Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Memutus Perjanjian Dengan Penghuni Bukit Terlarang

Bulan purnama hampir berbentuk bulat sempurna malam ini. Suara lolongan anjing liar terdengar panjang memilukan. Seolah meneriakkan dan menyambut datangnya penghuni alam kegelapan.

Sayup-sayup terdengar suara erangan dari rumah Mbah Siem. Rintihan kesakitan, yang tidak tahu apa penyebabnya. Aku menajamkan pendengaran, hendak menyimak bunyi erangan itu. Kebetulan rumah perempuan tua itu, bersebelahan dinding denganku. Mbah Siem, ibu dari almarhum ayah.

Bunyi ringkikan kuda, tiba-tiba saja terdengar dari luar. Hei, di daerah sini tidak ada yang memelihara kuda, bagaimana bisa ada seekor kuda malam-maalam, ucapku tidak mengerti. Cuaca yang dari tadi biasa saja, seketika dilanda angin yang sangat kencang. Kemudian suara seperti benda jatuh mengakhiri tiupan putting beliung itu.

Perlahan, aku membuka sedikit saja tirai jendela, mencoba mengintip apa yang terjadi di depan rumah Mbah Siem. Alangkah terkejutnya, ketika aku melihat sesosok laki-laki tanpa kepala, duduk di atas seekor kuda putih, menghadap rumah Mbah Siem, sambil menenteng kepalanya.

Bibirku langsung terasa kelu, tidak mampu berkata sepatah kata pun. Untung, aku tidak lupa untuk mengucapkan istighar dalam hati. Sehingga tidak membuatku pingsan.

Entah mengapa malam ini aku bisa melihat pemandangan menyeramkan ini, hanya Allah yang tahu. Apa mungkin karena ada indera keenam yang tersembunyi dalam diriku? Aku sendiri juga tidak mengerti.

Sementara di luar, penumpang berkuda itu sudah lenyap, menghilang bersamaan dengan lenyapnya suara erangan Mbah Siem. Seketika naluri ingin tahu segera muncul untuk menyelidiki kasus ini. Semoga saja, Mbah Siem mau jujur bercerita mengenai peristiwa apa yang menimpanya.

Keesokan harinya, aku sengaja bertamu ke rumah Mbah Siem untuk mencari tahu apa yang terjadi malam tadi. Rumah Mbah siem masih terlihat sepi, saat aku berada di depan pintu. Ada perasaan bimbang merasuk agar membatalkan kunjungnaku ini. Aroma negati terasa sangat menusuk.

Aku mengetuk pintu rumah Mbah Siem perlahan. Setelah mengetuk beberapa lama, akhirnya Mbah Siem muncul juga. Wajahnya memucat-dengan tatapan kosong. Dia tidak menjawab salam yang kuucapkan. Malah, menatapku dengan gelisah.

“Ada apa,Siah? Pagi-pagi kok sudah ada di rumah si Mbah?” tanya perempuan berusia lanjut itu.

“Siah boleh masuk, Mbah?” Aku tidak menggubris pertanyaannya, malah meminta izin agar diperbolehkan masuk.

Mbah Siem, memang cukup dekatku, apalagi sejak berpulangnya Ayah setahun yang lalu. Ibu selalu menitipkanku pada si Mbah, bila berangkat bekerja ke kota sebelah.

“Apa kamu ndak sekolah hari ini, Siah?” tanya si Mbah lagi berusaha menyelidik.

“Hari ini libur, Mbah. Ada rapat guru-guru di sekolah,” jawabku pendek.

Mbah Siem pun lalu mempersilahkan aku masuk ke dalam rumah. Suasana rumah Mbah Siem tampak lengang. Memang Mbah Siem tinggal sendiri, sejak kematian suami dan anak-anaknya. Kematian yang tidak wajar menurutku, tapi tidak pernah ditanggapi oleh ibu ketika aku mengungkitnya.

“Mbah, hari ini ndak jualan ke pasar?”

Mbah Siem menggeleng. Aku bisa melihat tubuhnya begitu letih-tidak ada gairah hidup. Padahal,Mbah Siem setiap pagi selalu bersemangat berangkat ke pasar.

“Mbah,sakit?” tanyaku semakin penasaran.

“Sedikit,Siah. Mbah pusing. Kebun kelapa dan palawija Mbah, dirusak orang.” Mbah Siem menceritakan perihal yang mengganjal dalam hatinya.

“Ya,udah . Mbah istirahat saja,” tuturku kemudian.

