Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 68)


Aku baru saja pulang dari pancuran, lalu keliling kebun melihat buah kopi yang masih hijau dan bunga cengkeh yang masih putik. Jaket dan celana panjangku basah kuyup terkena daun yang berembun. Matahari belum muncul sama sekali.

Aku berdiri di tangga pondok memandang ke lembah. Hamparan kebun kopi seperti berselimut kain putih yang tipis tipis yang panjang sedikit bergelombang. Tampuk beberapa bunga kopi semilir dari lembah menabur aroma menerpa wajahku. Cicit burung belum terdengar ramai. Sesekali saja anak pipit dan burung berebah mencicit lapar atau mungkin kedinginan. Alam memang selalu menyajikan sesuatu yang berbeda membuat kita selalu kagum.

Asap mengembang dari atap dapur pondok. Nampaknya ibu sudah sibuk membuat sarapan. Di tengah cahaya lampu kecil dari dapur, kulihat sosok Kekek masih masih asyik berzikir sejak subuh. Beliau belum bangkit dari sajadahnya. Sementara Bapak mendengkur lagi. Nenek Kam sudah duduk di beranda menumbuk sirih sambil komat-kamit bercerita dengan Macan Kumbang. Kulihat Macan Kumbang sangat santai tidur-tiduran di latai. Akhirnya aku ikut duduk dekat mereka.

“Sana-sana ganti baju dulu. Ngapain pagi-pagi sudah keliling masuk-masuk kebun basah semua tuh.” Macan Kumbang mengusirku, menyuruh aku ganti baju, karena memang aku basah semua. Akhirnya aku masuk pondok, ganti pakaian dan kembali mendekati nenek Kam dan Macan Kumbang.

Braaak!!

Aku kaget ketika tiba-tiba ibu melemparkan seikat buah rotan dekat kakiku.

“Nah, darimana buah rotan ini. Nampaknya masih sangat baru, masih segar, baru dipetik. Buah ini hanya ada di “utan ijang”, Nek. Siapa pula bawa ini tiba-tiba ada di dapur? Sengaja mau nakuti aku ya?” Ujar Ibu. ‘Utan ijagh” kata lain hutan belantara. Buah rotan memang hanya bisa ditemukan di hutan yang lebat.

“Ibu, pagi-pagi sudah marah-marah. Santai, Bu,” ujarku menghampirinya dan mengambil buah rotan yang masih ada di tangannya.

“Nah, melihat buah rotan saja marah. Gimana kalau aku lihatkan Macan Kumbang dan yang lainnya jelas-jelas ke hadapanmu, Luhai? Lokak mati tegak kabah.” Ujar Nenek Kam masih menumbuk sirih. Mendengar kata nenek Kam Ibu langsung melompat dekat nek Kam.

“Jangan-jangan, Nek. Bisa mati berdiri aku!” Ibu memegang-megang lengan nek Kam. Nek Kam tersenyum lebar. Apalagi melihat ibu menggoyang-goyang tangannya padahal Macan Kumbang ada tidur-tiduran di sampingnya.

“Buah rotan itu, bawaan kawan anak gadismu itu” Ujar Nek Kam sengaja menunjuk padaku. Mata ibu seperti hendak ke luar kaget menatapku.

“Tu kan, Ibu pasti kata ibu horor lagi” Ujarku melihat pada Ibu yang melotot.

“Iya, tapi ibu tidak mau kalau diperlihatkan hal aneh-aneh kayak gini” Ujar Ibu lagi sambil kembali melemparkan buah rotan ke lantai. Aku dan nek Kam tertawa serentak melihat ibu persis anak kecil.

Sreeeg!! Kretaaak!

“Aoowww!” Ibu menjerit memepetkan tubuhnya ke badan nenek Kam.

“Suara apa itu, Nek?” Kepala ibu mencari-cari sumber suara ketika mendengar ada yang menginjak-nginjak ranting dan daun kering di kebun kopi tidak seberapa jauh dari pondok. Padahal suara itu berasal dari anjing yang melintas dan kencing dekat pohon kopi. Tapi Ibu ketakutan dibuatnya.

“Itu suara anjing lewat, Ibu.” Ujarku tersenyum. Akhirnya demi menghilangkan cemas yang berlebihan, diam-diam kubantu Ibu agar rasa cemas dan ketakutan Ibu sedikit berkurang. Kukuatkan jantungnya. Ibu memang pernah punya kasus lemah jantung gara-gara setiap kali sakit kepala selalu makan obat warung melebihi dosis. Melihat aku melakukan sesuatu pada Ibu, Nek Kam tersenyum.

“Bagaimana, Luhai? Masih berdegup kencang jantungmu? Masih cemas dan gemetaran tidak?” Tanya nek Kam memandang wajah Ibu. Ibu tersenyum sambil menggeleng. Memang jantungnya lebih kuat dari sebelumnya. Nafasnya sudah mulai teratur tidak terlihat turun naik dan sesak seperti tadi.

“Nek, nanti malam nenek dari Uluan akan datang kemari. Apa tidak sebaiknya kita ke kebun nenek saja biar semua lebih aman?” Tanyaku pada nek Kam.

“Memang malam ini nenek mau mengajakmu ke kebun nenek. Kita tidur di sana. Kalau di sini, bakal dicerewetin sama Ibumu. Berbuih lagi nanti mulutnya.” Kata nek Kam sambil melirik Ibu.

Aku membantu Bapak dan Kakek membuka terpal penutup kopi yang masih basah. Uap panas seperti asap mengepul dadi tumpukan buah kopi yang hendak dijemur. Matahari belum juga muncul. Masih tertutup kabut. Tapi kata Kakek, hari ini akan terik. Tunggulah sebentar lagi. Buah kopi yang sengaja dibuat gundukan belum diratakan selayaknya menjemur kopi. Tanah halaman tempat menjempur pun masih basah. Jadi perlu menunggu waktu sedikit lagi agar tidak terlalu basah.

Hari ini rencananya aku di kebun kakek saja. Nenek Kam katanya di pondok saja bersama Ibu melanjutkan menganyam tikar purun Ibu yang lama terbengkalai. Petang nanti rencananya aku dan nenek Kam akan menginap ke kebunnya. Sementara Macan Kumbang pulang ke Uluan sebentar. Katanya ada urusan.

Aku mengambil kinjagh dan pisau berukuran agak kecil, memakai sepatu dan kaos berlengan panjang. Tidak lupa mengenakan topi rimba yang sengaja kubawa dari Bengkulu. Rencananya aku mau ke ujung kebun di hilir. Tadi selintas aku melihat banyak sekali pakis yang tumbuh di semak-semak. Aku ingin memetiknya. Sekaligus mengenang masa kecilku bersama Mang Arsun ketika Bapak dan Ibu menggarap sawah di hulu dusun Bangke. Ketika pertama kali aku melihat para nenek gunung teman nenek Kam membantu menanam padi di sawah Bapak yang luas. Jika dulu aku bersama Mang Arsun, kali ini aku sendiri. Aku sedang berpikir, siapa yang akan kuajak untuk keliling kebun Kakek.

Aku mulai menyisir kebun kopi kakek. Beberapa tunas kopi yang tumbuh subur kubuang beberapa agar tidak mengganggu buah yang mulai putik. Beberapa tampuk bunga kopi masih menyebarkan wangi . Rupanya kebun kakek sudah mulai bersemak. Aku mulai sulit masuk-masuk ke dalam kebun yang berumput tinggi. Rumput bambang sudah menjalar sampai ke batam kopi.

“Kumbang, bantu aku dong” Aku membatin.

“Bantu apa cerewet?” Jawab Macan Kumbang.

“Ah, tidak jadi, mau panggil paman saja” Jawabku. Tiba-tiba Macan Kumbang sudah ada di hadapanku.

“Mau minta tolong apa Tuan Putri?” Ujar Macan Kumbang. Aku kaget. Macan Kumbang mengucek-ngucek mata.

“Kebun kakek udah semak, mau minta bantu membersihkan rumput dan tunas kopi” Jawabku.

“Ah, gampang itu. Besok kamu sudah lihat kebun kakek bersih.” Ujar Macan Kumbang lagi. Aku berkerut, aku bukan ingin melihat besok. Tapi aku ingin melihat kabun kakek bersih hari ini. Rupanya kata Macan Kumbang, nanti malam dia akan mengerahkan pasukan untuk membersihkan kebun kakek. Aku setuju. Soal Kakek, Bapak, dan Ibu itu urusan belakang. Biar nenek Kam saja yang menjelaskan. Mereka pasti akan kaget.

