Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 67)


Bus Dempo Karya yang kutumpangi menuju kota Pagaralam, meraung-raung melintas di jalan aspal kasar yang berlubang. Debu mengepul saling kejar. Aku duduk di bangku belakang supir bersama ibu. Sementara Bapak duduk di samping supir.

Lagu-lagu dangdut yang diputar supir membuat gendang telingaku terasa sakit. Tidak bisa lagi mau ngobrol meski duduk bersebelahan. Di belakang, ada penumpang selalu minta kantong kresek karena muntah. Padahal penumpang tidak terlalu padat. Mungkin karena semakin banyak bus yang bolak-balik Pagaralam Bengkulu, membuat penumpang lebih banyak pilihan ingin naik bus apa meski bus yang operasi semuanya sudah tua. Nampaknya bus-bus ini mirip rongsokan dari kota-kota besar yang diubah jadi bus angkutan antar kota, dari Pagaralam ke Bengkulu, dan sebaliknya Bengkulu Pagaralam.

Ibu yang duduk dekat jendela nampak memijit-mijit tengkuknya.

“Ibu sakit kepala?” Tanyaku membantu memijat-mijat tengkuknya. Pelan-pelan kutransfer energi agar berkurang sakitnya. Diam-diam kumatikan tape mobil. Suara yang tidak karuan inilah yang membuat ibu pusing. Darah tingginya kambuh karena suasana dalam bus memang tidak nyaman. Sopir bus bingung tiba-tiba tape mobilnya mati.

“Sialan! Kenapa pula harus rusak!” Ujarnya setengah marah.

“Tape-nya capek kali Mang, sepanjang jalan teriak-teriak terus. Ingin istirahat sejenak kali.” Ujarku sedikit bercanda.

Tape itu hiburan buat kami sopir-sopir ini agar tidak ngantuk. Makin kencang musiknya, makin memacu adrenalin untuk melaju. Kalau tidak begitu tidak semangat, buat kami ngantuk” Jawabnya lagi.

“Kita ngobrol aja sambil bercanda biar tidak ngantuk. Saya temani.” Kata Bapak mencoba mencairkan suasana. Si sopir tersenyum.

Ternyata pancingan bapak dapat. Si sopir akhirnya ngobrol dengan Bapak. Mereka terlibat obrolan segala macam, mulai bercerita masalah pertanian sampai ke bisnis.

Di Kecamatan Pendopo, bus berhenti di rumah makan. Semua penumpang turun. Ibu memesan teh hangat. Si sopir sibuk memanggil Bapak agar makan bareng dengannya. Akhirnya Bapak makan bareng sopir. Katanya gratis. Sementara aku bersama Ibu makan di meja lain.

“Ibu, jangan lupa baca doa sebelum makan.” Ujarku. Ibu mengangguk sembari baca Bismillah. Dari jauh aku menyentil bangsa jin, sosok yang berdiri dekat Bapak ingin ikutan makan bersama sopir yang duduk sambil mengangkat sebelah kakinya di atas kursi.

“Baca doa…” Aku berbisik pada Bapak dari jarak jauh. Bapak kaget, dan menoleh. Lalu melihat padaku. Kuberi abah-abah dengan menengadahkan tangan. Bapak mengangguk sambil tersenyum. Tingkah jin yang ikut makan bersama sopir sangat menjijikan. Membuat selera makanku hilang sama sekali. Belum lagi yang berdiri di luar. Ada beberapa sosok nampaknya mencari kesempatan untuk ikut makan bersama.

“Ayo makan, Dek. Nanti keburu busnya mau berangkat lagi. Perjalanan kita masih jauh loh. Paling magrib kita baru sampai ke dusun.” Ujar Ibu. Ibu tidak tahu jika seleraku hilang gegara melihat makhluk-makhluk yang ikut makan bersama orang-orang yang tidak berdoa. Beberapa mereka menantapku takut-takut sambil terus makan dengan lahapnya.

Satu jam setengah lagi, bus akan sampai kota Pagaralam. Dari Pagaralam, naik angdes lagi baru jalan kaki ke Seberang Endikat. Bus yang kami tumpangi terasa sangat lamban. Sesekali sang sopir tertawa kencang sambil bercerita dengan Bapak. Rupanya beliau merasa dapat teman yang cocok sehingga sepanjang jalan dari Simpang Perigi sampai ke Pagaralam bercerita tidak ada henti. Kulihat Ibu terkantuk-kantuk. Kepalanya bergoyang-goyang meski bersandar.

Oh! Darahku berdesir ketika sampai di kecamatan Jarai. Gunung Dempo terlihat jernih. Ingin rasanya langsung meluncur ke sana melepas rindu untuk bersua dengan nenek dan puyangku dan menginjakkan kaki di kampung buniannya. Aku mencoba menahan diri dengan perasaan bergetar.

“Nenek…aku rindu.” Aku membatin berbicara pada nenek Ceriwis. Dijawab nenek Ceriwis agar aku bersabar, sampaikan dulu dirimu ke Seberang Endikat, malam besok nenek akan datang menemui, katanya. Aku sedikit lega. Rasanya aku sudah berada di dusunku.

“A Fung, apa kabarmu dik?” Kali ini aku membatin pada A Fung. Hening tidak ada jawaban. Sekali lagi kupanggil, tetap sama tidak ada jawaban. Akhirnya aku memanggil paman Raksasa.

“Selamat datang di Besemah, Putri Selasih. Paman merindukanmu. Paman tunggu dirimu pulang ke gunung Dempu.” Ujarnya. Aku mengiyakan dengan perasaan senang. Lalu kutanyakan ke mana A Fung, mengapa dia tidak menjawab ketika kupanggil. Rupanya A Fung tengah melaksanakan ibadah bersama Puyang guru dan kawan-kawannya. Dia baru pulang dari Turky bersama puyang-puyang nenek gunung dan ikut salat di Masjidil Haram Makkah. Mendengar cerita paman Raksasa, aku jadi terharu. Tanpa kusadari mataku berair. A Fung benar-benar beruntung bisa melintas sampai ke negeri impian, Tanah Suci.

“Udah sampai di mana kita, Dek!” Ibu menyentuh tanganku. Aku kaget dan buru-buru buka mata. Kulihat kiri kanan memastikan sampai di dusun mana.

“Sampai di Perandonan, Bu.” Ujarku setelah melintas di jembatan yang membelah dusun yang tidak seberapa panjang.

“O iya, itu rumah Rasit, saudara sepupumu.” Ujar Ibu menunjuk rumah pas di pangkal jembatan sebelah kiri. Aku mengangguk saja, karena meski di dusun ini konon banyak saudara Bapak, aku tidak tahu. Yang jelas, tinggal beberapa menit lagi kami akan memasuki kota Pagaralam.

Aku baru ingat jika tape mobil yang kumatikan tadi. Akhirnya kukembalikan nyala kembali. Sang sopir kaget.

“Astaga! Hidup sendiri tapenya Mang. Mungkin ada hantu di mobil ini. Tiba-tiba mati, tiba-tiba nyala sendiri,” ujarnya dalam bahasa daerah yang kental. Bapak hanya tersenyum mendengar sang sopir ngoceh seakan-akan paling gagah, tidak takut hantu.

Gunung Dempu makin jelas ketika bus melintas di depan lapangan Merdeka. Hamparan sawah, kolam ikan milik warga, menghadirkan sebuah lukisan alam yang sempurna. Jadi ingat ketika SD, tiap kali disuruh menggambar bebas, maka aku akan melukis pemandangan lapangan merdeka, ada pohon yang tinggi di sisinya, di tengah lapangan ada tiang bendera dan yang paling penting adalah gunung Dempu, sawah dan pauk yang mirip danau yang penampakan banyangan langit dan gunung begitu indah. Aku jadi teringat, seringkali aku berlari-lari di lapangan ini bersama kawan-kawanku, sengaja datang kemari sekadar bermain meski jauh dari rumah. Saat teringat ketika menonton Guntoro lomba, kadang latihan bola kaki di sini, terbersit juga rasa sedih batinku. Aku berteriak-teriak bersama kawan-kawanku memberi semangat tiap kali Guntoro menggiring bola dari sudut lapangan. Sudut itu masih ada, di tandai pohon kecil berbunga kuning.