Mbah Siem hanya mengangguk,sementara bibirnya seperti mengucapkan sesuatu dalam hati. Aneh , tidak biasanya si Mbah bersikap seperti ini. Mbah, orangnya periang-tidak mudah mengeluh walaupun banyak masalah yang menimpa.

“Mbah …,” panggilku perlahan. Rasa ingin tahu tentang kejadian semalam, membuatku terpaksa bertanya.

“Ada apa, Nduk?” Beliau menarik napas sangat panjang.Terlihat ada beban berat yang menggantungi pikirannya.

“Mbah sakit apa malam tadi? Kok erangan si Mbah,sampai ke rumah?”

Mbah Siem memandangku sambil tersenyum kecut. Hanya sakit kepala biasa saja, ujar Mbah Siem menjelaskan. Tampaknya memang ada yang disembunyikan oleh Mbah Siem. Namun, aku tidak tahu lagi bagaimana mengorek keterangan lebih lanjut dari si Mbah.

“Mbah, Siah numpang ke kamar mandi dulu ya?” Entah mengapa, seperti ada yang membisikiku untuk menuju kamar mandi.

Mbah Siem tidak berkata apa-apa selain mengangguk, mengizinkan aku pergi ke sana. Benar saja,saat aku baru saja hendak menginjak lantai kamar mandi,seperti ada bayangan yang tiba-tiba melintas. Wajahku segera pias-terkejut melihat penampakan itu.

Seorang perempuan berambut panjang, cantik dan berwajah pucat. Seperti mirip seseorang, tapi aku lupa di mana pernah bertemu. Perempuan itu menatapku dengan pancaran kesedihan. Aku bisa melihat jelas, dia memang sengaja ingin memperlihatkan wujudnya di hadapanku.

“Kamu siapa ?” Setelah mengumpulkan keberanian, akhirnya aku berani bertanya.

“Aku, salah satu putri Mbah Siem, Siah? Kau bisa melihatnya di salah satu foto yang dipasang di dinding,” ujarnya menjelaskan.

Aku ternganga-takjub bisa bertemu dengan anak perempuan Mbah Siem yang meninggal kurang lebih 5 tahun yang lalu.

“Bulek … Bulek kan sudah meninggal?” tanyaku lagi terbata-bata.

Dia hanya tersenyum miris. Kemudian, dia menyuruhku untuk pergi ke kuburan dekat kebun Mbah Siem, nanti malam selepas magrib. Sebenarnya, aku ingin menolak tapi rasa penasaran ingin segera mengungkap peristiwa misterius ini,membuatku mengiyakan saja permintaan Bulek Kiem.

Akhirnya aku pun menyanggpi permintaan anak perempuan Mbah Siem. Setelah itu, wujudnya pun menghilang. Aku mengucapkan istifghar dalam hati. Benar-benar misteris, bisikku.

Setelah berbasi-basi sebentar dengan Mbah Siem, aku pun pamitan pulang. Aku harus lebih mempersiapkan mental dan fisik untuk menemui Bulek Kiem, putri Mbah Siem malam nanti. Aku masih dapat melihat dari ekor mata, Mbah Siem seperti memberi sinyal agar aku pasrah saja.

----------

Pekerjaanku hari ini benar-benar kacau. Perjumpaan dengan Bulek kIem tadi bermain di benak, membuatku lebih banyak termenung. Peristiwa yang mungkin selama ini menjadi tanda tanya besar bagiku, apakah bisa terkuak? Ah, entahlah. Biarlah Allah saja yang membimbingku untuk mengetahui hal ini.

Azan magrib baru selesai berkumandang, saat aku melangkah ke kamar mandi-mengambil wudhu untuk melaksanakan kewajiban di ujung petang ini. Aku benar-benar menyerahkan seluruh tubuh dan pikiran-memohon petunjuk dan kekuatan menghadapi persoalan ini. Sementara langit sudah mulai diselimuti kegelapan. Beruntung, cuaca malam ini tidak mendung.

Perlahan aku ke luar rumah, menyusuri jalan kecil menuju kuburan keluarga yang terletak di ujung desa. Jaraknya hanya memakan waktui setengah jam saja dari rumah. Kebun kelapa yang berusia puluhan tahun itu terlihat sepi. Adanya sebuah pondok penjaga di tengah kebun, membuat aku sedikit tenang.

Aku sengaja bersembunyi di belakang sebuah pohon kelapa yang terletak tidak jauh dari kuburan Bulek Kiem. Menanti, kejadian apa selanjutnya yang harus kulihat.

