Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KI BLENDO JIN PENUNGGU KAMPUNG


JEJAKMISTERI - Mata nenek tersebut seperti mau copot. Bahkan mata kirinya sudah keluar. Hanya menggantung pada semacam urat. Darah yang hampir kering masih ada di lobang matanya.

Aroma anyir itu semakin menusuk hidung, tapi Anas tidak memedulikan aroma itu. Dia terus melangkah menembus gelapnya malam. Di kanan dan kirinya, pohon-pohon besar menutupi cahaya rembulan.

Sesaat kemudian, aroma anyir itu seperti berpadu dengan wangi kemenyan. Sebenarnya Anas merasa mual dengan perpaduan aroma itu. Tapi, dia harus melanjutkan perjalanannya, menuju kampung di ujung hutan ini.

Suara binatang malam dan desir angin menemani langkahnya. Derit batang bambu yang saling bergesek tertiup angjn, membuat bulu kuduknya merinding. Ditambah lagi dengan bau tanah basah akibat hujan tadi sore, membuatnya sedikit bergidik.

Namun semua hal itu, tidak menyurutkan langkahnya, untuk tetap berjalan menuju kampung di depan sana. Dia harus bertemu dengan orangtua kandungnya.

Sejak kecil Anas tinggal bersama pasangan Pak Dalimin dan istrinya. Hingga usianya menginjak 25 tahun, dia tidak tahu bahwa Pak Dalimin dan istrinya bukan orangtua kandungnya.

Pekan lalu, sebelum Pak Dalimin meninggal, dia menyampaikan pada Anas, tentang rahasia yang selama ini ditutupi.

Kata Pak Dalimin, dia sengaja tidak memberitahu Anas, karena waktunya belum tepat. Apalagi dia pernah berjanji pada orangtua kandung Anas, untuk menjaga Anas hingga akhir hayatnya. Dia hanya akan memberi tahu yang sebenarnya, setelah dia tak mampu merawat Anas.

Menurut Pak Dalimin, Anas sengaja dititipkan padanya, karena di kampung asalnya, di kaki salah satu gunung paling angker, nyawa Anas terancam. Karena ada hal gaib yang menjadi musuh ayah kandung Anas, Pak Basuki.

Pak Basuki merupakan salah satu tokoh masyarakat di kampungnya. Dia kerap membantu orang yang kesusahan, bukan hanya materi, dengan kemampuan supranaturalnya, dia juga kerap membantu warganya yang terkena guna-guna atau gangguan roh halus.

Sebagai kampung yang cukup terpencil dan dekat dengan gunung angker, guna-guna dan gangguan roh halus sangat lazim di sana.

Kebaikan Pak Basuki tersebut, menjadi ancaman bagi seorang dukun jahat di sana. Beberapa kali Pak Basuki mementahkan guna-guna yang dikirimkan pada warga.
Hingga, suatu hari Pak Basuki bertempur hebat dengan dukun itu. Mereka beradu ilmu. Saat itu Pak Basuki hampir saja kalah dan kehilangan nyawa, karena si dukun meminta bantuan dari jin kafir yang merupakan pengawal kerajaan jin di gunung itu.

Untung saja, sesosok jin kuat lainnya, yang bernama Ki Blendo, membantunya. Dulunya Ki Blendo adalah pengawal kepercayaan dan tangan kanan raja jin.

Hanya saja, entah bagaimana kejadiannya, Ki Blendo yang tadinya merupakan jin kafir, bertaubat. Tapi, meski bertaubat, sesuai kodratnya sebagai jin, dia tetap saja memiliki sisi jahat dan meminta imbalan saat membantu Pak Basuki.

"Sebaik-baiknya jin adalah seburuk-buruknya manusia. Makanya, jangan pernah percaya apa yang dikatakan oleh jin. Termasuk jin yang merasuki manusia. Jangan percaya yang dikatakan," ucap Pak Dalimin pada Anas saat mengisahkan asal-usulnya.

Pak Basuki menang dalam pertarungan itu. Dukun jahat tersebut tewas di dalam gubuknya, dan ditemukan oleh warga sekira sebulan sesudahnya, karena memang gubuk dukun itu jauh masuk ke dalam hutan.

Tapi, kemenangan itu bukan tanpa syarat. Pak Basuki yang waktu itu masih lajang, menyetujui permintaan Ki Blendo. Dia berjanji, nantinya setelah dia menikah dan dikaruniai anak laki-laki, maka anak itu harus dikorbankan untuk menjadi 'penunggu' kampung.

