Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Berburu Di Hutan Kopi (Part 10 END)


JEJAKMISTERI - Sesosok hantu berambut gondrong tengah nangkring diatas sebuah dahan pohon sambil mengayun ayunkan kedua kakinya. Kali ini sepertinya Boss Slamet juga melihat sosok itu. Terbukti ia segera membidik dan menembak ke arah hantu itu. Sosok itu terjatuh lalu menghilang begitu saja bagai ditelan bumi.

Boss Slamet lalu kembali mengisi peluru dan menebak hantu yang lain. Lagi lagi hantu itu jatuh dan menghilang. Begitu terus menerus sampai tak sadar kalau ia semakin jauh meninggalkanku sendirian untuk mengejar hantu hantu itu, sampai akhirnya sosoknya benar benar menghilang dari pandanganku.

Sial! Aku sendirian kini. Dan Pak Hadi serta Mas Dedy, kenapa begitu lama datangnya? Rasa takut kembali menghantuiku. Haruskah aku menyusul Boss Slamet kembali masuk kedalam hutan? Atau menunggu Pak Hadi dan Mas Dedy datang di tampat ini?

*****

Syukurlah, tak lama terdengar suara peluit Pak Hadi yang semakin mendekat. Akupun segera membalasnya dengan tiupan peluitku.

Begitu mereka datang, aku segera menceritakan apa yang bari saja terjadi. Pak Hadi nampak cemas. Ia bermaksud untuk menyusul Boss Slamet masuk le hutan. Namun niat itu segera ia urungkan. Ada rasa takut yang terpancar dari sorot mata laki laki tua itu. Rasa takut akibat trauma dari mada lalu.

Akhirnya kami memutuskan menunggu dan berharap Boss Slamet segera kembali. Dan itu memakan waktu sampai berjam jam, sebelum akhirnya Boss Slamet kembali dengan langkahnya yang tegap dan gagah.

Pak hadi segera mengajak kami meninggalkan tempat itu dan membawa hasil buruan kami ke tempat kami memarkirkan trail trail kami. Sepanjang perjalanan kami lebih banya diam. Sampai pick up datang menjemput untuk mengangkut hasil buruan kami, aku masih juga belum mengerti dengan apa yang sebenarnya telah terjadi.

****

Sampai di desa, seperti biasa Pak Hadi segera sibuk mnguliti nabi hutan hasil buruan kami. Sementara Boss Slamet nampak sibuk mengisi ranselnya dengan logistik dan menyiapkan senapannya. Bahkan rompi berburunya masih melekat di tubuhnya, seolah ia masih enggan untuk melepaskannya.

"Aku merasa kalau semua ini akan dibutuhkan malam ini," jawabnya saat kutanya kenapa ia masih mengenakan rompinya itu. Ia lalu menuju ke dapur dan segera mengolah kelapa muda yang tadi kupetik didalam hutan.

Kami lalu duduk di teras sambil ngobrol dan menikmati air kelapa muda. Annisa keluar dari dapur dan memintaku untiknmensmaniya mengambil air di sumber. Boss Slamet menawarkan diri untuk mengantar, namun dengan halus Annisa menolak dengan alasan Boss Slamet pasti masih lelah setelah berburu barusan.

Akhirnya aku dan Annisa pergi berdua ke sumber itu.

"Nissa nggak ada niatan untuk kuliah gitu?" Tanyaku untuk memecah kebisuan diantara kami selama perjalanan.

"Aku udah daftar Jun, tapi ya gitu deh, mungkin belom rejeki. Mudah mudahan tahun depan aku bisa daftar lagi."

"Bagus itu. Aku dukung banget Nis. Memang harus mencoba untuk mendaftar lagi sampai bisa keterima," ujarku mencari simpati.

"Emang kamu sendiri nggak ada niat untuk kuliah Jin?"

"Enggak ah, nggak ada duit buat kuliah. Lagian juga aku nggak ada niat."

Kami masih asyik terus berbincang, sesekali diselingi dengan candaan yang bisa membuat Annisa tertawa kecil. Aku suka dengan tawanya. Terdengar begitu merdu di telingaku.

Sampai di sumber Annisa segera sibuk mengisi embernya dari air pancuran, sementara aku masih terus mengajaknya mengobrol sambil mengedarkan pandanganku ke sekeliling sumber itu.

