Sepenggal Kisah Teluh
Namaku Siti Endang Nurhaeni.
Kini usia ku menginjak 37 tahun. Lahir di Bawen, Semarang, Jawa Tengah.
Aku sudah bisa melihat makhluk halus sejak usia ku 5 tahun.
Bukan hanya di hutan atau di tempat angker saja aku melihat mereka. Dirumah, disekolah, bahkan di Mushola pun ada.
"Sitiii. . . Main yuuuk!" ajak Tina.
"Ibu. . Aku main dulu ya!" ucapku pada ibu.
Setelah berpamitan, aku pun keluar rumah dan langsung menggandeng tangan Tina, tanpa menunggu jawaban dari ibu.
Beberapa saat kemudian ibu ku datang.
"Sitii. . Pulang nak. . Tidur siang dulu!" panggil ibu.
Saat menyusul ku yang sedang asik bermain dilapangan.
"Yaaah ibuu. . Baru juga main sama Tina. Masa udah pulang lagi?" protesku.
Baru sepuluh menit yang lalu aku keluar dari rumah. Sekarang sudah di susul ibu, untuk segera pulang.
"Nduuk. . Besok besok, kalau Tina ngajakin kamu main lagi. . Kamu jangan mau ya nduk!" perintah ibu lembut, saat kami menuju pulang kerumah.
"Loohh kenapa bu? Tina kan temenku." ujarku bingung.
Ibu sempat terdiam beberapa saat, dan menghela nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan dari ku.
"Tina sudah meninggal 5 hari yang lalu. . Waktu kamu pergi sama bapak." jawab ibu, dengan raut wajah nya yang sedih.
Itu lah salah satu kejadian yang aku alami, saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Aku tidak tahu, kalau ternyata teman bermainku sudah berpulang kehadapan Sang Khaliq, saat aku menginap dirumah nenek.
Walaupun pada awal nya aku tidak terbiasa melihat mereka.
Seiring berjalan nya waktu, aku mulai menerima kehadiran mereka di sekitar ku. Namun aku tak pernah menganggap serius keberadaan mereka.
Selang beberapa tahun, saat usia ku 27 tahun.
Ibu jatuh sakit.
Segala macam pengobatan dilakukan demi kesembuhan ibu. Mulai dari perawatan Rumah Sakit, hingga pengobatan Alternatif pun di lakukan.
Namun, tidak ada perubahan sama sekali.
Selain itu juga, semakin banyak hal-hal aneh yang terjadi dirumah.
Pernah kejadian satu kali, seekor ayam mencakar-cakar gundukkan tanah dibelakang rumahku.
Di gundukan itu, aku menemukan paku, rambut, dan silet yang dibungkus dengan kain kafan.
Dilain waktu, aku menemukan bangkai burung cemani yang sudah membusuk.
Hampir setiap malam aku mendengar berbagai macam suara. Suara tertawa yang mengerikan, suara marah-marah, terkadang suara menangis yang menyayat hati.
"Ayaaahh. .cepat kemari! Lihat ibu yaah!" teriakku, memanggil ayah dengan paniknya, ketika kulihat ibu muntah-muntah mengeluarkan cacing.
"Astafirulllah. . Cepat panggil Mbah Kung nduk!" jawab ayah.
Beliau menyuruhku untuk memanggil kakek, ayah dari ibuku. Setelah melihat apa yang ibu keluarkan dari dalam perutnya.
Ibu sudah beberapa kali memuntahkan sesuatu yang tidak lazim dari dalam perutnya.
Belatung, kaki seribu, ulat, kalajengking, kelabang, lintah dan sekarang cacing.
Ku dengar dari orang sekitar, bahwa ibu terkena guna-guna ilmu hitam.
Saat tragedi itu terjadi, aku yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 6, hanya bisa menangis sambil berdoa dan menggendong adikku yang baru berusia satu tahun.
Begitu malang nasib adikku satu-satunya.
Tak mendapatkan ASI, pelukan hangat timangan ibu, juga belaian lembut dari nya. Dikarenakan elihat kondisi ibu yang tidak memungkinkan.
Sungguh kejam, orang yang telah melakukan hal ini pada ibu ku.
Sangat sakit ku rasakan, harus menghadapi hal pahit seperti itu.
Hari berlalu terasa sangat lambat dan juga terasa semakin menyesakkan.
Perlahan tapi pasti, aku melihat perubahan yang menyakitkan pada ibu.
Ibu yang dulu sintal, kini hanya tersisakan tulang berbalutkan kulit.
Senyum manis yang dulu selalu tersungging manghiasi wajah cantiknya, kini tak lagi ada.