Kala itu dia tidak berpikir panjang. Yang ada dalam pikirannya, hanya bagaimana bisa membantu warga dan dirinya tidak kalah oleh dukun jahat tersebut.

Hanya setahun berselang, Basuki pun menikah. Basuki dikaruniai anak perempuan setahun setelahnya. Tapi, saat istrinya akan melahirkan, Basuki membawanya ke rumah keluarganya di kota, karena dia khawatir istrinya akan melahirkan anak laki-laki.

Setelah istrinya melahirkan anak perempuan, Basuki membawanya kembali ke kampung.

Demikian pula saat istrinya hamil anak kedua. Basuki kembali membawanya ke kota, sebagai langkah antisipasi jika anaknya berjenis kelamin laki-laki.

Yang dikhawatirkan pun terjadi. Istrinya melahirkan anak laki-laki. Sehingga keduanya sepakat untuk menitipkan anak laki-lakinya itu, yakni Anas, pada kenalan baik mereka di kota. Agar Anas tidak 'diambil' oleh Ki Blendo untuk dijadikan 'penunggu' kampung.

Sebenarnya Ki Blendo tahu bahwa Pak Basuki memiliki anak laki-laki, tapi dia tidak tinggal di kampung itu. Untuk menjadi 'penunggu' kampung, anak itu harus meninggal di kampung tersebut.

Tiba-tiba Anas melihat cahaya di kejauhan, seperti seseorang yang berjalan sambil membawa obor. Api dari obor itu meliuk-liuk, bagaikan menari mengikuti nada genit angin malam.

Saat sosok itu semakin dekat, Anas dapat melihat bahwa pembawa obor itu adalah seorang nenek. Tubuhnya bungkuk, dengan rambut putih diurai menutup sebagian wajahnya. Jalannya tertatih dengan kaki telanjang.

Nenek itu mengenakan kebaya berwarna hitam, dan membawa tongkat berukir di tangan kirinya.

"Nek, numpang tanya. Apakah kampung Winingit masih jauh?," Anas bertanya pada nenek itu.

Nenek itu berhenti, tapi dia hanya diam, tidak menjawab pertanyaan Anas. Hingga Anas mengulang pertanyaannya dengan suara yang lebih lantang, karena dia mengira nenek itu tidak mendengar pertanyaannya.

Perlahan, nenek itu mendongakkan wajahnya yang tertunduk, lalu menyibakkan rambut yang menutupi sebagian wajahnya.

Tapi sebelum Anas sempat melihat wajah nenek itu dengan jelas, tiba-tiba suara burung hantu dari atas pohon, mengagetkannya. Anas menoleh ke arah suara itu, dan melihat seekor burung hantu menatap dirinya dengan mata besarnya.

Anas kembali menoleh pada nenek bungkuk tadi. Sontak dia berteriak karena kaget. Wajah nenek berkebaya hitam itu sangat menakutkan.

Mata nenek tersebut seperti mau copot. Bahkan mata kirinya sudah keluar. Hanya menggantung pada semacam urat. Darah yang hampir kering masih ada di lobang matanya.

Sementara, bibir nenek itu robek hingga nyaris sampai di telinga kanan. Darahnya masih menetes ke tanah basah.

Spontan Anas berlari sekencang mungkin, menjauhi nenek-nenek aneh tersebut. Saat berada cukup jauh dari tempatnya bertemu dengan nenek itu, Anas menoleh ke belakang. Dia ingin memastikan bahwa nenek itu tidak mengejar atau mengikutinya.

Tapi saat dia menoleh, nenek itu tidak ada di belakang. Hanya gelap yang dilihatnya. Cahaya obor milik nenek itu, lenyap. Padahal jalanan itu lurus, tidak ada belokan, kecuali jika nenek tersebut berbelok masuk ke dalam hutan.

Meski bulan sedikit tertutupi rindang dedaunan, tapi Anas yakin, dia pasti bisa melihat jika ada orang di jalan tersebut. Tapi, nenek itu hilang.

Nafas Anas tersengal-sengal. Dia beberapa kali terbatuk akibat lari tadi. Dia menyesal karena tadi siang sempat nongkrong di warung dekat terminal. Seandainya tadi dia langsung berangkat, mungkin dia masih mendapati mobil angkutan menuju kampung Winingit.

Mobil itu hanya beroperasi hingga sekira pukul 17.00. Jika di atas pukul 17.00, atau menjelang Magrib, pengemudi mobil itu tidak berani masuk hingga ke Kampung Winingit.

