POCONG TETANGGA (Part 3 AND)
JEJAKMISTERI - “Iya kalian pasti menggunakan pesugihan!” sahut pengunjung pasar lainnya.
Para pengunjung warteg yang menjerit kesakitan akhirnya dibawa satu persatu ke rumah sakit terdekat. Lain hal yang terjadi dengan Tika dan Amprung, mereka dilempari sampah dan batu, kiosnya diacak-acak. Uangnya dirampas lalu dibakar di depan mereka berdua.
“Ampuni kami. Sungguh, kami tidak menggunakan pesugihan!” Amprung memeluk istrinya, melindunginya dari amukan warga.
“Halah! Bohong kau!” sebuah kayu menghantam kepala Amprung. Ia terkapar dengan darah bercucuran.
“Pak!” Tika menjerit sambil merangkul suaminya.
Sebelum warga sempat membunuh mereka berdua, polisi datang berhamburan ke pasar Kliwon. Salah satu pimpinan polisi menembakkan senjata api ke udara untuk membubarkan kerumunan.
Untung saja, Amprung dan Tika masih bisa diselamatkan. Dan yang terjadi selanjutnya sangat menyedihkan, warteg mereka ditutup paksa lalu dilebeli 'Parteg Pesugihan' itu sangat memalukan.
Akibat hantaman benda tumpul, Amprung tidak sadarkan diri selama dua hari. Ia dirawat di rumah sakit yang sama dengan para pelanggan wartegnya. Suatu malam di rumah sakit, saat Tika dan anaknya tertidur pulas di samping ranjang Amprung, tirai jendela bergerak tertiup angin. Muncul bayangan pocong di luar sana yang siap menagih uangnya kembali.
Sementara itu, Amprung terbaring dengan tenang, tangannya diinfus, mulutnya dipasangi alat bantu pernafasan, dadanya turun naik pertanda kalau ia masih hidup. Amprung bermimpi kalau dirinya sedang ada di sebuah tempat yang sunyi.
Ia duduk seorang diri di atas bangku. Dari arah kanannya terdengar suara langkah sepatu mendekat, itu Mbah Goto. Amprung menyeringai bahagia saat melihat lelaki tua itu.
“Mbah tolong aku. Bagaimana cara menghentikan pocong itu?”
“Kalau kau tidak mau mengembalikan uangnya, kau datangi saja kuburannya.”
“Lalu?” tanya Amprung.
“Kau curi tali kain kafan di bagian pergelangan kaki.”
Amprung terdiam sejenak, “Ada lagi yang harus saya lakukan, Mbah?”
“Kau telan tali itu.”
Amprung mengangguk, itu terdengar sangat mudah. Ia pasti bisa melakukannya. Baginya, mengembalikan uang hasil curian adalah aib. Ia tidak sanggup menanggung malu, apalagi yang ia curi adalah tetangganya sendiri. Lebih baik Amprung melakukan apa yang disarankan Mbah Goto saja.
Ia tergeragap bangun, nafasnya terengah-engah lalu menoleh ke arah jendela. Bayangan pocong masih berdiri di sana. Buru-buru Amprung mebangunkan istri dan anaknya. Mereka berteriak panik membuat dokter dan perawat berdatangan.
“Pocong, Dok! Ada pocong!” Amprung menunjuk ke arah jendala, tapi tidak ada apa-apa di sana.
“Tenang, Pak. Bapak pasti berhalusinasi,” kata dokter sambil membaringkan kembali tubuh Amprung.
Besoknya, Amprung minta pulang. Ia merasa sudah tidak perlu lagi dirawat. Sebenarnya dokter menyarankannya agar tetap melakukan rawat inap untuk dua hari lagi, tapi Amprung bersikeras ingin pulang. Ia tidak sabar ingin segera melakukan apa yang disarankan Mbah Goto di dalam mimpinya.
***
Semua sudah Amprung persiapkan. Dia akan melakukan aksinya seorang diri. Sebenarnya Tika melarang suaminya untuk melakukan hal aneh itu dan menyarankannya agar mengembalikan uang jenazah itu, tapi Amprung tetap tidak mau.