Saat melintas dekat masjid Agung, tubuhku kembali bergetar. Masihkah nenek gunung berduyun-duyun, berjalan kaki salat ke masjid ini? Masih seperti dulu, ruas jalan kota Pagaralam sempit dan ramai. Suara klankson dan deru kendaraan roda empat seperti berlomba paling kencang. Belum lagi kernet dan sopir berteriak-teriak mencari penumpang. Inilah uniknya kotaku, jalan umum, merangkap terminal. Kendaraan-kendaraan dari dusun-dusun sekitaran kota, baik yang jauh mau pun yang dekat, semuanya parkir di pinggir jalan di depan ruko-ruko. Mereka mengatur diri sendiri. Tidak ada tukang parkir. Apalagi Polantas.

Aku sengaja pura-pura tidak tahu ketika melintas persis di depan ruko Bapakku. Aku tahu, ada luka di dada Bapak dan Ibu tiap kali melihat gedung itu. Sama seperti di dadaku. Perih sekali rasanya. Kubuang bayangan masa kecilku di sini. Kuhapus tempat biasa aku bermain atau duduk di teras lantai dua memandang ke gunung Dempu sembari menunggu nenek Kam pulang. Atau melihat nenek gunung melintas dan bermain bersama Macan Kumbang ketika aku baru kenal beliau ketika itu. Sekarang ruko itu sudah jadi milik pengusaha keturunan Tionghoa. Bukan lagi seperti gudang kopi penuh dengan pekerja. Tapi menjadi tokoh manisan, lalu di sebelahnya menjual onderdil kendaraan.

Kami baru saja turun dari bus ketika beberapa sopir menghampiri menawarkan mobilnya. Bapak mencari-cari keponakannya yang akan membawa kami ke Seberang Endikat. Kata Bapak, sekarang sudah ada mobil yang sampai ke dusun meski baru satu dua dan itu pun sehari hanya sekali saja. Pagi membawa penumpang ke Pagaralam, lalu sore balik lagi ke Seberang Endikat. Ternyata mobilnya sudah berangkat duluan. Terpaksa kami harus jalan kaki.

Tiba-tiba hidungku mencium aroma nenek gunung. Kukembang-kembangkan daun hidungku untuk memastikan apakah memang ada nenek gunung di sekitarku. Aku memang merasakan lebih berbeda. Di kota kecil ini penciumanku pada makhluk itu lebih tajam.

Plak!!

“Aduh!” Aku terpekik kaget. Sampai-sampai Ibu melihat heran padaku. Aku tertawa menatap wajah Ibu yang heran. Beliau tidak tahu jika Macan Kumbang menepuk bahuku, sengaja mengagetkan aku.

“Bikin kaget saja!” Ujarku mengelus dada. Aku menghirup udara dalam-dalam. Sebenarnya di samping ada rasa sedih, aku juga ingin melompat-lompat saking senangnya menginjakkan kaki di kota ini dan bisa bertemu dengan orang-orang yang aku sayangi. Ingin rasanya saat ini juga mengajak Macan Kumbang ke sana kemari. Tapi niatku kubatalkan. Pertama siang hari, ke dua di sini ramai. Tidak memungkinkan.

“Mau cepat sampai atau menikmati tebing Sekip, Endikat, Bukit dan Liku Semen?” Tanya Macan Kumbang. Aku menjawab memilih berjalan kaki saja. Tidak mungkin aku meninggalkan Bapak dan Ibu.

“Ada caranya, Selasih agar Bapak dan Ibu tidak capek” Ujar Macan Kumbang. Aku tertarik. Bagaimana caranya? Kutatap Macan Kumbang dalam-dalam.

“Biar kubawa Bapak Ibu sampai ke dusun Danau. Dari situ, baru kalian berjalan kaki ke hulu. Biarlah itu tugasku, akan kubuat perasaan Bapak dan Ibu berjalan dari Simpang Bandar ke Danau.” Ide Macan Kumbang. Aku tertawa lepas sampai ditepuk Ibu.

“Huss ketawa sendiri. Istighfar!” Ujar Ibu.

“Uff!!” Aku segera menutup mulut. Aku lupa kalau aku tengah berbicara dengan Macan Kumbang dan tidak ada yang melihat sosoknya kecuali aku.

Aku, Bapak dan Ibu sudah naik di atas angdes. Penumpang padat. Aku bersyukur yang turun di simpang Bandar tujuan ke Seberang Endikat hanya aku, Bapak dan Ibu. Angdes melaju cepat.

“Beberapa bulan lalu ada bus dari Bengkulu mau ke Jakarta masuk ke jurang Lematang, itu bekasnya,” ujar Bapak ketika melintas di jalan menurun dan berliku. Air terjun Lematang terlihat dari atas. Aku menoleh. Benar, rumput dan tanah bekas bus terperosok masih terlihat. Entah Bus yang keberapa kecelakaan di sini. Penumpang banyak yang mati, dan luka berat. Ada yang mati di tempat ada juga mati setelah dirawat. Aku masih mencium amis darah dan bau makhluk asral di sekitarnya. Mereka telah membuat kerajaan kembali setelah pernah kuobrak-abrik beberapa tahun lalu.

Aku diam saja duduk miring menghadapi bagian sisi angdes yang terbuka. Angin bertiup kencang. Beberapa emak-emak bercerita sambil berteriak-teriak demi mengalahkan suara angdes dan deru angin. Banyak sekali cerita mereka. Mulai dari harga sembako naik drastis, harga kopi dan beras tidak seimbang dengan harga sembako. Bapak bersandar sambil memejamkan mata. Beliau ngantuk sekali nampaknya.

“Kalau dulu, satu kilo kopi bisa menjadi sekilo minyak goreng, sabun mandi, dan gula. Tapi sekarang satu kilo kopi sama dengan satu kilo gula. Berhenti sajalah kita minum manis. Belum beli kebutuhan lainnya. Apalagi seperti kami yang tidak punya sawah ini, kami harus nyetok beras selama menjelang panen selanjutnya. “Seorang ibu mengeluh. Apa yang beliau sampaikan benar adanya. Harga sembako mahal, sementara biji kopi tidak seimbang dengan harga sembako memang membuat mereka tercekik. Tidak jarang mereka sampai “hutang musiman” dengan para tengkulak atau mereka yang punya mesin penggilingan. Kalau dengan yang punya mesin penggilingan, mereka akan bayar setelah panen dan akan menggiling ditempat berhutang tanpa bunga. Tapi kalau ke tengkulak, mereka meminjam satu kuintal beras, maka harus kembalikan saratus lima puluh kilo. Jika si peminjam belum bisa mengembalikan utuh seratus lima puluh kilo, maka setiap panen mereka wajib setor bunganya lima puluh kilo. Bayangkan, jika satu tahun tiga kali panen, maka mereka akan bayar bunganya saja seratus lima puluh kilo, sementara pinjaman awal masih tetap dihitung utuh sebelum peminjam mengembalikan utuh seratus lima puluh kilo. Seratus kilo induknya, lima puluh kilo anaknya. Demikian istilah yang dibuat para pengijon, rentenir, lintah darat.

Aku jadu ingat, pernah suatu kali nenek Kam bercerita tentang salah satu orang dusunnya yang miskin. Beliau bekerja menggarap sawah dengan hitungan bagi tiga. Artinya, dua bagian untuk pemilik lahan karena bibit, pupuk dari pemilik lahan. Satu bagian lagi untuk yang bekerja. Ketika panen, ternyata hasilnya tidak memuaskan. Tapi sesuai perjanjian hasilnya tetap harus bagi tiga. Jika sebelumnya sawah itu bisa menghasilkan sampai dua ton beras, saat itu hanya mampu menghasilkan enam ratus kilo saja. Artinya hanya dua ratus kilo untuk penggarap. Sementara penggarap ini sudah terlanjur meminjam beras pada tengkulak dengan perjanjian setelah panen akan dibayar lunas. Karena mendapat panen sedikit, sang penggarap ngemis-ngemis minta keringanan. Apa jawab tengkulak.