“Kamu mau ke mana Selasih?” Tanya Macan Kumbang melihat aku jadi anak kebun. Kuceritakan saja jika aku mau nyari tunas paku. Macan Kumbang tersenyum lebar. Katanya waktu Selasih kecil sering diikutinya tiap kali pergi ke pinggir hutan sendiri. Suatu kali pernah ada Maksumai, perempuan yang suka marirupa orang-orang yang dekat dengan kita, kadang mirip sahabat kita, orang tua, kakak, nenek, kakek dan lain sebagainya. Mungkin maksud Maksimal ingin mengelabui aku. Sebab Maksumai memang paling suka menyembunyikan anak kecil. Karena ada Macan Kumbang, akhirnya dia tidak berani mendekat, malah diusir oleh Macan Kumbang.

“Yok, aku temani. Siapa tahu ada Maksumai yang mengintaimu. Nanti aku tangkapkan untukmu kalau dia muncul” Ujar Macan Kumbang lagi. Aku tertawa ngakak. Dua hari ini Macan Kumbang memperlakukan aku seperti anak kecil. Setelah kuingat-ingat aku memang sudah lama tidak berantem dengan Macan Kumbang. Baru kemarin aku dan Macan Kumbang kembali memainkan kutau berdua, tapi justru membuat Ibu takut.

“Rindu Putri Bulan ya. Coba kalau dia ada di sini, kan asyik.” Ujarku memancingnya. Padahal aku baru saja bertemu minggu lalu dengan Putri Bulan ketika dia mengantarkan selendang untuk Putri Ular Putih yang baru bersyahadat.

“Hmmm…padahal dirimu kapan saja bisa bertemu. Sombong!” Jawab Macan Kumbang. Kali ini Macan Kumbang mencoba menyapu kakiku. Untung aku waspada. Aku segera melompat lalu berputar dan naik ke atas sisa pohon yang tumbang. Ternyata Macan Kumbang ingin mengajakku kembali bermain. Kayu yang kuinjak dihantamnya dari ujung. Luar biasa, seketika kayu yang panjang dan keras itu berubah menjadi bubuk. Aku mendarat ke tanah. Heran! Belum pernah aku melihat pukulan seperti ini tanpa suara tapi bisa menghancurkan benda keras. Aku diajarkan kakek Njajau mantra untuk menghancurkan batu dengan kekuatan petir dan matahari. Lalu meremuknya menjadi debu. Tapi yang dimiliki Macan Kumbang berbeda lagi.

“Dasyat!” Ujarku. Macan Kumbang tersenyum.

“Nanti suatu saat akan diwariskan padamu.” Ujarnya berjalan menuju semak. Aku mengikutinya dari belakang.

Ternyata Macan Kumbang lebih cekatan daripada aku. Aku baru dapat beberapa genggam tunas paku tapi Macan Kumbang tiga kali lipat dari yang kuperoleh. Setelah dimasukkan dalam kinjagh kecil yang kubawa, ternyata langsung penuh.

“Waduh, dah penuh ni. Kita bisa jualan sayur dong,” ujarku melihat pakis masih muda dan gendut-gendut mirip ular kadut. Terbayang sedapnya jika digulai bersantan kental. Ibu paling pandai membuat gulai pakis. Semakin dipanaskan akan semakin sedap. Akhirnya karena kinjagku sudah penuh, aku memutuskan untuk pulang.

Aku dan Macan Kumbang kembali melintas di kebun kekek yang sudah jadi semak. Pas di tengah kebun, aku bertemu kakek yang sedang asyik membuang tunas kopi.

“Besok kita cari orang -orang dusun untuk upahan besiang.” Ujar kakek. Aku saling pandang dengan Macan Kumbang. Padahal rencana malam nanti Macan Kumbang mau mengerjakan pasukan dari Uluan untuk membantu membersihkan rumput di kebun Kekek.

“Kek, tidak usah mencari orang untuk membersihkan rumput kebun kita, nanti malam nenek gunung akan membantu membersihkannya”

“Aiii…nian Cung? Kalau begitu, tidak perlu susah-susah kita menyari orang dusun untuk membantu kita. Kapan?” Tatapan kakek Haji Yasir berbinar-binar. Aku senang sekali melihat ekspresi kakekku. Meski usianya sudah mendekati seratus tahun tapi fisiknya tetap sehat dan gagah.

“Nanti malam, Kek” Ujarku meyakinkannya.

Usai salat asar aku dan Nek Kam pamitan sama kakek, Bapak dan Ibu. Seperti biasa, Ibu akan berpesan jangan lama-lama. Cukup satu malam saja, terus kembali lagi ke kebun Kakek. Alasannya mulai besok ada beberapa orang akan membantu memetik kopi. Jadi butuh teman untuk membantu menyiapkan segala macam untuk para pekerja. Minimal makannya.

“Tanpa Dedek juga semua akan beres. Kamu kan sudah terbiasa dari dulu segala sesuatu dikerjakan sendiri.” Ujar nenek Kam. Ibu hanya diam saja mendengar Nek Kam. Nampaknya nek Kam keberatan jika aku menginap di tempatnya hanya satu malam. Akhirnya aku dan nek Kam berangkat juga.

“Nek, Nenek duluan saja dengan Macan Kumbang. Biar aku menyusul. Aku mau jalan kaki saja.” Ujarku setelah sampai dekat jarau, pintu masuk kebun kakek. Aku tidak tega melihat beliau berjalan lamban ketika menjadi manusia biasa. Nenek Kam setuju, dalam sekejab beliau hilang dalam pandanganku. Aku melanjutkan perjalanan sendiri menyisir jalan menanjak sampai ke ke dusun Singepure.

Aku berhenti sejenak di dusun Singepure. Dusun nampak sepi. Beberapa rumah tampak terbuka jendelanya. Selebihnya tertutup rapat. Masih seperti dulu, nyaris penduduk dusun tidak bertambah. Lapangan luas berumput hijau tempatku bermain dulu sudah terbelah dengan jalan. Hanya ada tebat, tempatku menggiring kerbau milik Bapak, lalu ikut berendam di dalamnya masih terlihat tenang. Tapi sayang, karena sisi tebat sudah berubah menjadi kebun kopi, tebat mirip telaga kecil itu tidak teduh seperti dulu lagi.

“Hei!!” Macan Kumbang mengagetkanku. Kami belok kiri melalui jalan setapak. Beberapa kali aku bertemu dengan penduduk dusun pulang dari kebun, ladang mereka. Semuanya nyaris tidak kukenal. Tapi dengan ramah mereka menyapa mau kemana dan darimana. Mengapa sore sekali? Mengapa sendiri dan lain sebagainya. Tapi ketika kusebut nama Bapak dan Kakek Haji Yasir, selanjutnya nama nenek Kam, semua jadi maklum. Tidak ada kekhawatiran meski jalan sendiri di tengah hutan.

“Oo…anak Hasan, mau ke tempat nenek Kam? Ah, pasti tidak sendiri. Ada teman Nenek Kam yang mengawal kamu. Amanlah itu di jalan.” Ujarnya. Padahal di sampingku memang ada Macan Kumbang menemani. Tapi beliau asal sebut saja, beliau tidak melihat sosok Macan Kumbang.

“Kita ke telaga sebentar, yok Selasih. Siapa tahu kita ketemu kakek Njajau si sana.” Ajak Macan Kumbang setelah beberapa bidang kebun lagi sampai ke pondok nenek Kam. Aku berpikir sejenak.

“Tidak boleh, sudah sore. Cepat pulang ke pondok nenek.” Suara nek Kam melarang aku dan Macan Kumbang. Macan Kumbang akhirnya cuma bisa nyengir kuda. Nek Kam tahu saja jika kami punya niat mau ke telaga di atas bukit. Akhirnya aku dan Macan Kumbang kembali berjalan menuju kebun nek Kam.

Malam ini aku dan nek Kam makan malam sayur paku masakan Ibu. Nasi hangat dan sambal cung, berikut lalapannya ada di bawah tudung saji. Entah siapa yang mengantarkan makan malam ini. Kadang aku merasa seperti hidup di negeri dongeng seperti cerita-cerita yang kubaca di majalah Bobo, Kuncung, Ananda, dan komik-komik ketika aku kecil. Tiba-tiba ada makanan enak, padahal nenek tidak masak. Sayang, aku tidak pernah bersua dengan pangeran seperti cerita dongeng di majalah itu. Kalau bersua dengan nenek sihir, putri, dan ratu, banyak sekali di alam gaib.

“Ini petai cina, untuk lalapan Putri Selasih. Soalnya kalau di Bengkulu dia tidak pernah lalapan obat cacing kremi ini.” Kata Macan Kumbang sambil ikut duduk.

