Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PENDAKIAN TUNGGAL GUNUNG UNGGARAN

Bercengkrama dengan "mereka" para penghuni asli Gunung Ungaran.


JEJAKMISTERI - Suatu hari di awal tahun 2006.
Pagi ini aku terbangun dengan kepala sangat pusing akibat baru tidur 2 jam saja. Semalam aku tak bisa tidur dikarenakan sedang dirundung kegalauan mendalam akibat seseorang yang aku cintai harus meninggalkanku untuk menikah dengan orang lain. Untung saja aku masih kuat iman sehingga tidak melampiaskan kegalauanku dengan hal-hal yang negatif.

Merasa masih galau tingkat kecamatan, aku pun berfikir mencari cara untuk melepaskan segala beban ini, menjernihkan pikiran dan hati serta bertekat untuk move on.

Terlintas akan mendaki gunung saja. Karena mendaki gunung adalah hobiku sejak lama. Tetapi hari ini adalah hari selasa, teman-temanku yang biasa mendaki bersamaku pasti semuanya sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Ada yang bekerja ada juga yang masih kuliah. Apakah aku akan berangkat sendirian saja? Meski sebelumnya aku juga sudah terbiasa mendaki sendiri, tetapi biasanya aku mendaki di akhir pekan, sehingga masih banyak bertemu pendaki lainnya, baik di basecamp maupun di jalur. Sedangkan hari ini adalah hari kerja, pasti di gunung akan sangat sepi. Ingat, pendakian gunung waktu itu belum seramai sekarang. Dulu kalau bukan akhir pekan gunung pasti sangat sepi.

Setelah beberapa waktu berfikir, aku pun bertekat berangkat mendaki gunung sendiri. Hanya berbekal tas daypack kecil berisi thermal blanket, sarung, beberapa roti, jaket, survival kit dan rokok, tanpa tenda, tanpa kompor dan tanpa perlengkapan lain aku nekat berangkat menuju ke basecamp Gunung Ungaran.

Membutuhkan waktu sekitar 3 jam dari tempat tinggalku untuk menuju ke Gunung Ungaran. Aku memilih gunung ini bukan tanpa alasan. Aku sudah terbiasa mendaki Ungaran. Bahkan dulu bisa tiap minggu ke sana. Sudah tak terhitung lagi berapa kali mendaki ungaran. Dan baru 2 minggu yang lalu juga aku kesana. Jadi sedikit banyak aku sudah paham mengenai gunung ini.

Dengan menggunakan moda transportasi bus aku meluncur menuju ke Pasar Jimbaran, titik awal pendakian Gunung Ungaran.

Dulu masih jarang transportasi untuk ke Basecamp Mawar dari Pasar Jimbaran. Kalaupun ada itu hanya ojek yang tarifnya aku pikir lebih baik untuk beli rokok ketimbang sekedar untuk naik ojek.

Saat di dalam bus, ada seseorang yang duduk di sebelahku. Seorang pria paruh baya dengan pakaian serba hitam. Merasa tak ada urusan, dan pikiranku pun sedang agak kacau, akupun tak menggubrisnya. Hingga dia mengatakan sesuatu padaku.

(Semua percakapan dalam cerita ini aslinya dalam Bahasa Jawa, tapi saya tulis menggunakan Bahasa Indonesia saja supaya lebih mudah dipahami dan saya tidak repot menerjemahkan)

"Jika ada hal tidak menyenangkan yang nantinya menemuimu, biarkan saja" kata orang itu.

"Maksudnya gimana, pak?" Tanyaku padanya.

"Kamu pergi dengan hati dan pikiran yang sedang tidak sehat. Berhati-hatilah. Semua hanya bisa kamu lalui jika tekat, iman dan semangatmu tidak goyah" sambungnya.

"Iya pak" jawabku singkat karena aku memang sedang tidak berminat memperpanjang percakapan.

Sebetulnya aku paham apa yang dimaksud orang itu, tetapi karena memang kondisi pikiran dan hatiku saat ini sedang tak karuan, maka aku tak berminat melanjutkan percakapan.

Tak lama, orang itu turun dari bus ini. Sebelum turun dia sempat melihatku lalu mengangguk dan tersenyum, aku pun membalasnya.

Beberapa waktu berlalu, aku telah sampai di tujuan yaitu Pasar Jimbaran. Aku turun dari bus lalu mampir ke warung untuk makan sebelum memulai pendakian.

