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Aku tidak tahu apa maksudnya.

“Sandi cukup!” teriakku.

Membuat semua santri yang berkerumun menoleh ke arahku, termasuk si Sandi. Aku yakin itu semua ini pasti ulah si Sandi.

“Kenapa?” tanya Sandi.

“Elu pasti yang bikin dia kesurupan!” aku membentaknya. Jujur aku tidak tahan lagi dengan semua ini. Sandi tidak bisa dibiarkan. Dia harus keluar dari pondok ini.

“Saya nggak paham maksud kamu, Bas,” Ujar Sandi dengan nada datarnya.

“Jangan ngeles lu ya!” kurenggut kerah bajunya.

Para Santri menahanku agar tidak berkelahi. Tapi, aku berhasil menonjok wajahnya.

“Gua nggak takut sama lu Sandi! Gua enggak takut!” teriakku, lima orang santri menyeret tubuhku dengan paksa, menjauh dari si Sandi.

“Bangsat lu!” Umpatku, tapi si Sandi hanya ternseyum dingin ke arahku.

***

Semenjak saat itu, aku dipindahkan ke gedung sebelah agar tidak berkelahi lagi dengan Sandi. Suatu malam, sekitar jam 2 dini hari, aku bangun untuk solat tahajud. Anehnya, dari kejauhan kudengar sayup-sayup suara rombongan orang mengucapkan kalimat tauhid. Aku heran, siapa orang-orang itu?

“Lailaha illallah.” Suara gemuruh itu semakin mendekat.

Pelan-pelan, aku mengintipnya dari balik tirai Jendela. Seketika saja aku terkejut karena ada rombongan orang berpakaian hitam sedang memikul keranda mayat.

Di sana juga ada Sandi yang sedang berdiri seperti menyambut kedatangan keranda itu. Mereka menurunkan keranda itu, lalu keluarlah asap yang mengepul dan menggumpal tebal. Asap itu membentuk pocong berukuran kecil, Sandi kemudian membopong pocong itu masuk ke dalam kamarnya.

Rombongan orang berbaju hitam perlahan hilang begitu saja. Jujur Aku tidak bisa membiarkan Sandi terus berada di pesantren ini, semua orang harus tahu kalau si sandi bawa hantu ke pondok.

Malam itu juga aku memberanikan diri mendatangi kamar Sandi. Tapi… yang aku lihat sangatlah diluar dugaan. Kamar itu… dipenuhi hantu.

***

Saat aku masuk ke dalam kamar si Sandi, kulihat kamar itu di isi oleh banyak hantu. Di atas lemari, bergelayutan sesosok kuntilanak dengan wajahnya yang hancur penuh darah. Rambut kuntilanak itu tegerai hingga menyentuh lantai.

Tak jauh dari tempatku berdiri, banyak makhluk halus yang wujudnya mengerikan. Mereka berkuku panjang, di sana juga ada si Sandi yang berdiri di antara mereka.

Aku pun berteriak pada si sandi.

“Sandi! Lu harus keluar dari pondok ini! Lu nggak bisa tinggal di sini!”

Dia malah tertawa.

“Hahahah….!” suaranya menggema dan itu seperti suara orang dewasa.

Sesaat kemudian, entah kenapa tiba-tiba tubuhku seperti terseret paksa mendekat ke arah si Sandi. Ia lalu mencekik leherku.

Aku meringis sambil berkata ,

“Istifar Sandi! Lepasin gua!”

Ia seperti tidak peduli malah mencekik leherku dengan semakin kuat. Sehingga aku kesulitan untuk bernapas. Entah apa yang terjadi selanjutnya, aku tidak tahu. Tubuhku lamas, napasku tercekat di tenggerokan. Aku hilang kesadaran.

Keesokan paginya, aku pun siuman. Kudapati diriku terbaring di dalam ruangan puskesmas pesantren. Dari luar, sayup-sayup terdengar dua orang yang sedang ngobrol satu sama lain. Aku mengenali suara itu, mereka tak lain adalah kak Opan ketua kamarku yang baru dan Ustaz Didi. Tak lama berselang mereka berdua masuk ke ruangan tempatku di rawat.

“Semalam kamu nyekik leher kamu sendiri, Bas.” Kata Kak Opan.

“Apa kamu punya kebiasaan tidur sambil berjalan?” tanya Ustaz Didi.

“Nggak ustaz, semalam aku banyak melihat kejadian aneh. Aku bingung ngejelasinnya gimana,” kataku lalu tiba-tiba kepalaku terasa sakit.

“Sudah kalau gitu kamu istrihat aja dulu,” ujar Ustaz Didi.

Aku harus mencari cara agar bisa meyakinkan semua orang yang ada di pondok ini kalau si Sandi punya banyak teman gaib. Dia tidak boleh tinggal di pondok ini lagi.

