Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BERBURU WEWE GOMBEL


***Berburu Wewe Gombel***
JEJAKMISTERI - Suara benda jatuh mengejutkan kami. Benda itu berasal dari arah belakang, yang sepertinya dari arah dapur. Aku dan Rudi menghampiri sumber suara, Ahmad dan Yogi tidak menghentikan lantunan ayatnya. Benar saja, panci kecil, beberapa sendok makan sudah tergeletak di lantai.

“Rumah ini banyak tikus ternyata ya,” Rudi berdecak kesal dan berusaha menjernihkan pikiran nya dengan hal yang lebih logis.

Aku tertawa kecil, “Yakin, ada tikus sebesar balita?” bukan untuk menakut-nakuti Rudi, aku memang melihat ada sekelebat bayangan seperti anak kecil yang melintas dan kabur sesaat kami aku dan Rudi masuk ke dapur.

“Oh yaudah berarti bukan tikus ya yang jatohin tadi, tapi setan untung aku selow orangnya,” Rudi membalikkan tubuhnya dan berusaha sesantai mungkin, padahal aku tahu percis, keringat di dahi nya sudah sebesar biji jagung.

“Ada apa disini, Giya?” tiba-tiba saja Yogi sudah di belakang kami. “Penampakan anak kecil, hanya bayangan tipis saja, tidak berbahaya.”

“Tapi harus tetap di usir. Ini Giya, tolong percikkan air ini ke sekitar dapur sambil bacakan ayat seperti biasanya. Rudi, bantu aku untuk membatasi sekitaran dapur dengan garam hitam ini,” Yogi memberikan air putih dengan mulut botol semprot berukuran sedang dan aku menjalankan sesuai instruksinya.

Kami semua bekerja sama dengan sangat baik, disini kami meminimalisir gangguan-gangguan ghaib yang hadir sekecil apapun itu, di ruangan tengah suara lantang Ahmad yang sedang mengaji dapat menenangkan kami semua.

“Semakin malam, mahluk apapun akan banyak hadir di sini untuk mengganggu prosesnya. Dan kalau kita beruntung, wewe gombel yang dimaksud oleh Pak Buana juga akan menampakkan dirinya. Persiapkan dirinya, terutama Giya, kalau lelah atau merasa pusing tolong kasih tau aku,” Yogi menjelaskan dengan telapak tangan yang menghitam karena garam – yang katanya, garam itu didapatkan dari Guru Besar Ahmad dan Yogi di pesantren, berfungsi untuk mengusir energi jahat.

“Yog, aku laper. Masak mie dulu gimana? Ngusir setan kayaknya gak baik kalo perut keroncongan. Kita terakhir makan siang tadi lho pas sampe,” Rudi sekarang menggeratak lemari kecil yang depannya tadi habis ia batasi dengan garam, dan menemukan beberapa bungkus mie instan.

“Ide bagus Rud, aku yang masakin ya. Kalian lanjutin aja dulu,” aku meletakkan botol air tadi di dekat lemari piring. Kemudian mencuci panci kecil yang terjatuh tadi, mengisinya dengan air mentah, dan menyalakan kompor.

Tepat pukul 11 malam, udara semakin dingin. Tidak ada penerangan apapun lagi kecuali lilin kecil di depan kami masing-masing. Perut yang tadi sudah terisi lumayan memberikan kami sedikit energi lebih untuk melanjutkan ritual pengusiran.

Kali ini kami berempat sudah terpencar, kecuali aku dan Rudi. Ahmad dan Yogi sudah melanjutkan pembacaan ayat pengusir jin di masing-masing ruangan; Ahmad masih bertahan di ruang tengah, Yogi di kamar Pak Buana dan istrinya, aku dan Rudi di perbatasan menuju ruangan belakang dekat dengan dapur dan kamar mandi.

Kami semua diserang oleh keheningan, tidak ada yang bersuara dan terdengar kecuali lantunan ayat khusus pengusiran jin.

Aku memang tidak hafal dengan ayat-ayat yang dibaca oleh mereka, begitu juga dengan Rudi, tapi aku salut dengan kegigihannya yang berusaha berkonsentrasi meskipun dengan rasa takut yang terasa jelas dan terus berkomat-kamit membaca buku catatan kecilnya sambil membaca ayat tersebut berulang-ulang. Aku memejamkan mata, dan mengerjapkannya berkali-kali.

***Investigasi Dimulai***
“Yaudah, aku ambil wudhu duluan kalo gitu,” Aku berdiri dari situ dan melangkahkan kaki ke ruang belakang, kamar mandi yang tadi sudah ditunjukkan oleh Pak Buana.

Rumah ini sebenarnya lumayan luas untuk keluarga kecil yang hanya tinggal berdua saja, namun beberapa benda yang diletakkan sembarang membuat rumah ini terlihat sempit dan lumayan sesak.

Aku melewati sebuah ruangan seperti gudang kecil dengan kalender tua yang tertempel di pintunya yang tertutup dan ada gembok kecil yang berkarat di sana, yang menandakan ruangan itu tidak boleh dimasuki.

