Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

POCONG TETANGGA (Part 2)


JEJAKMISTERI - Amprung menyimpan botol itu dengan sangat rapi. Ia membungkusnya dengan kain bekas kemudian dimasukkan ke dalam kardus. Ia menyimpannya di dalam lemari. Tidak ada seorang pun yang boleh membuka lemari itu. Zahra, anak perempuan Amprung, pun berkali-kali diingatkan oleh ibunya agar tidak membuka lemari tersebut.

Tengah malam saat mereka sedang tidur, terdengar suara botol yang seperti diketuk. Tika terbangun. Suara itu bersumber dari dalam lemari. Pocong dari dalam botol memaksa ingin keluar. Tika mengguncang-guncangkan tubuh suaminya.

“Pak, bangun!”

“Ada apa?” Amprung terbangun masih dalam keadaan kantuk.

“Dengar, Pak,” kata Tika.

Amprung meruncingkan daun telinganya

“Pocong?”

“Iya, Pak.”

Amprung segera turun dari tempat tidur. Ia lalu membuka lemari dan memeriksa keadaan botol. Di dalam botol tersebut menggumpal asap putih yang melayang tapi tenang. Botolnya bergetar sambil terus mengeluarkan suara ketukan.

“Pak, bagaimana kalau nanti botol ini pecah?”

“Kamu jangan khawatir. Botol ini sakti dan tidak akan bisa ditembus pocong sialan itu.”

“Tik, Tika... lihat ini,” Amprung menunjukkan botol itu kepada istrinya.

Aneh sekali. Dari dalam botol itu muncul empat digit angka yang entah apa maksudnya.

“3785,” Amprung buru-buru mencatatnya.

“Itu nomor apa, Pak?”

“Nggak tahu. Dicatat saja dulu. Siapa tahu bisa jadi jimat.”

Suara ketukan dari dalam botol sudah hilang. Amprung meletakkan kembali botol ke tempat semula dengan sangat hati-hati.

***

Keesokannya, di pasar Kliwon, Amprung membantu Sardi berjualan. Kalau memang lagi rajin, Amprung bekerja jadi apa pun di pasar itu. Kadang menjadi tukang pikul, kadang bantu lapak orang. Tapi, ia lebih sering hanya tiduran saja di pojok pasar sambil menunggu mangsa untuk dicopet.

“Sardi!”

muncul seorang lelaki dari arah barat yang mengenakan topi koboi. Ia membawa buku dan pulpen.

“Woi, Arman!” Sardi menoleh ke arah lelaki itu sambil tersenyum.

“Biasa. Mau pasang togel, nggak?” Arman membuka buku yang dibawanya. Di dalam buku itu banyak sekali digit nomor togel untuk dipilih.

“Boleh deh. Aku pasang dua digit saja,” di sela kesibukannya, ia mengeluarkan uang dua ribu rupiah.

“Mau nomor berapa?” tanya Arman.

“Em... 47,” ujar Sardi. Ia kembali meraih goloknya dan memotong daging ayam.

“Hai, kau Amprung, pasang togel lah,” Sardi memukul buku togel ke kepala Amprung.

“Nggak punya duit, Bang,” timpalnya tanpa melihat ke arah Sardi.

“Duit yang kukasih kemarin sudah habis?” tanya Sardi.

Tiba-tiba wajah Amprung cerah. Ia ingat kalau si dukun menolak uang itu. Buru-buru Amprung merogoh celananya.

“Ini masih ada.”

“Berapa itu?”

“Aku pasang seribu perak ajalah, Bang. Uangnya buat judi nanti malam.”

“Berapa digit?”

Amprung terdiam, dia ingat 4 digit nomor yang tertera di dalam botol.

“Empat bang, empat digit.”

“Nomornya?” Arman bersiap mencatat.

“3785.”

"Mantap, Prung. Semoga beruntung kau," Arman beranjak pergi. Ia akan berkeliling pasar untuk menawarkan judi togel.