Belum terlalu lama menunggu, sebuah bayangan berkelebat menghampiri tempatku berdiri. Benar saja bayangan itu milik Bulek Kiem. Dia memandangku dengan sebuah senyuman di wajah pucatnya. Heran, aku tidak merasa takut sedikit pun. Meski harus berhadapan dengan makhluk halus seperti Bulek Kiem.

Aroma bunga melati yang barasal dari arwah Bulek Kiem, menyengat penciumanku. Wajar saja, aku sedang berhadapan dengannya, jadi tidak mencium bau amis.

“Siah, maaf, Bulek harus melibatkanmu kali ini!” Ucapan bulek membuatku terkejut. Aku semakin bingung. Ada apa sebenarnya? Aku menarik napas dan menghembuskannya perlahan.

Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya Bulek pun melanjutkan lagi perkataannya. Jiwamu sedang terancam, Siah. SI Mbah memberikanmu sebagai tumbal karena terikat perjanjian dengan penghuni bukit larangan.

“Apa …?” Wajahku sepertinya telah memucat kini. Tidak menduga sama sekali bakal menjadi calon korban persembahan makhluk-makhluk itu.

“Seharusnya, perjanjian itu sudah harus dihentikan, tapi tidak ada yang bisa menghentikannya. Apalagi makhluk itu terlalu kuat dan kejam. Sudah terlalu banyak jatuh korban.”

Aku tidak konsentrasi lagi mendengar perkataan Bulek Kiem. Lututku sudah terasa sangat lemas. Bagaimana kalau aku tidak bisa lolos dari incaran makhluk kegelapan itu? Apa yang akan terjadi pada kami? Sudah 5 nyawa yang hilang untuk dijadikan tumbal oleh Mbah Siem. Suami Mbah Siem, Bulek Kiem, Bude Parti, Siti anak Bude Parti, dan terakhir Ayah.

Siapa mereka sebenarnya, Bulek?” tanyaku pada akhirnya.

Mereka adalah makhluk-makhluk penunggu bukit di ujung kampung. Dulu, si Mbah meminta pesugihan pada mereka karena tidak kuat diejek sebagai orang miskin. Berhari-hari, Mbah bermeditasi memohon petunjuk, sehingga akhirnya berhasil menemukan pesugihan itu.

Setiap tahun, pada saat purnama ke sepuluh, Mbah harus membawa seorang tumbal untuk dipersembahkan di altar batu, di kaki bukit. Korban persembahan harus berasal dari keturunan Mbah dan tidak boleh orang lain, sebelum keturunan langsung benar-benar sudah habis ditumbalkan.

Aku bergidik mendengar penjelasan Bulek Kiem. Ketakutan membayang di pelupuk mata. Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Bisikku pasrah. Tidak sadar aku mengucapkan ayat Kursi dan surat Alfatihah.

“Stop, Siah. Hentikan dulu bacaan itu. Panas!” Aku terkejut mendengar jeritan Bulek Kiem. Ternyata, bacaan itu berefek pada makhluk astral seperti Bulek.

Aku segera menghentikan bacaan itu karena melihat arwah Bulek Kiem berteriak kepanasan. Kemudian, dia melanjutkan cerita mengenai makhluk yang berasal dari kegelapan itu. Sebenarnya, Mbah tidak tega untuk mengorbankan aku, itulah mengapa si Mbah menjerit malam tadi. Hanya saja, Mbah tidak bisa berkutik saat berhadapan dengan makhluk tanpa kepala dari bukit terlarang.

“Apa Siah bisa memutus perjanjian ini, Bulek?” tanyaku lirih. Aku tetap percaya, kalau Allah pasti akan mau menolongku keluar dari kemelut ini. Keyakinan yang selama ini dilupakan dan ditinggalkan Mbah Siem.

“Siah harus bergegas melakukan berbagai persyaratan, untuk bisa terbebas dari perjanjian ini. Waktunya tidak lama lagi,” jawab Bulek Kiem masgul.Tampak kesedihan terpampang di matanya.

“Apa yang harus Siah lakukan, Bulek?”

Arwah itu pun lalu menjelaskan hal-hal yang harus kulakukan. Pertama, aku harus berpuasa selama tujuh hari ini, karena waktu persembahan tumbal tinggal tujuh hari lagi. Selama tujuh hari itu, aku tidak boleh makan barang-barang bernyawa seperti ikan atau daging. Aku juga dilarang memakai pakaian berwarna, harus memakai pakaian berwarna putih atau hitam saja.