***

Dua minggu kemudian, ada pelantikan pramuka di pondokku. Semua santri berkemah di lapangan sepak bola yang lokasinya tidak jauh dari pondok. Aku satu tenda dengan Hadi dan teman-teman lainnya. Di sinilah aku mengalami kejadian mengerikan.

Tengah malam, aku terbangun karena pengin pipis. Segera aku keluar dari tenda dan lari ke semak-semak untuk buang air kecil. Tak ada kejanggalan yang kualami sampai akhirnya saat kukembali ke tenda, terlihat Hadi sedang berdiri sambil menampakkan wajah ketakutan.

Kutanya dia.

“Lu kenapa, Hadi?”

“Bas… tolong gua, Bas,” katanya. Tangannya bahkan bergetar.

“tolong kenapa? Lu kenapa sih?” tanyaku lagi.

“Di dalam tenda kita Bas. Di dalam tenda kita lu cek deh.”

Aku mulai tegang. “Emang ada apa Hadi?” tanyaku.

“Lu cek aja,” suruh dia, wajahnya sangat ketakutan.

Perlahan aku masuk ke dalam tenda itu sambil menyorotkan senter ke arah teman-temanku yang sedang tidur. Dan di antara mereka kulihat ada Hadi yang sedang terbaring di sana, ia melihat ke arahku dengan expresi wajah yang ketakutan,

“Bas… di luar ada orang yang mirip sama gua.”

Jelas aku terkejut, kalau Hadi ada di dalam tenda. Lantas, siapa yang barusan kulihat di luar.

“Apa apaan ini?!” kataku dengan suara keras. Membuat teman-temanku terbangun.

“Kenapa?” tanya mereka dengan ekspresi wajah yang masih mengantuk.

“Ta.. tadi ada Hadi di luar,” kataku terbata-bata.

Kemudian, aku langsung mengecek kembali sosok yang menyerupai Hadi yang ada di luar tenda. Dan, anehnya sosok itu menghilang begitu saja. Aku kemudian masuk kembali ke dalam tenda untuk memastikan kalau Hadi baik-baik saja.

Aku mencoba untuk menenangkannya dan memberinya sebotol air minum. Kejadian itu memang sangat janggal, besoknya aku mengadu ke para panitia pramuka, tapi mereka malah menertawakanku dan menganggap kalau aku hanya mengada-ngada.

Malam terkahir pelantikan pramukan, semua santri putera dibariskan. Mata kami ditutup, lalu kami disuruh memegang pundak teman yang ada di depan kami. semacam main kereta-keretaan. Itu terjadi tengah malam, aku tidak tahu pasti jam barapa, mungkin sekitar jam 2 dini hari.

Setelah mata di tutup, kudengar suara panitia berbicara melalui spiker toa.

“Malam ini kekompakan kalian akan diuji. Pegang erat-erat pundak teman yang ada di depan kalian. Jangan sampai lepas dan kalian harus berjalan mengikuti suara tepukan tangan dari panitia. Paham?”

“Paham!” Sahut kami serentak.

Aku memegang erat pundak teman di depanku, aku tak tahu siapa dia. Tantangan pun dimulai, barisan kami berjalan perlahan mengikuti tepukan tangan panitia, aku sempat kesulitan berjalan dan sesekali menginjak sepatu teman yang ada di depanku.

Barisanku seperti dibawa berkeliling lapangan, namun lama kelamaan aku mulai merasakan hal ganjil. Kakiku tidak lagi menginjak rumput, melainkan ranting-ranting kering, dan semak belukar. Barisanku terus mengikuti suara tepukan tangan itu.

Sesaat kemudian, suara tepukan itu tidak terdengar lagi. Barisan kami pun berhanti.

Lalu aku bertanya pada teman di depanku, kedua mataku masih ditutup dengan kain.

“Kok berhenti di sini?” tanyaku.

Teman di depanku tidak menjawab. Aku mulai curiga lalu buru-buru kubuka kain yang menutup mataku. Dan betapa terkejutnya, saat aku mendapati diriku sedang berada di tengah perkebunan karet.

Aku heran kenapa aku bisa ada di sini? Teman-temanku menghilang. Hanya tinggal aku sendiri di perkebunan ini. Ke mana perginya mereka semua?

Aku bingung, lalu berteriak memanggil teman-temanku. Tapi tidak ada satu pun yang kutemui di perkebunan ini. Tak lama kemudian, dari balik pepohonan itu, kulihat seorang lelaki sedang berdiri sambil menatapku.

Ia melangkah mendekat ke arahku. Aku pun mundur beberapa langkah ke belakang. Semakin dekat, wajah lelaki itu semakin jelas. Aku tahu siapa dia, ya dia adalah Sandi.