“Kita mau makan, kok ngomongin cacing kremi?” Sahutku.

“Apa salahnya bernostalgia. Waktu kecil kan kamu nangis-nangis kegatelan gegara cacingan. Terus sama kakek Haji Yasir disuruh makan petai cina banyak-banyak biar cacingnya mabok. Tenyata mujarab kan? Esok harinya tidak hanya cacing kremi yang lebur dengan e’ek. Tapi cacing gelang juga ikut mabok.” Lanjut Macan Kumbang. Aku saja tidak ingat, kok dia tahu?

“Sudah! Yang mau kita hadapi ini makanan halal, bukan makanan maksumai. Berhenti bicara soal cacing” Ujar nek Kam sambil menyuap.

“Memang makanan maksumai apa Nek?”Ujarku. Mengingat temanku dulu pernah disembunyikannya dikandang ayam yang berpintu kecil. Tidak masuk akal tubuhnya bisa masuk dan muat di pintu kandang ayam yang kecil. Tapi ya begitulah kenyataannya. Pasalnya sore-sore gelang magrib mengambil air di mata air, Ayek Gayam tidak jauh dari rumah kami.

“Maksumai itu suka ngasih makan taik ayam, cacing, pada anak-anak yang disembunyikannya. Perasaan anak-anak itu mereka makan makanan enak. Karena tai ayam disihir jadi kue serabi. Lalu cacing disihirnya jadi mie” lanjut nek Kam santai.

“Wuuueeeek. Tadi kata nenek berhenti bilang cacing, ini malah nenek ngomongin tai ayam jadi serabi, cacing jadi mie?” Sahutku. Nenek Kam dan Macan Kembang tertawa bersamaan.

“Sudah makanlah! Tidak usah jijik kan cuma cerita saja. Tidak usah dipikir. Abaikan!” Akhirnya aku berusaha menelan makanan yang disajikan.

Nasi di pingganku belum separuh kusuap, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu.

“Assalamualaikum…” Suara nenek Ceriwis. Aku langsung melompat sambil menjawab salamnya hendak membuka pintu. Tahu-tahu nenek Ceriwis sudah ada di dalam pondok. Tidak melalui pintu lagi.

“Uff! Bau petai!” Ujar nenek Ceriwis ketika kupeluk dan kucium. Akhirnya beliau ikut makan bersama kami. Aku heran, nasi yang tersedia cuma semangkuk kecil. Tapi meski yang makan berempat, nasinya tidak berkurang. Sementara aku tidak melihat ada yang menambahkan nasi ke dalam mangkuknya. Ketika aku nambah pun nasinya seperti masih utuh.

“Tidak usah dipikirikan makan saja.” Nenek Kam menggamit lenganku. Aku tersenyum sambil memandang heran pada beliau. Nenek Kam tahubapanyang ada dalam pikiranku.

Usai solat isya, kembali ada yang datang ke pondok nenek Kam. Kali ini nenek Sulijah. Aku langsung sujud padanya. Sahabat nenek Kam satu ini agak kocak. Beliau pernah menggantikan aku ketika aku belum diwarisi kemamluan membelah diri menjadi beberapa sosok. Bagaimana beliau mengubah dirinya menjadi Dedek kecil, lalu terasa disiksa karena tidur di antara kakek Haji Yasir dan kakek Haji Majani, tidak berani bergerak lantaran takut dipeluk salah satu kakekku. Digendong dan dicium kakek Haji Majani. Jika ingat cerita itu akubkerap tertawa sendiri.

Wajah nenek Sulijah masih seperti dulu. Periang dan berbibir merah karena selalu makan sirih.

“Apa kabar, Nek? Apakah nenek berkenan menggantikan aku kembali menemani kakek Haji Yasir dan Kakek Haji Majani?” Candaku.

“Ou tidak! Cukup sekali saja Selasih. Aku tidak ingin dipeluk dan dicium kedua haji bengkotan itu.” Jawabnya lalu disambut tawa kencang nenek Ceriwis dan Macan Kembang.

“Kalau dicium anak bujang mau?” Tanya Macan Kumbang.

“Asal anak bujangnya bukan kamu, mau” Jawab nenek Sulijah tertawa lucu. Akhirnya aku juga ikut tertawa. Aku tidak menyangka malam ini akan berkumpul dengan orang-orang tercinta ini.

Satwa malam sudah mulai bersuara menyumbangkan suara-suara merdu mereka. Sesekali aku mendengar suara burung hantu terasa sangat dekat dengan pondok. Obrolan ketiga nenek renta semakin hangat. Tak lama aku mendengar deru angin agak kencang. Lalu derap kaki dari jauh. Aku jadi ingat Gundak. Tanda-tanda seperti ini biasanya jika Gundak hendak datang. Apa kabar anak manja itu? Sudah lama aku tidak bersua. Apakah jadi dia menikah dengan saudara jauhnya apa tidak? Apa kabar pula Gali saudara sepupunya?

“Ada yang datang, Macan Kumbang ?” kataku sambil tetap menajamkan telinga.

“Iya dari bukit Selepah. Nampaknya Gundak dan pengawalnya.” Kata Macan Kumbang persis sama dengan yang ada dalam pikiranku. Benar saja, tak lama kemudian aku mendengar derap kaki berhenti di halaman depan pondok nenek Kam yang luas. Aku segera membuka pintu pondok untuk memastikan benarkah Gundak yang datang.

“Assalamualaikum Selasih” Tiba-tiba Gundak sudah berdiri di hadapanku. Dia langsung meraih tanganku dan langsung memelukku. Aku melihat Gundak jauh lebih dewasa. Dia telah menjadi pemuda yang ganteng. Rambutnya panjang ikal masih seperti dulu. Bedanya sekarang dia berkumis dan pipinya berbulu dan berjenggot.

“Wah! Gundak kamu dah kayak ‘batin’ Candaku. Batin itu untuk sebutan lelaki dewasa yang sudah berkeluarga. Mendengar candaanku Gundak malah tertawa.

“Dulu kamu selalu menasehati aku seperti anak kecil. Sekarang sebaliknya aku dikatakan kayak batin.” Sambungnya. Aku merasakan seperti berada di masa beberapa tahun lalu ketika menemui Gundak yang keras kepala, dan selalu mengkhawatirkan ke dua orang tuanya. Lalu memusuhi Gali karena dekat dengan aku. Sekarang anak kecil yang suka ngambek itu telah tumbuh dewasa dan sikapnya pun lebih wibawa. Terakhir kuketahui Gundak sudah belajar kuntau dan kebatinan, lalu sempat ikut membantu melawan pasukan Banyuwangi. Kemudian pernah datang ke Palembang saat aku dirawat di Rumah Sakit Umumnya.

“Kapan kamu ke Ulu bersua dengan Puyang Selepah?” Tanyanya.

“Kapan saja, aku juga rindu dengan Puyang.” Jawabku.

Akhirnya malam ini ada tiga kubu asyik ngobrol. Kubu tua yaitu nenek-nenek, dan kubu muda aku, Gundak dan Macan Kumbang. Sementara tiga pendamping Gundak, asyik ngobrol bertiga di beranda rumah. Banyak hal yang kami obrolkan dalam pertemuan malam ini. Sesekali bernostalgia tentang kekonyolan-kekonyolan yang pernah kami alami masa lalu.

Malam makin larut, tapi para sepuh makin malam makin seru obrolan mereka. Sesekali aku nimbrung pada mereka. Tapi tak urung sebagai manusia biasa aku ngantuk.

Huf! Huf! Macan Kumbang mengayunkan tanganmu. Aku Kembali terjaga. Kantukku hilang sama sekali. Macan Kumbang memantrai aku agar tidak ngantuk. Sebenarnya aku bisa saja menghilangkan pengaruhnya, tapi kubiarkan saja, biar dia puas.

“Musim apa sekarang?” Tanyaku pada Gundak di sela obrolan kami yang panjang. Soalnya sali dan ghukam kulihat masih berbunga. Artinya masih lama menjadi buah. Bisa sebulan lagi.

“Di hulu masih ada durian. Buah selang.” Ujarnya. Aku saling pandang dengan Macan Kumbang. Dia tahu jika aku ingin ke sana. Akhirnya kami bertiga pamit dengan nenek Kam.

“Kebun durian siapa ini, Gundak?” Tanyaku.

