Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PAKSI NAGA LIMAN "SUNAN GUNUNG JATI"


"Kita ada karena leluhur kita. Hormati dan Rawatlah Pusakanya. Tauladani Gemilang Sejarahnya" (Sultan Sepuh XIV).

CeritaRakyat - Di Kompleks Keraton Kanoman terdapat gedung yang berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan dan merawat benda-benda kuno peninggalan keraton. Berlokasi di Jalan Winaon, Kampung Kanoman, Kecamatan Lemah Wungkuk, Cirebon. Museum yang bernama Gedung Pusaka Keraton Kanoman ini memamerkan segala bentuk benda, mulai dari gamelan, tombak, ukiran dinding, hingga kereta kencana.

Memasuki area Museum, pengunjung akan disambut Kereta Kencana Paksi Naga Liman.
Kereta yang menggunakan kayu sawo sebagai bahan utama pembuatannya ini digunakan terakhir kali pada tahun 1933. Saat itu, Sultan Raja Muhammad Dzulkarnaen atau Sri Sultan Kanoman ke VIII masih memimpin Keraton Kanoman.

Kereta Kencana Paksi Naga Liman memiliki bentuk hewan yang bersayap, berkepala Naga, dan memiliki belalai seperti gajah. Bentuk ini mengadopsi tiga budaya sekaligus, yaitu budaya Islam yang disimbolkan dengan Burung, Cina dengan kepala Naga, dan Hindu yang dilambangkan dengan belalai Gajah.

Kereta Paksi Naga Liman juga memiliki teknologi yang sangat maju di zamannya. Hal ini terletak pada sayap yang mampu bergerak saat kereta dijalankan. Ini berguna sebagai pendingin saat sultan menaiki kereta ini.

Kereta Kencana Paksi Naga Liman adalah kereta kencana milik Keraton Kanoman. Dulu, kereta ini digunakan raja Keraton Kanoman untuk menghadiri upacara kebesaran. Selain itu, kereta ini juga digunakan untuk kirab pengantin keluarga Sultan Kanoman. Kereta tersebut diperkirakan dibuat tahun 1608 berdasarkan angka Jawa 1530 pada leher badan kereta yang merupakan angka tahun Saka. Sejak tahun 1933, kereta ini tidak digunakan dan disimpan di museum Keraton Kanoman, sedangkan yang sering dipakai pada perayaan-perayaan merupakan kereta tiruannya/duplicatnya.

Adalah Pangeran Cakrabuana alias Mbah Kuwu Cirebon sebagi Sultan pertama yang telah meninggalkan segudang peninggalan benda pusaka di Tanah Cirebon. Salah satu pusaka keraton yang paling ikonik adalah kereta kencana Paksi Naga Liman ini.

Kereta Paksi Naga Liman ini bentuknya masih Orisinil, berwarna hitam dan terlihat gagah. Kereta Paksi Naga Liman berbentuk Naga bersayap dengan kepala menyerupai Gajah dengan posisi belalainya mengangkat sebuah Tombak Trisula bermata ganda.

Kereta ini berukuran panjang 3 meter, lebar 1,5 meter, dan tinggi 2,6 meter dan ditarik oleh enam ekor kuda putih. Badan kereta terbagi dua bagian, yakni bagian atas dari kayu sebagai tempat duduk penumpang dan bagian bawah dari besi berupa rangkaian empat roda kereta. Bagian atas kereta berbentuk perpaduan tiga hewan seperti namanya, yakni Burung Garuda (paksi), Ular Naga (naga), dan Gajah (liman).

Tempat duduk penumpang berbentuk badan Gajah yang kakinya dilipat, berekor Naga, bersayap Garuda, dan berkepala perpaduan antara Naga dan Gajah.

Kereta pusaka Paksi Naga Liman ini sempat di pegang oleh Kanjeng Sunan Gunung Jati pada saat menjadi Sultan ke dua setelah menggantikan Uwaknya yaitu Pangeran Cakrabuana. Kereta ini di gunakan oleh kanjeng Sunan Gunung Jati untuk berkeliling keraton. Bahkan pada era kanjeng Sunan Gunung Jati, kereta tersebut sempat mengalami perbaikan.

