Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

POCONG TETANGGA (Part 1)


JEJAKMISTERI - Amprung terkapar tidak sadarkan diri di pinggir jalan. Ia bertelanjang badan dan hanya mengenakan celana levis selutut sehingga tato elang di dadanya dapat terlihat dengan jelas. Kulitnya berwarna sawo matang, rambutnya dicukur sesisir, perutnya buncit, ia terlihat kumal seperti tidak terurus.

Satu dua mobil truk pengangkut pasir melintasi Amprung. Derum mobil itu tidak mengusiknya sama sekali. Dua buah botol bir kosong tergeletak di samping Amprung. Kedua kakinya nyeker, entah raib ke mana alas kakinya itu.

Semalam memang menjadi malam yang panjang bagi Amprung. Dia kalah berjudi di pasar Kliwon dan dibuang begitu saja oleh sopir truk di pinggir jalan. Amprung memang seorang penjudi berat. Teman-temannya di pasar Kliwon itu adalah para pedagang kaki lima yang kalau malam ikut berjudi dengan Amprung.

Nasib Amprung selalu buruk, ia lebih sering kalah ketimbang menang. Seperti tadi malam, usai menjual cabai hasil curian dari kebun tetangganya, Amprung langsung pergi ke pasar Kliwon untuk bermain judi dadu. Awalnya Amprung sempat menang, uangnya bertambah berkali-kali lipat. Sayangnya dia malah kembali kalah dan semua uangnya ludes.

"Uang kau sudah habis, mau gimana lagi?" tanya Kohar, pedagang ikan lele yang ikut berjudi.

"Iya Amprung. Sudah sana pulang," Sukarta si bandar judi yang juga berprofesi sebagai pedagang sayuran mengusir Amprung sambil tertawa.

"Sebentar lah Bang. Aku masih mau main ini," Amprung masih penasaran, dia yakin kalau terus bermain pasti akan menang.

"Ya, main pakai apa?" Kohar meledek Amprung.

"Yuk, pasang," ajak bandar. Lima orang melemparkan uangnya pada papan dadu.

Sangat mudah bermain judi dadu ini. Ketika bandar sudah memberi aba-aba untuk bermain, para penjudi tinggal menaruh uangnya di atas papan yang bergambar butiran nilai dadu, semacam gambar pada kartu gaple.

Amprung bengong saja melihat mereka bermain, "Sebaiknya kau pasang nomor enam," saran Amprung pada salah satu penjudi.

"Halah, diam kau," dia tidak mau menerima saran dari sang pecundang.

Setelah satu permainan selesai, Amprung milirik Sardi, temannya satu kampung.

"Bung, aku mau ngutang uang dulu sama kau," bisik Amprung.

"Yang minggu lalu juga belum kau bayar, Prung," Sardi kesal.

"Ini yang terakhir. Aku janji pasti bayar."

Dengan terpaksa, Sardi meminjamkan uangnya. Amprung kemudian berjudi kembali. Sialnya dia tetap kalah dan semua uangnya habis. Amprung menyerah, dia rasa cukup untuk malam ini. Saatnya pulang.

Tapi teman-temannya Amprung tidak membiarkannya pulang. Mereka malah mengajaknya minum bir gratis. Bir murahan itu mereka beli di pinggir jalan. Amprung mabuk berat, salah satu temannya sengaja menjahili Amprung. Ia ditelanjangi dan dinaikkan ke atas truk pengangkut beras lalu paginya sang sopir truk membuang Amprung di pinggir jalan.

Dari kejauhan seorang sopir truk menyadari kalau ada orang yang sedang tertidur di pinggir jalan. Sopir itu membunyikan klakson saat melintas di depan Amprung. Seketika saja, kepala Amprung bergerak, ia akhirnya sadarkan diri. Amprung mencoba untuk bangkit. Dari kejauhan, ia mendengar sayup-sayup suara dari spiker masjid.