“Kebun wak kari.” Jawab Gundak serampangan. Maksudnya “wak kari” itu bukan nama orang atau sapaan orang. Tapi hal yang sering dipelesetkan untuk sebutan ‘tinggal ambil’ tanpa tahu punya siapa. Satu hal tradisi di kampungku sejak zaman nenek moyang, biasanya jika musim durian, ketika durian baru mateng di pohon dan jatuh satu-satu maka pemilik durian tidak akan menjaga durian jatuh di kebun mereka. Sebab, jika durian baru mateng, maka pemilik pohon durian akan mempersembahkan untuk nenek gunung terlebih dahulu. Hal itu semacam perjanjian yang tidak terikat. Namun masyarakat dan nenek gunung sepakat dan saling memahami. Sebuah hubungan yang indah dalam kehidupan nenek gunung dan manusia, meski tidak bertatap muka.

Mencari durian jatuh, atau mucung durian biasanya dilakukan pagi hari menjelang matahari muncul. Jika kebetulan manusia mucung durian bersamaan dengan nenek gunung, maka nenek gunung akan menyingkir. Dia tidak mau menampakkan diri maupun menyerang manusia yang sedang mencari durian. Sebaliknya, jika manusia tahu ketika melihat bekas nenek gunung makan durian, atau melihat tinjak kakinya, maka manusia yang akan buru-buru menghindar membatalkan mucung lalu berkata-kata “Nek silakan lanjutkan mucung duriannya, anak cucu nanti saja setelah siang.” Lalu mereka akan pulang. Tradisi itu masih berlangsung hingga kini.

Nenek gunung, adalah makhluk yang paling rapi ketika makan durian. Mereka membuka kulit durian tidak pernah putus dari tampuknya. Jika kita angkat tampuknya, maka durian akan tetap terlihat bulat. Jika durian belum masak bagus, nenek gunung belum akan mengambilnya. Selanjutnya, biji durian yang mereka makan, akan dikumpulkannya dekat kulitnya menjadi satu tumpukan. Biji durian akan terlihat bersih dan licin. Tak ada sisa sedikitpun. Mirip seperti permen yang dikulum. Rapi dan bersih. Melihat bekasnya, manusia bisa menentukan berapa jumlah nenek gunung yang makan durian. Hal itu bisa dilihat jumlah tumpukan kulit dan bijinya. Mereka tidak pernah makan berlebihan atau datang setiap malam. Jika sudah mencicipinya, maka selebihnya mereka tidak akan datang-datang ke kebun durian lagi demi tetap menjaga hubungan baik dengan manusia.

Cara makan durian bangsa manusia dan nenek gunung, sangat jauh berbeda. Umumnya manusia membuka durian kulitnya dibuang kemana-mana, lalu bijinya pun dilempar ke mana-mana. Yang matang sempurna, setengah matang, bahkan yang muda pun manusia makan. Tidak selektif seperti nenek gunung.

Aku berkeliling selintas di kebun kopi yang bersemak yang diselingi pohon durian yang sudah sangat tua. Melihat batangnya, rata-rata durian ini usianya puluhan tahun. Besar dampingi. Aroma durian yang matang di bawa angin kemana-mana. Gundak langsung naik dan memetik beberapa. Macan Kumbang langsung membukakan aku satu. Gundak dan Macan Kumbang juga mengupas durian masing-masing. Ketika kami sedang makan, tiba-tiba aku melihat cahaya senter berkelebat-kelebat di semak-semak. Ada dua orang menuju pohon durian persis di tempat kami makan.

“Mpap!!” Macan Kumbang berteriak. Lalu beliau memantahkan beberapa ranting. Mendengar suara Macan Kumbang dan ranting patah, orang tersebut berhenti. Mereka menajamkan telinga. Kembali ranting dipatahkan. Tak lama mereka memutar balik berlari kencang pulang ke rumahnya. Rencana mereka hendak mucung durian malam ini batal.

“Mereka itu, mau maling. Mau ikutan mucung di sini. Padahal bukan kebun miliknya.” Kata Macan Kumbang.

“Kok tahu?” Tanyaku.

“Selasih, pohon durian ini ditanam oleh Bapak kekek Haji Yasir. Ini kebun puyangmu. Tapi karena keserakahan adik bungsu kakek Haji Yasir, kebun ini diserobotnya dan tidak diberikannya dengan kakek Haji Yasir. Saking mengalah dan sayangnya beliau pada adiknya, banyak hak warisan kakekmu diserobot adik bungsu dan anak-anaknya.” Jelas Macan Kumbang.

“Oh, begitukah Macan Kumbang?” Ujarku nyaris tidak percaya. Macan Kumbang mengangguk pelan sembari melanjutkan makan durian. Demi mendengar itu aku minta Gundak kembali mengambil beberapa buah durian untuk di bawa pulang. Kuminta Macan Kumbang mengantarkannya ke tempat Kakek Haji Yasir empat biji, selebihnya tiga biji kami bawa pulang ke pondok nenek Kam.

“Selasih, kebun Kakek Haji Yasir sudah bersih. Besok bisa kamu lihat. Tadi beberapa kawanku dari Uluan membersihkan rumput di kebun Kakek. Tinggal besok bagaimana nenek Kam menjelaskannya pada Bapak, Ibu, dan Kakek. Mereka pasti heran mengapa tiba-tiba ada durian dan kebun tidak berumput lagi.” Ujar Macan Kumbang setelah kembali dari tempat kakek. Aku senang bukan main mendengarnya. Paling tidak, Kakek tidak akan pusing lagi melihat kebunnya yang berumput tinggi.

Ayam berkokok berkali-mali. Pertanda subuh telah tiba. Nenek Ceriwis dan Nenek Sulijah sudah lebih dulu izin pulang. Setelah itu disusul Gundak dan tiga paman pengawalnya. Mataku belum mengantuk sama sekali. Mantra Macan Kumbang benar-benar mujarab.

“Tidak ngantuk kan? Sampai seminggu dirimu tidak akan bisa tidur.” Kata Macan Kumbang.

“Preet!!” Jawabku.

“Kapan saja aku bisa menghapus mantramu. Nanti setelah aku solat subuh, aku akan hapus dan aku akan tidur” Jawabku sambil meraih sajadah dan mukena.

***

Matahari masuk jendela persis mengenai tubuhku. Aku yang masih berbalut selimut tebal, langsung terjaga. Entah sudah pukul berapa. Kalau melihat sinar matahari, nampaknya sekitar pukul delapan pagi.

Pondok nampak sepi. Nenek Kam tidak kudengar suaranya. Aku berniat hendak bangkit ketika mendengar dengkur halus di sampingku. Rupanya Macan Kumbang masih tidur. Setelah kupikir, ah biarlah dia tidur. Bukankah siang adalah malam baginya? Waktunya dia istirahat. Berbeda denganku. Jika bukan karena sangat ngantuk, siang hari bukan waktunya untuk tidur.

“Nek…” Aku memanggil nek Kam sambil menarik selimut. Rencanaku hendak kulipat. Ternyata ditindih Macan Kumbang. Akhirnya kuselimutkan saja hingga menutupi seluruh tubuhnya.

Aku baru saja mencuci muka dan sikat gigi ketika terdengar langkah pelan di dapur nenek Kam. Aku menongolkan kepala lewat pintu dapur yang terbuka sedikit. Kulihat seorang perempuan muda berkebaya warna hijau bunga-bunga ungu meletakkan bakul di dekat tudung saji. Dalam hati aku bertanya, siapa perempuan itu? Mengapa tidak terdengar langkah kakinya ketika masuk? Padahal pintu depan tertutup. Pintu dapur terbuka sedikit dan aku ada di sini. Harusnya ketika dia naik tangga dan menginjak beranda, akan terdengar.

“Ibung, Ibung siapa? Darimana?” Tanyaku sambil membuka pintu lebar-lebar. Wajahnya kaget. Namun secepat kilat dia kendalikan diri.

“Oh! Putri Selasih. Saya mengantarkan makanan untuk kalian,” ujarnya tanpa menjawab siapa dirinya dan darimana.

“Ibung siapa? Dan darimana?” Aku kembali mengulang pertanyaanku. Beliau tersenyum manis sekali. Aku tahu, beliau adalah manusia harimau. Tapi baru kali ini aku bertemu dengannya. Darimana dia membawa makanan ini, itu yang ingin kuketahui.

“Aku Dasilah, Selasih. Dari Uluan. Tugasku memang memasakan Nenek Kam dan mengantarkannya setiap hari.” Ujarnya lagi. Akhirnya aku mengucapkan terimakasih padanya sebelum dia berlalu dan hilang dalam pandanganku.