Beberapa hari kemudian, nomor togel empat digit keluar. Amprung terkejut karena taruhannya benar. Nomor yang keluar dari togel yaitu 3785. Amprung mendapatkan hadiah sebesar dua juta rupiah. Ia menyesal karena tidak bertaruh lebih banyak.

“Aku menang togel, Tik. Nomornya dari botol semalam.”

“Wah serius, Pak?”

“Iya, Tik. Nanti malam kita lihat lagi botolnya. Siapa tahu muncul nomor togel lagi.”

Namun, sampai tiga hari berikutnya, botol itu tidak mengeluarkan nomor togel. Hanya ada suara ketukan dari dalam botol. Pocong itu mendesak ingin dikeluarkan.

“Pocong sialan! Bikin berisik saja,” Amprung melempar gantungan baju ke arah lemari. Suara itu sangat mengganggu sehingga keluarga Amprung susah tidur.

"Pak, coba pindahkan botolnya ke dapur," Saran Tika.

Amprung menuruti saran istrinya. Ia membawa botol itu ke dapur lalu diletakkan di atas meja makan. Akhirnya keluarga Amprung bisa memejamkan mata. Kini suara itu hanya terdengar pelan dan sayup.

Namun, sebelum Amprung terlelap tiba-tiba terdengar suara gaduh di dapur. Mereka mendengar suara seperti kaca yang pecah. Sesaat kemudian diikuti suara kucing mengeong. "Pak, botolnya!," Tika panik dan membangunkan suaminya. Mereka berdua berlari ke dapur.

“Hanya gelas yang jatuh,” Amprung mengelus dadanya, botol itu ternyata masih aman.

Ia mengambil botol tersebut lalu menaruhnya kembali ke dalam lemari. Malam itu mereka tidur dengan ditemani suara dari dalam botol yang sangat mengganggu. Besok pagi, Amprung akan mendatangi kembali Mbah Goto, siapa tahu dia bisa mengatasi masalah ini. Kalau bisa, rasanya Amprung ingin memberikan saja botol itu pada Mbah Goto. Dia sudah tidak sanggup menyimpannya lagi.

Keesokan harinya, Amprung mendatangi rumah Mbah Goto. Seperti biasa dukun itu sedang santai di atas sofanya. Mbah Goto ini tidak terlihat seperti dukun pada umumnya, lebih seperti orang biasa yang hobi menonton TV.

“Kau simpan saja di rumah. Eh kau tahu, pocong dalam botol itu bisa buat kamu kayak,” kata Mbah Goto.

“Bagaimana caranya, Mbah?”

“Kamu coba buka warteg. Letakkan botol itu di dapur, dagangan kamu pasti laris.”

“Nggak ada modalnya, Mbah.”

Mbah Goto menggelengkan kepala. Ia bangkit dari duduknya lalu mengambil sebuah kardus dari dalam lemari. Di dalam kardus itu terdapat tumpukan uang seratus ribuan, entah berapa jumlahnya. Ia menghitung beberapa lembar uang lalu menyerahkannya pada Amprung.

“Ini tiga juta. Kau buka warteg di pasar Kliwon.”

“Serius, Mbah?”

“Iya, ambil saja. Aku senang kalau bisa bantu orang. Hati-hati jangan sampai botolnya pecah, kau jaga baik-baik.”

“Terima kasih Mbah,” Amprung berkali-kali mencium tangan Mbah Goto.

***

Tanpa banyak pikir lagi, Amprung menyewa sebuah kios di pasar Kliwon. Kios itu ia dapatkan dari teman berjudi, harganya sudah dinego habis-habisan sehingga bisa dibayarkan perbulan dan cukup murah. Biaya sewanya hanya lima ratus ribu perbulan.

Tika akhirnya beralih profesi menjadi penjaga warteg. Hari pertama buka, ia tidak masak terlalu banyak karena takut tidak habis. Nyatanya baru tiga jam buka, dagangan Tika sudah ludes. Wartegnya ramai pengunjung. Botol itu benar-benar mendatangkan keberuntungan.

“Masak lagi, Tik,” pinta Amprung.