“Enak betul sudah dipinjamkan berbulan-bulan, setelah panen belum belum bisa bayar alasan dapat sedikit. Apa tidak mikir jika tidak dipinjami kalian mungkin sudah mati satu keluarga karena lapar. Sekarang jika belum bisa membayar induknya, bayar bunganya. Daripada numpuk setiap panen, apa sanggup kamu bayar sampai satu ton kelak? Saya yakin, sampai ke anak cucumu takkan sanggup membayarnya.” Ujar tengkulak dengan angkuhnya. Akhirnya, penggarap itu berjanji akan bayar bunganya saja dulu. Cerita ini sampai ke telinga Bapak. Bapak orangnya tidak tega. Diam-diam Bapak membayar lunas hutang penggarap itu tanpa diketahuinya. Nenek Kam tahu. Suatu malam, nenek Kam datangi tengkula itu diam-diam, dibuatnya tengkulak itu sakit perut. Sang tengkulak menjerit-jerit kesakitan menghebokan orang sekampung. Sementara di dusun hanya ada bidan. Sang bidan sudah memberikan obat penenang. Namun tidak ada pengaruhnya sama sekali. Akhirnya alternatif lain sebelum dibawa ke rumah sakit di ibu kota kabupaten mereka memanggil Nenek Kam. Nenek Kam tahu pasti mereka akan mencari beliau, sebelum orang datang menemuinya nenek Kam buru-buru pergi ke kebunnya. Pesannya pada tetangga akan menginap jauh di kebunnya di atas bukit. Tidak satu pun yang hendak menjemput dan menemui nek Kam di sana. Padahal kata nenek Kam beliau ada di kebunnya dekat dusun. Tidak ke Bukit. Beliau santai-santai saja melenyapkan diri dari pandangan kasat mata. Akhirnya setelah tiga hari sakit siang malam, tengkulak itu hendak di bawah ke ibukota kabupaten Lahat. Sebab di situ dianggap perawatannya lebih lengkap. Sebelum di bawa ke Lahat, nenek Kam muncul di dusun. Ramai-ramai penduduk bercerita jika si tengkulak sudah tiga hari sakit perut dan tidak sembuh-sembuh, hari ini mau dibawa ke rumah sakit. Mereka minta nek Kam melihat dan mengobatinya terlebih dahulu. Singkat cerita, nenek Kam menemuinya. Dilihat nenek Kam, si tengkulak sudah terlihat kurus dan pucat. Tidak bersisa tampang garangnya seperti sebelumnya. Beliau nampak tidak berdaya.

“Nek, tolong Nek, aku sakit perut sudah empat hari ini, rasa mau buang air tapi tidak bisa, segala obat sudah, Nek. Tapi tidak sembuh juga.” Ujarnya merengek-rengek. Terus kata nenek Kam, diambilnya air putih, pura-pura didoainnya. Lalu nenek Kam bicara pada Si tengkulak bahwa beliu punya kesalahan. Di suruhnya Si tengkulak mengakui kesalahanku. Jika tidak mengaku maka sakitnya tidak akan sembuh mesti dibawa ke mana pun. Sebab ini urusanmu ke Sang Pencipta. Tuhan marah. Kata nenek Kam. Sang tengkulak bingung, kesalahan apa yang dia lakukan? Menurutnya dia tidak ada salah.

“Apa yang kau makan, sampai sakit perut?” Kata nek Kam. Diam-diam dibuat nek Kam kembali perutnya membusung hingga tengkulak seperti hendak mati.

“Aduh…aduh..ampun aku tidak tahu apa kesalahanku, Nek… ” Ujarnya putus-putus.

“Berapa banyak kau makan harta orang miskin di kampung ini? Memakan riba. Memberikan pinjaman dengan bunga. Yang membuatmu sakit itu adalah riba, Barang haram yang telah menjadi dagingmu, kelak akan jadi bara diperutmu. Itu juga yang kau berikan dengan anak istrimu. Maaf aku tidak bisa mengobati. Karena penyakit ini dari Allah, mintalah ampun pada-Nya” Kata nenek Kam ketika itu.

Sang tengkulak menangis sejadi-jadinya. Lalu ia meratap mengakui kesalahannya, didengar oleh orang sekampung yang silih berganti menjenguknya. Selanjutnya dia berjanji tidak akan menagih bunga hutang orang pernah meminjam beras padanya. Bagi yang terlanjur membayar bunganya saja maka pinjaman pokoknya akan dianggapnya lunas. Selanjutnya dia minta maaf pada orang sekampung. Usai dia mengakui kesalahannya, diam-diam nenek Kam menyembuhkannya. Sang tengkulak sehat seperti semula. Sekampung nyaris tidak percaya. Dianggapnya peristiwa itu adalah peristiwa ajaib. “Allah bayar lunas semua perbuatan manusia. Ini baru di bumi.” Ujar beberapa penduduk dengan perasan kagumnya.

Ternyata meski cerita tentang tengkulak yang menerima azab itu menyebar sampai ke dusun-dusun lain, masih saja ada warga dusun yang dalam praktiknya masih makan riba. Buktinya cerita para emak-emak ini, ada juga mereka yang meminjam uang, atau beras, pada sang tengkulak. Alasannya terpaksa karena tidak ada tempat yang bisa membantu pinjaman dengan cepat.

Aku heran, ada satu perempuan di seberangku diam saja mendengar cerita emak-emak tentang tengkulak, tentang sulitnya ekonomi saat ini, kebutuhan serba mahal, hari-hari tidak sempat memikirkan hal lain, yang ada hanya memikirkan apa yang akan dimakan hari ini. Penampilan memang agak beda dengan perempuan lainnya, sudah pakai blues modern, tidak pakai kain sarung, tapi sudah pakai rok, kalungnya emasnya bertingkah-tingkat. Ada yang pendek ada juga yang panjang, gelangnya mirip rantai sepeda melingkar di lengannya yang besar dan tebal. Cincinnya juga emas, melingkar di jari manis kiri kanan. Itu pun berlapis-lapis pula. Untung hidungnya tidak pakai anting-anting.

Di tengah deru mobil dan angin yang bertiup kencang, Ibuku sesekali ikut menimpali. Ibu cerita, sebagian emak-emak di kampung kami bekerja harian, upahan besiang (membersihkan kebun orang), upahan ncalau (membersihkan rumput di sawah orang), upahan metik kopi, yang laki-laki upahan membawa hasil bumi dari kebun ke dusun, atau dari dusun ke simpang Bandar. Tapi perempuan di depanku ini diam saja agak cemberut. Ada aura marah pada dirinya. Aku coba fokus pura-pura ngantuk memejamkan mata sejenak menelusuri apa pekerjaan emak satu ini. Tak lama kuketahui emak satu ini punya usaha mesin penggilingan kopi dan padi, rumahnya luas, kaya, punya beberapa kolam ikan di samping mesin penggilingan, belakang rumahnya ada sawah. Lalu kucari tahu aktivitasnya, ternyata beliau rentenir. Tidak saja memberikan pinjaman beras dengan berbunga, tapi juga uang. Setelah tahu aku buru-buru membuka mata. Pantas perempuan ini dari tadi diam saja.

“Yang jelas, rentenir itu perbuatan dosa, haram hukumnya. Jangankan masuk surga, bau surga saja dia tindak akan dapatkan. Di dunia dia sudah menyalakan api neraka untuknya dan keluarga. Yang meminjamkan mau pun yang meminjam sama saja, berdosa semua. Makanya hindarkan makan riba ya ibung-ibung (bibi-bibi).” Ujarku menimpali sebelum emak itu turun. Rupanya beliau lebih dulu turun dibandingkan yang lain. Aku senyum-senyum sendiri melihat wajahnya makin tebal.