Usai makan dan beristirahat sejenak di emperan salah satu kios pasar, aku pun mulai berjalan menuju ke basecamp mawar. Sepanjang perjalanan dari pasar jimbaran hingga basecamp mawar tak ada hal istimewa yang perlu diceritakan. Aku hanya menyusuri jalan desa beraspal dengan deretan rumah-rumah penduduk dan lahan pertanian di sepanjang pinggirannya.

Setelah beberapa jam berjalan kaki, akhirnya aku sampai di basecamp mawar. Sangat sepi suasana camp mawar siang ini. Tak ada satupun petugas yang berjaga, warung-warung juga tak satupun yang buka. Wajar, karena hari ini bukan hari musim pendakian. Merasa sedikit penat, aku pun merebahkan diri di sebuah kursi panjang di depan salah satu warung yang tutup. Tak terasa hingga akhirnya aku tertidur di sini.

Entah karena kelelahan atau karena memang semalam kurang tidur, siang ini aku terlelap sangat nyenyak. Hingga samar kurasakan ada yang menggoyang-goyang tubuhku sembari memanggil namaku membangunkanku.

Perlahan aku membuka mata, mungkin salah satu petugas basecamp membangunkanku, begitu pikirku. Tetapi ketika kesadaranku telah kembali sepenuhnya, aku sama sekali tak mendapati satu orang pun di sekitarku. Padahal tadi jelas sekali aku merasa ada yang membangunkanku. Tetapi aku tak memikirkannya lagi. Apalagi sekarang waktu sudah hampir maghrib dan aku belum menjalankan sholat ashar. Nampaknya tadi aku benar-benar nyenyak hingga tak menyadari hari sudah hampir gelap. Bergegas aku menjalankan kewajibanku. Usai sholat ashar, tak lama adzan maghrib berkumandang.

Usai menjalankan sholat maghrib aku mulai memikirkan perjalananku ini. Hari sudah gelap, sedangkan aku di sini sendirian. Apakah aku harus membatalkan pendakianku saja? Karena memang sangat beresiko mendaki sendiri apalagi malam hari begini. Tetapi memang kegalauanku ini sangat mempengaruhi pengambilan keputusanku, akhirnya aku memutuskan tetap melanjutkan pendakian apapun resikonya. Aku berencana memulai pendakian nanti usai sholat isya'.

Saat menunggu datang waktu isya', aku menghabiskan waktu duduk merenung di depan salah satu warung camp mawar. Tak lama aku merasakan kedatangan seseorang dari dalam hutan pinus. Samar aku mendengar percapakan dari beberapa orang di sana, tetapi aku tak bisa mendengar secara jelas kata-kata yang diucapkan.

Dalam hati aku berfikir, mungkin ini sisa pendaki yang naik akhir pekan kemarin. Terkadang ada beberapa orang yang betah berlama-lama hingga beberpa hari tinggal dulu di camp promasan usai mendaki dari puncak ungaran, termasuk aku. Jadi aku menganggap wajar, tak sedikitpun berfikir aneh-aneh apalagi itu makhluk gaib.

Tetapi hingga beberapa lama orang-orang itu tak muncul juga. Sepertinya tak mungkin jika posisi mereka terlalu jauh, karena tadi aku sempat mendengar suara mereka. Sampai adzan isya' berkumandang pun mereka tetap tidak muncul juga. Aku tak memikirkannya, aku segera menjalankan kewajibanku karena aku ingin segera memulai perjalanan pendakianku.

Usai sholat isya' aku segera bersiap untuk memulai perjalanan pendakian. Lepas dari camp mawar aku memasuki wilayah hutan pinus. Aku berjalan santai namun stabil. Tak banyak berhenti karena medan pendakian belum terlalu berat dan aku juga sendirian jadi bisa sesuka hati mengatur ritme perjalanan.

Aku tak lagi memikirkan suara orang yang kusangka pendaki tadi. Kalaupun mereka bukan manusia, aku juga tak peduli. Aku datang kesini bukan dengan tujuan tidak baik, meski suasana hati sedang kurang baik. Dan aku merasa wajar jika "mereka" menunjukkan eksistensi mereka padaku, karena saat ini akulah satu-satunya manusia di sini. Hal ini sudah aku pikirkan sejak sebelum aku memulai perjalanan tadi.