Sementara wajah bayi itu sangat aneh, bibirnya tidak horizontal tapi vertikal. Saat dia menangis, dua taring tajam muncul dari bibirnya.

Anas terus merutuki dirinya sendiri. Hanya karena menikmati es kelapa muda di terminal, dia terpaksa berjalan kaki malam ini. Sebetulnya, bukan es kelapa muda yang menggodanya untuk mampir di warung tadi, tapi penjaga warung yang cantik yang membuatnya singgah.

Dia kembali melangkah menyusuri jalanan itu. Rasa takutnya setelah melihat wajah nenek bungkuk tadi, belum juga hilang. Tapi, dia tidak tahu, berapa lama lagi dia akan tiba di kampung halaman orangtua kandungnya.

Bau anyir dan wangi dupa, yang tadi merasuki indera penciumannya, sudah lenyap. Tinggal aroma tanah yang basah dan pepohonan yang mengiringi jejaknya.

Setapak demi setapak, Anas melangkahkan kakinya. Dia mulai lelah. Sementara jalanan di depan masih cukup panjang.

Anas berharap dia bisa bertemu dengan pengendara sepeda motor atau mobil, yang searah dengannya, agar dia bisa menumpang hingga ke tempat yang ditujunya. Tapi, dia merasa itu seperti mengharapkan cinta dari Laura, cewek yang sudah tujuh kali menolaknya.

Laura adalah teman SMA sekaligus teman kuliah Anas. Sejak SMA, Anas selalu berusaha mendekati Laura, tapi dia selalu gagal mendapatkan cintanya. Hampir setiap tahun Anas menyatakan cintanya.

Bahkan pernah dalam enam bulan, dia dua kali menembak. Saat itu Laura baru saja putus dengan pacarnya. Tapi, lagi-lagi Laura menolaknya mentah-mentah.

Sepertinya kisah tentang Anas dan Laura, tidak terlalu penting dibahas dalam cerita ini, karena Laura sama sekali tidak ada hubungannya dengan jin penunggu kampungnya, Ki Blendo.

Tiba-tiba, Anas mendengar suara-suara aneh. Menurutnya, suara itu seperti berasal dari dalam tanah. Suaranya seperti piano dengan nada sangat rendah, membuat bulu kuduk Anas kembali berdiri.

Namun suara itu hanya terdengar selama beberapa detik, lalu disusul dengan suara anak bayi dan perempuan yang sedang menangis. Anas bergidik. Pikirannya melayang, dia hampir saja ngompol.

Semakin Anas berjalan, suara itu terdengar semakin nyata dan dekat. Suara binatang malam yang tadi bersahutan, tak lagi terdengar. Entah sejak kapan suara binatang-binatang itu terhenti.

Tepat di pembelokan jalan, di sudut sebelah kanan, Anas melihat seorang perempuan bergaun merah. Dia duduk di sudut jalan, sambil menggendong bayi.

Sepertinya perempuan itu sedang menyusui bayinya. Saat bayi itu melepaskan hisapannya, keduanya menangis.

Anas tidak berani menoleh ke arah mereka. Dia sangat yakin bahwa keduanya adalah hantu, seperti nenek bungkuk yang ditemuinya beberapa menit lalu.

Dia melangkah semakin cepat, seperti setengah berlari. Anas berharap dia bisa secepatnya meninggalkan perempuan dan anak bayi itu, sebelum ompolnya benar-benar keluar.

Tapi, perempuan itu memanggilnya. Dia meminta tolong pada Anas. Tangannya melambai, memberi isyarat pada Anas untuk datang dan mendekatinya.

Anas mulai ragu. Dia mulai tidak yakin bahwa perempuan dan anak bayi itu adalah hantu. Naluri kemanusiaannya muncul. Anas merasa kasihan melihat keduanya, dan mendatangi perempuan itu.

Wajah perempuan tersebut cukup cantik, bahkan sedikit lebih cantik jika dibandingkan dengan Laura. Hidungnya mancung, alisnya tidak terlalu tebal, bibirnya tipis, dengan dagu sedikit terbelah.

"Mas, tolong saya. Anak saya kehausan, tapi dia tidak mau minum air susu saya," ucap perempuan itu lirih.

Anas menjawab sekaligus bertanya, kenapa anak itu tidak mau minum air susu. Dia juga menanyakan tujuan perempuan itu dan kenapa mereka berada di tempat tersebut. Anas berharap dia bisa berjalan bersama mereka menuju kampung Winingit.