Maka malam itu, saat orang-orang sedang tidur pulas, Amprung berangkat menuju kuburan Pak Rusdi dengan mengendarai motor barunya. Siang tadi ia sudah pergi ke sana, untuk memastikan lokasi kuburan Pak Rusdi.
Tidak sampai dua puluh menit, ia tiba di pemakaman. Amprung menoleh ke sekeliling, memastikan kalau tidak ada siapa pun yang melihat aksinya. Amprung tersenyum, ia sudah menemukan kuburan Pak Rusdi. Sebuah cangkul dikeluarkan dari dalam karung.
“Pocong bangsat,” gumam Amprung.
Saat cangkul itu ditancapkan di atas tanah kuburan, tiba-tiba permukaan tanah itu bergetar. Amprung panik, tapi ia tetap melakukan aksinya. Tanah itu berhasil ia gali. Bau musuk menguar menusuk hidung. Mayat itu sudah penuh dengan belatung, wajahnya membusuk bahkan terlihat tulang tengkoraknya.
Tangan Amprung bergetar saat mengambil tali kain kafan di bagian pergelangan kaki. Ia meraih sebotol air dari permukaan makam yang sengaja ia bawa. Ia menggulung tali tersebut lalu menelannya sambil meneguk air.
___
Setelah berhasil menelan tali kain kafan tersebut, ia menutup kembali liang lahat itu dan bergegas pulang. Dua hari berlalu, tidak ada pocong yang mengganggu keluarga Amprung. Ia kira saran Mbah Goto itu berhasil mengusir pocong.
Sayangnya, ketenangan keluarga Amprung hanya bertahan dua hari. Di malam berikutnya pocong itu kembali muncul. Ia mengetuk-ngetuk pintu rumah membuat Amprung dan keluarga susah untuk tidur.
Entah apa yang terjadi, Amprung tidak mengerti. Padahal dia sudah melakukan semua yang dikatakan Mbah Goto. Pelan-pelan Amprung dan istrinya keluar dari dalam kamar, mereka mengintip dari balik tirai jendela.
Benar saja, pocong itu berdiri di depan rumah sambil menggedor-gedorkan pintu dengan kepalanya. Di bagian pergelangan kaki, kain kafannya terbuka karena talinya sudah dicuri oleh Amprung. Kini pocong itu hanya bergumam dengan suara tidak jelas.
“Pak, kamu benar-benar udah melakukan apa yang disarankan Mbah Goto?” tanya Tika.
“Udah, Tik. Aku udah menelan tali kain kafannya.”
Tika berpikir sejenak, “Pak...,” ia lalu menyentuh pundak suaminya.
“Tadi siang kamu buang air besar, ya?” lanjutnya.
Amprung mengangguk.
“Aduh...!” ia memukul jidatnya.
“Iya, jangan-jangan tali itu ikut keluar, Pak,” ujar Tika.
“Kayaknya memang seperti itu. Tapi, aku harus bagaimana? Tali itu pasti ikut keluar kalau aku buang air besar,” Amprung menggaruk kepalanya sendiri.
“Terus sekarang gimana?” tanya Tika.
Amprung menggelengkan kepala, “Tutup pintu kamar, nanti Amila dan Zahra bangun,” suruh Amprung.
Tika mengangguk lalu menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Suara ketukan itu perlahan hilang. Amprung dan Tika bisa tidur kembali dengan tenang malam itu. Sampai pagi tiba, pocong tidak lagi mengganggu mereka.
Keesokan harinnya Amprung tidak ada di rumah. Tika mengira kalau suaminya itu sudah berangkat ke pasar Kliwon atau ke tempat lain untuk mencari penangkal pocong. Tapi, sampai malam tiba Amprung tidak kunjung pulang.
Tika panik, dia yakin kalau pocong itulah yang menjadi penyebab suaminya hilang. Akhir-akhir ini juga pocong itu tidak lagi muncul. Dengan sisa uang yang ada, akhirnya Tika memutuskan untuk mengembalikan uang yang pernah dicuri oleh suaminya.