Jangan bertanya apakah aku tidak mendapatkan "gangguan" selama perjalanan ini. Sudah kubilang saat ini aku adalah satu-satunya manusia di sini. Jadi aku saat ini ibarat sasaran empuk bagi "mereka". Tinggal seberapa kuat nantinya mental dan iman ini menghadapi godaan mereka.

Tak terhitung berapa kali mereka menampakkan diri. Mulai dari kelebatan bayangan, suara langkah kaki yang mengikutiku, bayangan hitam besar di sisi lembah, hembusan nafas di tengkuk hingga suara-suara aneh lainnya. Tetapi tak satupun yang menampakkan wujudnya secara jelas dan nyata di depanku. Aku pun tak mengharapkan itu.

Jaman dulu di jalur pendakian gunung ungaran terdapat sungai kecil (sekarang sungai ini sudah ditutup dengan timbunan tanah dan air dialirkan dengan pipa besar) di sepanjang jalur mulai hutan pinus hingga di sungai yang agak besar sebelum pos pertama. Aku lupa nama sungainya. Sungai yang terdapat banyak batu-batu besar ini dulu dikenal sebagai istana peri. Peri merupakan salah satu bangsa jin dengan wujud wanita sangat cantik yang suka menggoda manusia terutama laki-laki untuk dibawa ke dunia mereka dijadikan suami ataupun budak.

Mendekati sungai ini bulu kudukku meremang hebat. Sempat terpikir untuk kembali saja, tetapi lagi-lagi egoku bekerja lebih kuat dari nalarku. Aku terus berjalan menyusuri jalan setapak dengan aliran sungai kecil di sampingku. Hingga pada akhirnya aku sampai di sungai yang lebih besar yang merupakan percabangan aliran sungai. Terdapat air terjun kecil di sini. Debit air waktu itu lumayan besar, maklum sedang musim penghujan, hingga air yang mengalir membelah jalur pendakian cukup membuat sepatuku basah karena minim pijakan batu yang belum terendam.

Ketika berada di sungai ini perasaanku sedikit terganggu, seolah menyuruhku melihat ke arah hulu sungai. Tekatku sebelumnya yang meyakinkan diri untuk tidak melihat ke arah hulu kini runtuh sudah akibat rasa penasaran aneh saat ini.

Perlahan kuhentikan langkahku sebelum menyeberang aliran sungai ini. Ketika mataku memandang arah hulu sungai, samar aku melihat seperti ada sosok perempuan berdiri di atas batu besar di ujung lembah hulu sungai. Jaraknya dari tempatku berdiri memang cukup jauh, tapi remang cahaya rembulan yang sedang bulat sempurna saat ini cukup membantu pencahayaan malam ini.

Aku seperti terkesima dengan kehadiran sosok tersebut. Meski remang dan tidak jelas, (dalam seluruh perjalanan ini memang aku tak pernah bisa melihat secara sangat jelas setiap penampakan yang menemuiku), tapi aku seperti mengetahui bahwa sosok tersebut adalah sosok wanita yang sangat cantik.

Perlahan seperti ada kekuatan yang menarikku untuk melangkah mendekatinya. Beberapa langkah telah kubuat untuk menuju ke sosok wanita cantik tersebut. Hingga pada akhirnya tiba-tiba kakiku seperti membatu tak dapat digerakkan. Sekuat apapun aku berusaha bergerak, kaki ini menjadi semakin kaku.

Sosok itu kulihat masih tetap berdiri di tempatnya tak bergerak sedikitpun, begitu pula aku. Beberapa saat kemudian aku merasa pandanganku semuanya gelap, tapi aku masih sadar sepenuhnya, aku tidak pingsan, karena badanku masih bisa merasakan udara dingin di sekitarku, juga air yang membasahi kakiku.

Tak lama, aku merasa seperti ditampar di pipi sebelah kiri. Seketika pandanganku kembali normal dan aku jadi tersadar atas apa yang kulakukan saat ini. "Astaghfirullah haladzim" ucapku seketika. Aku pun memanjatkan doa, lantas berbalik arah kembali ke jalur pendakian.

Aku masih belum tau siapa atau apa sosok perempuan tersebut, banyak yang bilang bahwa itu adalah penampakan peri penghuni aliran sungai Gunung Ungaran itu, tapi aku sendiri tak dapat memastikannya karena aku sendiri juga masih awam perihal jenis dan golongan bangsa jin, terutama penghuni gunung.