Aku kembali memanggil-manggil nenek Kam. Tidak ada jawaban akhirnya aku memilih menjerang air. Kayu bakar yang disandarkan di sudut tungku perapian. Nampaknya sudah lama tidak digunakan. Terlihat tanahnya seperti abu, kering dan acak-acakkan. Akhirnya sambil menjerang air, aku menyiram tanah di sekeliling tungku, lalu kupukul-pukul agar tanahnya padat dan debunya tidak menyembur ke mana-mana. Cara seperti ini diajarkan Ibu. Jadi meski bagian dapur dari tanah jika disiram dan dipadatkan, maka akan terlihat bersih dan rapi.

Aku membuka tudung saji, ada bakul berisi ibatan-ibatan gulai. Lalu satu ruas buluh. Kucium aroma bumbu dapur di dalam ruas. Sepertinya gulai ikan masak baghi. Semuanya masih terasa hangat. Kututup kembali, biarlah nenek Kam saja yang membukanya. Aku melanjutkan merapikan kayu bakar di perapian menunggu air mendidih untuk menyedu kopi.

Tiga cangkir kopi sudah terhidang. Aku duduk di beranda menunggu nenek Kam. Aku mulai menyeruput kopi untuk menghangatkan tubuh. Meski sinar matahari sudah mencalak tapi udara masih tetap dingin. Sesekali kucelupkan roti ke dalam kopi sebelum kumakan. Meski terasa nikmat, tapi karena sendiri terasa kurang lengkap.

“Nek, di mana?” Aku mulai komunikasi lewat batin. Tidak ada jawaban. Lalu kuulangi sampai tiga kali. Yang ketiga baru nek Kam menjawab. Beliau ada di Uluan rupanya. Sebentar lagi pulang katanya. Akhirnya aku kembali menyeruput kopi sendiri. Merasa sepi akhirnya aku putuskan untuk pulang ke kebun kakek Haji Yasir sebentar, untuk melihat kebun yang katanya sudah dibersihkan nenek gunung. Kututup pintu pondok, kutinggalkan Macan Kumbang yang sedang tidur.

“Ruhai, subuklah (lihatlah) ke lembak (hilir), kebun kita kah licin! (sangat bersih) Masya Allah, kukira Dedek main-main kemarin dia bilang besok kebun Kakek akan bersih, Kakek tidak perlu ‘ngupah besiang’. Ternyata benar! Berapa orang nenek gunung yang membantu kita. Bayangkan saja satu malam kebun seluas ini bisa bersih seperti digilang (digosok sampai mengkilap) ini.” Dari kejauhan aku mendengar suara kakek takjub.

“Aii masak iya?” Suara Ibu tidak yakin. Aku berharap ibu tidak merasa takut lagi setelah jantungnya agak sehat.

“Betul! Kamu lihat saja, dekat pondok saja bersih. Dan ini rumputnya terlihat baru dibersihkan. Masih segar dan basah. Subhanallah. Apa kubilang Ruhai, anakmu bukan seperti anak biasa. Dia kesayangan nenek Kam. Otomatis, semua kawan nenek Kam juga temannya.” Sambung kakek lagi. Tak lama Bapak juga nampaknya buru-buru dari tengah kebun.

“Bu, sini. Kebun kita bersih semua. Tidak ada rumputnya lagi. Termasuk juga tunas kopi yang tidak penting pun juga bersih. Ini pasti kerjaan Dedek, Bu!” Kata Bapak dengan nafas sedikit memburu. Aku ragu-ragu menemui mereka. Ibu pasti akan banyak bertanya.

Akhirnya aku berpikir sebentar. Selanjutnya aku berjalan menyisir sisi kebun. Aku mulai naik ke arah atas kebun. Bagian atas ini kopi kakek memang terlihat sangat lebat. Membuat setiap orang yang lewat selalu menoleh dan terkagum-kagum pada pohon kopi yang berbuah lebat. Benar apa yang disampaikan Bapak, Kekek maupun Macan Kumbang. Kebun Kakek seluas ini dalam sekejab memang sudah bersih. Bahkan cara membersihkan rumputnya terlihat sangat rapi. Rumput-rumput itu diletakkan di antara pohon kopi berupa gundukan-gundukan yang tertata. Bisa dipastikan dalam waktu dua minggu rumput-rumput itu akan membusuk dan jadi pupuk. Aku benar-benar merasa sangat berhutang budi pada nenek gunung yang telah membantu pekerjaan berat ini.

“Assalamualaikum Selasih.” Suara halus di belakangku. Spontan aku menjawab dan menoleh. Seorang lelaki paruh baya tersenyum padaku. Aku berhenti sejenak dan memutar badan.

“Namaku Denan, kamu memang belum kenal dengan saya. Tapi saya sudah beberapa kali melihatmu. Kami telah selesai melaksanakan tugas yang diberikan Macan Kumbang. Jadi kamu bisa lihat hasilnya.” Ujarnya sangat sopan.

“Oh Paman, terimakasih Paman. Baru saja saya berpikir, saya telah berhutang budi dengan para nenek gunung, tapi tidak tahu harus menyampaikannya dengan siapa?” Ujarku sambil membungkuk. Akhirnya aku berjalan keliling kebun kakek bersama Paman Denan. Ternyata beliau sosok yang periang, enak diajak berbicara. Beliau sangat ramah. Banyak sekali hal yang tidak kuketahui menjadi tahu.

“Ini beberapa batang kopi yang tinggi, sengaja paman ‘lengkurkan’ (ditebang tapi tidak putus) maksudnya untuk memudahkan regenerasi kopi tanpa harus menanam bibit baru. Pohon kopi ini sudah cukup tua, Selasih. Tapi pohonnya masih bagus dan sehat. Taburkan saja dedak kulit kopi, tanahnya akan subur dan tetap lembab, rumput tidak mudah tumbuh. Lalu buat lubang angin di antara pokok kopi untuk mengurangi akar gambutnya, namun tanahnya tetap subur.” Lanjut paman Denan. Aku manggut – manggut mendengar penjelasan beliau. Akan kusampaikan pada Bapak petunjuk paman Denan ini.

Baru berjalan seperempat lebar kebun, aku mendengar suara ramai sekali di arah pondok.

“Kate kamu seghut, Mak! Kunak’e licin luk digiling. (Katanya bersemak, Mang! Padahal bersih licin seperti digosok).” Ujar salah satu mereka. Nampaknya mempermasalahkan kebun kakek yang semula memang berumput tinggi ternyata bersih. Mendengar suaranya, nampaknya ada beberapa orang. Mereka akan membantu memetik kopi hari ini.

“Sebenarnya, kalau mau minta tolong mutigh (metik) pun akan kami lakukan. Seperti yang pernah kau lihat di kebun nek Kam,” ujar Paman Denan lagi. Aku tersenyum mendengarnya. Baik sekali beliau ini. Menolong tanpa pamri.

“Terimakasih, Paman. Jika dibantu semua, apa lagi yang bisa dikerjakan oleh bangsa manusia?” Jawabku yang disambut paman Denan dengan tawa kecil.

Setelah sampai di hilir, batas belukar tempatku bersama Macan Kumbang mengambil daun pakis kemarin, paman Denan mohon diri untuk pulang ke Uluan. Akhirnya kami berpisah. Aku mengurungkan diri untuk ke pondok kakek. Biarlah jadi obrolan kakek, Ibu dan Ayah saja perihal kebunnya tiba-tiba bersih. Aku segera kembali ke kebun Nek Kam sebelum kehadiranku mereka ketahui.

“Darimana Tuan Mandor? Mengawasi perkebunan ya. Bagaimana? Sudah bersih bukan?” Rupanya Macan Kumbang sudah bangun, malah asyik duduk di beranda.

“Betul! Bapak, dan Kakek kaget dan heran bercerita dengan Ibu. Hari ini banyak orang yang akan membantu memetik kopi. Terus tadi aku bertemu dengan paman Denan. Kami berkeliling kebun. Beliau mengajakku sekaligus memperlihatkan hasil pekerjaan mereka. Akhirnya aku tidak jadi singgah ke pondok kakek, khawatir dicercah pertanyaan oleh Ibu” Ujarku.

“Ya sudah, tidak usah bertemu dulu. Biarlah mereka asyik dengan keheranannya. Paling akan tersebar seantero Besemah perihal kebun kopi kakek dibersihkan oleh nenek gunung”

Apa yang dikatakan Macan Kumbang banyak benarnya. Jika kebun nenek Kam seperti itu, masyarakat tidak heran. Tapi ini kebun Haji Yasir, orang-orang pasti heran mengapa tiba-tiba Haji Yasir dibantu oleh nenek gunung? Apa hubungannya? Padahal mereka manusia biasa. Akhirnya kusimpan saja perasaan itu ketika melihat sosok nek Kam ke luar dari balik pohon kopi. Beliau berjalan pelan menuju pondok.