Namun entah kenapa aku merasa ada sesuatu di dalam sana yang membuatku harus masuk ke sana. Memang dasar rasa keingintahuanku yang tinggi ini tidak dapat terbendung, aku memegang kenop pintunya dan mencoba merasakan sesuatu. Tidak terasa apapun, selain rasa dingin yang kini menjalar hingga pergelangan tanganku.

Aku segera melepas tanganku dari sana, dan makin merasakan keanehan yang aku tidak tahu apa itu. Aku menoleh ke arah kiri, ke tempat dimana Ahmad Yogi dan Rudi sedang berbincang pelan, memastikan mereka tidak akan melihat apa yang aku akan lakukan selanjutnya. aku menarik nafasku panjang, membuangnya, kemudian menempelkan telinga ku secara perlahan ke daun pintu nya yang berwarna krem dan noda-noda hitam di sekujurnya.

Tidak ada yang terdengar. Baiklah, sepertinya aku harus lebih berkonsentrasi. Aku memejamkan mataku dan membiarkan intuisiku bermain, selama sekitar beberapa menit, aku menyerah. Tidak ada apapun di sana.

Mungkin hanya perasaanku saja yang berlebihan akibat rasa gugup untuk menghadapi malam ini. Aku menarik badanku dan kembali melanjutkan langkahku ke pintu kamar mandi ketika kemudian ada suara hembusan nafas perempuan terdengar lirih hingga membuat bulu kudukku berdiri. Batinku tepat sekali, memang ada sesuatu di sana, di rumah ini.

Suara itu menghilang dalam beberapa detik dan saat ini hanya adzan sudah mulai berkumandang dari kejauhan. “Lah, Giya? Belom wudhu daritadi?” Rudi tiba-tiba datang, mengernyitkan dahinya dan memandangku aneh melihatku berdiri tegak di depan pintu kamar mandi dengan wajah tegang. “Eh, iya, Rud. Ini mau wudhu.” Aku bergegas masuk ke kamar mandi dan berwudhu, meninggalkan Rudi dengan raut kebingungan. Aku tahu dia pasti mengerti ada sesuatu yang sedang aku rasakan saat ini.

Namun kami sama-sama tahu bahwa belum waktunya untuk membahasnya, kami harus melaksanakan solat agar kami sama-sama tenang dan sama-sama kuat. Setelah selesai solat Magrirb dan Isya, kami sibuk dengan lantunan ayat suci Al-Qur’an yang menggema di dalam rumah ini. Dengan cahaya lampu yang seminimal mungkin, kami terus menerus membaca salah satu surah Qur’an dengan lantang. Hingga saat pukul 09.00 malam, keanehan demi keanehan terus terjadi. Kami saling menatap dan dalam hati berkata apapun yang terjadi di rumah ini, tidak ada pilihan lain selain menghadapinya.

Tujuan kami baik, ingin menolong sesama manusia oleh karena itu kami yakin kalau Tuhan akan menjaga kami dari makhluk jahat yang mungkin sedang mengincar kami. Perlahan aura rumah ini mulai berubah jadi lebih muram, aku bisa merasakan ada kekuatan magis yang mulai merundungi. Sepertinya mereka tak senang dengan kehadiran kami, dan ingin kami keluar. Tapi tak satu pun dari kami gentar dan mengangkatkan kaki dari rumah ini. Aku membatin dalam hati, kalau cuma gangguan begini tidak ada pengaruhnya.

***Hamil Anggur***
Aku yang tadinya sibuk mengunyah, jadi kehilangan sedikit selera makan. Aku merasakan betul pendar aura kesedihan dari Pak Buana dan istrinya.

“Dan yang satunya lagi, hilang secara gaib. Pada umur kehamilan istri saya yang beranjak ke 8 bulan, tiba-tiba pagi hari kami dikejutkan dengan perut istri saya yang sudah mengempis. Ketika kami cek ke dokter kandungan, ternyata sudah tidak ada apa-apa lagi di sana – seperti selama ini memang tidak ada nyawa di dalamnya,” terang Pak Buana yang membuatku terhentak kaget.

Begitu pula ketika aku melihat ekspresi Ahmad, Yogi dan Rudi. “hamil anggur, Pak?” tanya Rudi agak ragu. Nada bicaranya benar-benar rendah sehingga hampir tidak terdengar.

“Kata dokter seperti itu. Tapi, mereka pun tidak dapat menjelaskan secara detailnya karena umur kandungan yang sudah tua dan hanya menunggu waktu. Pada umur kandungan yang kelima bulan, kami sempat melakukan cek USG dan dokter mengatakan bahwa jenis kelamin nya laki-laki,” kali ini sang istri yang bersuara.

Ia sedikit terisak namun tetap berusaha terlihat tegar. Ada keheningan yang cukup lama di sini. Yogi membuka suara.

“Mohon maaf sebelumnya. Sejauh yang saya ketahui, kemungkinan ini ulah jin suruhan dukun untuk mencuri janin dalam rahim Ibu. Ada seseorang yang menyuruhnya dan meminta kepada dukun tersebut untuk memiliki anak dengan cara yang sesat. Atau, mungkin memang sengaja dikirimkan seseorang untuk mengusik kebahagiaan rumah tangga bapak dan ibu,” kata Yogi.