Sore itu, Tika mengetuk pintu rumah Jubaidah. Wanita itu mempersilakan Tika untuk masuk. Ruangan rumah tampak hening, terkesan hanya Jubaidah yang tinggal sendirian di rumah itu.
“Jubaidah, aku mau ngomong sesuatu sama kamu.”
“Tuben sekali. Ada apa ya Mbak Tika?” Jubaidah tersenyum, ia tidak bisa menebak apa yang akan dibicarakan tetangganya itu.
“Tapi, aku mohon kamu jangan marah,” Tika menyentuh lengan Jubaidah.
"Ada apa, ya?" Jubaidah mengerutkan kening.
Ragu-ragu, Tika mengeluarkan amplop cokelat berisi uang, “Dulu suamiku yang mencuri uang sedekah bapakmu. Sekarang aku mau kembalikan uang itu.”
Jubaidah terkejut sekaligus tidak percaya dengan apa yang dikatakan Tika.
“Jadi suamimu yang mencuri uang sedekahnya?” ia menyingkirkan lengan Tika.
Tika mengangguk.
“Tega sekali keluarga kalian! Makan uang haram! Sementara aku malu karena nggak bisa ngasih sedekah buat bapak! Asal Mbak tahu itu uang tabunganku, Mbak!”
“Aku mohon maafkan keluarga kami, Jubaidah,” Tika tertunduk.
“Ini bukan masalah uangnya. Ini soal harga diri dan tanggung jawab aku sebagai anak. Aku nggak bisa memaafkan kalian.”
Jubaidah malah mengusir Tika, ia tidak sudi menerima uang dari Tika. Bahkan, Jubaidah mengancam akan membawa kasus ini ke pengadilan. Tika pun putus asa, tidak ada cara lagi untuk mengembalikan suaminya. Setiap kali anak-anaknya menanyakan Amprung, Tika selalu bilang kalau bapak mereka sedang bekerja di luar kota.
***
Sore itu, hujan turun dengan deras. Tika sedang memasak telur dadar. Sudah seminggu Amprung hilang dan Tika belum melaporkannya ke polisi, lagi pula ini bukan urusan polisi. Tika merasa tidak ada gunanya melibatkan polisi karena ini adalah urusan gaib. Satu-satunya cara adalah mencari dukun sesakti Mbah Goto yang bisa menerawang keberadaan suaminya itu.
“Tika...,” tiba-tiba ada yang memanggilnya dari belakang, itu jelas sekali suara Amprung.
Tika menoleh ke belakang. Ia berjalan ke ruang tamu, tangannya masih memegang spatula.
“Tika tolong aku, Tik!” suara itu sekarang ada di dapur.
“Pak?!”
“Kamu di mana, Pak?” panggil Tika, ia panik mencari ke seluruh ruangan rumah.
Suara itu hilang, Tika menangis. Ia sudah mendatangi beberapa dukun, tapi mereka semua menyarankan untuk mengembalikan uang yang Amprung curi. Tika bingung lantaran Jubaidah tidak mau menerima uang itu.
Saat Tika bangun dari duduknya, tiba-tiba saja seperti ada yang menendang dadanya. Ia terpental beberapa langkah ke belakang dan tidak sadarkan diri. Yang terjadi selanjutnya sangat aneh, ia membenturkan kepalanya sendiri ke dinding sampai berdarah.
“Ibu...?” Zahra muncul dari dalam kamar.
Ibunya tidak menjawab, ia terus membenturkan kepalanya ke dinding dengan keras.
“Ibu kenapa?”
Zahra mendekat perlahan lalu menyentuh punggung ibunya. Ia sangat terkejut saat melihat ibunya sendiri. Wajah Tika penuh dengan darah. Kedua bola matanya berubah menjadi putih semua. Ia menyeringai mengerikan pada Zahra.
Anak itu berteriak, tidak lama kemudian Amila muncul. Ia juga ketkutan saat melihat wajah ibunya yang aneh dan mengerikan itu. Tika yang sedang dikendalikan makhluk gaib mendekati kedua anaknya perlahan.