“Malam nanti kita jalan-jalan, Selasih.” Kata nek Kam sembari melangkahkan kaki ke jenjang tangga.

“Kemana kita, Nek?” Ujarku ingin tahu, lalu dijawab Nek Kam, malam nanti juga aku akan tahu. Akhirnya aku tidak banyak tanya. Kami kembali ngobrol sembari minum kopi. Semoga bukan karena ada nenek gunung yang ditangkap manusia lagi. Kalau itu terjadi dan aku tahu, akan kuikat dan kusuruh harimau sumatera beneran yang menjaganya.

“Kamu sekarang gampang emosi ya” Sindir nek Kam membaca pikiranku.

“Kan aku sudah besar, Nek. Jadi sudah bisa membedakan mana yang harus dihajar dan mana yang harus diajar. Dari dulu masalah kita sepanjang pulau Sumatera ini, selalu urusan manusia yang tidak mau dilarang agar jangan menjerat dan memburu nenek gunung. Setiap daerah punya etika dan aturan baik secara hukum maupun secara adat. Jika hukum negara dan hukum adat tidak busa menyentuh mereka, maka kita berlaku hukum rimba.” Lanjutkan.

“Husss…dapat ilmu darimana pula membolehkan hukum rimba. Kita makhluk beradap, diberi akal. Maka gunakan” Nenek Kam mengingatkan kusambut dengan tawa. Akhirnya obrolan beralih pada makanan yang diantar seseorang tadi pagi.

“Nenek hebat ya, makanannya saja bukan manusia yang memasakkan. Setiap hari menunya berbeda. Kok bisa begitu, Nek?” Tanyaku. Jujur aku bingung nenek bisa memerintahkan nenek gunung di Uluan untuk memasak makanan kesukaan beliau. Nenek Kam hanya tersenyum.

“Dan yang bisa menikmatinya hanya kau, Macan Kumbang, dan nenek gunung saja. Sebab kalau model Ibumu tahu, bisa tidak akan makan sebulan karena pasti pikirannya kemana-mana.” Kami tertawa bersamaan.

“Nanti malam aku akan jemput Putri Bulan.” Bisik Macan Kumbang.

“O ya. Asyiiik. Sekalian Eyang Kuda?” Tanyaku antusias.

“Kamu kan bisa lakukan sendiri.” Jawab Macan Kumbang. Aku baru saja hendak menghubungi Eyang Kuda, tapi aku tidak tahu akan kemana malam ini. Nenek Kam mau mengajak aku ke mana?

“Nek, nanti malam kita akan ke mana? Apa boleh kita mengajak orang lain. Misalnya Eyang Kuda dari Bengkulu, dan Putri Bulan. Aku ingin mengenalkan Eyang Kuda yang telah banyak membantuku di Bengkulu” Jelasku. Nenek Kam langsung mengangguk menyetujui.

“Ajaklah. Meski nenek sudah tahu sepak terjangnya bersamamu, tidak ada salahnya ajak beliau agar bisa bersua dengan nenek dan Puyang mu.” Kata Nenek Kam datar. Mendengar itu aku melonjak bahagia.

“Nek, paman Raksasa dan A Fung, juga boleh kan?” Ujarku lagi. Lagi-lagi nenek Kam mengangguk setuju. Kupeluk erat beliau saking senangnya. Aku segera berdiam diri, fokus menemui Eyang Kuda terlebih dahulu. Kusampaikan keinginanku beliau datang ke Besemah agar bisa bersua dengan leluhurku. Selanjutnya aku menemui A Fung Si anak soleh. Dengan antusias ketika kusampaikan nanti malam bedua denganku. Demikian juga paman Raksasa. Semuanya setuju, dan bisa datang. Menjelang petang, aku kaget tiba-tiba ada dua perempuan dan satu lelaki dewasa datang ke pondok nenek Kam. Wajah mereka nampaknya kusut semua. Sementara nenek Kam belum pulang entah kemana. Nenek satu ini nampak sibuk sekali hari ini. Datang dan pergi tidak jelas. Aku enggan menelisik untuk memastikan kemana beliau. Nanti beliau marah kalau kuikuti. Berbeda waktu aku kecil dulu. Setia beliau bergerak aku merengek minta ikut.

“Silakan naik Mang, Ibung.” Aku menyilakan tiga tamu naik ke pondok Nek Kam. Kuterima mereka di beranda.

“Kami ada perlu dengan Nenek Kam. Ada sesuatu yang ingin kami sampaikan.” Ujar lelaki sepuh sambil duduk.

“O ada perlu dengan nenek. Tunggu sebentar ya Mak, nenek sedang pergi. Aku tidak tahu beliau ke mana. Mudah-mudahan beliau segera pulang.” Kataku duduk di hadapan kegiatan tamu.

Jika dirasa lewat aroma ketiga tamu di hadapanku ini bukan manusia. Tapi mereka bangsa jin yang beradat. Terlihat dari cara mereka datang dan berbicara. Mereka mengubah diri seperti manusia untuk menemui nek Kam. Aku mencoba membuka batin membaca pikiran mereka. Ternyata benar dugaanku sebelumnya, meski mereka menampakkan wajah penuh beban yang sangat berat. Ada beberapa hal yang mereka simpan. Aku kembali membacanya lebih dalam. Aku ingin tahu maksud mereka datang ke mari.

“Tinggal di mana, Mak?” Tanyaku berusaha sedikit ramah. Mak itu sapaan daerah, dari kata ‘mamak’ artinya Paman.

“Kami tinggal di Ulu Ayek Seghet. Dengah (sapaan untuk lawan jenis sebaya atau lebih muda) tape hubungan ngah nek Kam?” Beliau mengatakan jika beliau tinggal di Hulu Air Seghet, dan bertanya apa hubungan aku dan nenek Kam. Kujawab saja jika aku cucunya. Matanya tajam menatapku.

“Kamu bukan manusia biasa. Kamu dari gunung Dempu.” Ujarnya tersenyum. Aku membalas senyumnya tanpa mengiyakan. Sementara anak gadisnya menunduk saja dari tadi. Akhirnya kami ngobrol seputar kebun kopi nenek Kam.

Selama bincang-bincang tentang kebun Nek Kam, diam-diam aku memanggil nenek Kam agar segera pulang.

“Aku tidak jauh, ada di belakang pondok” Ujar Nenek Kam. Aku kaget, mengapa Nenek Kam tidak segera naik pondok jika ada di belakang? Kuberitahu ada tiga orang hendak bertemu dengan Nenek. Nenek Kam terkekek mendengar pernyataanku.

“Cung…Cung, kami sudah ngobrol sejak tadi. Kamu tidak tahu kan?” Ujar nenek Kam. Aku bingung, ngobrol dengan siapa? Orang dari tadi juga sosok ini ada di hadapanku sedang ngobrol denganku? Apa mungkin beliau mengerahkan ilmunya tanpa kuketahui ruang geraknya. Rasanya tidak mungkin. Aku setengah tidak percaya. Akhirnya aku pamit masuk ke dalam sebentar. Aku fokus sejenak mencari nenek Kam.

Ternyata benar, Nenek Kam ada di belakang pondok, hanya raganya, bukan dengan jasadnya. Beliau sedang duduk berhadapan dengan Mamak tamu. Melihat aku tiba-tiba berdiri di hadapan mereka Si Mamak kaget. Rupanya mereka sudah bertemu.

“Oh sudah bertemu Nenek, ya Mak. Lanjutkan.” Ujarku kembali. Aku membuka mata. Muncul kekagumanku pada orang tua itu. Sampai-sampai aku tidak tahu jika beliau sudah bertemu dengan Nek Kam. Apakah beliau mempunyai ilmu memecahkan diri seperti aku dan nenek Kam? Aku menyesali diri karena tidak peka. Aku tidak tahu dan tidak melihat raganya memecah diri dan berjalan? Begitu saktinya mereka? Lalu apa maksud beliau menemui nenek Kam? Akhirnya aku ke luar lagi, kembali menemui tiga sosok yang masih duduk di beranda pondok.

“Mamak sudah bertemu dengan nenek Kam bukan? Mamak hebat! Aku sampai tidak mengetahui jika Mamak mampu memecah diri. Kukira hanya ada satu sosok di hadapanku. Ternyata tidak.” Ujarku sambil duduk.