“Kalau boleh tahu, saya baca pesan bapak kemarin kalau bapak dulunya mantan dukun ya?” tanya Rudi secara tiba-tiba dengan pertanyaan yang sebenarnya tidak sopan. Namun, memang itulah dari tadi yang aku pikirkan.

“Iya, betul. Dulu sebelum menikah saya sempat berguru dan mempelajari ilmu pengasihan. Saya bukan dukun santet," jawab Pak Buana.

Pak Buana juga menjelaskan bahwa pasien-pasien yang ditanganinya hanya sekitaran tentang bagaimana cara memikat lawan jenis, meramaikan toko atau bisnis, dan melancarkan rezeki serta jodoh. Namun, setelah ia bertemu dengan perempuan yang kini jadi istrinya, langsung bertaubat dan berjanji tidak lagi membuka praktik.

Selama Pak Buana menjelaskan kisahnya, mata justru tertuju ke ruang belakang. Ruangan tersebut diterangi oleh lampu yang sedikit temaram.

Tidak terlihat yang aneh di sana. Namun, entah kenapa seperti ada energi jahat yang kuat di sana hingga menarik pandanganku.

“Lalu, bisa jelaskan yang ari-ari bayi nya, Pak?” Ahmad bertanya seraya menaruh piring dengan sangat hati-hati di ujung tembok. Ia tetap memerhatikan Pak Buana tanpa memalingkan pandangannya.

“Saya memang tidak melihat mahluk itu secara langsung dengan mata kepala. Namun, ia masuk ke dalam mimpi saya selama 2 hari. Selang beberapa hari, kami kehilangan bayi mungil.

Pak Buana mengaku tidak melihat sosok nya dengan jelas. Namun, ia menjelaskan bahwa wajah sosok tersebut ditutupi rambut kusut seperti semak belukar. Ia memiliki dada yang panjang-besar hingga menjuntai hampir menyentuh kaki.

Saat itu Pak Buana sedang berbaring. Ia merasa seperti tidak bisa menggerakkan tubuh sama sekali. Sosok itu melayang di langit-langit atap dan memperhatikannya selama beberapa menit.

Sosok itu kemudian bergerak keluar pintu depan. Ia melayang mengitari di atas ari-ari bayi yang dikubur dan diberi sedikit pencahayaan kecil. Sampai akhirnya Pak Buana pun terbangun.

Rudi tampak menggeser tubuhnya ke Yogi. Ia seperti bergidik karena duduk tepat membelakangi pintu masuk rumah ini.

Istri Pak Buana yang sebelumnya hanya diam pun turut bicara. Ia mengaku pernah melihat ular hitam seperti kobra, saat usia kandungannya masih tiga bulan. Ular itu selama dua minggu terus hadir di depan pintu masuk. Padahal setiap hari selalu istri Pak Buana menaburkan garam.

"Namun, ular itu tidak pernah masuk. Hanya berdiri mematung seperti hendak mematuk saya,” ujar istri Pak Buana. Jemarinya yang kokoh mencengkeram gagang teko berisi teh panas, lalu menuangkan isinya ke gelas kami secara bergantian.

***Gangguan Mistis***
“Diminum dulu ya biar gak seret,kalau sudah selesai, kalian gentian jelaskan kepada kami, bantuan apa yang bisa kalian berikan dan apa saja yang harus dilakukan.”

“Bu, maaf kalau lancang, saya boleh pegang perut ibu?” entah mengapa terbersit dipikiran ku ingin sekali memegang perutnya, mungkin ada sedikit petunjuk di sana.

Si Ibu dengan sedikit kaku mencondongkan tubuhnya ke arahku, dan membiarkan aku memegang sedikit perutnya. aku menempelkan telapak tanganku ke perutnya yang terasa hangat dan segera melepasnya.

“Ibu, hamil lagi?” aku merasakan lemas di sekujur tubuh. Ia menunduk sedih sambil mengusap perutnya. “Baru berusia 1 bulan, saya tidak ingin kehilangan lagi yang satu ini. Bertahun-tahun kami berharap memiliki momongan. Tolong kami, nak.” Dan si Ibu membenamkan wajahnya ke lengan gempal Pak Buana.

“Gangguan mistis sudah mulai menghantui kami kembali, seolah-olah mereka tahu bahwa istri saya sedang mengandung lagi, terkadang hadir di atas jam 9 malam, atau jam 2 dini hari. Beberapa hari lalu istri saya seperti kesurupan – tertawa sendiri atau menangis sambil menunjuk ke arah halaman depan.

Namun ia tidak pernah menyadari hal tersebut, ia seperti di bawah pengaruh sesuatu yang jahat. Saya tidak ingin terjadi apapun lagi dengan istri saya, atau calon anak kami,” Pak Buana yang tadinya terlihat tegar dengan senyum yang selalu tersungging di wajahnya, terlihat lunglai dengan mata yang berkaca-kaca, menahan air mata yang sebentar lagi jatuh ke pipinya. Aku tidak bisa membendung aura kesedihan yang ada di ruangan ini. Semua terdiam dan saling bertatapan satu sama lain.