Sebuah pisau diraihnya, ia hendak membunuh kedua anaknya. Pocong yang merasukinya itu benar-benar sudah marah, kali ini dia akan menghabisi semua keluarga Amprung. Untungnya Amila berhasil lari keluar rumah, sementara Zahra tidak bisa lari. Ia sangat ketakutan dan berteriak sekencang mungkin.
Tika mengayunkan pisau di tangannya dan hendak menusukkannya ke kepala Zahra, tapi... dari pintu rumah muncul Pak Darsoni, seorang ustaz kampung. Ia lari dan menabrakkan dirinya sendiri pada tubuh Tika. Pisau di tangan wanita itu menebas sembarang arah hingga melukai lengan Pak Darsoni.
Dengan susah payah, akhirnya Pak Darsoni berhasil melepaskan pisau itu dari genggaman Tika. Kedua telapak tangan Pak Darsoni berlumur darah karena menyentuh wajah Tika, ia membisikkan ayat-ayat Quran ke telinga Tika. Wanita itu mengamuk tidak karuan, berteriak, memukul-mukul punggung Pak Darsoni.
Warga mendengar kegaduhan, mereka berkerumun di mulut pintu rumah Tika, terkecuali Jubaidah; ia tidak peduli apa pun yang terjadi pada keluarga Amprung. Amila dan Zahra sudah diamankan warga, mereka menangis sambil memanggil-manggil ibunya.
Tubuh Tika perlahan lemas, matanya terpejam. Dengan dibantu warga, Tika dibaringkan di atas tempat tidurnya. Tidak ada yang tahu persis kenapa hal ini bisa terjadi, kalau saja Pak Darsoni tidak bertemu dengan Amila yang sedang minta tolong, mungkin saja nyawa Zahra sudah melayang di tangan ibunya sendiri.
Setelah siuman, Tika menceritakan semuanya. Pak Darsoni menyarankan Tika agar tinggal bersama keluarga Pak Darsoni untuk sementara waktu karena takut terjadi kembali hal-hal yang tidak diinginkan. Tika mengiyakannya dan berharap kalau Pak Darsoni bisa membantu permasalahannya.
Dua hari tinggal bersama keluarga Pak Darsoni, pocong itu tidak lagi muncul, mungkin karena rumah Pak Darsoni sering dilantunkan ayat suci. Keluarga Pak Darsoni pun sangat ramah, mereka memperlakukan Tika dan anak-anaknya layaknya keluarga sendiri.
Sudah berkali-kali Pak Darsoni mendatangi Jubaidah, membujuknya agar mau menerima uang yang dicuri Amprung. Tapi, tetap saja wanita itu keras kepala. Dia bersumpah sampai kapan pun tidak akan pernah memaafkan keluarga Amprung.
“Susah, Jubaidah tetap tidak mau menerima uangnya,” Pak Darsoni duduk di atas sofa, ia membuka peci lalu meletakkannya di atas sofa.
“Lalu apa yang harus saya lakukan?”
Pak Darsoni terdiam, ia sedang berpikir, “Begini saja, kau bagikan uang itu ke warga kampung tempat Pak Rusdi dimakamkan. Kau niatkan sedekah untuk jenazah Pak Rusdi.”
Tika mengangguk, besoknya ia langsung menuju kampung tersebut. Satu persatu Tika mendatangi rumah penduduk, ia meminta maaf atas apa yang telah suaminya lakukan. Ada yang menasehati Tika, ada juga menyumpahi lalu marah-marah, tapi Tika tetap membagikan amplop berisi uang sedekah. Setelah selesai, ia mendatangi kuburan Pak Rusdi untuk meminta maaf sambil menangis.
“Tolong kembalikan suamiku,” desis Tika.
Gundukan kuburan itu bergetar seperti ada yang mengguncangkannya. Tika mundur beberapa langkah, ia ketakutan.
Dari sela-sela tanah kuburan, perlahan muncul asap kental diiringi dengan suara rintihan.
“Kembalikan tali kain kafanku....”