Dia masih mengenakan baju pramuka lengkap. Tapi yang aneh adalah, ada benda di tangan kirinya, ia menggenggam sebilah pisau tajam seperti hendak membunuhku.

“Sandi?” tanyaku.

Dia malah tersenyum mengerikan sambil mengacungkan pisaunya ke arahku.

“Sandi jangan, San!”

Aku mundur beberapa langkah sambil tetap waspada. Sebelum dia berhasil menikamku, segera aku lari terbirit-birit untuk menjauh darinya. Tapi dia malah mengejarku dari belakang.

“Mati! Mati!” teriaknya membuatku semakin tambah takut.

Aku heran apa sebenarnya salahku?

Aku terus berlari menjauh dari sandi, sesekali kuperhatikan sekelilingku ada pepohonan karet yang berjejer rapi. Sialnya saat sedang lari, kakiku tersandung, lalu aku tersungkur ke semak-semak. Kulihat Sandi sudah berdiri di hadapanku sambil menggenggam sebilah pisau.

“Jangan Sandi? Jangan bunuh aku!” kataku.

Dia lalu tersenyum mengerikan dan berkata.

“Kembalikan barang yang kau curi!” katanya, terkesan mengancam.

***

Sandi mengarahkan pisau itu ke wajahku. Ya memang beberapa hari lalu, aku mencuri sesuatu dari lemarinya Sandi. Yang kucuri tak lain adalah batu putih itu.

Bagiku batu itu adalah simbol berhala. Setelah aku berhasil mencurinnya, kubuang batu tersebut ke sungai agar kekuatan gaib yang dimiliki Sandi hilang, karena aku yakin kalau kekuatan Sandi terletak pada batu putih itu.

“Batu itu sudah kubuang!” teriakku.

Sandi menampakkan wajah marah. Dia lalu menghujamkan pisaunya ke arahku, untungnya aku masih bisa menghindar. Kutendang perutnya ia pun terjungkal ke belakang. Lalu aku lari lagi dengan sekuat tenaga untuk menjauh dari si Sandi.

Sesekali aku menoleh ke belakang, terlihat Sandi masih berdiri di sana. Kali ini wajahnya semakin menakutkan, matanya merah menyala, dia mengejarku tapi bukan dengan cara berlari. Melainkan melayang seperti makhluk halus.

“Astagfirullah,” kataku sambil terus berlari.

Sandi melayang dengan sangat cepat, melewati pepohonan karet. Dan entah apa yang terjadi tiba-tiba saja dia sudah berdiri di hadapanku. Kulihat kedua tangannya sangat mengerikan, terdapat banyak bulu hitam di lengannya, jarinya besar dan panjang. Ia lalu mencekikku.

“Hahaha.. tak ada yang bisa menyelamatkanmu sekarang. Mati kau!” bentaknya.

Aku kehilangan napas, dia semakin kuat mencekik leherku. Mungkin aku akan mati di sini. Tak lama berselang, tiba-tiba saja cekikan tangannya melemah, kudengar suara seseorang membaca ayat suci.

Sandi melepaskan tangannya dari leherku. Dia lalu berteriak seperti kesakitan. Di belakang Sandi, tampak Ustaz Didi bergumam sambil mengarahkan tangannya ke wajah si Sandi.

“Keluar kau iblis!” bentak Ustaz Didi.

“Hahaha… tidak! aku tidak mau keluar. Anak ini sudah melakukan perjanjian denganku. Dan aku akan terus menyesatkannya!” kata Sandi dengan suara besar.

“Perjanjian apa?!” tanya Ustaz didi.

“Dia melakukan ritual pembangkitan mayat! Aku sudah membangkitkan ayah dan adiknya. Jadi sekarang anak ini miliku!” kata Sandi, bola matanya merah menyala.

“Kau iblis suka sekali berbohong, tak ada yang dapat kembali dari kematian. Yang kau tunjukan ke Sandi adalah jelmaan jin. Keluar atau kuhancurkan kau dengan ayat suci Allah.”

Ustaz Didi lalu kembali membaca ayat suci. Sandi memegang kepalanya, ia tampak kesakitan.

“Astagfirullah ustaz lihat,” kataku sambil menunjuk ke arah pepohonan karet.

Di sana tampak ada dua orang yang sedang berdiri. Yang satu berbadan tinggi dan yang satu seperti anak kecil. Mungkin saja itu adalah ayah dan adiknya Sandi.

“Hahaha… aku akan menyesatkan kalian!” Sandi kembali berkata dengan suara aneh.

Ustaz Didi lalu melemparkan tasbih ke wajah Sandi membuat Sandi terkapar tak berdaya. Matanya melotot, Ustaz Didi menutup mata si Sandi dengan telapak tangannya sambil terus membaca ayat suci.

