Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengalaman Gaib Dukun Beranak (Part 1)


JEJAKMISTERI - Pukul 23.30, Nyi Rasih dikejutkan dengan kedatangan seorang pria bertubuh kekar yang memintanya agar membantu persalinan sang istri. Wanita berusia 47 tahun itu mengerutkan dahi saat menatap orang yang berada di hadapannya. Pasalnya, pria itu memakai pakaian khas kerajaan.

"Sampean siapa? Saya belum pernah melihatmu sebelumnya. Bukan warga sini, ya?" tanya Nyi Rasih, heran.

"Saya Prana. Cepat, Nyi!"

Dengan raut wajah cemas, pria berambut gondrong tersebut menyeret Nyi Rasih ke luar rumah, lalu menyuruhnya untuk menaiki kereta kencana yang dibawa oleh seekor kuda putih.

Beragam pertanyaan muncul di benak dukun beranak itu, dia merasa aneh dengan penampilan Prana juga kereta kencana mewah yang ditumpanginya. Sebab, kendaraan tersebut hanya dipakai pada zaman kerajaan. Kalaupun ada yang memakainya sekarang, mungkin cuma untuk karnaval atau iring-iringan pengantin menuju KUA, begitu pikirnya.

Kereta kencana tersebut melaju cepat, membelah jalanan sempit yang minim penerangan. Malam itu tidak ada seorang pun yang berkeliaran di luar, padahal warga selalu meronda setiap malamnya. Hal tersebut membuat Nyi Rasih semakin kebingungan.

Perasaan takut mulai menghampiri wanita berkebaya merah muda itu, dia khawatir akan terjadi hal buruk. Terlebih lagi Prana tidak menanggapi semua pertanyaan yang dilontarkannya. Dia semakin cemas, kala kereta kencana melaju semakin kencang, memasuki hutan.

"Kenapa masuk hutan? Apa ada pemukiman di sana?" Nyi Rasih menangkupkan kedua telapak tangan, berharap Prana merespons pertanyaannya.

"Iya." Jawaban singkat dari pria bermata belo itu tak lantas membuat hati Nyi Rasih tenang.

Wanita bersanggul itu justru semakin khawatir karena setahunya, tidak ada manusia yang tinggal di dalam hutan tersebut. Dia sangat gelisah, sampai-sampai hendak melompat dari kereta, tetapi ternyata tubuhnya sulit digerakkan.

"Aahk! Si-siapa kamu sebenarnya? Mau dibawa kemana saya?!" Kali ini dia bertanya dengan nada tinggi.

"Nyai harus menolong istri saya," jawab Prana sambil menoleh.

Deretan pepohonan semakin rapat, lolongan serigala terdengar begitu nyaring, ditambah suara-suara aneh yang membuat bulu kuduk Nyi Rasih meremang. Wanita itu berusaha menenangkan diri dengan memanjatkan doa keselamatan.

Di tengah hutan yang gelap, kilatan cahaya putih menyilaukan muncul di depan mereka. Kemudian, tampaklah keraton megah berdiri kokoh dikelilingi pagar tembok setinggi dua meter. Nyi Rasih terperangah melihat pemandangan di depannya, beberapa kali dia menepuk pipi, berpikir bahwa dirinya sedang bermimpi.

"Mari, Nyi. Istri saya harus segera ditolong," ajak Prana.

Pria itu menuntun Nyi Rasih memasuki keraton tersebut. Mereka menuju sebuah kamar yang pintunya terbuka lebar. Seorang wanita bergaun merah dengan perut buncit, sedang terbaring di atas ranjang berukiran indah. Dia merintih kesakitan seraya meremas bantal yang menjadi sandaran kepalanya.

"Tolong, Nyi ...," lirihnya.

Nyi Rasih segera memegangi kedua kaki istri Prana, lalu menekuk dan membukanya lebar-lebar. Dengan keringat bercucuran, dia memerintahkan wanita berkulit putih itu untuk mengejan. Sementara di luar sana, lolongan serigala semakin memekakkan telinga. Mereka saling bersahutan, seperti ada belasan atau mungkin puluhan ekor.