“Saya belum apa-apa Selasih, jika saya hebat tidak mungkin datang ke mari minta tolong nenek Kam.” Ujarnya merendah. Aku tidak berusaha mendesak beliau bertanya perihal kedatangannya ke nenek Kam. Namun akhirnya, melihat aku tahu jika beliau sudah bertemu nenek Kam, akhirnya beliau bercerita juga. Katanya rumahnya hancur di rusak oleh bangsa manusia. Padahal manusia itu sudah didatanginya dalam mimpi. Sudah diingatkannya agar jangan menebang satu pohon dekat mata air itu karena di situ ada kerajaannya. Sang anak sangat sedih. Karena sendang, mata air huluan tempatnya mandi ditutup oleh mereka. Jadi tujuan mereka datang untuk meminta pertanggungjawaban bangsa manusia dan minta nenek Kam sebagai perantara.

“Minta pertanggungjawaban apa maksudnya, Mak?” Tanyaku segera.

“Dia harus bayar semua kerusakan itu dengan dirinya.” Lanjutnya lagi. Aku sedikit berkerut. Bayar dengan dirinya? Apa maksudnya? Manusia itu akan mereka ambil?

“Mak, sebenarnya aku tidak ingin campurtangan dengan urusan ini. Tapi Mamak harus tahu. Tidak semua bangsa kami mengetahui kehidupan bangsa kalian. Kami merasa tidak mengusik kalian, karena memang alam kita berbeda. Perihal bangsa kami merusak rumah kalian atau istana kalian dan sebagainya itu cuma alasan kalian. Jika mereka tahu di situ ada rumah kalian, saya yakin mereka tidak akan merusaknya. Apalagi pohon dan sendang itu ada di kebun mereka sejak nenek moyangnya. Mereka merasa semua yang ada di kebun itu adalah milik mereka. Jadi nereka berhak untuk menata miliknya sesuatu dengan rencana dan keinginannya. Tidak bisa Mamak sesukanya mengambil keputusan minta pertanggung jawaban bangsa kami. Kecuali kalian ada kesepakatan sebelumnya, atau bangsa manusia ini sudah diberitahu jika di sana ada rumah kalian namun beliau tetap ngotot. Ini manusia tidak tahu.” Ujarku protes.

“Lalu, mau kalian apakan bangsa kami? Kalian ambil lalu kalian jadikan budak? Begitukah?” Tanyaku agak keras. Wajah yang kupanggil Mamak, istri dan anaknya langsung berubah. Jika tadi aku melihat mereka sopan mengubah dirinya seperti sosok manusia, sekarang terlihat wajah aslinya. Tiga makhluk dengan wajah mengerikan, bermata merah dan bertanduk. Ketiganya tidak ada yang memakai busana. Apakah nenek Kam tahu sosok tamu yang datang ini? Aku membatin.

“Kami sudah mengingatkan lewat mimpi” Ujar yang kupanggil Mamak.

“Bagaimana kalian hadir di dalam mimpi itu? Apakah kalian ada komunikasi? Atau hanya datang menakut-nakuti? Tidak bukan? Kalian hanya datang sekadar untuk memberi tanda tentang keberadaan kalian saja bukan? Itu pun setelah pohon ditebang. Tolong jangan mencari alasan seakan kalian yang paling benar dan menyalahkan bangsa kami. Sendang itu tetap utuh, silakan kalian tempati dan tinggalah di sana. Tapi jangan pernah mengatakan minta pertanggung jawaban dan mengambil bangsa kami. Saya tidak setuju!” Ujarku sedikit menantangnya. Mendegar pernyataanku, matanya semakin menyala. Aku tidak bisa bersabar seperti nenek Kam, mengulur-ngulur waktu pada mereka agar berpikir lagi dan sebagainya. Sementara mereka masih ngotot dengan alasan sudah sepakat dan secara batin sudah ada semacam perjanjian dengan yang punya kebun itu. Bahkan sukmanya sudah di tangan mereka.

“Kalian boleh mengatakan kalian sudah sepakat dan minta izin nenekku. Aku tidak setuju. Kembalikan sukma bangsa kami.”

Hiiiiaaat!!!!

Aku mulai mengerahkan tenagaku. Kulihat sukma yang mereka maksud mereka simpan di tempat gelap sudah hampir satu minggu. Aku tidak percaya dengan pernyataan mereka mengatakan jika anak gadisnya ini akan dinikahkan pada bangsa manusia yang mereka katakan minta pertangung jawabannya. Mereka bohong!

“Aku akan hancurkan kalian jika masih menawan sukma bangsaku. Kalian hendak menipu nenekku. Memperalat nenekku dengan dalih minta disampaikan dengan keluarga korban agar kesannya merekalah yang bersalah, dan memaklumi semuanya. Kalian licik! Jahat!” Ujarku tidak sabar. Ternyata mengetahui aku ngamuk, nenek Kam hanya tersenyum saja.

“Nah, cucungku tahu rahasia kalian, Bajroh. Mata batinnya lebih tajam dariku. Dia tahu membaca hati dan pikiran kalian. Jadi jika kalian tidak mau punya masalah sebaiknya kalian ikuti saja keinginannya. Saya tidak akan ikut campur dengan urusan ini. Cucungku sudah besar dan pola pikirnya tidak sama denganku orang dusun ini.” Lanjut Nenek Kam.

“Tapi nenek Kam sesepuh di dusun ini, bukan ‘budak kecik’ ini, Nek” Kata Mamak Bajroh setengah ngotot. Aku sudah siap-siap untuk menakhlukkannya. Sukma manusia yang diambilnya, telah kuketahui tempatnya. Bahkan sudah kupagari agar tidak mereka pindahan ke tempat lain. Mereka licik!

“Maaf, Mamak. Kurasa apa yang disampaikan nenekku sudah jelas bukan? Jadi jangan paksa nenekku untuk percaya kalian. Karena beliau sama denganku, tidak percaya dengan kalian. Kalian hendak membodohi kami. Jika sebelumnya kalian berhasil memperdaya manusia, maka hari ini akan kuputuskan. Kalian jangan pernah lagi mengganggu bangsa kami dengan memutarbalikkan fakta” Ujarku.

Mendengar pernyataan kerasku mereka balik marah.

“Jangan macam-macam kau perempuan kecil. Apa yang kami lakukan adalah upaya memperjuangkan hak kami”

“Kalian lupa! Bumi ini milik siapa? Kita sudah diberi Sang Maha kaplingan masing-masing. Kalian dan kami punya alam yang berbeda.” Aku ikut membentak. Demi mendengar pernyataanku, kulihat Bapak, Ibu dan anak itu makin meradang. Mereka serentak menyerangku apalagi mengetahui jika sukma tawanannya telah kuketahui.

“Kurang ajar! Kamu belum tahu aku!” Ujar Mamak Bajroh. Aku melihat tabiat aslinya. Pandai sekali mereka bersandiwara mengelabui bangsa manusia.

“Aku tahu, kalian adalah jin fasik yang menyamar menjadi makhluk yang baik. Kalian manfaatnya kepolosan bangsa manusia yang membenarkan ulah kalian seakan-akan kalian adalah makhluk yang beradab. Selalu mencari sela seakan manusialah yang salah. Kalian boleh mengelabui bangsaku, Bangsa manusia. Tapi tidak untukku. Aku tidak bisa kalian bodohi! Paham?” Ujarku menahan emosi sembari menghindari serangan serentak mereka.

Ternyata kehidupan dimensi lain ini memang punya tingkat dan golongan yang berbeda. Yang kuhadapi sekarang ini adalah golongan yang pandai mengelabui manusia dengan cara halus. Termasuk golongan yang cerdas tapi licik.

Mengetahui akal bulus mereka kuketahui, serangan demi serangan mereka lancarkan. Siang-siang aku sudah bertarung dengan mereka. Padahal jika siang dan terang mereka agak lemah. Namun karena mereka memiliki ilmu yang tinggi, sepertinya tidak ada pengaruhnya. Mereka tetap saja makhluk yang ganas dan membahayakan.

Hiiaaaat!!!

Aku melakukan serangan balik. Mereka akan kulumpuhkan, kalau tidak kusedot semua ilmunya, atau kutarik untuk kupenjarakan di ujung jari-jari. Satu hentakan keras yang kulakukan berhasil melumpuhkan dua perempuan sekaligus yang menyamar menjadi anak gadis dan istrinya. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan. Energi mereka kutarik dan ilmu mereka pun kusedot. Keduanya berteriak histeris memancing yang lain turut menonton.

Melihat dua sudah kulumpuhkan, mamak Berjah semakin meradang. Pukulan demi pukulan beliau lakukan. Aku pun melakukan pukulan balik dan beberapa pukulanku mampu dihadangnya sehingga terjadi benturan keras yang memercikakan api. Bagaimana Mak? Apakah masih akan terus bertarung? Atau tobat sajalah. Sebelum istana kalian aku hancurkan dan mamak sama dengan dua makhluk itu, tak berdaya. Matanya semakin nanar dan merah melihat dua kawannya tergeletak sambil mengerang kesakitan.