Perempuan itu berdiri, sambil tetap menggendong bayinya. Kata dia, bayi itu tidak suka susu, tetapi darah. Dia menunjukkan wajah bayi yang digendongnya, sambil membuka bagian depan bajunya. Payudara perempuan itu keluar, sangat panjang, hingga menyentuh tanah.

Sementara wajah bayi itu sangat aneh, bibirnya tidak horizontal tapi vertikal. Saat dia menangis, dua taring tajam muncul dari bibirnya.

Anas spontan berteriak, lalu berlari sekencang mungkin, diiringi suara tawa melengking dari hantu perempuan tersebut.

Kali ini, celana Anas benar-benar basah. Dia ngompol sambil berlari. Tapi Anas tidak peduli dengan ompolnya. Dia terus berlari, meski nafasnya terengah-engah dan tenggorokannya kering.

Anas memperlambat larinya, saat melihat beberapa rumah di kejauhan. Lampu temaram di depan rumah-rumah tersebut membuatnya sedikit lega. Dia terus melangkah sampai di persimpangan jalan.

Jalanan ke kanan tampak gelap, seperti jalanan yang dilaluinya selama hampir satu jam tadi. Sementara, jalanan yang lurus, menuju rumah-rumah penduduk.
"Sepertinya aku sudah hampir sampai," ucapnya dalam hati, sambil terus melangkah.

Hanya beberapa menit kemudian, Anas tiba di depan rumah pertama. Dinding rumah itu berwarna hijau lumut, dengan pencahayaan yang temaram pada terasnya. Suara anak kecil bermain-main di dalam, terdengar dari luar.

Anas melanjutkan langkahnya. Dia berharap ada seseorang yang ditemuinya di kampung itu. Anas menoleh ke kiri dan ke kanan, sampai akhirnya dia menemukan seorang pria paruh baya, sedang duduk-duduk di teras rumahnya.

Anas menyapa pria itu, lalu masuk ke pekarangan. Pria itu sedang menikmati secangkir kopi. Di sampingnya ada radio. Suara kidung 'Lingsir Wengi' dari radio itu sempat membuatnya bergidik. Tapi, Anas mengabaikan perasaan itu.

"Pak, numpang tanya. Saya mau mencari rumahnya Pak Basuki. Saya anaknya Pak Basuki. Apakah rumahnya masih jauh?," Anas bertanya.

Pria paruh baya itu menatapnya, mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kemudian dia mempersilakan Anas untuk duduk di sampingnya. Pria itu lalu memanggil istrinya dan menyuruhnya membuat segelas kopi.

"Kalau rumahnya Pak Basuki, masih jauh. Kalau kamu melanjutkan perjalanan, mungkin setelah tengah malam baru kamu tiba," jelasnya sambil menyeruput kopi di hadapannya.

Pria paruh baya itu, menyarankan agar Anas melanjutkan perjalanannya pada keesokan harinya. Tapi, dia tidak menjelaskan alasannya.

"Malam ini kamu istirahat di sini saja. Bapak lihat kamu sudah lelah. Ada kamar kosong di dalam. Dulu kamar itu ditempati oleh anak bapak, tapi sekarang dia kerja di kota," pria itu melanjutkan.

Tidak lama kemudian, istri dari pria itu keluar sambil membawa secangkir kopi, dan sepiring pisang goreng yang masih hangat. Dia mempersilakan Anas untuk menikmati suguhannya.

Anas dan pria itu akhirnya terlibat dalam obrolan, mulai dari jalanan menuju desa yang belum ada penerangan, hingga beberapa kisah mistis yang ada di kampung itu.

Pria tua itu mengaku sebagai sahabat ayahnya, Pak Basuki. Keduanya, kata dia, beberapa kali membantu warga yang kena guna-guna maupun gangguan makhluk halus.

Bulu kuduknya kembali merinding. Dia mulai waswas. Terlebih, aroma wangi pun tercium di dalam kamar, seiring suara aneh yang didengarnya saat menuju kampung ini.

"Malam ini kamu istirahat di sini saja. Bapak lihat kamu sudah lelah. Ada kamar kosong di dalam. Dulu kamar itu ditempati oleh anak bapak, tapi sekarang dia kerja di kota," pria itu melanjutkan.

Tidak lama kemudian, istri dari pria itu keluar sambil membawa secangkir kopi, dan sepiring pisang goreng yang masih hangat. Dia mempersilakan Anas untuk menikmati suguhannya.