Setelah tiga puluh menit wanita berambut panjang itu berjuang mempertaruhkan nyawanya, sang jabang bayi pun terlahir dengan selamat. Bayi tersebut berjenis kelamin laki-laki, dengan bangga Nyi Rasih memberitahukan hal itu kepada Prana.

"Terima kasih, Nyai," ucap ibu si bayi. Dukun beranak yang terkenal ramah itu pun membalasnya dengan senyuman manis.

Satu jam berlalu, sekitar pukul satu dini hari, Nyi Rasih berpamitan untuk pulang setelah semuanya selesai. Namun, Prana memintanya agar beristirahat di keraton, sampai hari benar-benar terang. Meski sedikit keberatan, tetapi akhirnya dia menuruti permintaan pria brewokan itu.

***

"Biar dia jadi santapanku, Kanda. Aku lapar," ucap istrinya Prana.

"Jangan, Dinda! Kita hanya boleh memangsa manusia yang belum menikah saja."

Tanpa disadari, percakapan mereka didengar oleh Nyi Rasih yang sedang mengintip. Wanita berkulit kuning langsat itu pun sangat ketakutan. Sekuat tenaga dia berlari, saat Prana menyadari keberadaannya.

"Kau tidak akan bisa lari, Nyai!" Prana berdiri di depan gerbang. "Halimun, halimun, halimun!" teriaknya seraya menadahkan tangan.

Tiba-tiba kabut tebal menyelimuti tempat tersebut, membuat pandangan Nyi Rasih menjadi kabur. Dia terperanjat saat mendapati bahwa Prana dan keratonnya menghilang begitu saja. Saat ini di sekelilingnya hanya ada deretan pepohonan tinggi menjulang.

Keadaan hutan yang benar-benar gelap, membuat Nyi Rasih menangis ketakutan. Dia bingung, entah harus melangkah ke arah mana. Wanita itu bersandar pada pohon jati berukuran besar sambil berdoa memohon pertolongan. Tiba-tiba, sekelebat bayangan putih muncul di hadapannya diiringi dengan suara cekikikan khas kuntilanak.

"Aahk!" jeritnya sekuat tenaga.

Dia langsung berlari cepat, menerobos semak dan pohon-pohon kecil. Napasnya terengah-engah, wanita itu hampir putus asa. Dia berhenti sejenak untuk mengatur napas, lalu kembali melanjutkan perjalanannya.

Tanpa disadari, Nyi Rasih berjalan menuju jurang yang tidak terlalu dalam. Akibatnya, dia terperosok dan terguling hingga ke dasar jurang tersebut. Sekujur tubuhnya terasa nyeri, tangan dan wajahnya dipenuhi luka sayatan karena tergores ranting-ranting kering. Dia merangkak dan berusaha untuk bangkit, tetapi tiba-tiba wanita itu dikejutkan dengan kemunculan sosok ular berkepala manusia.

"Aahk, Tidak!" Nyi Rasih terkulai lemas dan tak sadarkan diri.

***

Hari sudah siang, teriknya sinar mentari menyadarkan Nyi Rasih dari pingsannya. Dia memandangi sekitar, lalu menangis terisak ketika mengetahui kalau dirinya masih terjebak di hutan. Di tengah keputusasaan, dia melihat beberapa orang pencari kayu bakar sedang berjalan ke arahnya.

Nyi Rasih tersenyum lega, lalu berteriak meminta tolong sambil melambaikan tangan. Namun, orang-orang itu malah melewatinya begitu saja, mereka seolah-olah tidak melihatnya yang sedang terduduk lemas.

"Pak! Tolong Saya," pintanya.

"Kalian mendengar suara?" tanya pria bercaping hijau.

"Iya, jadi merinding," sahut temannya.

"Tolong, Pak. Saya di sini," lirih Nyi Rasih.

Orang-orang tersebut malah berlari tunggang langgang sambil berteriak, "Setaan!"

Janda beranak tiga itu lantas histeris melihat orang-orang tersebut ketakutan. Dia bingung! Mengapa mereka tidak melihat keberadaannya? Padahal, jarak mereka cukup dekat. Dia menangis sesenggukan, dalam hatinya berkata, "apa aku sudah mati?"
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

Note : Cerita ini terinspirasi dari kisah nyata yang terjadi pada tahun 2006.
close