Setelah dia turun, kukasih tahu ibuku kalau yang baru turun itu tengkulak. Ibu protes, mengingatkan aku jangan sok tahu. Nanti fitnah.

“Betul Ibung, kata anak Ibungtu. Kerbai (perempuan) itu tadi memang suka membungakan pinjaman. Makanya dia diam saja tidak ikut bercerita pada kita. Dia memang tidak merasakan susah seperti kita. Aku sengaja pura-pura tidak tahu siapa dia.” Lanjut seorang emak. Emak-emak yang lain semua bergumam kaget baru tahu. Muncul rasa penasarannya, akhirnya berlanjut membicarakan perempuan rentenir itu dengan berbagai pandangan dan pendapat umum tentang tengkulak. Ah, emak-emak tidak bisa dipancing, cerita ringan pun kalau sudah di tangan emak-emak menjadi cerita spesial.

Tidak terasa kami sampai di simpang Bandar. Kami pun turun. Aku langsung memanggul tas ransel dan menenteng bawaanku. Begitu juga Ibu dan Bapak. Bawaan kami tidak ada yang ringan. Semuanya berat. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 Wib. Kami berjalan kira-kira seratus meter berhenti di pinggir pauk pinggir dusun melaksanakan salat sejenak di atas rerumputan pinggir jalan.

Usai solat Aku dan Macan Kumbang siap beraksi. Kami mulai saling beri kode. Cuaca agak terik. Angin sesekali terasa kencang dari sabana jauh di hadapi kami. Sebelum menjelang tebing Sekip, Macan Kumbang sudah mulai melakukan aksinya, dia duduk sejenak lalu berdiam diri. Tak lama tangannya menyapu ke arah Bapak dan Ibu. Bapak dan ibu langsung digendongnya tanpa beliau sadari. Perasaan Bapak dan Ibu masih berjalan. Keduanya diam saja. Tidak ada obrolan selama dibawa Macan Kumbang. Aku senyum-senyum berapa di belakang mereka. Tak perlu lama, kami sudah ada di pinggir dusun Danau. Kulihat Bapak dan Ibu sudah diturunkan Macan Kumbang. Bapak Ibu kembali berjalan. Perasaan keduanya masih berjalan kaki dari tadi dan saat ini sudah sampai di dusun Danau.

“Heran ya, aku kok tidak merasa lelah. Padahal bawaan kita banyak.” Ujar Ibu seperti baru menyadari sesuatu yang aneh.

“Alhamdulilah, masih terang begini kita sudah sampai di dusun Danau. Perkiraan Bapak, magrib atau lewat magrib baru kita sampai kebun kakek. Belum sampai ke dusun.” Ujar Bapak tetap berjalan. Aku mencubit Macan Kumbang. Kami senyum-senyum berdua.

“Jam berapa sekarang, Pak?” Tanya Ibu sambil melihat langit dan memperhatikan bayangannya. Bayangannya masih pendek. Ini pertanda matahari belum terlalu condong ke barat. Artinya belum masuk waktu salat asar. Dari dulu, matahari jadi pedoman masyarakat untuk menentukan waktu. Mereka paham tanda-tanda alam.

Bapak menatap jam tangannya, lalu digoyang-goyangkannya. Diperhatikannya jarum jam baru menunjukkan pukul 14.35 Wib. Tadi salat di pinggir pauk Bandar, pukul 14.00 wib. Melanjutkan perjalanan lebih kurang 14.20 Wib. Sekarang 14.35 Wib, artinya baru lima belas menit dari Bandar. Bapak menatapku sambil bergumam tidak jelas.

“Kok baru pukul 14.35 Wib. Masak kita berjalan dari sana hanya lima belas menit? Jalan dari simpang Bandar ke pauk saja memakan waktu lima belas menit? Apa jam tangan Bapak rusak ya?” Ujar Bapak. Matanya kembali menatap heran padaku dan ibu.

“Nampaknya kalau melihat matahari dan bayangan kita, waktu belum menunjukkan pukul tiga, Pak. Tapi kita sudah ada di sini? Kita kan berjalan Pak, tidak terbang” Ujar Ibu lagi.

“Mungkin Bapak tadi salah lihat waktu Pak, bukan pukul dua siang, tapi pukul dua belas.” Ujarku memancingnya.

“Ah tidak! Bapak yakin pukul dua. Orang kita di Pagaralam saja pukul dua belas tiga puluh, lalu naik mobil dari Pagaralam pukul satu lewat lima belas menit. Sebelum pukul dua kita sudah di simpang Bandar. Kok aneh sekali ya. Hebat sekali perjalanan kita hari ini” Ujar Bapak lagi.

“Sudah Alhamdulilah, yang penting kita tidak capek, dan sebentar lagi sampai di kebun kakek. Aku sudah tidak tahan ingin jumpa.” Ujarku berjalan sambil membimbing tangan ibu. Akhirnya kami melanjutkan perjalanan lagi.

Jalan menunju dusunku masih seperti dulu. Tanah kuning dan berbatu kasar penuh dengan rumput. Macan Kumbang berjalan di sampingku.

“Assalamualaikum Selasih, Macan Kumbang.” Ada yang menyapaku. Aku segera menoleh, Masya Allah nenek gunung penjaga dusun Danau menyambut kami di pangkal dusun.

“Waalaikum salam, Kek.” Aku dan Macan Kumbang menjawab bersamaan. Aku menyalami beliau. Ini kali ke dua aku bersua dengan kakek penjaga dusun ini. Beliau lelaki sepuh, yang setia hingga kini menjaga di pintu masuk desa. Dusun Danau adalah pintu gerbang masuk Desa Singapure. Aku menanyakan kabar beliau. Dari pertama bertemu, sampai sekarang beliau tidak berubah. Hanya saja beliau bilang sering kesal karena saat ini banyak sekali orang asing masuk dusun dan kurang beradat.

“Kalau dulu, laki-laki dan perempuan, malu berjalan bersamaan jika belum menikah. Tapi sekarang, etika itu sudah dilanggar. Anak bujang dan gadis sekarang nyaris tidak punya batas. Bahkan berbuat zina pun sudah tidak ada lagi nepung dusun. Orang tua dan anak muda zaman sekarang sudah menganggap semuanya biasa. Bumi sudah tua, Cung. Kemampuan kakek pun sudah terbatas, makanya kakek hanya diam di dusun ini saja, sudah jarang kakek berkeliling desa.” Ujar beliau. Aku merasa ibah mendengar penuturannya. Apa yang beliau katakan, memang benar adanya. Tidak sekali dua kali aku mendengar remaja putri hamil, baru beberapa bulan menikah sudah melahirkan, belum lagi orang tua yang selingkuh dengan janda, melakukan perbuatan tidak senonoh juga. Harga diri dan rasa malu nampaknya memang sudah luntur. Entah salah pola pendidikan dari orang tua zaman sekarang, atau memang anaknya yang tidak patuh nasehat orang tua. Sehingga kerap melanggar adat dengan dalih segala macam, dan mengatakan aturan leluhur itu ‘kuno’, sudah ketinggalan zaman. Yang lebih parah lagi, gaya anak kampung kadang melebihi gaya orang kota.

“Andai aku diizinkan seperti gunung, bukit dan laut, yang dapat mengubur manusia yang malas ibadah, tamak, gemar dosa, enggan sadakoh, dan durhaka pada orang tua. Ingin aku melemparkan mereka ke dalam danau itu. Sayang aku tidak diizinkan. Aku hanya bertugas menjaga di pintu dusun.” Nada kakek pejaga gerbang dusun dengan perasaan kecewa. Matanya menatap ke danau yang nampak setengah kering karena memang tidak terawat, penuh dengan tumbuhan air. Konon danau itu dibuat oleh para leluhur, para puyang. Makanya danau itu disebut Danau Puyang. Nama dusun ini pun diambil dari nama danau itu. Selanjutnya yang boleh mengelolah Danau itu harus melibatkan beberapa dusun, bukan perseorangan. Dari dulu, ada larangan mengotori danau itu karena danau itu merupakan salah satu sumber mata air, tapi sekarang semua sudah diabaikan. Banyak manusia tidak menghargainya lagi.