Sambil terus berdoa dalam hati, aku melanjutkan perjalanan pendakianku ini. Masih dengan suasana dan nuansa yang sama di sepanjang perjalananku. Banyak makhluk tak kasat mata yang berusaha menunjukkan eksistensinya di hadapanku. Aku tak memperdulikannya sepanjang aku tak melihat bentuk mereka secara jelas, dan aku yakin aku tak akan bisa melihat bentuk mereka.

Jika sekedar bayangan, kepulan asap, suara-suara samar dan lainnya aku masih memaklumi dan tak akan memperdulikan. Aku anggap saja mereka sedang menemani dan menghiburku yang sedang patah hati ini.

Sampai di pos pertama, aku sempatkan istirahat dulu sebentar. Menikmati air segar yang kubawa serta membakar sebatang rokok untuk mengusir udara dingin yang semakin malam menjadi semakin menusuk.

Sekitar 15 menit kemudian aku mematikan rokokku yang kini tinggal filternya. Usai mengantongi sisa batang rokok tersebut (ingat jangan meninggalkan sampah di gunung, meski hanya sisa batang rokok), aku berdiri untuk melanjutkan perjalanan. Perjalanan sunyi menembus gelapnya hutan Gunung Ungaran menuju peraduanku untuk menghapus segala beban pikiranku saat ini, yaitu Puncak Gunung Ungaran.

Tak ada hal istimewa yang bisa kuceritakan sepanjang perjalanan dari pos pertama hingga sampai di kawasan kebun teh promasan. Karena hampir semua kejadian sama saja seperti sepanjang perjalanan sebelumnya. Yaitu sepi, sunyi, sendiri dan "mereka" yang menemaniku juga sekedar menyapa dengan cara mereka yaitu memperlihatkan bayangan atau suara-suara aneh saja. Semakin lama aku menjadi semakin terbiasa, untuk takut pun aku rasa sudah sangat terlambat, karena jarak untuk bertemu manusia lainnya sama-sama jauh baik di depan (promasan) maupun di belakang (desa bawahnya camp mawar).

Sesampainya di perbatasan kebun kopi dan kebun teh aku berhenti sebentar untuk berpikir apakah aku akan langsung melanjutkan perjalanan ke puncak atau mampir dulu istirahat di promasan. Kulirik jam tangan murahanku, dan waktu menunjukkan sudah jam 22.30. sudah lumayan larut malam jika aku melanjutkan perjalanan menuju ke puncak. Aku tak tahu apa yang akan kuhadapi nanti jika aku nekat melanjutkan perjalanan menuju ke puncak. Meski jarak dari sini sampai ke puncak sudah tidak terlalu jauh lagi, hanya 1,5 jam hingga 2 jam jika aku menempuh sendiri dengan kecepatan sedang. Tetapi tantangannya jelas lebih berat. Bukan hal mistis atau gaib yang kupikirkan, tetapi resiko fisik lainnya. Mengingat aku saat ini sendiri dan tak ada satupun pendaki lainnya. Jika terjadi sesuatu padaku, pasti tak akan ada yang bisa menolong. Mempertimbangkan hal itu, aku memutuskan melangkahkan kakiku menuju ke promasan. Malam ini aku akan beristirahat di sana dan akan melanjutkan perjalanan ke puncak besok pagi.

Di promasan aku beristirahat di salah satu rumah warga yang biasa juga digunakan pendaki lainnya untuk singgah. Ada beberapa rumah penduduk di sini. Kita bebas memilih mau singgah di mana. Umumnya mereka tidak memasang tarif untuk bermalam, seikhlasnya kita memberikan tanda jasa akan mereka terima, terlebih jika mereka membuka warung makan, maka sebaiknya kita membeli makan pada mereka yang rumahnya kita singgahi.

Aku memilih singgah di rumahnya "Biyung", salah satu warga promasan yang sudah sangat kenal dekat denganku. Bahkan aku sudah dianggap seperti anaknya sendiri saking seringnya kesini dan beberapa kali membantunya dalam hal apapun.

Biyung cukup terkaget melihat kedatanganku, karena aku datang bukan di hari biasanya (akhir pekan) dan aku pun sendirian. Beliau bertanya-tanya mengenai perjalananku dari Mawar sampai Promasan. Apakah aku baik-baik saja, apakah tidak ada gangguan, dan lain-lain. Karena Biyung termasuk warga sepuh di sini, jadi sedikit banyak beliau juga memiliki kepekaan terhadap sesuatu yang gaib dan mengetahui persis tempat-tempat yang penunggunya paling usil atau paling berbahaya, termasuk sungai yang tadi aku ceritakan.