Tika hampir lupa kalau tali kain kafan itu juga sempat dicuri oleh Amprung.
“Ba..., baik. Aku akan cari tali itu,” kata Tika.
Segera Tika lari, yang ada benaknya hanya satu; pasti tali itu masuk ke dalam lubang septic tank. Mau tidak mau, septic tank rumahnya harus dibongkar.
Sesampainya di kampung, dia langsung mendatangi tukang bangunan dan memintanya untuk membongkar septic tank rumahnya. Tika tahu, tidak mudah menemukan tali itu, tapi mau bagaimana pun ia harus tetap mencobanya.
“Maaf, Mbak. Kalau harus masuk ke dalam septic tank, saya tidak sanggup.”
Tika diam sejenak, “Tak apa, biar aku saja yang masuk, aku hanya minta tolong bongkar septic tank-nya.”
“Memangnya apa yang Mbak cari?” tanya Ruslan.
“Pokoknya benda penting. Bisa ke rumah sekarang?” tanya Tika.
“Bisa Mbak. Sebentar ya.” Ruslan masuk ke dalam rumahnya lalu muncul kembali dengan membawa palu pemecah batu dan juga linggis.
Dengan susah payah, Ruslan membongkar septic tank rumahnya Tika. Mereka berdua mengenakan masker dan kacamata. Setelah berhasil dibongkar, Tika pelan-pelan masuk ke dalam septic tank, tubuhnya tenggelam sedada. Bau menyengat membuatnya merasa pusing.
Tangannya meraba segala arah, mencari tali.
“Ketemu, Mbak?” tanya Ruslan dari atas.
Tika menggelengkan kepala. Namun tidak lama kemudian, lengan Tika meraih sebuah tali. Ia tersenyum, Tika yakin kalau itu adalah tali kain kafan. Anehnya, tali itu seperti tersangkut pada sesuatu sehingga susah dicabut.
“Susah dicabut nih,” kata Tika.
Ia menarik tali itu sambil berteriak, mengeluarkan seluruh tenaganya. Tali lepas, Tika terjungkal untung saja ia masih bisa menahan keseimbangan. Dugaan Tika benar kalau tali itu adalah tali kain kafan. Segera ia naik ke permukaan lalu mencuci tali tersebut.
“Itu tali apa, Mbak?” tanya Ruslan.
Tika tidak menjawab, ia malah beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Setelah selesai, ia kembali menghampiri Ruslan dan memberikan sejumlah uang.
“Ini uang upahmu,”
“Wah besar sekali, Mbak.”
“Iya itu upah sekaligus untuk menutup kembali septic tank-nya.”
“Dan ini uang untuk membeli bahan-bahan yang dibutuhkan untuk menutup septic tank,” lanjut Tika.
“Baik, Mbak,” Ruslan beranjak pergi ke toko material.
***
Malam hari, Tika kembali mendatangi kuburan Pak Rusdi. Ia membawa senter sebagai penerang. Burung hantu berkukuk dari balik pepohonan, membuat suasana menjadi semakin menakutkan. Sesampainya di kuburan, Tika mengeluarkan tali kain kafan dari dalam plastik warna hitam.
“Ini kukembalikan talinya,” ujar Tika, wajahnya jelas ketakutan.
Gundukan kuburan itu tidak bergerak sama sekali.
“Pak Rusdi, tolong kembalikan suamiku,” kali ini Tika menangis, sambil memohon.
Dari dalam tanah tiba-tiba muncul sebuah tangan, Tika terkejut. Ia buru-buru menyodorkan tali itu, tangan itu langsung meraihnya lalu masuk kembali ke dalam tanah.
Perjuangan Tika tidak sia-sia. Dari kegelapan, muncul Amprung yang berjalan tertaih-tatih. Segera Tika berlari ke arah suaminya lalu memeluknya sambil menangis. Amprung terlihat sangat kelelahan, Tika pun memapahnya pulang.
Sebelum pergi meninggalkan kuburan, Amprung menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke kuburan Pak Rusdi.
“Maafkan kami...,” desis Amprung.
[SELESAI]
*****
Sebelumnya