Aku menoleh ke arah pepohonan, kedua lelaki tadi sudah menghilang entah ke mana. Ustaz Didi lalu membopong tubuh Sandi, kami berhasil keluar dari perkebunan karet itu. Yang baru aku tahu adalah, ternyata lokasi perkebunana itu tidak jauh dari pesantren.

Sesampainya di lingkungan pondok, para panitia pramuka menyambut kedanganku. Mereka panik lantaran aku menghilang begitu saja. Untungnya Ustaz Didi menyelamatkanku.

Menjelang subuh, kegaduhan kembali terjadi. Santriawati satu gedung semuanya kesurupan. Ada yang menjerit seperti kesakitan, dan ada juga yang tertawa terbahak-bahak. Aku yakin kesurupan itu masih ada kaitannya dengan Sandi. Kesurupan itu terjadi selama satu jam, hingga akhirnya mereka sembuh satu persatu.

Keesokan harinya, Sandi dijenguk oleh ibunya. Aku dipanggil untuk menghadap pinpinan pondok karena aku menjadi korban malam itu.

“Semenjak kematian ayah dan adiknya, Sandi memang sering bertingkah aneh, Pak Kiai. Seperti ada yang menempeli tubuhnya. Saya sudah bawa dia ketempat ruqiah tapi tidak juga sembuh. Makanya saya masukkan ke pesantren. Siapa tahu di pesantren dia bisa sembuh.”

Pak Kiai mengangguk-angguk.

“Ibu jangan khawatir, nanti biar kami yang urus Sandi. Ustaz Didi juga kemarin sudah meruqiahnya,” kata Pak Kiai.

“Sandi harus diberi perhatian khusus di pondok ini, Pak Kiai. Aku khawatir jin itu datang lagi dan masuk ke tubuh Sandi," kata Ustaz Didi.

Jawab Pak kiai, “Tenang saja, kalau Sandi rajin salat dan mengaji inshaaAllah jin tidak akan mengganggu dia lagi. Yang terpenting adalah membentengi diri sendiri.” Ujar Pak Kiai.

Sandi hanya diam saja. Wajahnya terlihat pucat,

Kemudian ibunya berkata.

“Saya mau bawa Sandi pulang dulu, Pak Kiai. Nanti saya antarkan ke pondok lagi.”

“Silakan, Bu. Tapi ada baiknya jangan lama-lama, nanti dia ketinggalan pelajaran.” Ujar Pak Kiai.

Sandi pun dibawa pulang oleh ibunya. Jujur aku merasa lega karena setidaknya pondok ini bebas dari teror si Sandi. Namun, ternyata Sandi tidak pernah kembali lagi ke pondok. Tidak ada kabar darinya, hingga akhirnya pihak pondok mencoret namanya dari daftar peserta didik.

Sandi memang sudah tidak ada, tapi bukan berarti aku tidak mengalami kejadian janggal yang tidak kalah mengerikan.

Menginjak kelas 2 SMA. Aku mengalami kejadian mengerikan lagi. Saat itu, setiap santri yang sudah menginjak kelas 2 SMA akan diberi jadwal untuk menjadi penjaga pondok di malam hari. Kebetulan malam itu bagian aku yang berjaga, semacam ronda.

Saat sedang berjaga tengah malam, tiba-tiba perutku lapar. Kebetulan waktu itu kulihat lampu dapur umum sudah menyala. Kulirik jam tanganku, sudah jam 3 dini hari, dan di dapur itu pasti petugas dapur umum yang sedang masak untuk sarapan santri nanti pagi.

Jelas saja aku senang dan langsung mendatangi dapur umum itu. Siapa tahu ada makanan yang sudah matang. Aku bisa minta sesuatu yang bisa dimakan pada ibu penjaga dapur umum.

Setibanya di sana, tampak dua orang wanita sedang memasak sesuatu.

“Bu ada makanan?” tanyaku.

“Oh ada, kebetulan sekali.” Kata ibu dapur sambil membukakan pintu.

Dia lalu menyerahkan tempe goreng dan sepiring nasi padaku.

Aku makan dengan lahap sampai perutku kenyang, setelah itu aku langsung pamit.

Namun, baru saja tiga langkah dari pintu dapur, lampu dapur seketika padam dan pintu tertutup dengan sangat keras seperti di banting. Karena penasaran, aku periksa jendela dapur itu sambil menyorotkan cahaya senter. Dan… anehnya, tidak ada siapa-siapa di dalam dapur. Padahal jelas-jelas, tadi ada dua orang yang sedang memasak.

Aku pun lari terbirit birit menjauh dari dapur umum.
SELESAI


close