Aku menceritakan kepada biyung perihal perjalananku tadi, tak kurang, tak lebih. Usai berbincang sebentar, aku pamit untuk istirahat karena besok pagi aku akan melanjutkan perjalanan menuju ke puncak. Awalnya Biyung sempat keberatan dan melarangku ke puncak sendirian. Tetapi karena memang sudah niatku, maka beliau pun tak dapat melarangku. Beliau hanya berpesan untuk berhati-hati, jika keadaan tidak memungkinkan, sebaiknya kembali saja ke Promasan. Aku mengangguk menandakan setuju dan berjanji bahwa aku akan menjaga diri supaya tidak terjadi hal buruk di perjalananku nantinya.

Pagi menjelang. Usai menunaikan kewajiban subuh, aku sempatkan ke sendang promasan yang dikenal dengan nama Sendang Pengilon. Sendang ini merupakan sumber air utama bagi warga promasan dan sepanjang aliran airnya nanti. Sendang ini tak pernah berhenti mengalir. Airnya jernih, bersih dan segar. Di sendang ini juga terdapat semacam pesanggrahan untuk ritual-ritual khusus yang dilakukan di waktu tertentu. Aku membersihkan diri di sendang ini sekaligus mengisi persediaan air minum untuk kubawa ke puncak nanti.

Usai sarapan masakan istimewa dari Biyung, yaitu nasi sayur tumis labu siam yang dipanen dari kebun samping rumah Biyung, aku sempatkan berjalan-jalan dulu di sekitar Goa Jepang yang ada di salah satu bagian kebun teh promasan. Aku memang tidak buru-buru untuk segera melanjutkan perjalanan, karena jarak dari sini sampai ke puncak sudah dekat. Menikmati suasana sepi dan tenang di sini ketika tak banyak orang memang rasanya berbeda dibanding saat ramai di musim pendakian. Aku lebih leluasa menghirup udara sejuk Gunung Ungaran, mengisi penuh paru-paru ini dengan udara bersih dan mengisi kedamaian jiwa ini dengan suasana sunyi dan tenang.

Menjelang siang, aku berpamitan dengan Biyung dan Kakung (suami Biyung) untuk melanjutkan perjalanan ke puncak ungaran. Sepanjang perjalanan pendakian menuju puncak sesekali aku masih di sapa penghuni asli Gunung Ungaran. Baik yang memiliki jasad fisik yaitu binatang liar seperti monyet, lutung, ayam hutan dan lainnya, maupun yang gaib seperti suara-suara orang bicara, suara langkah kaki, sentuhan manja, maupun tiupan nafas di tengkuk. Memang ya, jin itu tak kenal waktu jika ingin berinteraksi, tak peduli siang maupun malam, terutama jika keadaan sepi seperti ini. Jika ramai, jangankan siang, malam pun mereka kadang tak berani, apalagi jika orang yang datang memiliki iman yang kuat, sopan dan sangat menghargai tempat yang didatangi dengan tidak mengotori atau merusaknya. Apapun yang mereka lakukan saat ini aku juga tak memperdulikannya, aku sudah terbiasa dengan kehadiran mereka sejak perjalananku semalam. Apalagi saat ini siang, aku jauh lebih berani.

Sampai di puncak bayangan 2, sekitar beberapa ratus meter dari puncak banteng raider (puncak tertinggi Gunung Ungaran), aku bertemu seseorang yang sedang duduk di sebuah batu di samping jalur pendakian. Nampaknya dia sudah lama duduk disitu sejak sebelum aku sampai. Terlihat dari beberapa puntung rokok yang dibuang di depannya. Sebuah tindakan yang tidak patut dicontoh. Aku sempatkan menyapanya ketika aku hendak melewatinya, karena aku tidak berniat berhenti untuk istirahat di sini. Tetapi jawaban dia justru menyuruhku berhenti dulu menemaninya. Baiklah aku mengiyakan ajakannya, toh aku memang sudah lama berjalan, sejak dari pos dua aku belum berhenti sama sekali. Selain itu, aku pun penasaran kenapa dia juga sendirian sepertiku. Apakah dia penduduk desa bawah sana, atau pendaki juga sepertiku.

"Dari mana mas?" Ucapnya mengawali percakapan. Khas pembuka percakapan antar sesama pendaki.