Aku dan Macan Kumbang hanya menjadi pendengar cerita kakek penjaga lawang dusun. Tidak berani berkomentar. Aku juga tidak tahu harus berkata apa. Aku sendiri tidak tahu apa yang bisa kulakukan untuk membanntu kakek penjaga dusun ini. Menghadapi masalah manusia, bagiku lebih rumit dibandingkan menghadapi bangsa makhluk gaib. Menghadapi manusia banyak sekali rentetannya.

Akhirnya aku minta izin melanjutkan perjalanan menyusul Bapak dan Ibu yang lebih dulu berjalan. Jalanan sudah mulai menanjak. Cuaca masih terasa terik. Peluh sudah mulai mengucur.

“Aku capek Macan Kumbang.” Ujarku. Malam tadi aku tidak terlalu nyenyak tidur. Pulang kampung dan membayangkan perjalan yang cukup jauh malah membawa pikiranku ke mana-mana. Belum lagi malam sebelumnya membantu Raden Danang Pangkas. Perjalanan dari Bengkulu ke dusunku ini memang terasa sangat melelahkan meski sudah dibantu Macan Kumbang dari Tebing Sekip langsung ke dusun Danau. Ada dua bukit dilampaui. Untung tadi belum sempat bertemu dengam kakek penjaga Tebing Sekip. Kalau bertemu beliau, pasti akan berhenti lama lagi seperti tadi.

“Ya sudah, sini naik.” Ujar Macan Kumbang. Tapi kutolak, masak Bapak Ibu berjalan berpeluh-peluh lantas aku santai di punggung macan Kumbang. Kan tidak lucu. Akhirnya aku terus berjalan.

Jalan yang kulalui sudah mulai menanjak, kiri kanan terbentang sawah. Jauh di barat sebelah kanan jalan gunung Dempo terlihat begitu bersih dan indah. Di antara fatamorgana, aku membayangkan dusun Uluan menungguku. Aku sudah tidak sabar ingin berkunjung ke sana. Tidak berapa lama, aku sudah melihat ujung kebun kakek. Langkahku makin semangat. Aku langsung melompati parit kecil, lalu melompati pagar kawat berduri yang tidak terlalu rapat. Aku sengaja menuju pondok kakek lewat kebun kopi.

“Uuuuuh.” Aku nenguhu memberi kode pada kakek pertanda ada yang datang. Kutunggu sejenak, belum ada jawaban. Kuulangi beberapa kali. Tak lama baru ada jawaban. Kakek menguhu juga dari arah barat. Setengah berlari aku menunduk-nunduk di antara ranting kopi yang bercabang lebat. Kadang ranselku tersangkut di ranting yang kering.

“Macan Kumbang, tolong bawa ke pondok Kakek.” Ujarku menjatuhkan semua bawaanku. Aku ingin segera jumpa dengan kakek. Aku lebih mudah bergerak setelah tanpa beban. Tak lama aku melihat sepasang kaki berjalan menujuku. Daun-daun kopi tersibak. Dari jarak dua puluhan meter aku sudah mencium bau kakek.

“Kakek !” Aku menjerit ketika melihat wajah kakek menyembul dari dahan-dahan kopi. Wajah kakek tak kalah senangnya. Arit yang digenggamnya terlempar. Aku memeluk dam mencium kakek erat sekali. Demikian juga kakek.

“Masya Allah, lama kakek menunggumu, Cung. Kakek berdoa agar bisa bertemu padamu sebelum kakek pulang” Ujarnya dengan mata sedikit basah. Kupungut arit yang dilemparnya. Kakek kutuntun pulang ke pondok.

Tok tok tok tok tok!

Bunyi kentongan berulang-ulang. Kami saling pandang dan tersenyum.

“Itu pasti Bapak, yang memukul kentongan memanggil kakek.” Ujarku. Kakek mengiyakan sembari terbungkuk-bungkuk di tanah yang agak menanjak. Beliau berusaha berjalan cepat. Benar saja, Bapak dan Ibu sudah di pondok kakek. Mereka heran melihat barang-barangku sudah ada di beranda.

“Kapan kamu sampai kok barangmu sudah ada di sini? Tadi kamu kan jauh di belakang Bapak?” Bapak sedikit heran. Aku bingung mau menjawabnya. Macan Kumbang sudah memberi kode agar aku tidak berbohong.

“Barang-barangku kulempar saja tadi, Pak. Aku langsung mencari kakek” Ujarku riang agar Bapak tidak banyak tanya. Macan Kumbang tersenyum.

“Cerdas kamu ya. Tidak sia-sia Bapak menyekolahkan kamu” Lanjut Macan Kumbang menunjuk keningku. Tangannya segera kutangkap, lalu kupelintir.

Hup! Hup!

Aku memutar tangan Macan Kumbang hingga tubuhnya ikut berputar.

***

“Apa-apaan, Dek? Kalau mau kuntau tu di bawah, lapangan luas,” ujar Ibu melihat aku bergerak seperti sedang menangkap dan menangkis. Aku senyum-senyum jadinya. Demikian juga Bapak dan Kakek Haji Yasir. Mereka menatapku sambil bertanya dalam hati.

“Kuntau dengan siapa, Dek?” Tanya kakek.

“Bersama Macan Kumbang, Kek.” Ujarku. Mendengar itu Ibu terperanjat. Matanya melotot.

“Jangan main-main, Dek. Macan Kumbang kesayangan nek Kam maksudmu? Jadi dia ada di sini? Menemani kamu?” Ibu makin melotot yang kujawab dengan anggukan. Macan Kumbang kembali mendorong kepalaku, kutangkap dan kupelintir lagi. Kali ini aku melompat turun tangga mengejar Macan Kumbang. Di bawah aku dan Macan Kumbang saling serang dengan kuntau. Ternyata Bapak dan kakek menonton. Kadang keduanya tepuk tangan melihat gerakan-gerakan kuntau yang kumainkan. Mungkin mereka kira aku tengah memamerkan jurus-jurus kuntau, padahal aku tengah saling serang dengan Macan Kumbang.

Tak lama kakiku kena sapu, aku terjatuh dan terkunci. Macan Kumbang tertawa ngakak melihat aku menepuk-nepuk tanah, minta ampun tanda menyerah. Akhirnya aku berdiri lalu memberi hormat pada Macan Kumbang menyudahi pertarungan. Aku kembali ke pondok.

“Kenapa berhenti? Kan belum selesai. Kamu baru mengeluarkan jurus……” Ujar kakek belum puas. Aku tahu, kakek pasti ingat masa mudanya ketika beliau masih aktif mejadi prajurit ikut memanggul senjata melawan penjajah. Aku tertawa sambil memegang tangannya dengan alasan capek. Sementara Macan Kumbang nampak tertawa bangga mengejekku.

Aku menarik nafas lega setelah masuk pondok kakek. Dari sudut ke sudut kuperiksa semua. Di balik pintu dapur aku menemukan pisang kepok diperam. Kupencet sudah mateng. Begini cara kakek memeram pisang, pisang dibalut plastik, dimasukannya beberapa tangkai daun basiah, lalu dibalutnya kembali dengan karung. Beberapa hari baru dibuka, dan diperkirakan mateng. Dulu waktu kecil, aku pernah juga melihat kakek memeram pisang dengan cara membuat lubang di tanah, lalu pisang dibungkus daun pisang, dimasukan dalam karung, lalu dikubur beberapa hari. Hasilnya pisang masak merata. Aku masih ingat, peraman pisang kakek Haji Yasir ini tiap kali selesai bermain, sering kali kubuka bersama teman-temanku. Kami makan, tanpa menceritakan kakek.