“Kami berusaha semampu kami, Pak, Bu.” suara Ahmad sedikit serak, namun makin terdengar lebih nyaring, “namun percayalah, bukan kami yang akan membantu Bapak dan Ibu. Tapi kuasa Tuhan. Tidak akan sesuatu yang terjadi jika bukan karena ridha-Nya. Jadi gantungkanlah harapan kepada Nya, sementara kami akan berikhtiar untuk Bapak dan Ibu. Bantu kami dengan doa. malam ini kami akan melaksanakan tugas kami.”

Aku tahu, ini akan jadi malam yang sangat panjang dan melelahkan. Namun tidak pernah aku sebergairah ini, karena tujuannya; membantu suami istri yang sangat merindukan keturunan, dan sedang di kelilingi oleh energi jahat di sekitarnya.

“Benar kalian gak apa-apa ditinggal?” mungkin itu sudah pertanyaan yang lebih dari tiga kali keluar dari mulut Pak Buana. “Gak apa-apa pak, santai aja, insya Allah besok saat Pak Buana dan Ibu sudah dirumah, semua sudah aman ya.” Ahmad membalas dengan senyumnya, berusaha terlihat tenang. “Ya sudah kalau begitu, saya pamit ya. Assalamualaikum..” Pak Buana pun melenggang keluar pintu dan menaiki motornya yang sudah terlihat ringkih ketika suami istri itu menaikinya.

Entah kenapa Pak Buana lebih memilih untuk bermalam di tempat saudaranya yang terletak di desa lain yang berjarak sekitar satu jam dari sini. Katanya, istrinya takut terjadi sesuatu nanti malam saat kita melakukan pengusiran.

“Jadi kita mulai darimana?” Rudi bertanya. “Kita solat magrib berjamaah tepat di ruang tengah rumah ini, dan kita ngaji bersama baca Al Baqarah sampai waktu isya tiba.

Lebih baik ambil wudhu aja dulu sekarang, paling 10 menitan lagi adzan,” Yogi menjawab dengan percaya diri, dan hanya dengan mendengar nada bicara Yogi, membuat rasa takutku sedikit luntur.

Sepertinya aku harus belajar lagi untuk bisa punya keberanian seperti dia.

***Mani Gajah***
Aku masih terduduk lemas. Rudi dengan sigap memberikan segelas air putih untukku, dan meneguknya dengan pelan. “Aku gak bisa lihat mahluknya dengan jelas, Gi. Tapi tadi aku benar-benar merasakan ada sesuatu disana,” Ahmad menghampiriku, sambil menyalakan lampu tengah.

Kali ini suasananya jadi lebih terang, namun tidak lebih baik, karena kita semua saat ini masih terduduk tepat di depan ruangan misterius yang pintunya masih belum terbuka. “Aku juga tidak melihat apapun sama sekali saat melemparkan garam hitam itu ke depan pintu, namun aku memang melihat bayangan tipis sekelebatan disana. Aku langsung refleks aja ke depan pas Giya nunjuk arah pintu. Emang apa Gi, yang kamu lihat?”

Kali ini Yogi menatap ke arahku dengan seksama. Aku tidak langsung menjawab. Ada hening beberapa saat sampai pada akhirnya Rudi membuka suara.

“Mungkin Giya belum sanggup ngomong, Rud. Bukan aku gak sopan memutus obrolan kalian, tapi ini sepertinya penting. Aku menemukan ini di dekat galon air minum.” Rudi menunjukan botol kaca kecil yang berisi sesuatu yang mengkristal bening putih, seperti cairan yang mengeras.

“Mani gajah. Benda pengasihan. Ngapain ada barang begitu di sini? sini biar aku yang simpen.” Yogi mengambil botol kecil itu dari tangan Rudi, dan mengantungi nya ke dalam kantung celananya. “Apa kolong wewe itu gak akan hadir lagi ke sini?” aku membuka suara.

“Atas izin Allah, enggak akan dia balik lagi ke sini,” Ahmad menjawab.

“Dia menyeramkan banget, apa mungkin mahluk seperti itu bisa membunuh manusia kecil yang gak berdosa?” Aku tidak bisa menahan air mata, aku terlalu lemah untuk membayangkan hal-hal jahat yang terjadi di keluarga Pak Buana, hanya karena kehadiran mahluk astral.

“Gak akan bisa, kalau gak ada yang ‘nyuruh’. Jin gak akan bisa membunuh manusia jika mereka tidak punya perjanjian dengan manusia. Makanya ada hal yang namanya sihir. Teluh atau santet. Semua itu bisa terjadi karena adanya perjanjian antara manusia dan iblis. Tapi rumah ini insya Allah sudah di netralisir dan dipagari.” Ahmad, Yogi dan Rudi berusaha menenangkanku.

“Gini aja, ini udah jam setengah 3 malam. Untuk masalah kamar terkunci ini, kita minta Pak Buana saja sendiri yang membukanya. Yang penting, kita sudah menyelesaikan tugas kita malam ini. Aku, Ahmad dan Rudi sepertinya akan lanjut mengaji sampai adzan subuh. Untuk memastikan rumah ini benar-benar sudah bersih dari energi jahat.