"Innalillahi wainnalillahi rojiun, telah berpulang ke rahmatullah...," tiba-tiba sebuah mobil pikap melintas, suaranya mengganggu pendengaran Amprung.

Entah siapa yang meninggal, Amprung juga tidak tahu sekarang dia sedang ada di mana. Yang jelas, ada satu hal yang membuatnya senang; kebetulan sekali ada orang yang meninggal. Itu artinya dia akan dapat uang. Sudah menjadi hal lumrah kalau di suatu kampung ada yang meninggal maka setiap orang yang ikut menshalatkan jenazahnya akan diberi uang sedekah, mereka biasa menyebutnya uang kematian.

Segera Amprung beranjak pergi, ia menuju sumber suara tersebut. Di belakang rumah salah satu warga, Amprung bersembunyi, ia mencuri baju koko dan sarung di jemuran lalu mengenakannya. Tidak ada satu pun yang mengenali Amprung, ia membaur dengan kerumunan warga di halaman masjid untuk menshalatkan jenazah.

Tanpa di sengaja, Amprung melihat sebuah amplop tebal yang tergeletak di bawah meja. Itu adalah uang untuk sedekah mayat, Amprung tersenyum. Jiwa kriminalnya muncul, pelan-pelan ia mendekati meja itu dan berhasil mencuri segepok uang. Ia lalu pergi dari kermunan warga, nanti malam uang itu akan ia gunakan untuk berjudi. Selesai shalat jenazah, pihak keluarga panik, mereka menangis karena uangnya hilang dicuri.

"Siapa pun yang mencuri uang sedekah bapakku. Aku sumpahi dihantui pocong!"

Teriak Jubaidah sambil menangis.

***

Amprung tidak langsung pulang ke rumah.Uang itu ia bawa ke pasar Kliwon untuk berjudi. Dan lagi-lagi dia kalah, semua uangnya ludes, dia bahkan ngutang lagi ke temannya.

"Jangan pulang dulu lah. Kita mabok lagi, Prung," ajak temannya.

"Nggak ah. Kalian tega sama aku," Amprung menyingkirkan lengan temannya dari pundaknya sendiri.

"Kali ini kita nggak bakal jahilin kamu lagi, Prung."

"Nggak. Aku ngantuk mau pulang. Dari kemarin belum pulang, istriku pasti khawatir.

Amprung pulang naik angkot. Angkot di sana memang beroperasi 24 jam. Kebetulan ia menaiki angkot yang sepi penumpang. Sepanjang perjalanan Amprung mencoba untuk ngobrol dengan sopir angkot, tapi sopir itu hanya menjawab singkat-singkat saja seperti sedang malas diajak bicara.

Saat melintasi perkebunan bambu, dari kaca belakang angkot, Amprung melihat bayangan orang yang sedang berdiri di tengah jalan. Anehnya walau angkot yang ia tumpangi terus melaju, bayangan itu tidak mau hilang.

"Aneh," Amprung menggelengkan kepala.

Amprung perhatikan bukannya semakin menjauh, bayangan itu malah semakin mendekat.

"Pak, ada orang yang ngikutin kita," kata Amprung pada sopir angkot.

"Mana uang saya?" bukannya menjawab, si sopir angkot malah minta uang.

"Uang?" Amprung menoleh ke arah kemudi.

Amprung berteriak, ia terkejut melihat pocong di kursi kemudi. Ia kemudian lompat dari angkot lalu tersungkur ke aspal. Kaki dan lengannya berdarah. Angkot tadi berhenti lalu perlahan berjalan mundur mendekati Amprung yang masih kesakitan.

Angkot itu mendekat, Amprung bangkit lalu lari sekuat tenaga. Sesekali ia menoleh ke belakang, angkot itu terus mengejarnya. Ada sebuah jalan kecil di sebelah kanan, Amprung berbelok ke jalan tersebut agar angkot tidak bisa mengikutinya lagi.