"Dari ***** mas. Lha sampeyan dari mana kok sendirian juga?" Jawanku sekaligus balik bertanya.

"Oh, saya situ aja. Iya memang saya sendirian, selalu sendirian. Kebetulan sampeyan kesini jadi saya nyari teman" ucapnya sedikit aneh.

Tak ada yang aneh dengan orang ini, sebetulnya. Aku lihat secara fisik dia tak ada kejanggalan. Kakinya menapak tanah, pantatnya pun sempurna menempel di batu yang didudukinya. Pakaiannya biasa, celana panjang, baju kaos hitam polos dan sandal jepit swallow. Namun tak terlihat ada tas atau ransel khas pendaki. Rokok di sela jarinya selalu menyala sesekali dihisap pelan namun dalam. Dan setiap kali habis selalu membakar lagi. Terlihat dari banyaknya puntung rokok yang dibuang sembarangan di depannya.

Cukup lama aku berbincang dengannya. Aku sendiri lupa apa saja yang kami bicarakan, jadi kutuliskan yang bisa kuingat saja. Kira-kira seperti ini.

"Sampeyan ga perlu memikirkan hal yang sudah jelas tidak bisa membuat sampeyan senang. Relakan saja dan lakukan hal lain yang lebih baik" ucapnya

Aku sempat bingung, bagaimana dia bisa mengetahui isi pikiranku saat ini? Aku tak menjawab ucapannya tersebut, aku hanya terdiam melihat jauh ke arah puncak membelakangi orang itu.

"Sudah, sepertinya cukup. Kalaupun saya mengajak sampeyan, sepertinya ada yang tidak memperbolehkan. Jadi sampeyan hati-hati saja menjalani yang ingin sampeyan jalani. Setelah itu pulanglah" ucapnya lagi.

Aku pun menoleh padanya hendak menanyakan sesuatu padanya. Tetapi ketika pandanganku mengarah ke tempat dia duduk tadi, ternyata orang itu sudah tidak ada. Begitu pun sisa puntung rokoknya juga lenyap tanpa bekas.

"Haah.. ternyata setan" ucapku dalam hati.

Tak apa, setidaknya dia tidak mencelakaiku dan menunjukkan bentuk yang tidak menyeramkan serta apa yang dia ucapkan dan pesankan padaku juga hal yang baik. Jadi aku tak ambil pusing apalagi ketakutan dengan kejadian tadi.

Aku beranjak dan melanjutkan perjalananku. Tak berapa lama aku telah sampai di puncak Gunung Ungaran. Di sini aku hanya duduk merenung, kontemplasi dan refleksi memikirkan apa saja yang telah kulakukan selama hidupku ini. Apa saja kesalahan serta dosaku terutama kepada kedua orang tuaku. Aku tidak mendokumentasikan perjalananku ini dalam slide foto, selain tak ada niatan, juga aku tidak membawa kamera. Tetapi aku menuliskannya dalam catatan yang selalu kubawa kemanapun aku mendaki gunung.

Waktu menunjukkan sudah memasuki waktu sholat ashar. Tak terdengar adzan di sini karena lokasi puncak gunung jauh dari masjid/mushola di pemukiman terakhir. Aku segera menjalankan kewajibanku yang diawali dengan tayamum untuk bersuci karena tidak ada sumber air di sini.

Usai sholat ashar, aku segera bersiap melanjutkan perjalanan untuk turun dari puncak. Jalur turun kali ini aku sengaja memilih jalur gedong songo. Bukan tanpa maksud, aku sengaja memilih jalur gedong songo karena ingin sekedar sambil menikmati suasana wisata besok pagi. Wisata gratis karena aku akan masuk area gedong songo dari pintu belakang, meski untuk menuju ke sana dari puncak aku harus melalui jalur yang lebih ekstrim, lebih seram dan lebih rimbun karena jalur ini sudah mulai jarang dilalui, bahkan saat ini (2021) jalur gedong songo kabarnya sudah ditutup total dari jalur pendakian karena lebih berbahaya.

Tak banyak membuang waktu, aku segera beranjak menuju arah jalur gedong songo. Dari puncak ungaran aku mengambil arah barat daya tepat di seberang jalur naik dari kebun teh promasan. Awal jalur pendakian aku melalui hutan rimbun dan turunan curam dengan sudut kemiringan hampir 90°. Dengan bantuan akar tanaman akhirnya aku bisa melewati jalur curam tersebut tanpa kesulitan berarti.