Giya, kamu tidur dulu aja ya di ruang tengah, ambil bantal dan selimut di kamar Pak Buana,” Aku mengangguk pelan menuruti perkataan Yogi dan berusaha berdiri mengangkat kaki. Aura di rumah ini sudah lumayan berbeda dari yang sebelumnya, meskipun masih terasa ada yang mengganjal.

“Ini ruangan tempat saya menaruh koleksi barang-barang antik, beberapa cindera mata yang saya dapatkan dari berbagai daerah, dan beberapa nya lagi kenang-kenangan dari guru saya dulu,” Pak Buana membuka pintu kamar yang sedari malam kami paksa untuk buka, dengan mudah.

Ruangan itu sempit, mungkin hanya cukup 2 orang dewasa yang masuk ke sana. Di dindingnya di tempeli berbagai lukisan menyeramkan; lukisan perempuan tua menggunakan konde dengan tatapan yang menggangguku, beberapa hiasan aneh dengan tulisan arab gundul, dan keris-keris menggantung di setiap sudutnya.
Ruangan itu rapih sekali dengan semua barang yang tertata sedemikian rupa dan wangi bunga nya yang semerbak – seperti tidak ada yang terjadi dan terjatuh disana tadi malam. “Sebaiknya barang-barang ini kami buang, Pak.”

***Kekuatan Jahat Menghantui***
Coba kita lihat besok deh,” Yogi menjawab seadanya sambil menggaruk tengkuknya yang sepertinya tidak gatal.

Kami melanjutkan obrolan-obrolan ringan untuk mencairkan suasana. Tak lama berselang, kami pun bersiap melakukan perjalanan.

Cukup melelahkan. Bokongku terasa panas dan keram karena jok motor Yogi yang terasa keras seperti batu bata. Ditambah lagi dengan kondisi jalan pedesaan yang berbatu.

Di depan motor kami, Ahmad dan Rudi memimpin dengan lincah. Sepanjang perjalanan, kami disambut oleh pemandangan persawahan yang asri, lengkap dengan sungai. Aliran airnya menerpa bebatuan besar.

Itu pemandangan yang lumayan menyejukkan mata. Namun, rasa nyeri di bokongku memang mengganggu. Beberapa kali kami berhenti dan beristirahat.

Kami sempat tersesat beberapa kali dan bertanya dengan penduduk sekitar terkait alamat yang diberikan Pak Buana. Namun, kami pun akhirnya sampai juga. Benar saja, rumahnya berada di ujung gang sempit. Kanan-kirinya terdapat pepohonan pinus dan semak-semak tinggi.

Rumah itu tidak terlalu besar. Namun, halaman depannya sepertinya cukup menampung beberapa motor dan mobil besar. Temboknya yang bercat putih telah kusam. Beberapa bagian sisinya masih menggunakan anyaman bambu.

Di depan daun pintu sudah berdiri seorang pria paruh baya. Ia berbadan sedikit gempal. Aku taksir usianya sekitar 40-an tahun. Ia menggunakan udeng bermotif coklat di kepalanya. Namun, kerutan halus yang sudah tampak bergurat di keningnya tetap terlihat.

Adalah Pak Buana. Ia mengenakan kaus putih lusuh bertuliskan nama partai. Ia lalu melemparkan senyum hangat ke kami.

“Akhirnya datang juga. Mari masuk ke gubuk saya. Kita makan bersama dulu. Gimana perjalanan kesini?” sapanya, ramah sambil menyalami kami satu per satu.
Kami membuka sepatu dan jaket yang kami kenakan lalu masuk. Di ruangan depan yang lantainya yang bersemen hanya dialasi tikar bambu lipat. Tikar tersebut tidak menutupi semua bagian lantai. Di atasnya sudah dihidangkan beberapa makanan sederhana yang ditutupi dengan tudung saji kecil.

Dari sela-sela tudung saji itu, terlihat samar-samar tempe goreng, sayur kangkung, sambal, dan kerupuk udang. Ada juga kendi dan beberapa gelas di sana. Efek perjalanan panjang benar-benar membuatku tidak sabar untuk melahapnya.

“Ayo diminum dulu, terus langsung makan. Pasti kalian capek banget kan?," katanya kepada kami.

Pak Buana kemudian berteriak, mengabarkan kepada istrinya yang belum terlihat bahwa kami telah tiba di rumahnya.

"Mah, anak-anak eksmis sudah datang nih. Tolong siapin piringnya dulu ya,” teriak Pak Buana.

Nampaknya, ia sangat bersemangat menyambut kami. Hal tersebut membuatku sedikit tidak enak hati mengingat duka yang pernah terjadi di keluarga ini.

Istrinya keluar dari dapur sambil membawa sepiring ikan goreng tambahan untuk kita nikmati. Ia menggunakan kerudung berwarna biru muda menyala. Itu cukup kontras dengan wajahnya yang terlihat lemas dan pucat. Kantung matanya terlihat berat, namun masih berusaha menyuguhkan kami dengan senyum terbaiknya.