Setelah berusaha mencari jalan pulang dengan menyusuri perkampungan, Amprung akhirnya berhasil sampai di rumah. Ia menggedor pintu dengan sangat keras, napasnya tersengal-sengal, sesekali ia menoleh ke belakang karena takut ada pocong yang mengikutinya.

“Tika! Buka pintunya!”

Tidak lama kemudian, pintu bersuara pertanda ada seseorang yang membukakannya.

“Ke mana aja sih, Pak?” Tika masih mengucek matanya yang kantuk. Ia geram dengan kelakuan suaminya itu.

Tanpa menjawab, Amprung menerobos masuk. Tika heran dengan tingkah suaminya itu, jangan-jangan ia dikejar-kejar warga lagi lantaran maling.

“Kamu kenapa, Pak? Maling lagi?!” Tika menghampiri suaminya.

“Udah jangan banyak omong. Tutup pintunya!” Amprung malah balik marah.

Tika menggelengkan kepala sabil berdecak kesal. Rasanya ia tidak sanggup lagi hidup bersama lelaki itu. Dari dulu tabiat Amprung tidak pernah berubah, senang maling dan berjudi. Selama ini yang menghidupi keluarga malah Tika, ia berjualan uduk di SDN Sukaresmi, tempat anaknya sekolah.

“Pak, itu siapa di luar?” Tika mengintip dari balik jendela.

“Tik...! jangan diintip!” desis Amprung.

Tika beranjak menghapiri suaminya yang sedang terbaring ketakutan di atas sofa butut.

“Dia ngeliatin rumah kita terus, Pak. Aku nggak bisa lihat wajahnya samar gitu,” kata Tika.

Amprung menarik lengan istrinya ke kamar. Di sana ada anak perempuan mereka yang sedang tidur pulas. Pintu kamar itu lalu dikuci rapat.

“Uangku...,” seseorang mengetuk jendela kamar, diikuti dengan rintihan minta uang.

“Pak, kamu maling uang siapa?”

“Setan, Mah. Uang setan!” Amprung mengerutkan dahi, tubuhnya bergetar.

“Hah setan? Kok bisa?” Tika heran. Kaca pintu kamar mereka masih diketuk.

“Aku mencuri uang sedekah orang yang meninggal,” bisik Amprung.

“Bajingan kamu Pak. Jangan-jangan itu uangnya Pak Rusdi!” Tika terkejut, ia benar-benar marah.

“Maksud kamu?”

“Pak makanya kalau udah punya anak istri jangan keluyuran nggak jelas! Itu tetangga kita Pak Rusdi meninggal tadi pagi. Jenazahnya dibawa ke kampung tempat kelahiran dia. Pas selesai dishalatkan, uang sedekahnya hilang ada yang curi. Ternyata kamu Pak pencurinya.”

“Ssssttt..., jangan berisik,” Amprung menutup mulut istrinya.

Tika menyingkirkan lengan suaminya, ia lalu mendekat ke jendela, pocong itu masih di luar. Ia mengetuk kaca jendela kamar dengan cara membentur-benturkan kepala.

“Ampun, Pak Rusdi. Jangan ganggu kami,” Tika mengeraskan suaranya.

“Uangku.... kembalikan uangku,” kata pocong itu dari luar.

“Pak, berapa uang yang kamu curi?”

Amprung menggelengkan kepala, “Aku tidak tahu. Itu banyak sekali, segepok,” jawab Amprung.

“Kamu pakai judi uangnya?”

Amprung mengangguk, refleks saja tangan Tika menampar wajah suaminya.

“Bodoh kamu, Pak!”

Jendela semakin keras digedor.

“Ampun Pak Rusdi. Saya janji besok akan kembalikan uangnya,” kata Amprung.

Tika menoleh ke suaminya dengan ekspresi wajah kesal, “Uang dari mana?” bisik Tika.

“Pokoknya aku akan usahakan,” jawab Amprung.