Aku mengambil sesisir pisang kepok. Ibu segera menyalakan api di tungku memasak air, untuk membuat kopi. Sambil menunggu api menyala, kubantu ibu mengeluarkan barang-barang bawan kami.

“Masak apa ya untuk makan malam kita” Tanya Ibu sambil mikir selesai menyusun kaleng berisi gula dan kopi di atas rak.

“Bu, kita buat sambal picak, aku akan petik daun singkong, dan cungkedire, di depan juga ada cipir, kita rebus. Lalu kita goreng ikan asin. Kan beres. Hmmm…dingin-dingin, makan sambal picak, cipir dan daun singkong rebus, nasinya hangat. Pasti sedap sekali.” Ujarku membayangkan masakan kebun itu. Ibu mengangguk setuju

Belum terlalu petang, namun udara sudah terasa dingin. Matahari masih bersinar terang. Aku memakai jaket sekadar mengusir rasa dingin tiba-tiba, sambil membantu ibu di dapur. Ibu mulai menarik kayu api lalu meratakan bara untuk mengeringkan nasi di periuk, aku menyusun pisang kepok di atasnya. Sambil sedikit dikipas, kubolak-balik agar matang merata. Tidak lama pisang bakarku mateng. Kusuguhkan untuk minum kopi bersama kakek, dan Bapak. Ternyata nikmat sekali. Suasana seperti inilah yang selalu membuatku rindu dusun. Bersama keluarga, menikmati kopi panas, sembari mendengarkan satwa hutan.

Di dapur, suara ibu memirik cabe membuat pondok serasa ikut bergoyang. Batu yang beradu seperti irama musik asyik sekali; sreeek sreeek sreek tuk sreeek sreeek tuk sreeeek! Sudah bisa dipastikan ibu tengah membuat sambal picak, cabe merah, bawang putih dan bawang merah secukupnya, lalu cungkedire yang sudah masak, bubuhkan garam, semuanya digiling halus. Liurku sudah berkumpul membayangkan sambel mentah yang segar, pedas, asem, dan asin.

Usai menyeruput kopi, aku turun pondok membawa jerigen dan sambang menuju pancuran. Aku rindu dengan pancuran bambu di ujung kebun. Macan Kumbang ikut berjalan bersamaku. Padahal dia tadi sudah lebih dulu menuju pancuran, nampaknya wudu dan solat asar.

Kuhirup udara dalam-dalam. Aroma uap kebun kopi sungguh nikmat sekali. Beberapa kutilang berkicau di atas pohon mangga.

“Aku ingin bertemu nek Kam segera. Nanti kita ke sana ya.” Ujarku pada Macan Kumbang.

“Wew..beliau aja sudah ada di pondok” Katanya.

“Mosok?” Aku heran. Kapan dia datang? Orang aku saja baru turun dari pondok. Dalam hati aku ngedumel, Macan Kumbang becanda saja.

“Duh, tidak percaya. Tadi waktu aku menghilang sejenak, aku jemput nenek Kam. Terus beliau minta diturunkan dari depan jarau. Kita ke sini, nenek Kam sampai di pondok” Ujarnya.

“Kukira Macan Kumbang solat asar” Jawabku.

“Iya, solat. Tidak perlu laporan sama kamu” Ujar Macan Kumbang lagi. Kali ini dengan cepat kupukul punggungnya dengan jerigen kosong.

Buk!!!
Suara jerigen cukup keras. Aku tertawa melihat Macan Kumbang kaget dan tidak sempat menghindar.

Wow! Aku terkesima melihat pacuran masih seperti dulu. Deras dan jernih. Aku segera mengisi sambang dan derigen sampai penuh. Setelah selesai buru-buru pulang. Setengah berlari aku telah sampai di pondok. Macan Kumbang entah kemana kutinggalkan saja dia di pancuran.

Benar saja, samar-samar terdengar suara nenek Kam sedang ngobrol dengan Bapak dan Kakek. Tawanya yang khas aku kenal betul.

“Assalamualaikum, Nenek!” Aku tidak sabar lagi meletakkan sambang dan jerigen. Sambang yang kutenteng nyaris jatuh dan tumpah karena buru-buru meletakkannya di sudut garang. Nenek Kam langsung berdiri, kami berpelukkan erat sekali. Kucium pipinya yang berkulit kering dan keriput. Berulang kali tangannya yang kurus mengelus-ngelus wajahku.

“Aku rinduuuuuu sekali, Nek!” Ujarku sembari memijat-mijat kakinya ketika duduk. Mata cipitnya menatapku dalam sambil tersenyum.

“Nenek juga rindu. Meski nenek sering juga melihatmu walau kita tidak ngobrol” Katanya. Aku menatapnya lekat-lekat.

“Berarti nenek Kam suka ngintip aku, dong” Ujarku disambut tawa Bapak dan kakek.

“Nek Kam di lawan, Bengkulu Pagaralam cukup sekejap mata dah sampai dia. Kamu saja tidak diwarisi nek Kam ilmu itu.” Ujar Bapak. Aku jadi ikut tertawa.

“Betul, Pak. Nek Kam tidak mau memberikan ilmu itu. Coba kalau aku bisa kayak nek Kam, bisa setiap saat aku pulang melihat nek Kam, kakek Haji Yasir, kakek Haji Majani.” Ujarku lagi. Nenek Kam hanya membalas candaanku dengan nyengir.

“Selasih, ke mari” Suara Macan Kumbang dari bawah. Hanya aku dan nenek Kam yang mendengarnya. Aku menatap nenek Kam. Dengan bahasa isyarat beliau menyuruhku menemui Macan Kumbang di bawah. Aku langsung ke luar. Betapa terkejutnya aku ketika melihat Macan Kumbang membawa dua ekor ayam hutan yang sudah disembelih.

“Dari mana?” Tanyaku kaget.

“Berburu di Ulu Endikat, ini masaklah, biar kita bisa makan ramai-ramai.” Ujar Macan Kumbang sambil memberikan dua ekor ayam. Aku menyambarnya sambil kebingungan. Bagaimana menjelaskannya pada ibu? Kupandang Macan Kumbang dengan wajah bingung. Otakku segera berpikir menyusun kata-kata agar Ibu bisa menerima.

“Ibu, ini ada dua ekor ayam hutan titipan kawan nek Kam, sudah di potong. Katanya untuk lauk kita malam ini.” Ujarku.

“Buat gulai yang enak, Luhai. Bepati (=santan) biar sedap.” Ujar nek Kam.

Benar saja dugaanku, Ibu paling banyak bertanya.

“Teman Nek Kam yang mana? Manusia apa nenek gunung, si Dek. Kalian berdua ini kalau sudah kumpul horor terus.” Ibu jadi ikutan duduk usai meletakkan ayam di dalam baskom.

“Nek, kami tadi, dari Bandar ke Danau cuma butuh waktu lima belas menit berjalan kaki. Heran, mengapa sampai bisa begitu. Lalu, kegita berjalan beriringan, Dedek jauh ada di belakang kami, tahu-tahu pas sampai sini, barang-barangnya sudah sampai duluan dari kami, dia sudah di kebun dengan kakek. Lalu dia teriak-teriak kuntau sendiri sampai turun ke tengah laman (=halaman) seperti orang kesurupan. Sekarang, bawa dua ekor ayam sudah dipotong, katanya dari kawan nek Kam. Herannya pula, Bapak sama kakek malah kesenangan melihat yang aneh-aneh kayak gini. Iiih…” Ibu menggigil menahan takut apa ngeri, entahlah. Nenek Kam tertawa lebar mendengar keluhan ibu.

“Biasa saja, tidak ada yang aneh.” Ujar nek Kam ringan. Ibu bangkit sambil cemberut.

“Dek, tugasmu bersihkan ayamnya. Cuci di pancuran.” Ujar Ibu setengah kesal. Akhirnya aku bangkit, kubawa pisau dan baskom berisi ayam. Sementara ibu menyiapkan bumbu gulai. Meski sambil ngomel, tapi tetap saja ibu kerjakan.

