Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

AMARAH DESA JIN (Part 7)


JEJAKMISTERI - Semua menatap takut melihat senyuman mengerikan dari bibir anak Nyai yang seolah memberikan isyarat yang bertujuan buruk. Alunan suara sang malam menggebrak menusuk telinga mereka yang merintih ketakutan. Nyai terlihat gentar menghadapi perilaku makhluk itu.

“GEUS TAKDIR AING NGAGANGGU MANUSA.” (sudah takdir saya mengganggu manusia) ucap makhluk itu diakhiri dengan senyuman khasnya.

Nyai menyeringai, wajahnya terlihat sangat serius. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu, pikir anto mungkin nyai mencari cara bagaimana mengakhiri ini. Nyai terlihat kebingungan dalam bersamaan, sementara rumah yang menjadi tempat tinggal mereka sekarang sudah rata dengan tanah, tidak ada lagi kebun itu, kebun pisang yang sudah sedari lama ada ditempat itu. Bisa saja mereka lebih lama berada ditempat itu daripada orang yang pertama kali membangun kampung itu.

Nyai perlahan mendekati makhluk yang masih berada didalam tubuh anaknya, langkahnya sedikit gemetar, wajahnya tidak bisa menipu jika ia sangatlah kebingungan.

“GEUS KIEU, AYENA HAYANG MANEH NAON?!” (sudah begini saja, sekarang apa kemauan kamu?) ucap Nyai menegaskan dengan wajah seriusnya.

Tak ada jawaban!

Wajah anak nyai terlihat lebih melunak, makhluk itu hanya terdiam.

Lita masih memegang lengan anto yang berada didepannya, sesekali anto melihat keadaan istri dan anaknya dibelakangnya. ABi terlihat terdiam polos tanpa ekspresi apapun. Anak itu pasti syok sekali mengalami kejadian yang tidak mengenakkan seperti ini. Jangankan dia orangtuanya saja terlihat sangat ketakutan, apalagi anak berumur 2 tahun itu.

Wajah menunduk itu kemudian terangkat kembali, makhluk itu menjawab pertanyaan Nyai.

“TEANGANKEUN AING IMAH ANYAR ATAU BUDAKNA KU AING COKOT!” (Carikan rumah baru atau anak ini saya ambil) Jawab makhluk itu.

Setelah menjawab pertanyaan nyai, tubuh anak nyai mengejang kemudian terkulai lemas tersungkur ke lantai rumah. Makhluk itu sudah pergi dengan memberikan keinginan terakhirnya, dan dianggap oleh Nyai sebagai negosiasi agar makhluk itu tidak lagi mengganggu keluarga lita atau bahkan warga sekitar.

Nyai mengangkat badan anaknya dan menidurkannya, kemudian memberikan segelas air yang sedari tadi sudah disiapkannya. Anak itu terlihat sangat kelelahan, lemas dan lunglai, wajahnya sedikit pucat dengan tatapan yang tak biasa.

“Teu kunanaon nyi si aa teh?” (Gak apa-apa nyi si aa?) Tanya Anto mendekat. Sementara Lita dan abi tersandar ke tembok dengan wajah yang sudah sedikit tenang dan lebih baik daripada tadi.

Nyai hanya mengangguk, isyarat tidak perlu khawatir dengan keadaan anaknya itu. Nyai yang terlihat kelelahan juga setelah menghadapi makhluk itu, mengangkat tangannya kemudian memberikan isyarat agar anto segera pulang malam itu juga.

Anto menurutinya, kemudian bergegas menyalami Nyai dan mengucapkan terimakasih kepada Nyai dengan perasaan yang sudah lumayan tenang, hanya saja dia kebingungan dengan jawaban makhluk itu terakhir kali. Apa yang harus dilakukan selanjutnya?
Tidak masuk akal sekali, bagaimana mencarikan rumah baru untuk makhluk itu dan rakyatnya. Memikirkannya saja anto bergidik. Nyai hanya mengatakan, agar tidak terlalu memikirkan hal itu. Nyai berencana akan menyelesaikannya esok malam.

Anto dan Lita beserta anaknya langsung bangun dan bergegas keluar. Tapi perasaanya masih saja tidak merasa enak, terlebih ia harus menempuh perjalanan pulang kembali dengan mengendarai motornya pada malam ini juga.

Anto hanya takut kengerian yang lain akan terjadi ketika di perjalanan pulang.
Setelah menstarter motornya, ia menghampiri Lita dan abi yang menunggunya. Kemudian merekapun naik motor dan langsung melesat pulang. Dalam pikiran anto, bagaimana caranya mereka harus cepat sampai kerumah.

Tak hanya Anto, Lita terlihat masih memikirkan hal yang sama seperti anto. Abi terlihat sudah tertidur digendongnya.