Pandanganku terhenti pada salah satu sudut sumber itu, saat mendapati sosok yang masih kukenal berdiri sambil menatap ke arah kami dengan la dangan marah. Sosok gadis cantik yang kemarin nyaris membuatku mati kedinginan di sumber ini.

"Nis....," panggilku lirih pada Annisa.

"Apa sih Jun..." sahut Annisa.

Aku terdiam, tak mampu berkata kata lagi saat sosok itu semakin tajam menatap ke arah kami. Annisa yang merasa heran menoleh ke arahku, lalu mengikuti arah pandanganku.

"Jun, it..., itu...." Annisa tercekat. Sepertinya ia juga melihat sosok itu.

Aku segera menyambar dan menarik tangan Annisa. "Kabuurrr..."

Annisa berlari secepat yang ia bisa, tanpa memperdulikan ember airnya lagi. Sementara aku bernasib sial. Aku terjatuh, dan hantu itu segera menyeret tubuhku menuju ke arah..... JURANG!

"Nissaaaa..." aku berteriak memohon pertolongan. Namun terlambat. Tubuhku telah terlempar dan melayang jatuh kedasar jurang.

"Juuunnnn...!!!" Samar masih kudengar teriakan Annisa, sebelum akhirnya tubuhku benar benar terhempas dan aku tak ingat ala apa lagi.

****

"We lappet! Bangun kau lappet!" Samar aku mendengar suara itu berkali kali. Aku mengenali suara itu adalah milik Boss Slamet

"Ini dimana Mas?" Tanyaku.

"Kau habis jatuh tadi!" Boss Slamet berusaha untuk membantuku berdiri. Namun sesaat kemudian ia kembali mendudukkanku, dan dengan gerakan yang sangat tiba tiba ia memasang kuda kuda dan memukulkan kepalan tangannya kedepan.

Terlihat aneh dimataku. Boss Slamet seolah sedang memukul angin. Namun yang lebih aneh lagi, aku melihat kepalan tangan kanannya bercahaya. Ia terus memukul mukul angin, seolah sedang berkelahi dengan sesuatu yang tak terlihat. Aku sampai merinding melihatnya. Apa yang sebenarnya terjadi, aku tak tau pasti. Sampai beberapa saat kemudian Boss Slamet menghentikan tindakan anehnya itu dan kembali membantuku berdiri.

Kami lalu berjalan tanpa tau arah. Boss Slamet sendiri sepertinya juga tak tau arah mana yang menuju kembali ke desa. Sampai suatu saat kulihat Boss Slamet tertegun lalu komat kamit bergumam seperti sedang berbicara dengan seseorang. Aku sempat mengira kalau Boss Slamet telah kehilangan kewarasannya. Namun dugaanku kutarik kembali setelah akhirnya dengan langkah pasti Boss Slamet mengajakku kembali berjalan. Kulihat tangan kanan Boss Slamet kembali berpendar mengeluarkan cahaya yang menerangi langkah kami. Pendar cahaya ditangannya itu seolah menuntun dan menunjukan jalan kepada kami. Kamipun melangkah semakin cepat hingga sampai di area perkebunan kopi. Boss Slamet mengajakku untuk beristirahat sejenak. Tak lama beberapa warga datang menyusul dan membantu kami untuk kembali ke desa.
****

"Yang bener Mas?!" Tanyaku tak percaya saat Mas Dedy berkata bahwa kini giliran Annisa dan Boss Slamet yang jatuh ke jurang. Padahal baru beberapa jam yang lalu aku ditemukan setelah jatuh ke jurang juga. Edan! Desa macam apa ini sebenarnya!

Pencarian kembali dilakukan. Aku bersikeras untuk ikut, meski kondisi tubuhku sebenarnya masih sangat lemah. Baru tadi Boss Slamet yang menyelamatkaku dari dasar Jurang. Dan kini giliran dia yang jatuh, tak mungkin aku tinggal diam.

Namun pencarian ini sepertinya lebih sulit. Sampai hari berikutnya, Boss Slamet dan Annisa belum juga ditemukan. Aku semakin cemas. Takut terjadi sesuatu dengan mereka. Kecemasanku semakin bertambah saat malam harinya Pak Hadi meminta kami untuk berkemas.

"Besok kita pulang!" Ujarnya tegas seolah tak mau dibantah lagi

"Tapi Pak, bagaimana dengan Mas Slamet?" Protesku.

"Pokoknya besok kita pulang, dengan atau tanpa Slamet!"