Anas dan pria itu akhirnya terlibat dalam obrolan, mulai dari jalanan menuju desa yang belum ada penerangan, hingga beberapa kisah mistis yang ada di kampung itu.

Pria tua itu mengaku sebagai sahabat ayahnya, Pak Basuki. Keduanya, kata dia, beberapa kali membantu warga yang kena guna-guna maupun gangguan makhluk halus.

Anas pun menceritakan apa yang pernah dikisahkan oleh Pak Dalimin, orangtua angkatnya, tentang perjanjian antara bapak kandungnya, Pak Basuki dengan jin penunggu kampung, Ki Blendo.

Pria paruh baya itu mendengarkan dengan saksama. Dia tidak mengomentari atau memotong cerita Anas. Sesekali dahinya mengernyit, tanda bahwa dia mendengarkan dengan serius.

Setelah Anas menceritakan itu semua, pria tersebut mulai menanggapi. Dia membenarkan apa yang disampaikan oleh Anas. Tapi menurutnya, Ki Blendo tidak berhak dan tidak boleh mengambil nyawa Anas, karena yang membuat perjanjian adalah Pak Basuki.

Dia menjelaskan, dalam dunia ilmu gaib, sering ada perjanjian semacam itu, bahwa seorang ayah boleh mengorbankan anaknya. Padahal, jika si anak tidak mau, maka jin yang telah dijanji tersebut, tidak bisa mengambil nyawa anak itu.

"Setahu saya, bapak kamu tahu aturan itu. Biasanya kalau ada perjanjian begitu, orang yang berjanjilah yang akan menjadi tumbalnya. Tapi kalau orang itu tidak paham aturannya, barulah jin yang dijanjikan, bisa mengambil nyawa anaknya," dia menjelaskan.

Malam semakin larut, kantuk mulai mendera Anas. Matanya terasa berat dan dia beberapa kali menguap. Tapi Anas enggan memotong cerita yang dikisahkan pria paruh baya itu. Dia mendengarkan sambil menahan kantuk.

Suara kentongan terdengar di kejauhan. Kata pria itu, kentongan itu hanya penanda bahwa waktu sudah menunjukkan pukul 23.00.

Sebenarnya Anas masih ingin menanyakan beberapa hal pada pria itu, tapi pria itu tampaknya kasihan melihat Anas yang mengantuk. Dia mempersilakan Anas untuk masuk ke kamar dan beristirahat.

Anas menuruti sarannya. Dia menuju kamar dan menyimpan ranselnya, kemudian ke kamar mandi, untuk membersihkan diri akibat ompolnya tadi. Anas baru sadar bahwa celananya yang tadi basah akibat ompol, sudah mengering.

Mungkin pria paruh baya tadi mencium aroma pesing, tapi dia sungkan menegur Anas.
"Kuntilanak sialan," gerutu Anas dalam hati, saat dia membersihkan diri dan mengganti celananya di toilet.

Sepuluh menit kemudian, Anas sudah berbaring di dipan kayu dengan kasur kapuk, di dalam kamarnya. Meski kamar itu terlihat jarang ditempati, tapi semua barang di dalam kamar itu tertata rapi.

Di atas meja kayu di sudut kamar, ada beberapa buku yang disusun berjejer. Juga satu pigura foto bergambar seorang gadis yang cukup manis. Anas merasa pernah mengenal gadis itu, tapi dia lupa di mana. Di samping pigura, terdapat satu lampu belajar berwarna hijau.

Lampu kamar tergantung di tengah-tengah, dengan bola lampu 10 watt. Cahayanya cukup untuk menyinari seluruh sudut ruangan, meski agak temaram.

Rasa letih dan sedikit pegal pada kakinya, membuat Anas menjadi lebih cepat mengantuk. Hanya beberapa menit setelahnya, dia mulai setengah sadar. Tapi dia kembali terjaga saat mendengar kidung 'Lingsir Wengi'.

Bulu kuduknya kembali merinding. Dia mulai waswas. Terlebih, aroma wangi pun tercium di dalam kamar, seiring suara aneh yang didengarnya saat menuju kampung ini.

Anas mengambil selimut, dan menyelimuti seluruh tubuhnya. Dia mencoba memejamkan mata. Namun bayangan hantu perempuan berwajah manis tadi, kembali hadir. Dia mulai ingat bahwa wajah itu adalah wajah yang ada dalam pigura foto.