“Nek, kata nenek tadi gulai pakai santan? Di pondok ini tidak ada kelapa, Nek. Tunggu hari ‘kalangan’ baru bisa beli kelapa,” kata ibu sambil menongolkan kepalanya di pintu tengah.

“Itu di pojok garang dapur, sudah di antar kawan Nenek lima butir kelapa tua. Kurang apalagi?” Ujar nek Kam.

“Apa? Mati aku! Kawan nenek Kam yang mana? Macan Kumbang lagi? Aduh!” Ibu lari mendekat ke nenek Kam. Bapak dan Kakek nampak biasa-biasa saja. Tidak aneh menurut mereka.

“Halah dari dulu kamu ini berani kambing” Lanjut nek Kam lagi.

Sampai di pancuran, aku langsung membersihkan ayam dan memotongnya sesuai ukuran untuk gulai. Macan Kumbang membantuku mencucinya. Tak berapa lama, ayam sudah bersih. Aku segera pulang.

“Sibuk sekali gadis desa satu ini ya” Kata Macan Kumbang berjalan di belakangku.

“Preet! Maunya aku tidur. Aku masih capek. Baru saja duduk dan ngobrol dengan nenek, eh disodori ayam bulat-bulat. Ibu marah karena takut. Apa tidak dengar mulut ibu merepet kayak trompet?” Kataku sambil sesekali melepas daun kering yang lengket di betisku yang basah.

“Kata Nenek, Ibu itu berani kambing. Artinya kadang berani tapi ada rasa takut juga. Kadang takut, tapi nekat dan akhirnya berani juga. Semoga saja Ibu tidak seperti dulu, ketika beliau ditakuti kak Arsito dengan ular karet, beliau kalap saking takutnya, dia sedang pegang pisau, tanpa sengaja dilemparnya ke kak Arsito. Untung tidak kena.” Lanjut Macan Kumbang. Aku tertawa membayangkan hal lucu itu sambil naik tangga dapur.

“Nah, tetawa sama siapa pula si Dek? Ibu lihat sendirian saja, tapi nada suaramu seperti sedang ngobrol bersahut-sahutan. Jangan bikin Ibu takuuuut!” Ibu menjerit. Aku segera mendekati beliau sambil mengelus-ngelus punggungnya.

“Ibu, tidak ada yang meski ditakuti di alam ini. Takut sajalah pada Sang Maha pencipta. Mengapa Ibu jadi risau begini seperti tidak biasa? Bukankah sejak dulu Ibu sering cerita hal aneh-aneh tentang nek Kam?” Ujarku masih mengelus punggungnya. Tiba-tiba nek Kam berdiri di tengah pintu sambil tertawa kecil.

“Obati Ibumu, Dek. Biar dia tidak ketakutan dan merepet” Lanjut nek Kam. Ibu hanya ngedumel sambil mengiris bawang merah. Bapak baru saja selesai mengupas kelapa tua, nampak ya baru saja dipetik. Hal ini terlihat dari kulitnya masih sangat segar. Siapa yang membawanya ke mari? Mengapa aku tidak tahu ya? Sambil berpikir aku membantu ibu memarut kelapa pelan-pelan.

Waktu sudah berangsur petang. Bapak dan Kakek nampaknya sudah ke pancuran mandi dan wudu. Angin petang mulai terasa semakin dingin. Langit berawan jingga kena pantulan cahaya matahari yang hendak tenggelam. Aku duduk di beranda memandang ke langit melihat kelelawar besar terbang ke hulu beramai-ramai seperti mengejar matahari yang hendak tenggelam. Pemandangan yang tidak pernah berubah di langit senja Besemah. Aku bisa memastikan, sebentar lagi akan ada suara burung taktaraw pertanda ambang magrib tiba selanjutnya langit akan gelap.

“Darimana ayam ini, Nek? Berburu tidak, jerat tidak, tapi kita bisa makan ayam hutan sudah disembelih pula.” Ujar Bapak sambil mengambil sepotong gulai ayam lalu memindahkannya ke pinggan nasinya.

“Seperti tidak tahu saja, ya kawankulah yang ngantarkan kemari. Tahu kita tidak ada “gulai liut” Ujar nenek Kam sembari menyomot sambal picak lalu meletakkannya di pinggir pinggannya. Nenek Kam sudah tidak bisa ngunyah ayam yang keras, beliau tidak memakannya. Malah memilih ikan asin.

“Nenek tidak makan ayam? Biar saya iris tipis-tipis ya..” Kata ibu. Dijawab langsung nenek Kam dengan menggeleng dan angkat tangan tanda menolak. Kakek tersenyum melihat penolakan nek Kam.

“Sudahlah, tidak usah ditawari. Relingin tidak ‘kelalah’ makan ayam. Setiap hari dia bisa makan apa saja. Mau kijang, rusa, burung, apalagi ayam.” Sambung kekek. Nenek Kam tertawa sampai terbatuk.

Macan Kumbang ikut makan duduk di sebelah nenek Kam. Tidak ada yang tahu kecuali aku dan nenek jika Macan Kumbang dua kali nambah.

“Lapar ya?” Aku menggodanya. Macan Kumbang menyekah peluh saking semangatnya. Sementara aku terasa mau beku karena dingin.

“Gulai masakan Ibu enak, pas di lidah. Mirip masakan Umak di Ulu ya Nek?” Tanya Macan Kumbang sambil cuci tangan di gobokan.

“Perasaan tadi air gobokan ini bersih, belum dipakai. Sekarang kok berminyak-minyak?!” Bapak kaget. Ibu yang lebih kaget lagi karena melihat belum ada yang selesai makan. Aku diam saja. Bapak memandang nenek Kam. Tatapan Bapak minta penjelasan.

“Loh kita kan berenam. Kumbang juga ikut makan. Masak dia yang bawa ayam, dia tidak maka? Enak betul kita.” Jawab Nenek Kam membuat ibu hampir melompat. Kali ini Ibu menahan diri, diam saja. Tidak merepet lagi seperti biasanya.

Macan Kumbang duduk bersandar dan sendawa. Suaranya sendawanya memancing Bapak menoleh, karena memang terdengar besar sekali.

“Ayo Macan Kumbang, jangan menampakan diri atau memberi tanda-tanda kalau kamu ada di sini. Lihat Ibu hampir mati berdiri karena takut.” Goda Bapak disambut ibu cemberut sebesar bakul. Macam Kumbang senyum-senyum sendiri di sudut.

Nenek Kam memang melarang Macan Kumbang menampakan diri baik dalam bentuk harimau maupun dalam sosok manusia. Ketika kutanya mengapa dilarang? Rupanya jika bersua dalam bentuk apapun pada manusia, bangsa manusia harimau arau nenek gunung, mereka harus puasa. Dan setiap pulang ke dusun Uluan, gigi mereka harus diperiksa, apakah ada yang patah atau tidak? Lalu mereka harus puasa selama empat puluh hari. Kecuali jika mereka bersua dengan ‘orang-orang damai’ atau orang-orang pilihan yang ditakdirkan dekat dengan bangsa mereka.

“Malam ini kita pergi..” Ujar nenek Kam setengah berbisik. Aku mengangguk setuju. Rasa kantukku hilang. Tapi pasti seperti biasa, nenek akan mengajakku pergi setelah semua tidur lelap. Rasa dingin makin menggigit. Aku membungkus kakiku dengan selimut. Kulihat Macan Kumbang sudah lelap, masih di atas sajadah. Nenek Kam, kakek, Bapak dan Ibu masih asyik terlibat cerita berbagai macam hal. Aku tidur-tiduran dekat kakek Haji Yasir.

Lampu cubuk di hadapan kami bergoyang-goyang. Semua wajah kulihat remang-remang. Hanya mata mereka seperti bintang, menyala terkena cahaya lampu yang bergoyang. Namun itu tidak mengurangi kemesraan orang-orang yang kucintai ini. Makin malam makin asyik saja cerita mereka. Apalagi ibu menyuguhkan kopi dan makanan ringan. Cuma nenek Kam terlihat sambil duduk sesekali terpejam.