Kami berbincang-bincang sambil melahap makanan yang disajikan Pak Buana dan istrinya. Terlihat dengan jelas Pak Buana sudah tidak sabar dengan hal yang akan kami lakukan.

“Jujur saja saya kaget melihat kalian ternyata masih sangat muda-muda. Paling tua umur berapa?” tanya Pak Buana.

Aku, Ahmad, dan Rudi pun kompak menunjuk ke Yogi. Hal itu membuatnya berhenti mengunyah makanan yang penuh di mulutnya.

“Saya, Pak. Umur 29 tahun,” jawab Yoga.

“Hoalah... jadi yang lain juga masih 20-an?” tanya Pak Buana. Kami pun mengangguk serentak.

Bukan sebuah hal baru ketika kami dihadapkan dengan orang yang tidak percaya bahwa kami masih muda dalam menjalankan hal-hal mistis seperti ini. Salah satunya Pak Buana ini. Ia lalu membuang napas dalam dan memulai pembicaraan yang serius.

“Baiklah. Jadi, begini. Seperti yang sudah saya jelaskan, saya tidak kuat menampung kekuatan jahat yang menyerang keluarga saya, termasuk istri saya. Dua kali kami kehilangan buah hati kami yang masih merah," ungkap Pak Buana sembari melirik ke arah istrinya.

Lanjutnya, "Yang satunya sudah lahir, bayi perempuan cantik dengan wajah mirip mamahnya. Namun, pada usianya yang baru dua minggu lebih tiga hari, ia...,” Pak Buana menghentikan penjelasannya. Ia berusaha menegarkan dirinya.

***Bayi yang Membiru***
Aku menyeruput bibir cangkir berisi kopi hangat. Aroma kopi robusta semerbak begitu nikmat. Setelah kuseruput, aku meletakan cangkir itu ke meja dengan hati-hati.

Inilah salah satu caraku untuk sedikit menenangkan rasa kalut yang baru beberapa menit ini bertengger di otakku. Pada pagi akhir pekan ini aku berdiskusi dengan dua orang dari team Ekspedisi Mistis (Eksmis), Ahmad dan Yogi.

“Kita bakal berangkat besok sore dari Cibubur dan akan pakai jalur alternatif untuk menuju ke arah rumah Pak Buana," kataku memulai diskusi.

Perjalanan itu diperkirakan kurang-lebih akan memakan waktu 3-5 jam. Aku bakal menyiapkan beberapa alat untuk mengusir serangan-serangan jin yang akan kita hadapi nanti. Dan, aku menyarankan agar sebaiknya harus menghafal beberapa doa yang kita sudah sering amalkan beberapa tahun terakhir ini.

Yogi manggut-manggut sambil menghisap sebatang rokok yang sudah kesekian kalinya. Ia membuang asapnya sembarangan. Dan, bagiku itu sangat menyebalkan.

“Berarti malam ini kita harus adain pengajian dan zikiran bareng di pondok ya, Mad?” tanya Yogi, disusul dengan anggukan pelan Ahmad.

“Giya lebih baik ngaji di rumah aja ya. Minimal kita harus isi dulu ‘power’ dan ‘defense’ kita dari doa-doa ini,” ujar Ahmad memberi saran.

“Tapi apa kalian yakin, kita sanggup?” timpalku dengan suara yang terdengar parau karena merasa yakin.

Memang kita sering melakukan penjelajahan ke lokasi-lokasi yang dianggap angker di masyarakat. Beberapa kali juga kita sering mendapat panggilan untuk melakukan Ruqyah (pembersihan diri dari Jin), membersihkan rumah/gedung berhantu yang tentu saja dilakukan juga bersama Ahmad dan Yogi.

Pernah juga waktu itu kami melakukan perjalanan ke pedalaman Subang hanya untuk membuang banyak susuk dari wajah seorang wanita tua. Tidak diragukan lagi, mereka berdua memang jebolan pesantren ternama di tanah Sunda. Tentu saja mereka sudah terbiasa melakukan hal-hal tersebut.

Tapi aku? Aku tidak memiliki kemampuan seperti yang dimiliki mereka. Bahkan untuk beberapa jenis doa saja aku masih dalam proses penghafalan. Lumayan sulit menghafal beberapa ayat panjang yang lebih dari 10 ayat panjang.

Namun, mereka sering mengajakku dalam ekspedisinya. Menurut mereka aku memiliki kemampuan daya sentuh yang kuat dan langka, seperti merasakan gaung-gaung sisa energi yang tertinggal di masa lalu hanya dengan sekali sentuhan.

Kali ini kami memiliki ekspedisi yang belum pernah kami lakukan sebelumnya. Kami akan membersihkan sebuah rumah ‘mantan paranormal’ yang bernama Pak Buana. Katanya rumah tersebut dihuni oleh jin berbentuk kolong wewe raksasa. Dan, katanya juga wewe tersebut berhasil membuat dua bayi yang baru dilahirkan oleh istri Pak Buana meninggal dalam kondisi membiru. Padahal bayi tersebut baru berumur hanya hitungan minggu.