Patih Kanoman Cirebon, Pangeran Patih Raja Muhammad Qodiran mengatakan, Kereta Pusaka Paksi Naga Liman merupakan kendaraan utama Kerajaan Singhapura pada tahun (1042-1440 M/936-1367 saka) hingga masa kesultanan Cirebon.

"Kereta kencana ini mengambil inspirasi dari kendaraan perang Bhatara Indra," kata Patih Qodiran, Senin, 18 September 2017.

Kereta ini diyakini telah ada sejak masa pangeran Cakrabuana berdasarkan naskah tertulis pada Candra Sangkala (1428 M/1350 saka). Kereta tersebut digunakan untuk menyerang Kerajaan Galuh dan menjadi kereta kebesaran Kerajaan Cirebon.

"Diteruskan hingga saat ini oleh panembahan Cirebon hingga sultan Kanoman," kata Patih Qodiran.

Dalam pemeliharaannya, Paksi Naga Liman sempat mengalami perbaikan oleh pangeran Losari yang merupakan cicit dari Sunan Gunung Jati dan yang memahat adalah Ki Nataguna dari desa Kaliwulu, Plered, Cirebon. Pahatan pada kereta ini memang detail dan sangat rumit. Mencirikan budaya khas tiga negara sahabat, pahatan wadasan dan mega mendung mencirikan khas cirebon, warna-warna ukiran yang merah hijau mencitrakan khas Cina.

Tiga budaya (Buddha, Hindu dan Islam) itu menjadi satu digambarkan prinsip Trisula dalam belalai Gajah. Tri berarti tiga, dan Sula berarti tajam. Artinya, tiga kekuatan alam pikiran manusia yang tajam yaitu, Cipta, Rasa dan Karsa. Cipta Rasa dan Karsa di maksudkan sebagai kebijaksanaan berasal dari pengetahuan yang di jalankan dengan baik.

Beliau menjelaskan, Paksi Naga Liman merupakan karya seni yang dipadukan dengan konsep kendaraan masa lalu, tetapi berhasil menginspirasi karya-karya futuristik, megah, dan memiliki nilai estetika yang tinggi.

Di balik kemegahannya, lanjut Patih Qodiran, tersimpan pesan yang sarat makna pada sosok Paksi Naga Liman.

"Paksi" yang merupakan burung dengan badan bersayap adalah penanda simbol negeri Timur Tengah dan unsur Islam yang diturunkan di Timur Tengah.

Sementara "Naga" berbentuk kepala bermahkota hewan Naga merupakan wujud penguasa Caruban yang dinamakan Mang. "Sosok Mang juga telah mafhum (paham) sebagai simbolisasi atas negeri Tiongkok dan kandungan anasir (pemahaman) Buddha.

Sedangkan "Liman" (belalai) adalah bagian dari gajah yang merupakan simbol Ganesha sebagai putra Dewa Syiwa dari negeri India. Simbol ini menggambarkan unsur agama Hindu.

Patih Qodiran menambahkan, Paksi Naga Liman adalah simbol Cirebon sebagai negeri tempat terjadinya asimilasi dan pluralisasi dari tiga kebudayaan, serta menempatkan Cirebon pada puncak keunggulan peradaban pada masanya dan sesuai dengan arti Cirebon yang asal kata dari "Caruban" yakni Campuran.

"Bahkan berkembang penafsiran atas makna Paksi Naga Liman yang mengisyaratkan kejayaan kedaulatan, "Burung" sebagai penjaga kedaulatan di udara atau Jaya Dirgantara, "Naga" sebagai penjaga kedaulatan laut atau Jaya Bahari dan "Gajah" sebagai penjaga kedaulatan di darat atau Jaya Bhumi," kata beliau.
Wallahu'aklambhishowab...


close