Arrgghhh!!! Malam itu al nyaris tak bisa tidur. Memikirkan Boss Slamet dan sikap aneh Pak Hadi. Berjuta pertanyaanemenuhi otakku, hingga saat koko ayam jantan terdengar saling bersahutan, aku keluar menuju ke teras.

Dari kejauhan kudengar suara motor teailmendekat ke arah desa. Siapa yang datang pagi pagi buta begini? Semakin sekat, aku semakin jelas bisa melihat kalau itu adalah warga desa sini yang datang dengan memboncengkan Annisa dan Boss Slamet. Syukur alhamdulillah. Mereka selamat, meski kondisinya sangat mengenaskan.

Keputusan Pak Hadi untuk pulang hari ini tak bisa ditawar lagi. Bahkan ia juga membawa serta Annisa, sang keponakan untuk hijrah ke kota, dan tak akan pernah diijinkan untuk kembali lagi ke desa ini. Entah apa sebabnya, alu tal tau pasti.

Dalam perjalanan pulang, barulah aku bisa mendengar cerita dari Boss Slamet tentang apa sebenarnya yang telah menimpanya. Ada yang aneh kurasa. Boss Slamet bilang kalau ia hanya semalaman berada di dasar jurang itu. Padahal jelas jelas sampai dua hari kami melakukan pencarian tanpa hasil. Ini terdengar aneh. Dan sangat misterius. Semisterius Pak Hadi yang tiba tiba mengajak pulang tanpa sebab yang jelas. Semisterius Annisa yang tiba tiba dibawa keluar dari desa itu dan tak diijinkan untuk kembali. Semisterius tingkah Boss Slamet yang selalu menatap aneh ke arah rimbunan hutan disepanjang perjalanan. Dan semisterius desa itu sendiri. Desa misterius di lereng gunung!

*****

Setahun setelah kepergian Annisa dari desanya, ia berhasil masuk ke sebuah perguruan tinggi negeri di kotaku. Untuk merayakan keberhasilannya, ia bermaksud untuk pulang dan menemui kedua orang tuanya. Namun pantangan untuk tidak kembali ke desa itu membuatnya hanya bisa bertemu dwngannkedua orang tuanya diluar desa.

Maka aku dan Annisa sepakat untuk pergi ke kaki gunung yang jauh dari desanya dan bertemu orang tuanya disana. Junior, tentu dia ikut juga kali ini ia berperan sebagai body guard kami bersua.

Ternyata tempat yang telah disepakatinya adalah toko besar tempat biasa dulu Annisa berbelanja kebutuhan logistik untuk warga desa. Toko milik ayahnya Mei Ani.

Di toko itulah Annisa bertemu dan melepas rindu dengan ayah dan ibunya. Juga beberapa warga lain yang ikut datang sekedar untuk mengucapkan selamat.

Aku sendiri, lebih tertarik untuk menggoda Mei Ani daripada haris ikut drama pertemuan antara anak dan orang tua yang mengharukan itu.

"Kan Mas dulu pernah bilang kalau kita bakalan ketemun lagi Mei' kataku.

Dia hanya tersenyum seolah dipaksakan. Kenapa sih?? Padahal perasaan aku nggak jelek jelek amat!

"Mas udah bilang Wo Wo Ai Ni lho."

"Bilang sana sama ayahku mas kalau berani."

Duh! Susah banget nih cewek kena SSI.

Tiba tiba datang Junior dan memberikan ponsel kepadaku.

"Ada telpon Mas," katanya.

Dari??"

"Pak Edwin pabrik gula."

Aku langsung angkat telpon dan berbicara. Ternyata ia tengah mencariku karena musim panen tebu hampir tiba. Dan ia ingin aku menyalakan kembali lori lori pengangkut tebu, juga renovasi beberapa tempat di pabrik. Aku menyanggupinya dan berjanji akan segera mencarikan tukang. Seorang kawan lama mungkin sedang membutuhkan pekerjaan.

Aku lalu meminta Junior untuk mencarilannkontaknya.

"Yang mana Mas? Nama Indra banyak," tanya Junior.

"Indra Gunawan Kedhung Jati." jawabku.

Junior lalu menyambungkan panggilan, lalu memberikan ponsel kepadaku

"Eh, Ndra, masih butuh kerjaan nggak? Ada job besar nih."
---==TAMAT==---

*****
Sebelumnya

close