“Iya Pak. Mumpung lagi ramai pembeli.”

“Kita bakal jadi orang kaya!” wajah Amprung semringah.

Sebenarnya ada yang aneh dari masakan Tika. Menurut salah satu pelanggan, kalau mereka makan di warteg itu rasanya sangat enak dan nikmat, tapi kalau makanannya dibungkus dan dibawa ke rumah rasanya jadi hambar. Kurang enak.

Walau pun begitu pelanggan warteg Amprung semakin lama semakin banyak. Dari bulan ke bulan, usaha wartegnya semakin maju. Ia meraup keuntungan yang besar sehingga bisa membayar karyawan. Tidak ada orang yang tahu kalau di dapur warteg itu ada botol pocong yang menjadi alat pesugihan mereka. Setiap malam botol itu masih berusuara, namun tidak ada orang yang menyadarinya.

“Pak, sebaikya kita kembali saja uang yang pernah kamu curi.”

“Jangan Tika. Kau ini bodoh! Nanti pocongnya malah pergi. Dagangan kita gimana?”

Tika tertunduk, Amprung mengelus bahu istrinya.

“Kau jangan khawatir selama pocong itu dikurung, kita pasti baik-baik saja. Dan yang terpenting....”

Amprung mendekatkan mulutnya ke telinga Tika, “Dagangan kita laris,” bisiknya.

***

Suatu hari, ada kegaduhan di wartegnya Amprung. Seorang anak laki-laki indigo mengamuk saat ayahnya hendak mampir di wartegnya Amprung. Ia tidak mau masuk ke dalam warteg itu lantaran melihat banyak sekali makhluk gaib di dalamnya.

“Ayah mau makan dulu sebentar, Nak.”

“Nggak mau Ayah. Jangan makan di situ,” ia menunjuk ke dalam warteg Amprung. Dari perawakannya, dapat dilihat kalau anak itu baru berumur enam tahun.

“Nggak apa-apa sebentar doang, kok. Abis ini kita pulang,” ayahnya menarik lengan anak itu.

“Nggak Yah. Lihat itu banyak setannya. Itu di piring juga banyak cacing!”

Akhirnya ayahnya menuruti kemauan anak itu, ia tidak jadi makan di wartegnya Amprung. Para pelanggan pun kehilangan nafsu makannya. Buru-buru membayar dan pergi tanpa menghabiskan makanan.

Tidak seperti biasanya pasar Kliwon sepi tengah malam begini. Tidak ada kegaduhan orang yang sedang berjudi. Kios-kios sayuran yang biasanya buka 24 jam juga tutup. Mungkin mereka mau berlibur untuk beberapa hari.

Di tengah pasar yang sepi, seorang gelandangan sibuk mengorek tumpukan sampah. Mamat, si pemulung yang umurnya masih muda, itu dari pagi belum makan. Wajahnya meringis menahan perutnya yang semakin perih.

Karung butut berisi sampah plastik yang dibawanya diletakkan begitu saja. Karung itu hanya terisi sedikit, tak ada seperempatnya. Sementara isinya kalau dijual belum cukup untuk membeli sebungkus nasi.

Tengah malam seperti itu ia terbangun karena lapar. Terpaksa ia mencari sisa makanan di tong-tong sampah sepanjang pasar Kliwon. Sialnya, Mamat tidak menemukan apa pun yang bisa dimakan. Ia hanya menemukan sampah-sampah yang berbau busuk, sisa sirip ikan, potongan tulang ayam, dan sayuran busuk.

Wajah Mamat sangat lesu. Ia mengambil kembali karung butut lalu menyeretnya. Perlahan ia melangkah menyusuri pasar Kliwon dan berharap ada sisa makanan yang bisa ia temukan.

Wajahnya berbinar saat dari kejauhan melihat sesuatu yang sepertinya bisa dimakan. Itu sebuah pepaya yang sebagian matang, namun sebagian lagi busuk. Mungkin si penjual sengaja tidak memasukkan buah itu ke keranjang dan meninggalkannya.