Sebenarnya aku juga mengantuk. Berhubung nenek Kam mengajakku pergi malam ini, aku usir rasa kantuk itu. Aku takut baru terlelap terus diajak pergi bisa kehilangan mood. Macan Kumbang sudah bangun sejak tadi. Tapi dia masih duduk di atas sajadah. Sepertinya melanjutkan zikir sembari menunggu tengah malam. Menjelang tengah malam, nenek Kam memantrai Ibu, kakek dan Bapak agar mereka segera tidur. Melihat Bapak, Ibu dan Kakek sudah siap-siap akan tidur, aku juga sudah siap-siap untuk pergi. Macam Kumbang juga sudah melipat sajadahnya.

“Kemana kita, Nek?” Tanyaku.

“Jalan-jalan. Sudah lama tidak mengajakmu pergi. Malam ini kita pergi agak jauh.” Jawab nenek Kam sambil mengikat tengkuluknya yang panjang. Jalan-jalan ke tempat agak jauh. Aku tidak berani lagi bertanya. Biasanya dalam perjalanan seperti ini, nenek Kam akan mengajari aku tentang berbagi hal.

Aku dan Macan Kumbang lebih dulu turun tangga. Bapak, Kakek, dan Ibu sudah lelap. Dengkur ketiganya terdengar pelan. Lampu cubok berkedip-kedip ketika ditiup angin, diletakkan ibu di tengah-tengah ruangan. Tak lama, nenek Kam menyusul. Aku melihat sosokku dan nek Kam berselimut tebal. Aku miring ke sebelah kanan, nenek Kam telentang.

“Nek, kenapa kita pergi terkesan diam-diam. Tidak boleh ada yang tahu?” Tanyaku pelan.

“Kalau Ibumu tahu, nanti dia khawatir. Begitu juga dengan kakek dan Bapakmu. Jasad kita seperti tidur, jadi perasaan mereka lebih tenang melihat kita. Tidak ada rasa khawatir dan sebagainya. Lagi pula, pekerjaan kita ini kan tidak masuk akal manusia. Daripada membuat mereka susah memikirkannnya? Cukuplah mereka tahu jika nenek tidak ada, mereka akan bilang pasti nek Kam sedang di dusunnya di gunung Dempu. Selesai urusan.” Nek Kam terkekek.

Baru beberapa langkah, ternyata di bawah sudah ada empat nenek gunung menunggu.

“Wah, bakalan ramai kalau begini.” Ujarku senang. Aku menyalami mereka. Satu yang kukenal karena pernah bertemu di dusun Uluan. Sedangkan yang tiga lagi baru kuketahui beliau dari bukit Sedepa, jauh ke arah Selatan.

Aku disuruh nenek Kam naik di antara mereka. Sementara nenek Kam bersama Macan Kumbang. Akhirnya aku patuh saja. Meski aku sebenarnya lebih nyaman pakai selendangku sendiri daripada menunggangi nenek gunung. Kami berjalan ke arah Timur. Perasaanku banyak sekali sungai yang kami lalui. Baik kecil maupun besar. Yang jarang kutemui adalah belantara. Jika tidak tanah yang gundul karena habis ditebang penduduk menjadi kebun pertanian, ada juga kebun sawit dan karet. Lalu hamparan rawa terbentang luas yang semula kukira sawah. Rupanya rawa-rawa yang tidak produktif. Segala makhluk asral terlihat melintas di beberapa tempat. Dari sekian banyak yang kulihat adalah siluman-siluman air. Baik dalam bentuk ular, buaya, antu banyu, ikan, dan lain-lain.

Selanjutnya kami melalui kebun sawit dan kebun karet, selajutnya melalui bukit-bukit. Aku bernafas lega, karena bukitnya nampak hijau dan rimbun. Tapi aku heran, mengapa di tengah belantara ini ada bagian yang botak. Aku menajamkan pandangan. Aku melihat seperti tanah longsor?

“Nek, kita akan kemana? Ini di mana?” Tanyaku penasaran. Kita masih tetap di Bukit barisan, Selasih. Tapi kita agak jauh dari tanah Besemah. Kita akan membantu saudara kita di perbatasan Lebong dengan Kabupaten Mura. Lihatlah itu, bukit-bukit yang dulunya hijau sekarang melereng. Gersang dan tandus. Suara mesin di tengah hutan ini setiap hari selalu berputar, pengeboran dan lorong-lorong seperti jalan tikus banyak sekali. Bahkan itu bagian itu dulunya bukit, sekarang telah berubah menjadi danau, hasil galian liar para penduduk. Kita bukan mengurusi penambang liar itu. Mereka tidak mudah untuk disadarkan. Nafsu mereka mendulang emas itu sudah sampai ke puncak otak. Mereka tidak punya pengetahuan tentang menjaga lingkungan. Lihatlah limbah mereka buang sembarangan. Mengotori air yang menjadi sumber kehidupan makhluk di sepanjang sungai. Bangsa manusia telah mengubah sepanjang aliran sungai megandung racun. Air bermercuri.” Kata Nenek gunung yang kutunggangi.

Aku turun dari punggungnya. Kami berdiri di sisi jurang yang dalam.

“Tempat apa ini, Nek?” Tanyaku.

“Ini tempat masyarakat menggali emas. Konon tanah yang kita ini ini mengadung emas. Dulu jurang ini adalah bukit. Lebih tinggi dari tempat kita berdiri sekarang. Tapi lihatlah bukit ini pelan-pelan menjadi jurang. Itu ‘cam’ tempat penduduk bermalam. Selain menjadi penambang liar, mereka juga kerap berburu. Tak sedikit kijang, kancil, rusa, kambing hutan mereka buru dan jerat. Di cam itu, ada anak bangsa kami yang dikurung oleh bangsa manusia. Itu mereka yang berjaga-jaga dengan kecepek itu, mereka sedang mengawasi jika ada induk bangsa kami, akan mereka tembak.” Ujar nenek gunung menunjuk beberapa orang yang sedang asyik merokok dengan senjata di tangan. Mereka membuat semacam menara pengintai sekaligus tempat berlindung dari serangan binatang buas terbuat dari kayu.

Mendengar penuturan itu emosiku langsung naik.

“Nek, kalian tetap di sini, akan aku selesaikan mereka.” Ujarku langsung berlalu tanpa minta persetujuan mereka lagi. Aku tahu, bangsa nenek gunung bukan tidak bisa menyelamatkan bangsanya di tangan manusia itu, namun mereka menghindari masalah besar sebab pasti akan berefeks dan memunculkan bentrokan berantai. Demi menghindari itu, bangsa nenek gunung meminta bantuan nenek Kam.

Nenek Kam mengingatkan aku agar hari-hati.

“Baca mantra untuk melengahkan mereka Selasih.” Nenek Kam memberikan petunjuk. Aku segera membaca mantra. Tak lama tiga penjaga itu terlelap. Kujatuhkan ketiganya dari menara pengintainya yang tinggi ke tanah. Aku langsung mendekati, melucuti dan meremuk senjata mereka, lalu kuhamburkan kuhamburkan di atas tubuh mereka. Dengan geram, kucakar tanah sekitar membentuk cakaran harimau. Agar mereka tahu jika bangsa nenek gunung marah. Lalu dinding kayu mereka pun kucakar dalam-dalam. Aku langsung masuk ke dalam ruangan sempit tempat mereka mengurung anak nenek gunung. Aku terkejut, ternyata ada sepasang balita nenek gunung dalam keadaan lesu karena depresi. Kubuka kunci kandang mereka lalu kuhancurkan. Dua anak nenek gunung langsung kugendong dan kuserahkan pada rombongan yang masih menunggu di sisi jurang. Bukan main terharunya aku melihat pertemuan itu. Ternyata di antara rombongan kami ada kakeknya.

Bersambung...
close