Suara ketukan perlahan hilang. Tika membuka sedikit tirai jendela, ternyata pocong itu sudah pergi.

***

Keesokan paginya, saat Tika melintas di depan rumah tetangganya, ia melihat Jubaidah menangis di teras rumah. Suami dan kedua anaknya mencoba menenangkan Jubaidah, wanita itu masih belum ikhlas uang sedekah bapaknya dicuri orang. Padahal itu uang tabungannya selama bertahun-tahun.

“Ibu kenapa?” tanya Amila, ia menengadah ke Tika yang tiba-tiba mempercepat langkah.

“Nggak apa-apa, Nak. Ayo nanti kamu terlambat masuk kelas,” Tika menarik lengan anaknya, memintanya untuk mempercepat langkah.

Amila menoleh ke arah pohon jambu, “Bu ada yang ngeliatin kita,” katanya sambil menunjuk.

Tika memperhatikan pohon jambu di pinggir jalan, tapi tidak ada siapa-siapa di sana.

“Udah ayo cepat pergi,” Tika tahu itu pasti pocong semalam yang masih mengikutinya.

Pagi sekali, Amprung sudah ada di pasar Kliwon. Pengunjung pasar sudah ramai, para pedagang sibuk melayani pembeli. Termasuk Sardi yang merupakan penjual ayam potong. Di tengah kesibukannya, Amprung datang menghampiri Sardi.

“Tolong aku, Di.”

“Apa lagi, Prung?” tanya Sardi sambil sibuk memotong ayam.

“Aku dikejar-kejar pocong.”

Sardi malah tertawa mendengarnya.

“Pocong? Zaman sekarang mana ada pocong, Prung. Kau mengada-ada saja.”

“Ini serius, semalam aku didatangi pocong. Ini semua salahku, Di.”

“Salah apa kau?” Sardi sambil sibuk mengkilo ayam potong dan membungkusnya.

“Aku mencuri uang sedekah jenazah,” bisiknya pelan di telinga Sardi.

“Hah? Sudah gila kau?” Sardi menebaskan goloknya di atas tatakan kayu lalu menoleh ke Amprung.

“Jenazah siapa?” lanjut Sardi.

“Tentanggaku, Di.”

Sardi menggelengkan kepala, ia mencabut kembali goloknya.

“Kau harus mengembalikannya, Prung.”

“Uangnya banyak sekali dan aku tidak sanggup mengembalikannya, Di. Kau tahu tidak tempat dukun sakti di dekat sini.”

“Ada di kampung Cilengkong. Mbah Goto namanya, dia dukun yang sakti. Kau ke sana saja, siapa tahu dia bisa bantu.”

Amprung mengangguk. Sardi dengan baik hati mau membantu Amprung. Ia memberikan bahkan uang dua ratus ribu untuk Amprung agar bisa membayar dukun itu.

Pagi itu juga, Amprung pergi ke kampung Cilengkong dengan naik ojek. Jalan menuju kampung itu rusak, berkerikil, ada banyak lubang di tengah jalan yang digenangi air hujan. Setelah sekitar dua puluh menit perjalanan, akhirnya Amprung tiba di kampung Cilengkong.

Rumah Mbah Goto terbilang bagus, catnya berwarna putih, pagar rumahnya dicat warna hijau, di depan pagar itu ada spanduk bertuliskan ‘Tabib Pengobatan Alternatif’ selain dukun ternyata Mbah juga seorang tabib yang biasa mengobati penyakit kiriman alias santet.

“Ini benar rumahnya Mbah Goto?” tanya Amprung pada tukang ojek.

“Iya benar, saya pernah ke sini sekali,” jawabnya.

Amprung membayar ongkos ojek lalu melangkah menuju gerbang rumah Mbah Goto.

“Permisi,” Amprung mengetuk kunci gerbang, menimbulkan bunyi nyaring.