Segera Mamat mempercepat langkahnya. Ia memotong buah itu dengan kedua jempolnya. Ia terlihat sangat lahap saat memakan buah pepaya. Belum juga selesai, tiba-tiba ia mendengar sesuatu yang aneh dari arah barat. Sambil memakan pepaya, Mamat melangkah mencari sumber suara tersebut. Itu seperti suara kaca yang beradu.

Langkah Mamat terhenti di depan kios. Di bagian depan kios itu bertuliskan 'Warteg Berkah Sugih'. Itu warung milik Amprung. Kios itu dikunci rapat, tidak mungkin bisa dibobol maling.

Mamat pergi ke belakang kios. Ia melihat ada sebuah kaca ventilasi udara yang cukup tinggi. Ia menoleh ke sekeliling dan menemukan tumpukan bekas keranjang buah. Disusunnya keranjang-keranjang itu sampai tinggi. Ia lalu naik ke atas keranjang. Dengan sekuat tenaga Mamat memecahkan kaca pentilasi tersebut.

Serpihan beling sempat mengenai pipinya. Ia mengaduh kesakitan lalu membersihkan sisa kaca pada pentilasi udara. Setelah bersih, ia lalu masuk ke dalam warteg tersebut. Mamat melompat, ia berada di dapur. Suara itu masih terdengar jelas.

Pelan-pelan ia mengikuti sumber suara. Hingga akhirnya ia menemukan sebuah botol yang aneh. Botol itu berisi gumpalan asap di dalamnya dan juga mengeluarkan suara ketukan. Mamat mengocok botol itu. Tidak ada yang berubah. Suara masih saja terdengar dari dalam botol.

“Botol apa ini?” gumam Mamat.

Ia malah mencabut tutup botol itu. Seketika asap pekat keluar dari dalam botol memenuhi ruangan dapur. Mamat terbatuk-batuk. Ia mengibas-kibaskan kedua tangannya untuk menyingkirkan asap. Dan... tampaklah sesosok pocong di hadapannya. Pocong itu merintih minta uangnya dikembalikan. Mamat terkejut lalu jatuh pingsan.

***

Keesokan harinya, pasar Kliwon geger karena kios Amprung dibobol pencuri. Mamat dibawa ke kantor polisi. Ia ditahan. Sementara Amprung dan Tika mulai panik karena botol itu dibuka oleh si Mamat. Hari itu, Tika menutup kiosnya untuk sementara. Amprung akan mendatangi Mbah Goto untuk berkonsultasi.

Sayangnya, saat Amprung mendatangi rumah Mbah Goto. dukun itu sudah meninggal dunia. Rumahnya ramai didatangi warga yang hendak melayat. Amprung kebingungan. Ia buru-buru pulang.

“Bagaimana ini, Pak?” tanya Tika sambil menyuguhkan kopi pahit ke hadapan suaminya.

“Gini, kita buka saja wartegnya. Lagipula pelanggannya kan udah banyak. Mungkin tanpa botol itu pun warteg kita akan tetap ramai,” katanya mencoba menenangkan.

“Kita kembalikan saja uang yang pernah kamu curi, Pak.”

“Jangan! Nanti aku malu. Biarkan saja. Lagipula pocong itu tidak akan menyakiti kita,” ujar Amprung.

Hari berikutnya, setelah mengantarkan anaknya ke sekolah, Tika membuka kembali warteg itu. Pengunjung tetap ramai. Semua terlihat baik-baik saja. Namun, saat para pengunjung itu sedang makan dengan lahap, tiba-tiba perut mereka terasa mual lalu muntah darah. Semua hidangan berubah menjadi tumpukan cacing yang menjijikkan.

Para pelanggan terkapar kesakitan sambil memegangi perut. Mereka berteriak seperti orang yang kena santet. Warteg Tika dipenuhi muntahan darah. Satu pasar heboh, orang-orang berkerumun ingin melihat kejadian aneh itu.

“Bangsat! Kau pakai pesugihan, ya?” teriak salah seorang pengunjung pasar.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close