Jalan yang sama mereka lewati, malam semakin malam udaranya semakin dingin memeluk erat kulit mereka. Hawa mencekam menghantui perasaan mereka, mereka masih ingat dengan apa yang tadi terjadi. Semuanya tidak bisa dilupakan begitu saja. Mata Anto masih terfokus menatap jalanan yang disinari lampu motornya, disisinya gelap gulita, hanya dedaunan yang menyerbu jatuh menyentuh bagian-bagian tubuh mereka. Kesenjangan dalam hati mereka kian berkecamuk, tangan Lita menyergap erat jaket yang dipakai Anto. Suasana jalanan tak beda jauh dengan saat mereka menuju rumah nyai, hanya saja udara lebih terasa dingin.

Tak terjadi apa-apa, hingga mereka menjumpai beberapa rumah warga yang lain. Dan itu membuat mereka mulai merasa aman dan nyaman.

Setelah memasuki kampung, tak lama merekapun datang ke rumah.
Lita dan abi yang berada digendongnya turun perlahan dari atas motor, Lita sejenak berdiri didepan teras rumahnya, sementara Anto bergegas memasukkan motor kedalam rumah mereka.

Lirih Lita menatap tajam ke lahan luas yang dulunya kebun pisang itu telah menjadi tanah dengan rumput-rumput liar. Dia seolah terpanah dengan suasana gelap bekas kebun itu, matanya nanar memandang.
Anto yang sudah memasukkan motornya, langsung sejenak melihat Lita keluar yang masih saja berdiri kemudian menarik tangan Lita dan mengajaknya untuk masuk ke dalam rumah dan beristirahat.

Setelah berada di kamar,
Abi yang dipangkunya perlahan Lita tidurkan diatas kasur, dengan hati-hati agar tidak terbangun. Setelah itu lita berjalan keluar dan mengambil handuk untuk membersihkan diri, terlihat Anto sudah menjatuhkan tubuhnya dikasur dan mencoba untuk tidur.

Setelah selesai mandi, Lita duduk dipinggir anaknya yang sedang tertidur pulas, ia memandangi anak itu dengan perasaan iba. Dia tidak ingin berpisah dengan anak semata wayangnya ini. Tak terasa tangisan lembut menghias ruang kamar itu, Litapun perlahan berbaring disebelah anaknya, dan kemudian tidur.

-----
Keesokan harinya...

Pagi yang seperti biasa menjelang, kicauan burung bernyanyi riang. Kilauan embun berjatuhan dari dedaunan talas. Riuh suara ibu-ibu mengobrol di sumur umum, pagi itu sangat normal sekali, anak-anak bergerombol pergi untuk sekolah.

Tapi Suasana rumah Lita sangat terasa tidak mengenakan. Anto dan Lita merasa tidak nyaman dirumah itu, padahal biasanya terasa biasa saja. Perasaan mereka masih saja tidak enak, apa kejadian semalam masih membuat mereka merasa seperti lain, pikir Lita.

"Sayuuur... Sayuuur" suara cempreng tukang sayur memanggil-manggil didepan rumah Lita, segera Lita mengambil dompet dan menghampiri tukang sayur langganannya tersebut.

Beberapa ibu-ibu datang pula mengerubungi dagangan tukang sayur itu, seperti biasa mereka akan mengobrol membicarakan satu topik.

Lita terlihat lebih memilih diam sembari memilih-milih sayur bayam yang terikat rapi berwarna hijau segar, lirih dia mendengar satu ibu-ibu mengatakan hal yang sangat disetujui oleh Lita

"Rasa rasa abdi doang apa sanes nyah? Dijero Imah teh asana panas Weh teu ngeunah Weh, rada teu nyaman kawas biasanya!" (Perasaan saya aja apa bukan ya? Didalam rumah tuh kayanya panas gitu gak enak aja gitu, agak gak nyaman kaya biasanya) ucap Bu Astri

"Heeuhnya? Sarua, Imah abdi geh karasa kumaha kitu, Karasa merinding kadang" (Sama, rumah saya juga kerasa gimana gitu, kerasa merinding terkadang) saut Bu Cici menyetujui perkataan Bu Astri.

Lita hanya memandang sendu dan bergegas pergi setelah membayar sayur yang sudah ia beli. Setelah masuk kerumah Lita menceritakan apa yang dikatakan ibu-ibu tadi. Jadi Anto dan Lita berpikir jika rumah-rumah warga terasa sama dengan keadaan rumah mereka.

Apa ada hubungannya dengan masalah yang sekarang mereka hadapi?
Mereka melamun memikirkan hal ini, hingga suara tangisan Abi memecah lamunan Anto dan Lita. Lita langsung sedikit berlari menuju kamarnya dan...

Melihat anaknya yang sedang...
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close