Aku mengangguk saja mendengar persyaratan yang harus kujalani. Ditambah satu persyaratan lagi, ketika hari ke tujuh saat dilakukannya upacara pemenuhan perjanjian itu, aku tidak boleh menoleh ke belakang, meski dipanggil oleh si Mbah sekali pun.

Langit sudah semakin kelam, saat Bulek Kiem akhirnya kembali ke alam asalnya. Aku memandang kepergiannya dengan ucapan penuh terima kasih. Dia harus rela gentayangan agar tidak ada lagi keturunan kami yang menjadi korban pesugihan.

Sedikit bernapas lega, aku melangkah pulang. Baru aku sadari, mungkin itulah sebabnya, mengapa ibu lebih suka bekerja di luar kota dari pada harus menunggu nasib sebagai tumbal.

________

Selama tujuh hari menjelang waktu pemberian tumbal itu, aku melaksanakan semua persyaratan yang diutarakan Bulek Kiem kemarin. Memang sangat tidak mudah untuk melaksanakannya, godaan begitu banyak. Si Mbah seperti sengaja memberikan lauk daging dan ikan hampir setiap hari, belum lagi aneka pakaian baru berwarna-warni selalu disodorkan si Mbah saat pulang dari pasar.

Ada saja saat aku benar-benar tergoda dengan sajian enak-enak yang selalu diberikan si Mbah, tapi Alhamdulillah, Allah tetap menolongku, sehingga aku bisa menepis godaan itu. Apalagi, bayangan Bulek Kiem juga ikut mengawasi, sehingga akhirnya aku bisa melewati semua godaan itu.

Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat, sehingga tibalah saat aku memasuki penghujung hari ke tujuh. Di mana aku harus siap untuk dikorbankan si Mbah sebagai tumbal. Setelah salat Magrib, tiba-tiba gawaiku berdering, ternyata Ibu yang menelphon.

Suara tangis Ibu terdengar jelas dari seberang telephon. Aku berusaha menenangkan ibu yang terus menangis. Ibu hanya mengatakan kalau dia sangat menyanyangiku dan bersedia melakukan apa saia. Namun, si Mbah melarang karena memang ini adalah waktuku.

Aku berusaha membesarkan hati Ibu, kalau apa yang dilakukan beliau sudah cukup untukku. Ibu tidak bisa menjadi tumbal, karena bukan keturunan langsung si Mbah. Ayah yang ternyata menjadi korban pesugihan si Mbah. Itu menurut keterangan Bulek Kiem kemarin.

Sampai gawai kututup, isak ibu masih terus terdengar. Aku hanya bisa menghela napas panjanng sambil tetap berusaha membaca istifhar dan mengulang-ulang terus bacaan Alfatihah dan ayat Kursi. Pun dengan ayat-ayat yang lain.

Menjelang tengah malam, saat semua orang sudah mulai terlelap, di depan rumah terdengar suara ringkikan kuda. Pintu rumah tiba-tiba terbuka, pria tanpa kepala itu kembali muncul di hadapanku. Ingin pingsan rasanya, tapi bayangan Bulek Kiem seakan memberi kekuatan untuk mencegahku melakukannya.

Pria itu lalu menunjuk ke arahku dan mencoba membuat aku seperti tertidur. Namun itu hanya dalam pandangannya saja, sebenarnya aku masih melek. Tidak terpengaruh sihirnya. Itu karena aku telah menyelesaikan persyaratan itu.

Tubuhku pun diangkat ke atas kuda dan di bawa melayang melewati rumah-rumah sampai ke ujung bukit. Di sana telah terlihat si Mbah bersama beberapa makhluk penghuni bukit larangan itu. Bentuk makhluk itu tidak ada yang sempurna. Rata-rata mereka tanpa kepala.

Sebuah altar terbuat dari batu berada di tengah-tengah kerumunan mereka. Kain berwarna merah telah disiapkan untuk menutupi tubuhku. Mereka seperti mendendangkan nyanyian yang ingin membiusku untuk segera tertidur.

Aku harus bersyukur, masih bisa meminta pertolongan Allah untuk melewati permasalahan ini. Dari beberapa cerita yang pernah kudengar, memang tidak mudah untuk melepaskan diri dari pengaruh makhluk-makhluk kegelapan ini.

Saat waktu telah menunjukkan jam dua belas malam, cuaca bertambah semakin dingin. Nyanyian mereka pun semakin beraroma mistis. Terkadang terdengar seperti orang orang menangis, di lain waktu seperti orang menjerit. Aku masih bisa sadar berkat puasa selama tujuh hari ini.

