Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PETAKA DI TANAH DURJANA


CeritaRakyat - Tak asing di ingatan ketika kita kembali diingatkan oleh sebuah kisah tentang sebuah desa yang dikutuk karena kemaksiatan penduduknya. Layaknya kisah kota Gomorrah yang dihancurkan karena kemurkaan Tuhan, seperti yang tercantum pada kitab samawi. Juga sangat mendekati kisah kota Pompeii yang habis dilahap muntahan Gunung Vesuvius akibat perkara yang tak jauh beda, kemaksiatan penduduknya.

Desa yang terletak di kaki gunung ini, tertimbun longsor dari muntahan Gunung Pengamun-amun yang meletus pada tahun 1955. Mengubur seluruh penduduk sebanyak 332 jiwa, bersama 19 jiwa lainnya pendatang dari luar desa. Kisah ini beririsan dengan kejadian-kejadian sebelumnya yang pernah tercatat dalam sejarah. Narasi tentang desa Legetang yang dibinasakan oleh Tuhan akibat ulah penduduknya.

Bagaimana bisa stigma bahwa desa tersebut hingga kini masih terbingkai dengan kisah yang memilukan seperti itu? Bahwa rakyat yang hidup dari tanah subur Pengamun-amun, mulai tidak mematuhi ajaran agama hingga akhirnya harus dibinasakan. Mungkin narasi ini bisa jadi contoh terkait narasi atau mitos yang biasanya digunakan untuk kepentingan tertentu.

Pada tahun 1955 menjelang pemilu, atmosfer politik di Indonesia begitu panas, antara kedua partai yang saling berebut simpati masyarakat. Desa Legetang terkenal desa yang menjaga tradisi leluhurnya, salah satunya tarian lengger.

Tarian lengger diyakini sebagai bentuk ucapan syukur terhadap kesuburan dan hasil panen kepada alam semesta. Namun gerakannya berbau erotik dan berbeda dengan tarian Jawa pada umumnya, yang terkesan anggun dan lemah lembut. Dipercaya gerakan-gerakan yang erotik itu bisa mempengaruhi kesuburan.

Lengger berasal dari kata leng yang berarti lubang sering diasosiasikan sebagai kelamin perempuan, serta jengger berarti terjulur (bagian laki-laki). Dengan kata lain lengger berarti ditarikan oleh laki-laki yang berpakaian perempuan, lengkap dengan riasan dan gerakannya. Menurut data, bahwa tarian lengger memang di tarikan justru oleh penari laki-laki, bukan perempuan seperti sekarang ini.

Lengger terasosiasi dengan sebuah partai yang sering menggunakan kesenian sebagai alat propagandanya. Hal tersebut justru dimanfaatkan sebagai pukulan balik oleh lawannya yang berhaluan kanan sebagai alat kampanye anti-LGBT. Sehingga ketika musibah di desa Legetang itu terjadi, narasi tentang azab yang diturunkan dari langit akibat kaum sodom di daerah tersebut dibinasakan oleh Tuhan menjadi stigma yang mutakhir. Alhasil propaganda tersebut langgeng hingga kini, dan dipercaya bentuk musibah atas kemaksiatan penduduk desa Legetang.

Kontestasi politik 1955 menjadi alat diskriminasi bagi para penari lengger yang di stigma sebagai penyebar aktivitas homoseksual, dan membandingkan musibah Legetang dengan yang terjadi di Gomorrah.

Meski kawasan Dieng merupakan daerah vulkanik aktif, dan tragedi kemanusiaan tidak terjadi sekali itu saja disana. Misalnya letupan kawah Sinila yang menyemburkan gas beracun hingga menewaskan 149 warganya.

Kini kita bisa menyaksikan narasi tersebut dalam sebuah monumen berupa tugu peringatan atas kematian yang dilegitimasi sebagai contoh penduduk yang dibinasakan oleh Tuhan akibat kemaksiatan mereka.

Hal itu akan menjadi asumsi yang selalu membayangi lenyapnya desa itu hingga kini, bahkan sebagian besar berita tentang misteri lenyapnya desa itu masih dibingkai dalam stigmatisasi tersebut.


close