Turun melalui jalur gedong songo ini bisa kita tempuh selama kurang lebih 4 jam berjalan normal. Tetapi karena aku saat ini sedang mengejar waktu, maka aku mempercepat langkahku dengan sesekali berlari jika medan jalur pendakian landai atau datar. Aku tak mau kemalaman di jalan. Bagaimanapun juga aku tetap manusia biasa yang memiliki rasa takut. Jika bisa menghindari waktu malam, waktu dimana "mereka" banyak beraktifitas, kenapa tidak? Begitulah pikirku.

Di awal jalur ini terdapat banyak pohon besar yang usianya mungkin sudah ratusan tahun. Dan di antara belantara ini pula aku bisa merasakan banyaknya penghuni yang mungkin juga merasakan kehadiranku. Tak segan mereka berusaha menampakkan diri di depanku. Baik di bawah pohon, gelantungan di dahan maupun di antara semak belukar yang sangat rimbun. Namun tak satupun yang terlihat jelas bentuknya. Hanya sekedar bayangan hitam atau putih yang ketika aku balas melihat justru menghilang. Aku tak memperdulikannya, aku hanya terus berjalan, kadang berlari supaya bisa segera sampai di tujuanku kali ini, yaitu gedong songo.

Tapi secepat apapun aku berlari, aku tetap memiliki batas kemampuan fisik. Hingga petang menjelang, aku belum juga sampai di area gedong songo.

Gelap mulai merayapi sisi bumi ini, dan mata-mata yang tadinya terpejam kini mulai menampakkan tatapannya. Tatapan yang mengarah ke satu-satunya sosok fana yang berada di dalam belantara ini, yang dengan kebodohannya seolah menguji kemampuan nyalinya yang ternyata telah berada di ambang batasnya.

Aku sempatkan menjalankan sholat maghrib terlebih dulu. Apapun situasi dan kondisinya, sebagai umat manusia yang memiliki iman kita harus tetap menjalankan kewajiban. Sungguh bukan hal mudah beribadah dalam situasi semacam ini. Bermacam godaan berusaha menggoyahkan kekhusukanku saat menghadap Illahi. Mulai dari suara langkah kaki, suara samar orang bicara, suara tertawa pelan namun seolah menyayat hati, serta godaan-godaan lainnya.

Sejatinya jin juga termasuk umat Allah yang memiliki kewajiban beribadah kepadaNya. Namun di antara jin tersebut juga ada yang membangkang, tidak mau beribadah, suka menggoda manusia supaya iman manusia ini goyah, tidak takut kepada Allah, tetapi takut kepada mereka hingga pada akhirnya tunduk dan menjadi pengikut jin yang sesat. Golongan jin tersebut biasa disebut sebagai setan.

Usai menjalankan sholat maghrib, aku bergegas melanjutkan perjalananku ini. Entah sebuah keberuntungan atau sekaligus kesialan, sejak dulu aku memang memiliki kepekaan atas kehadiran mereka. Namun aku tak pernah bisa melihat bentuk mereka secara jelas. Terutama bentuk-bentuk yang menyeramkan, paling hanya mendengar suara atau sekedar melihat bayangan samar. Tetapi jika mereka muncul dengan menyerupai bentuk makhluk fana secara jelas, aku bisa melihatnya, namun tak bisa merasakan bahwa mereka adalah makhluk gaib, seperti saat bertemu seseorang saat perjalanan mendaki sebelum sampai puncak tadi.

Semakin lama aku berjalan, aku merasakan "mereka" seolah semakin banyak yang mengikutiku. Tak bisa dipungkiri, kini rasa takut semakin merayapi seluruh sanubariku. Aku seolah semakin terpengaruh dengan godaan-godaan mereka.

Hingga ketika aku sampai di kawasan sabana, dimana lokasi gedong songo sudah semakin dekat, aku merasakan langkahku semakin berat. Aku seperti merasakan kelelahan yang luar biasa. Padahal aku tidak membawa beban berat seperti pendaki pada umumnya.

Dengan bersusah payah aku terus berusaha melangkahkan kakiku ini. Sampai pada suatu ketika aku merasakan seluruh tubuhku ini lemas dan jatuh terduduk.