Suara kidung 'Lingsir Wengi' perlahan menghilang, aroma wangi dan suara-suara aneh itu pun lenyap. Anas mencoba menutup matanya, hingga akhirnya Anas tertidur dengan nyenyak.

Keesokan paginya, Anas terbangun. Sinar hangat matahari pagi menerpa wajahnya. Kokok ayam jantan, menyapa liang indra pendengarannya. Tapi, Anas masih enggan membuka matanya.

Dalam keadaan setengah mengantuk, Anas mencoba meraih guling. Tangan Anas meraba-raba ke samping tubuhnya. Tapi, dia tidak menemukan guling yang dicarinya, yang dipeluknya saat tidur tadi malam.

Jemarinya hanya menyentuh sesuatu yang dingin dan basah, seperti bebatuan yang terkena embun pagi. Anas terkejut saat membuka matanya. Dia tak lagi ada di dalam kamar, melainkan di atas batu nisan.

Dia berdiri dan memandang ke sekelilingnya. Puluhan batu nisan berjejer rapi. Sepertinya itu adalah pemakaman umum.

Anas bergegas mengambil barang-barangnya, dan keluar meninggalkan area pemakaman tersebut.

Rupanya, makam itu terletak tidak jauh dari pertigaan yang dilaluinya tadi malam. Seharusnya tadi malam dia tidak lurus, tetapi berbelok ke kanan, ke jalanan gelap yang dilihatnya.

Anas melanjutkan perjalanannya menuju kampung kelahiran orangtuanya. Dia berpapasan dengan beberapa warga kampung yang hendak ke sawah.

Tidak jauh dari situ, tiga anak berseragam SMA terlihat berdiri di tepi jalan. Sepertinya mereka baru akan berangkat menuju sekolah. Anas melihat ke arloji di tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 06.13.

"Dik, kalau ke rumahnya Pak Basuki lewat mana?," tanyanya pada ketiga anak itu.
Salah satu dari mereka menjawab, bahwa rumah Pak Basuki masih cukup jauh dari tempat itu. Dia menyarankan agar Anas menunggu angkutan umum dari kota. Biasanya, angkutan umum itu sudah tiba sebelum pukul 06.20.

"Naik angkutan aja Mas, turun di dekat masjid. Sebentar lagi juga datang. Biasanya jam setengah tujuh sudah berangkat kembali ke kota lagi," ucapnya menyarankan.

Anas mengikuti saran anak itu, dan menunggu di seberang jalan dari tempat ketiga anak itu menunggu angkutan.

Benar saja, belum cukup lima belas menit Anas menunggu, mobil angkutan umum berwarna biru muda sudah nampak berbelok di pertigaan.

Hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit untuk tiba di depan masjid, seperti yang disarankan oleh anak-anak tadi. Setelah membayar ongkos angkutan tersebut, Anas kembali menanyakan rumah Pak Basuki, pada warga di sekitar masjid.

"Itu Mas, yang rumahnya warna putih. Tadi saya lihat Pak Basuki pergi ke warung. Masnya tunggu aja, kayaknya cuma sebentar kok," kata seorang ibu yang mengenakan kaus berwarna biru.

Anas pun menuju rumah yang ditunjukkan, lalu mengetuk pintu rumah itu. Seorang perempuan keluar dan menjawab salam yang diucapkan Anas. Wajahnya mirip dengan wajah Anas.

Anas menduga, perempuan itu adalah ibu kandungnya, yang tidak pernah dikenalnya sejak dia lahir.

"Bu, benar ini rumahnya Pak Basuki?," tanya Anas.
Perempuan itu membenarkan, dan mempersilakan Anas untuk duduk dan menunggu. "Duduk dulu, dik. Bapak sedang ke warung, beli sabun," ucapnya ramah.

Pak Basuki terlihat khidmat bersemedi. Matanya terpejam, kedua tangannya ditangkupkan di depan dada. Wajahnya tampak tenang.

Anas pun menuju rumah yang ditunjukkan, lalu mengetuk pintu rumah itu. Seorang perempuan keluar dan menjawab salam yang diucapkan Anas. Wajahnya mirip dengan wajah Anas.

Anas menduga, perempuan itu adalah ibu kandungnya, yang tidak pernah dikenalnya sejak dia lahir.

"Bu, benar ini rumahnya Pak Basuki?," tanya Anas.

Perempuan itu membenarkan, dan mempersilakan Anas untuk duduk dan menunggu. "Duduk dulu, dik. Bapak sedang ke warung, beli sabun," ucapnya ramah.