“Ini sudah saatnya ,Siem!” Sebuah suara tiba-tiba terdengar, membuat nyayian itu berhenti. Aku yang telah diletakkan di atas altar, ditutupi kain merah kemudian. Tapi, entah mengapa, tiba-tiba saja tubuhku bergerak. Sebuah suara menyuruhku untuk segera berlari dan tidak boleh menoleh sedikitpun.

Aku menutup mata sembari membaca ayat apa saja yang bisa kubaca, sambil berlari kencang meninggalkan bukit terlarang. Tidak kuperdulikan kakiku yang lecet, menginjak kerikil atau pun rumput-rumput liar di sepanjang perjalanan.

Aku terus saja berlari. Beberapa tangan kekar-mencengkeram pergelangan kaki, mencoba menghentikan lajuku. Namun, seperti ada kekuatan lain yang melepaskan cengkeraman tangan mereka. Kekuatan yang semakin memicu kemarahan makhluk-makhluk astral itu.

Jeritan kemarahan dan sumpah serapah pun kian terdengar jelas di telinga. Mereka menyumpah akan mengambil nyawa Mbah Siem sebagai pengganti diriku, juga akan memutus perjanjian yang telah terjalin selama ini. Serta akan mengambil seluruh harta benda yang telah diberikan karena pesugihan itu.

Air mata menetes begitu saja saat mendengar erangan kesakitan dari Mbah, membuat aku ingin segera menghentikan lari. Namun lagi-lagi bayangan Bulek Kiem seperti menutup indera pendengaran dan segera menggeret tubuhku untuk menjauh.

Sehingga akhirnya tiba di suatu tempat di mana bayangan Bulek Kiem menghentikan lariku dan menyuruh agar segera membuka mata .Betapa terkejutnya, ternyata aku berada dekat kuburan ayah, yang letaknya tidak jauh dari kuburan Mbak Kiem. Suara-suara makhluk tanpa kepala itu tidak terdengar lagi.

“Apakah aku sudah selamat, Bulek?” tanyaku dengan napas yang masih memburu. Aku bisa merasakan detak jantung begitu kencang.

“Iya,Siah. Kamu sudah selamat sekarang. Tugas Bulek sudah selesai. Terima kasih sudah mendoakan Bulek selama ini.”

Aku hanya mampu tersenyum lirih. Ada sebuah dilema yang mengganggu pikirankku.Bagaimana dengan nasib,Mbah? Aku benar-benar tidak tahu.

Bulek KIem juga tidak mau berbicara lagi tentang hal itu. Dia hanya tersenyum sebelum menghilang dari pandanganku.

Pagi telah menjelang, saat arwah Bulek Kiem sirna. Sinar surya juga mulai menerangi semesta. Aku mengusap nisan Ayah dan Bulek Kiem, menghadiahkan mereka surat Alatihah dan Yasin ,untuk melapangkan jalan mereka di alam sana.

Setelah itu, aku berjalan dengan lunglai menuju rumah. Di otakku kembali berkecamuk-ingin mengetahui keadaan si Mbah. Dan khabar yang kudapatkan setelah tiba di rumah,adalah keberadaan Mbah yang tidak tahu di mana. Semua harta peninggalan si Mbah, termasuk kebun kelapa dan kebun palawija, ludes terbakar. Termasuk rumah si Mbah.

Aku hanya bisa menatap puing-puing rumah Mbah Siem dengan nanar. Tetesan air mata kembali menggenang di pipi, sementara tetangga berulang kali memelukku, bersyukur akhirnya aku bisa lolos dari peristiwa mengerikan ini.

Sejak peristiwa itu, akhirnya aku meninggalkan kampung di mana selama ini aku dilahirkan dan dibesarkan. Di kediaman Ibu, sesekali aku masih melihat seorang penunggang tanpa kepala berkuda putih, berdiri di depan rumah. Dia hanya berdiri saja di sana, dengan suara isak sesekali terdengar dari arahnya. Suara yang mirip suara si Mbah.

Apakah itu memang Mbah yang harus menjadi penggantiku, menjadi salah satu penghuni bukit terlarang itu? Aku juga tidak tahu. Semua sudah terjadi, dan Mbah harus mempertanggung jawabkan perbuatannya karena telah bersekutu dengan iblis.


BACA JUGA : RUMAH NENEK

KISAH MISTERI BERDASARKAN KISAH NYATA
-------------------------------------------------------
~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
close