Dalam kondisiku saat ini aku memejamkan mata, berusaha memusatkan pikiran dan konsentrasi diiringi doa yang kupanjatkan dalam hati. Kini aku merasakan seluruh badanku panas, panas yang seolah membakar.

Berusaha semakin keras melawan kondisi ini, aku semakin merasakan kesadaranku memudar. Hingga pada akhirnya aku tersadar seperti dikelilingi banyak sekali orang berdiri memandangku yang terbaring tak berdaya. Ya.. mereka hanya memandangku.

Tak berapa lama, entah apa yang terjadi, mereka semua tiba-tiba pergi seolah ketakutan dan aku kembali sadar sepenuhnya. Aku melihat sekelilingku berusaha berorientasi dengan tempatku saat ini. Aku melihat senterku tergeletak di tanah persis di sebelahku.

Di sekitarku hanya gelap. Samar kulihat haparan padang rumput dan beberapa pohon di sana. Suara adzan samar kudengar terlontar dari pelantang mushola atau masjid di bawah sana. Nampaknya sekarang sudah memasuki waktu sholat isya'. Dan dengan terdengarnya suara adzan, artinya kini aku sudah tidak terlalu jauh dari pemukiman terdekat. Alhamdulillah ya Allah, berkat izinMu aku masih bisa mendengar suara adzan, masih diberikan keselamatan lahir dan batin untuk terus menyembahMu dalam ibadahku.

Usai menjalankan sholat isya' aku melanjutkan perjalananku. Kali ini aku merasakan langkahku jauh lebih ringan dari sebelumnya. Mereka yang ada di sini masih tetap mengawasi setiap langkahku dari dalam kegelapan. Kali ini mereka tak lagi menampakkan diri di depanku, tapi aku tahu pasti mereka masih tetap di sekitarku, jadi aku harus tetap waspada dan konsentrasi.

Sekitar satu jam kemudian, aku telah sampai di area candi gedong songo. Aku masuk melalui pintu belakang, tepatnya melalui sela-sela pagar yang tidak rapat.

Sepi sekali suasana di sini. Wajar, hari ini bukan akhir pekan, jadi tak ada yang ngecamp di sini. Di hutan pinus bagian belakang area candi gedong songo ini memang dulu biasa digunakan untuk camping. Entah sekarang masih atau tidak aku tidak tahu, karena aku sudah lama tidak kesana.

Aku melangkahkan kaki menuju ke arah pintu keluar, karena percuma juga aku di sini. Selain tidak ada orang lain, aku juga tidak membawa tenda. Jadi lebih baik aku beristirahat di tempat yang biasa digunakan wisatawan istirahat di dekat loket candi gedong songo. Di depan loket terdapat semacam ruangan terbuka yang biasa digunakan istirahat wisatawan yang kesini. Aku akan tidur di sana malam ini. Karena warung-warung juga semuanya tutup.

Semalaman ini aku bisa istirahat dengan tenang. Tak ada satupun gangguan dari mereka yang tak kasat mata. Meski kuakui mereka masih tetap mengawasiku dari kejauhan. Dari pekatnya gelap malam yang mampu mengerdilkan nyali siapapun.

Saat tidur aku sempat bermimpi ditemui seseorang. Seorang pria paruh baya dengan pakaian tradisional jawa. Dia mengatakan bahwa aku harus berani melangkah karena ada orang yang menungguku di sisi lain sana. Entah sisi lain mana aku juga tak mengetahuinya. Makna dari mimpi itu pun aku juga tak bisa memahaminya, dan aku hanya menganggapnya sebagai bunga tidur saja.

Tepat adzan subuh aku terbangun. Usai melaksanakan kewajiban, aku membersihkan diri di toilet umum. Pagi harinya aku sarapan di warung sekitar sini. Usai sarapan aku sempatkan jalan2 menikmati pemandangan di candi gedong songo. Hari ini ada beberapa pengunjung yang datang. Dan siangnya aku pun pulang untuk kembali menjalani hari-hariku yang biasa saja.

Sekian cerita perjalanan pendakian solo di gunung ungaran dulu di awal tahun 2006. Lebih dan kurangnya saya minta maaf dan terima kasih bagi kalian yang rela membaca ceritaku yang membosankan ini. Percaya atau tidak, saya kembalikan kepada kalian semua. Jika menganggap cerita ini sekedar karangan semata, maka jadikanlah sebagai cerita pengisi waktu luang saja. Ambil sisi positifnya dan tinggalkan sisi negatifnya.

SEKIAN
close