Sebenarnya dokter sudah memberikan beberapa analisa ilmiahnya. Namun, Pak Buana bersikeras bahwa yang mengganggunya adalah sesosok mahluk halus yang berhasil menemukan dan memakan ari-ari bayinya pada suatu malam. Membayangkannya saja sudah membuatku bergidik.

“Yakin dong! Hey jangan lupa, tidak ada kekuatan yang lebih hebat daripada kekuatan Tuhan Yang Maha Esa,” jawaban Ahmad mengusir semua keraguanku.
Aku sedikit lebih berani kali ini. Kita lihat, apakah keberanian ini masih akan terus bertahan hingga esok hari atau tidak.

“Tapi, masalahnya kalian enggak merasa ada yang ganjil? Pak Buana ini mantan paranormal lho. Seharusnya dia bisa aja mengatasi masalahnya sendiri. Iya gak sih?” kataku. Kali ini suaraku terdengar lebih lantang.

“Nah, itu juga yang sebenernya aku bingung. Dia cuma bilang sudah berhenti dan bertaubat dari praktik perdukunan setelah menikah," timpal Ahmad.

***Sosok Jahat di balik Pintu***
Yang terlihat hanya suasana hitam pekat rumah itu dengan sedikit pencahayaan lilin kecil di depan kami. Ketika aku menajamkan pendengaranku, aku mendengar lagi hembusan nafas wanita itu. Embusan yang sama saat seperti saat magrib tadi aku mau berwudhu.

Aku membuka mataku, dan melihat sesuatu yang berkelebat berdiri tepat di depan pintu gudang yang tadi aku ingin masuki. “Rud, ada sesuatu di dalam kamar itu,” aku berbisik pelan kepada Rudi dan menunjuk ke arah pintu yang ku maksud. “Serius Giya? Apa yang kamu lihat?” Rudi menjawab dengan bisikan yang tidak kalah pelannya.

BRAK BRAK BRAAAKKKKKK!!!!!!!

“Astagfirullah apaan itu?”

Sontak saja aku dan Rudi berdiri dan segera berlari menghampiri suara riuh dari barang – banyak barang yang terjatuh di dalam ruangan itu, yang tidak terlalu jauh dari tempat kami duduk, disusul oleh Ahmad dan Yogi dari belakang.

Dalam kegelapan, kami semua saling memandangi pintu itu, dan Yogi memegang kenop pintu itu terlebih dahulu, padahal yang sampai duluan kedepan pintu adalah aku dan Rudi, kami berdua belum ada keberanian sebesar itu untuk menyentuh pintu ini. “Pintu ini dikunci dan digembok. Gimana kita bisa buka nya?” Yogi mengguncang-guncangkan gembok kecil berkarat itu, berharap bisa rapuh dan terbuka.

“Sesuatu yang dikunci jangan dibuka. Pasti ada alasan kenapa pintu ini di kunci, Yog. Sebaiknya ini jangan dibuka, fokus kita hanya membersihkan rumah ini dari gangguan jin kafir. Jadi ini udah di luar ranah ki..”

BRAKKK… GBRAKKKK

Ahmad belum selesai berbicara namun ‘sesuatu’ di dalam ruangan ini mulai ‘mengamuk’ kembali. Ahmad membacakan ayat-ayat pengusir jin dan suara-suara itu makin riuh, dan kemudian hening.

“Gak bisa Mad, pintu ini harus di buka. Siapa tau semua sumber gangguan letaknya sebenarnya ada di dalam sini,” Ahmad bersikeras membuka pintu itu. “Rudi, bantu aku mendobrak pintu ini,” Aku berdiri terpatung. Ahmad Yogi dan Rudi masih sibuk membuka pintu ruangan aneh ini dengan paksaan dan dobrakan. Namun, saat ini ada sesuatu di luar, tepat di depan pintu rumah.

Badannya lebih besar dari ukuran pintu dan jendela yang berdempetan, kehadirannya menutupi cahaya bulan yang tadi masuk melalui lubang pintu dan jendela yang dibiarkan terbuka sedikit oleh Ahmad. Ia tidak masuk, sesuatu menghalanginya. Garam hitam yang ditaburkan di sekeliling depan rumah ini membuat mahluk-mahluk jahat tidak dapat masuk ke dalam selagi kita melakukan ritual pengusiran. Dan sepertinya, itu membuatnya murka.

Terlihat mata merahnya yang besar, rambut yang panjang dan berantakan seperti sapu ijuk yang sudah lama tidak dipakai, mahluk itu menggunakan kain transparan seperti kelambu tidur yang membiarkan dada panjangnya menjuntai hingga ke kakinya yang tidak menapak ke tanah.

Dadanya di penuhi dengan cairan kental berwarna merah tua seperti darah, mengalir dari sela-sela bibirnya. Ia menyeringai, menyadari kehadirannya di sadari oleh mataku, menyambut dengan gigi geliginya yang tajam, taring besar di kanan dan kirinya, berhasil membuat kaki ku lemas dan jatuh terduduk.

“Giya! Kenapa?” Rudi menopahku, aku tidak menjawab apapun namun menunjuk ke arah mahluk menyeramkan yang masih berdiri di sana.