Sekira lima menit kemudian, Pak Basuki tiba. Dia hanya mengenakan kaus oblong berwarna putih, yang warnanya sudah pudar. Dia menyapa Anas dengan ramah, tapi tatap matanya menyiratkan rasa penasaran.

Setelah masuk dan menyerahkan sabun pada istrinya, Pak Basuki kembali ke teras, dan duduk berhadapan dengan Anas. Dia mengeluarkan rokok dan korek dari kantongnya, kemudian menyulutnya.

Aroma khas rokok kretek menyebar, seiring dengan embusan asap dari bibirnya yang kehitaman. Sambil memperhatikan Anas, dia kemudian bertanya.

"Masnya cari saya ya? Dari mana dan ada keperluan apa?," tanyanya.

Sebetulnya Anas ingin sekali berdiri dan memeluk ayahnya itu. Dadanya berdegup kencang. Dia menahan rasa bahagia, sekaligus memendam tanya, kenapa ayahnya tidak pernah sekalipun menghubunginya.

Sejak tadi Anas ingin menumpahkan air matanya. Tapi, dia mencoba bertahan. Dia tak ingin kedua orangtua kandungnya ini kaget dan shock melihatnya.

Perlahan Anas menjelaskan maksud kedatangannya, diawali dengan memperkenalkan diri. Pak Basuki tampak sedikit terkejut waktu Anas memperkenalkan diri.

Belum sempat Anas menjelaskan semuanya, Pak Basuki sudah berdiri dan memeluk Anas. Dia berteriak memanggil istrinya. Air mata Pak Basuki menetes membasahi pipinya yang sedikit tirus. Demikian pula istrinya, Bu Basuki, tak hentinya mengusap kepala Anas dan memeluknya, setelah Pak Basuki memperkenalkan Anas padanya.

Keduanya kemudian mengajak Anas untuk masuk, dan menyuruhnya mandi, dilanjutkan dengan sarapan bertiga. Seusai sarapan, Pak Basuki memanggil Anas ke dalam kamarnya. Kata Pak Basuki, ada hal penting yang akan dibicarakan.

Setelah berada di dalam kamar, dan menutup pintunya, Pak Basuki membuka lemarinya, dan mengambil sesuatu dari laci lemari di bagian bawah.

Pak Basuki membuka bungkusan itu. Ternyata isinya adalah satu batu akik besar berwarna hijau. Pak Basuki menjelaskan, bahwa batu akik itu diperolehnya dari Ki Blendo, beberapa puluh tahun silam.

Pak Basuki menceritakan tentang perjanjiannya dengan Ki Blendo pada saat itu. Kata dia, beberapa saat setelah Anas dilahirkan, Ki Blendo menagih janjinya, tapi saat itu Anas ada di kota. Padahal, untuk menjadikan Anas sebagai anak buahnya di kampung itu, Anas harus tewas di kampung tersebut.

Saat itu Ki Blendo murka, dan berniat membunuh Pak Basuki. Hanya saja, waktu itu Pak Basuki berkilah, dan mengatakan, suatu saat Anas akan datang kembali ke kampung itu.

Pak Basuki menyerahkan batu akik tersebut pada Anas, dan menyuruh untuk menyimpannya. Kata dia, suatu saat, batu itu akan berguna untuk Anas.

Dia lalu menjelaskan, sebenarnya upayanya mengungsikan Anas ke kota, adalah strategi agar Anas tidak 'diambil' oleh Ki Blendo.

"Sebetulnya perjanjian semacam itu tidak benar. Kalaupun harus ada yang jadi tumbal atas perjanjian dengan jin, maka yang menjadi tumbal adalah orang yang berjanji, bukan anaknya," Pak Basuki menjelaskan.

Hanya saja, biasanya jin lebih memilih anak dari pembuat perjanjian, karena hal itu akan lebih menyakitkan untuk si ayah. Apalagi, anak yang belum balig, membuat jin itu menjadi lebih kuat, dan si anak belum bisa melawan jika dibunuh.

Saat anak yang akan dijadikan tumbal sudah dewasa, dia akan melawan. Setidaknya dia bisa protes karena buka dia yang membuat perjanjian. Tapi, jika itu terjadi, maka ayah si anak, atau orang yang membuat perjanjian yang akan tewas dijadikan tumbal.