Dari dalam rumah muncul seorang wanita yang umurnya sekitar tiga puluh tahunan, ia mengenakan daster, rambutnya diikat ke belakang. Sambil tersenyum ia menghampiri Amprung.

“Iya, Mas. Ada keperluan apa, ya?” tanya wanita itu sambil membukakan pintu gerbang.

“Saya mau bertemu dengan Mbah Goto. Apa beliau ada di rumah?”

“Ada Mas. Silakan masuk.”

Amprung dibawa masuk ke dalam rumah. Ia sempat terkagum-kagum melihat isi rumah Mbah Goto, banyak koleksi patung yang terbuat dari kayu.

“Mbah ada tamu,” wanita itu mengetuk pintu kamar Mbah Goto.

“Suruh masuk saja,” terdengar suara lelaki tua dari dalam kamar.

“Silakan Mas. Masuk saja ke kamar Mbah.”

Dengan sopan Amprung masuk ke dalam kamar Mbah Goto. Di sana ia melihat Mbah Goto sedang santai di atas sofa sambil menonton TV, kakinya diselonjorkan ke meja, ia menoleh pada Amprung.

“Silakan duduk,” Mbah Goto menurunkan kakinya, ia bergeser memberi tempat untuk Amprung.

“Terima kasih Mbah. Saya Amprung, saya mau minta pertolongan Mbah.”

Mbah Goto masih memperhatikan layar TV yang menayangkan film kartun lawas, sesekali ia tertawa. Amprung mulai ragu kalau Mbah Goto ini dukun sakti.

“Masalahnya apa?” tanya Mbah Goto, ia kembali menaikkan kakinya ke atas meja.

“Dikejar-kejar pocong, Mbah.”

Mbah Goto malah tertawa terbahak-bahak, ia sekarang menoleh ke arah Amprung. Tanpa diminta, Amprung menceritakan apa yang sudah ia perbuat sehingga pocong itu mengejarnya. Mbah Goto mengangguk-angguk tapi dia malah fokus kembali ke TV.

“Pocong itu minta uangnya kembali, tapi kau tidak mampu.”

“Iya Mbah. Tolong bantu saya biar pocong itu pergi.”

Mbah Goto mematikan TV, ia mengembuskan napas berat dan perlahan bangkit.

Ia mengambil sebuah botol cembung dari dalam lemari.

“Kalau pocong itu datang lagi ke rumahmu. Kamu buka tutup botol ini. Nanti dia akan terkurung di dalam botol.”

Amprung tersenyum, “Terus kalau udah terkurung nanti botolnya saya apakan Mbah?”

“Kau simpan baik-baik jangan sampai pecah. Pocong itu nantinya bisa mendatangkan keberuntungan juga.”

“Wah serius, Mbah?”

“Iya. Nih ambil.”

Amprung meraih botol cembung itu. Tapi tiba-tiba ekspresi wajahnya datar kembali, ia belum menanyakan harga botol itu.

“Berapa ya Mbah harganya?”

“Gratis. Ambil saja. Aku tahu kamu orang susah,” Mbah Goto tertawa, ia menyalakan TV lagi dan lanjut menonton kartun.

Amprung berkali-kali mengucapkan terima kasih kemudian pamit dari hadapan Mbah Goto.

***

Malamnya, saat anak Amprung sudah tidur, ia dan istrinya bersiap di jendela rumah. Mereka mengintip dari balik jendela, mencari keberadaan pocong. Tepat pukul 12 malam, terlihat asap kental menyembur di depan rumah mereka. Saat asap hilang, terlihat pocong berdiri di sana.

“Uangku...,” lirih pocong itu.

Amprung memberanikan diri, ia membuka pintu rumah lalu menyodorkan botol itu ke arah pocong. Seketika saja pocong itu berubah kembali menjadi gumpalan asap lalu masuk tersedot ke dalam botol.

“Mampus kau!” Amprung tertawa.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

close