Canda tawa dari ibu telah menghilang, yang ada hanyalah rintihan dan air mata yang kudengar disela-sela doanya.
****
"Assalamualaikum." ucap seseorang, dari balik pintu kamar ibu.
"Wa'allaikumsalam." jawabku, yang tengah membersihkan tubuh ibu.
Aku pun beranjak turun dari tempat tidur ibu, untuk menemui si pemberi salam.
"Maaf, kakek siapa ya? Mau mencari siapa?" tanyaku, pada seorang kakek berjubah putih dengan sorban dikepalanya.
"Kakek datang untuk menjemput ibu mu nak!" jawab kakek itu.
"Menjemput ibu? Mau bawa kemana kek?" tanyaku dengan polosnya.
"Bawa ibumu pergi. . Lihat nak! Kasiha ibumu selalu merasa kesakitan. Raga nya sudah tidak kuat lagi." jawabnya, sambil menunjuk ke arah ibu yang terbaring lemah di atas ranjang.
Diusapnya lembut kepala ibuku.
"Nduk. . Bangun! Mari kita pergi!" ucap kakek itu.
Seketika itu juga, ibu bangun dari tidurnya, yang tanpa menjawab dan menoleh padaku.
Ibu mengikuti langkah kakek, yang mengajaknya untuk pergi bersama.
"Ibuuu. . Siti ikuut! Ibuuu. . Ikuuut!!" rengekku.
Ibu terus berjalan tanpa menengok ke arah ku, yang tengah berusaha mengejarnya.
"Sitiii. . bangunnn nak!" ucap ayah membangunkan ku.
Saat tersadar, ku lihat sekeliling. Aku berada dikamar, bersama adikku yang masih terlelap.
Ternyata itu hanya mimpi, namun terasa nyata sekali.
"Siti kok disini yah?" tanyaku.
Karena sebelumnya, aku berada di kamar ibu dan melihatnya pergi bersama kakek tua.
"Tadi ayah yang pindahin kamu. . Kamu mimpi buruk apa toh nduk sampai teriak-teriak seperti itu?" tanya ayah.
"Gak tau pak. . Siti lupa." jawabku berbohong.
Aku tak berani untuk menceritakan apa yang terjadi dimimpiku pada ayah.
"Walaaah. . Kamu ini. . Ya sudah, tidur lagi sana!" suruh ayah, sembari membenarkan selimutku yang sudah setengah terjatuh dari ranjang.
Ku paksakan untuk memejamkan mata, yang sebenarnya sudah tak bisa kembali tidur.
Satu minggu telah berlalu.
Pada hari Kamis pon, tanggal 15 Ramadhan, ibu menghembuskan nafas terakhirnya.
Ditengah-tengah mereka yang sedang mengaji untuk ibu, aku hanya bisa menangis sembari memandangi wajah ibu.
Dan pada akhirnya aku jatuh pingsan.
Dalam pingsanku, aku melihat sesosok makhluk berbadan tinggi besar. Bulu-bulu kasar memenuhi seluruh tubuhnya.
Gigi taring nya sangat panjang, dan mulutnya menyeringai lebar.
Mata mahluk itu pun merah menyala. Sangat menyeramkan.
Mahluk itu ingin membawa pergi ibu, dia menarik-narik tubuh nya yang berusaha bertahan walaupun terlihat sia-sia.
Ditengah ketakutanku, kakek tua berjubah putih itu datang entah dari mana.
Dia memegang tangan ibu dan membaca sesuatu yang tak terdengar oleh ku.
Makhluk menyeramkan itu pun hilang menjadi asap hitam.
Kakek dan ibu melihat ke arah ku. Mereka tersenyum. Lalu menghilang bersamaan dengan cahaya putih yang menyilaukan mata.
Aku membuka mata setelah mencium bau menyengat dihidungku.
Nenek menyandarkan aku dalam rangkulan bahunya yang sudah renta, disamping ibu yang sudah terbujur kaku.
Semakin kupandangi wajah ibu, semakin membuat ku tersadar. Tak akan aku dengar lagi canda tawa ibu. Takkan ada lagi pelukan hangatnya. Aku dan adikku, kini tak dapat lagi bertemu dengan nya.
=============================
Demikianlah sepenggal kisah perjalanan dari Mbak Siti. Semoga beliau senantiasa dilindungi.
Masih banyak yang terjadi pada beliau.. Namun kisah perjalanan beliau akan saya tuliskan pada cerita yang lainnya.
Terimakasih untuk Mbak Siti.. Terimakasih untuk para pembaca..
Narsum : Siti Endang Nurhaeni
BACA JUGA : Jejak Misteri Sumur Tua
KISAH MISTERI BERDASARKAN KISAH NYATA
-------------------------------------------------------
~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~