"Bapak sengaja menceritakan ini padamu, karena bapak yakin, Ki Blendo akan mencarimu. Dia pasti sudah tahu bahwa kamu ada di wilayahnya. Kalau itu terjadi, sampaikan saja bahwa kamu tidak pernah membuat perjanjian. Tunjukkan batu itu padanya," Pak Basuki menjelaskan.

Setelah memberi beberapa wejangan, Pak Basuki berpamitan. Dia mengaku akan ke sawah, untuk membersihkan gulma yang tumbuh di sekitar padi.

Beberapa saat setelah Pak Basuki meninggalkan rumah, tiba-tiba langit menjadi gelap. Matahari yang tadi bersinar cerah, seolah hilang di balik awan kelabu.

Angin pun bertiup cukup kencang. Suara burung-burung yang tadi bersahutan, tiba-tiba hilang. Demikian pula dengan kokok ayam. Suasana terasa mistis dan mencekam.

Anas mengira hujan akan turun. Dia masih belum sensitif atas hal-hal yang berbau supranatural. Berbeda dengan ibunya, yang langsung merasa khawatir dan cemas akibat perubahan suasana yang tiba-tiba tersebut.

"Bapak kamu tadi ke mana? Sepertinya Ki Blendo murka. Coba lihat di langit, tiba-tiba awan hitam itu muncul dan burung-burung berhenti berkicau," tanyanya khawatir.

"Tadi katanya mau bersihkan rumput di sawah, Bu. Emang kenapa?," Anas balik bertanya.

Ibunya mengernyitkan dahi. lalu mengatakan, bahwa rumput-rumput di sawah, sudah dibersihkan sejak dua hari lalu.

"Waktu di kamar tadi, bapakmu cerita apa? Bukan tentang Ki Blendo kan?," tanya ibu lagi.

Anas menjawab, bahwa yang dibicarakan di kamar memang tentang Ki Blendo, dan cara agar nyawa Anas bisa selamat dari Ki Blendo. Tapi, sebagai penggantinya, Ki Blendo akan mengambil nyawa Pak Basuki, sebagai orang yang telah membuat perjanjian. Itu pun jika Ki Blendo sudah menemui Anas.

Ibunya terlihat lemas saat mendengar jawaban Anas. Dia berucap setengah menggumam, bahwa Pak Basuki pasti sedang menuju goa di tepi hutan, untuk bersemedi dan menemui Ki Blendo.

Bu Basuki masuk ke dalam kamar, kemudian kembali keluar. Lalu dia mengajak Anas ke goa yang dimaksud. Kata ibunya, mereka harus berusaha menghalangi Pak Basuki menemui Ki Blendo.

Ibunya melangkah cepat, menyusuri pematang sawah dan jalanan menanjak, menuju ke tepi hutan, tempat goa yang dimaksud.

Tidak butuh waktu lama untuk tiba di lokasi yang tampak sunyi dan gelap itu. Dinding goa yang lembab dan cahaya yang temaram, membuat suasana terasa angker. Ditambah lagi dengan aroma tanah bercampur lumut, membuat tempat itu semakin wingit.

Dalam keremangan suasana goa, terlihat sosok seseorang yang sedang duduk bersila, di atas batu yang ada di ujung goa itu.

Anas dan ibunya tidak segera menegur sosok yang sedang duduk bersila itu. Keduanya ingin memastikan bahwa orang itu adalah Pak Basuki.

Mereka berjalan pelan dan mengendap-endap, seperti khawatir jika sosok yang sedang bersila itu terganggu. Setelah dekat, mereka yakin bahwa sosok itu adalah Pak Basuki.

Pak Basuki terlihat khidmat bersemedi. Matanya terpejam, kedua tangannya ditangkupkan di depan dada. Wajahnya tampak tenang.

Anas tidak berani menegur atau menyentuh bapaknya, karena dia tidak tahu apa yang sedang dilakukan. Tapi, ibunya, segera mengguncang bahu suaminya, dan menyuruhnya untuk berhenti bersemedi.

Guncangan yang dilakukan oleh Bu Basuki pada bahu suaminya, tidak terlalu kuat, tapi, Pak Basuki tampak lemas dan roboh ke atas batu.

Bu Basuki terpekik. Dia sadar apa yang terjadi pada suaminya. Hal yang dikhawatirkannya sejak tadi, sudah terjadi. Suaminya telah meninggal. Dia yakin, itu perbuatan Ki Blendo, akibat janji yang dibuat oleh suaminya.

Keduanya lalu membawa pulang jenazah Pak Basuki, untuk dimandikan dan dimakamkan hari itu juga.

~SEKIAN~

close