Ahmad dan Yogi menghentikan pendobrakan pintu mereka. Mereka menghampiri arah mahluk tersebut, menyerangnya dengan ayat-ayat, melemparkan garam hitam dan melakukan beberapa gerakan tenaga dalam yang mereka kuasai selama ini. Mahluk itu seperti terbakar, aku bisa melihat kepulan asap di bayangan mahluk jelek tersebut saat ia bergeliat-geliat diserang oleh Ahmad dan Yogi, dan kemudian menghilang.

***Lepas dari Bayang-bayang Ilmu Hitam***

Pak Buana terbelalak-kaget mendengar ucapan Yogi. Ia kemudian tersenyum simpul.

“Tidak mungkin, Nak. Barang-barang ini berharga dan tidak bernilai,” kata Pak Buana.

Rudi pun memberikan sanggahan.

“Lebih berharga barang ini atau keselamatan jiwa istri dan calon anak Bapak? Bapak tau enggak, pas kita semalem ngaji, ruangan ini seolah ngamuk-ngamuk dan semua barang dilempar-lempar? Bisa bayangin enggak betapa berbahayanya benda-benda ini?” kata Rudi dengan tegas.

Ia terlihat sedikit emosi di sana. Senyum dari wajah Pak Buana menghilang.

“Jadi barang-barang ini masih sering Pak Buana mandikan dan minyaki?” tanya Yogi sambil memegang keris panjang dengan sarung kayu aneh berbentuk kepala ular.

“Tidak juga. Hanya kalau malam satu suro aja,” jawab Pak Buana yang terlihat ragu.

“Baik kalau Bapak tidak berminat untuk membuang barang-barang ini. Kami hanya menyarankan saja, lebih baik dibuang. Karena ini sama saja Bapak mengundang mahkluk-mahkluk jahat mudah masuk lagi ke dalam rumah dan keluarga Bapak. Apalagi bapak minyaki, kasih kopi, rokok. Ibarat kata, Bapak memberi makan dan ruang yang nyaman untuk mereka. Bagaimana mereka mau pergi kalau dipelihara dengan baik?”

Kali ini Ahmad berhasil membuat Pak Buana sedikit berpikir dan terdiam selama beberapa menit.

“Dan, ini benda yang kami temukan di dapur. Benda ini jangan sampai diletakan sembarang tempat. Benda pengasihan ini juga lebih baik jangan dipakai lagi lalu dibuang,” tutur Yogi mengeluarkan sesuatu dari kantung celana jeans-nya lalu memberikan kepada Pak Buana.

“Kami sudah berhasil melakukan ritual pengusiran malam ini. Seperti yang tadi saya katakan, insyaallah mahluk-mahluk jahat tertahan di luar halaman. Asal Ibu dan Bapak rajin membaca penggalan beberapa ayat Alquran yang tadi sudah saya tulis di kertas diamalkan setiap habis salat, pasti aman. Semua ini karena izin Allah. Dan, Ia lah sebaik-baik pelindung. Jadi, saran saya jangan lelah ya Bu untuk terus berdoa dan meminta kepada Allah,” jelas Ahmad memberikan penjelasan.

Kami semua akan pulang pagi hari. Kami berkumpul di halaman depan bersama Pak Buana dan istrinya.

Kami semua bersalam-salaman. Pak Buana dan istrinya tidak berhenti mengucapkan terima kasih atas bantuan kami dan berkali-kali meminta maaf tidak bisa membayar jasa kami. Selain itu, kami juga memang tidak pernah mematok biaya atau harga untuk membantu orang-orang dengan gangguan mistis.

“Anu.. eng.. sebelum kalian pulang. Bisa kasih tahu saya, ke mana saya harus membuang benda-benda klenik koleksi saya?” pertanyaan Pak Buana membuat senyum kami merekah, meskipun kami masih jauh lebih muda dari Pak Buana, tapi ia akhirnya bisa dengan bijak mendengarkan saran kami.

“Alhamdulillah, gampang, Pak. Bisa dibuang di sungai dengan baca beberapa ayat pendek sambil melemparkannya ke sungai yang airnya mengalir deras.” Yogi bersemangat menjawab.

Lnjutnya, “Mau kita temani untuk bersih-bersih benda, Pak?” Pak Buana mengangguk dan menyambut dengan bergegas, mengambil beberapa bungkus karung. Ahmad, Yogi, dan Rudi masuk kembali ke dalam rumah. Mereka sibuk membantu memasukkan benda-benda tersebut ke dalam karung.

“Akhirnya, selama ini saya susah sekali membujuk si Bapak buang barang-barang itu. Terima kasih ya, Nak,” istri pak Buana menggenggam tanganku erat.

“Sama-sama, Ibu. Kami senang bisa membantu, semoga dede bayinya baik-baik saja ya sekarang, Bu,” aku membalas dengan senyum hangat yang melebihi hangatnya sinar matahari pagi ini.

Kami melangkah pergi dengan perasaan lega dan rasa syukur karena kami masih diberi kesempatan untuk menolong sesama manusia yang tengah dirundung awan gelap.

~SELESAI~

close