“Jangan sombong anak kecil. Aku sudah neman (banyak) makan asam garam. Kamu baru lahir kemarin sore sudah sombong!” Ujarnya ketika berhenti sejenak menyerang. Nampaknya dia tengah mengubah strategi dengan jurus barunya. Aku tidak peduli apa pun yang disampaikannya.

Duuuarr!!!

Aku jawab dengan menghancurkan istananya di dekat sendang. Melihat istananya hancur di depan mata, Mamak Bajroh makin meradang. Hantamannya tidak seperti tadi, tapi lebih banyak ngawur sehingga membuang energinya saja. Mungkin selamanya ini dia selalu lolos, dan aman melakukan penipuan dengan cara mencari kesalahan dan kelemahan manusia.

“Mamak! Hari ini terkahir mamak dan kawan-kawan melakukan praktik penipuan seperti ini. Aku tidak akan beri ampun ulah kalian. Kalian memang bangsa yang licik!” Ujarku sambil melakukan serangan lagi. Dus! Dus! Dus!!

Mamak Bejroh melakukan pukulan panas dengan sangat cepat. Tenaganya luar biasa. Nyaris aku kena pukulannya jika tidak menghindar dengan cepat. Hawa panas ya g dikeluarkan membuat daun-daun langsung mengering seperti kena kemarau tahunan.

Ciiiiiiiaaaat!

Aku mengembangkan selendangku dan melilit tubuhnya. Dalam sekejap tubuhnya terangkat. Aku salurkan energi meremuk dan menyedot energinya. Mamak Bajroh mengerang kesakitan. Suaranya menggelegar seperti hendak meruntuhkan tebing. Aku segera mengunci semua gerakannya. Mamak Bajroh kehilangan tenaga, lemas tak berdaya.

“Nah Mak, selesai sudah sepak terjang kalian. Istana kalian sudah hancur, kekuatan kalian pun sudah tidak ada. Apalagi yang mau kalian banggakan? Sekarang silakan kalian pergi dari sini.

Aku menggerakkan tangan dan mengangkat ke atas tinggi-tinggi. Dengan sekali satuan, kegiatan makhluk asrama di gadapanku kulempar jauh-jauh hingga ke jurang lapisan bukit arah utara. Suara minta ampun mengiringi rubuhnya mereka yang melesat. Aku menatap beberapa makhluk asrama yang masih mengintip dan mengawasiku. Mereka sebagian besar adalah anak buah mamak Bajroh.

“Keluarlah kalian, hadapi aku jika kalian benar tunduk dan cinta dengan pemimpin kalian!” Ujarku mengancam mereka yang bersembunyi lalu aku melihat mereka lari menyelamatkan diri.

Aku segera mengambil sukma yang ditawan dalam gua yang gelap. Hanya ada satu sukma. Nampaknya sudah banyak korban sebelum yang ini. Aku segera mengembalikan sukma itu ke jasadnya tanpa dia sadari. Setelah semuanya beres aku bertanya pada nek Kam. Ternyata kata nenek Kam karena takut kita halangi, dia mengatakan meminta lelaki itu untuk dinikahkan dengan anak gadisnya. Itu hanya modus.

“Nek, nenek sudah sering ditipu bangsa gaib dengan modus seperti ini?” Tanyaku.

“Mungkin juga ada, nenek lupa. Tapi sudah lama nenek berhati-hati jika ada makhluk asral menemui dengan alasan mengambil manusia untuk mereka jadikan suami karena kesalahannya. Untung cucuku memiliki kepekaan yang luar biasa. Nenek saja tidak seperti itu.” Ujar nenek Kam memuji.

“Iya, nenek tidak peka, tapi pekak.” Ujarku menggodanya. Tangan kecilnya langsung meraihku. Aku menghindar. Rupanya nenek Kam ingin menunjukan kemampuannya. Dia kejar aku. Aku kaget, beliau sangat gesit. Akhirnya aku pun mengerjakan kemampuanku. Tubuh kami berkelebat di antara kebun kopi. Semakin kencang aku berlari, semakin kencang pula nenek Kam mengejar. Aku berlari sambil tertawa. Ternyata nek Kam serius. Melihat keseriusan akhirnya pun sungguh-sungguh. Agaknya nek Kam akan mengajarkan sesuatu padaku. Aku membatin. Aku melompat ke udara, nenek Kam pun ikut melompat. Akhirnya di atas kami aku bertahan menerima pukulan beruntun dari nenek Kam.

Dus!! Dus!!

Dua pukulan telak menghantam dadaku. Aku kaget. Seketika terasa nyeri dan sesak. Segera kusalurkan energi untuk memulihkan diri dari pukulan nenek Kam. Tubuh nek Kam kulihat seperti bola berguling ke arahku. Aku kaget dan bukan main kagumnya. Luar biasa nenekku ini. Ilmu apa yang digunakannya bisa berguling seperti boleh sembari menyerang. Anginnya mendesing kencang.

“Sudah ya, Nek!” Teriakku. Tapi malah beliau jawab dengan pukulan. Sekali lagi aku kena pukulan telak di bahu. Tulang punggungku terasa remuk. Nenek terlihat seperti orang kalap. Aku berpikir selintas apa yang harus aku lakukan agar tidak mencederai nek Kam. Mengapa dia tidak peduli dengan himbauanku agar berhenti.

“Nek, sudah. Aku tidak mau main-main lagi. Nanti kita cedera.” Ujarku agak khawatir. Lagi-lagi tidak ada jawaban. Malah gerakan nenek semakin cepat dan gencar. Angin berseleweran membungkus dirinya seperti balutan salju. Akhirnya aku kembali serius. Paling tidak menghindar dari pukulan-pukulan maut nenek Kam.

Hiiaaaat!!! Up!Up!

Tiba-tiba aku melihat satu sosok menghalangi aku dan nenek Kam. Kami berdua sama-sama terpental.

“Apa-apaan Relingin? Kenapa pakai ilmu itu menyerang Selasih. Berbahaya! Kau bisa membunuhnya!” Tiba-tiba Puyang Bukit Selepah sudah ada di antara kami berdua. Aku menatap nenek Kam yang terpental. Aku menatap nenek Kam khawatir. Ternyata Beliau bangun lalu berdiri santai.

“Kami sedang main-main, Puyang. Aku ingin melihat sampai dimana kewaspadaan Selasih menghadapi serangan-serangan maut.” Nenek Kam tertawa sambil sujud dengan Puyang Bukit Selepah. Mengetahui yang hadir Puyang Bukit Selepah aku segera menghampiri beliau dan sujud. Sudah lama sekali aku tidak bersua dengan beliau.

“Kau tidak apa-apa kan Selasih? Relingin, ilmu pematah bukit dan halimun bukan untuk main-main. Yang kau ajak main-main ini Cucungmu sendiri. Apa kau memberitahu jika kau serius dan ingin melatihnya? Tidak bukan? Selasih tidak serius melayanimu karena dia takut mencideraimu.” Lanjut Puyang Bukit Selepah lagi. Akhirnya aku hanya tersenyum memandang nenek Kam yang senyum-senyum menatap Puyang Bukit Selepah.

“Aku hanya bercanda dengan Selasih, Puyang. Tidak terlalu serius.” Ujar Nenek Kam sambil membersihkan kainnya yang kotor akibat terhentak ke tanah basah. Sementara punggungku masih terasa nyeri akibat pukulan nek Kam.

“Sini Selasih.” Puyang meraih bahuku lalu menyuruhku duduk. Beliau langsung menotok beberapa titik punggungku. Lalu terasa punggungku didorong sembari disalurkan energi hangat. Tak lama rasa nyeri itu hilang. Aku merasakan nyaman seperti semula.

“Puyang pulang ke Ulu. Nanti malam Puyang tunggu kalian.” Kata Puyang Bukit Selepah sembari mengucapkan salam dan menghilang. Tinggallah aku dan nenek Kam saling pandang menahan senyum.

“Bagaimana, Nek? Mari kita lanjutkan. Hiiiiaaaaat.” Godaku sembari memasang kuda-kuda.

“Husss!! Nanti Puyang datang lagi. Tidak enak sudah bau tanah kena marah.” Ujar nenek Kam terkek-kekek menutup mulutnya seakan-akan takut terdengar orang. Akhirnya kuikuti langkahnya merunduk-runduk di bawah dahan kopi menuju pondok.

Bersambung…
close