Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cokro Kolo Munyeng (Part 3)


JEJAKMISTERI - Sorot mata Andri tajam menatap kearahku, tubuhnya yang berbaring kini duduk bersila dan berkacak pinggang, aku yang melihat itu segera menatap balik mata Andri, dua sorot mata saling menatap, telingaku seakan mendengar satu suara dari dalam tubuh Andri,

"Siapa kamu? Mau apa kamu kesini??"

"Siapa aku tidak penting bagimu, sekarang cepat keluar dari raga anak ini.." bentaku.

"Beraninya kamu menyuruhku untuk keluar dari tubuh anak ini." terang makhluk dengan muka dan kulitnya berwarna hijau, dua taring tajam dan juga kuku tangan yang panjang juga rambut acak-acakan, sosok ini biasa di sebut buto ijo atau bergola hijau.

Aku tidak ingin berlama lama berurusan dengan jin fasik atau sebangsa siluman, segera kuheningkan cipta menyatukan hati juga pikiran menyebut asma gusti Allah yang maha besar, Sirr yasin.. telah kurapalkan lalu meniupkan kearah lengan kananku secara lahiriah, ini hanyalah sebuah lengan tapi dengan kacamata batiniah, Siir yasin berwujud sebuah pedang, aku menyilangkan tangan kananku didepan wajah.

Melihat hal itu sosok bergola ijo mengangkat telapak tangannya sambil komat kamit, mataku seakan melihat sebuah cambuk hitam dalam genggaman tangan kanannya, aku segera merapal doa jibril di tangan kiri-ku, lalu terdengar suara,

"Ctarrr... ctarrr..."

Suara yang menggelegar seiring kibasan cambuk hitam, hawa panas yang keluar seakan ingin membakar tubuhku, dengan segera aku memukulkan tangan kiri untuk menghalau hawa panas, dua energi panas beradu, menimbulkan sebuah ledakan yang cukup dashyat, aku yang sedikit faham dengan karakter sejenis buto ijo tidak ingin memberikan kesempatan dengan menyebut kebesaran gusti Allah segera aku menerjang kilatan-kilatan warna perak dari pedang Sirr, mengurung tubuh buto ijo, cambuk api dari tangan buto ijo tidak mampu berbuat banyak saat terjadi pertempuran jarak dekat kemanapun buto ijo menghindar untuk menjaga jarak aku terus mengejar dan menyerangnya, -

sambil meloncat menjauh bergola ijo, melecutkan cambuk hitamnya, lecutan cambuk segera aku halau dengan mengibaskan pedang Sirr yasin,

"Crass....."

Cambuk itu putus, aku betul-betul marah saat seorang anak yatim akan dibawa untuk dijadikan budak di alam siluman, sifat asliku muncul saat bergola ijo terdesak tanpa ampun lagi, kali ini tangan kanan bergola ijo putus dibabat pedang Sirr yasin, disusul suara teriakan kesakitan tubuh bergola ijo bersimpuh, tangan kirinya memegangi tangan kanannya yang buntung.

"Ampun.. manusia.. ampun manusia.." cetus makhluk berkulit hijau .

"Siapa yang menyuruhmu mengambil anak ini..??" tanyaku.

"Ampun manusia.. lebih baik penggal kepalaku daripada aku menyebutkan siapa yang menyuruhku." jawab bergola ijo.

"Baiklah kalau itu mau-mu, makhluk siluman sebangsa inilah yang banyak menyesatkan manusia dan menjadikan manusia sebagai budak di alam kalian" jawabku dan sebuah kilatan warna perak menyambar leher bergola ijo disusul menggelindingnya kepala bergola hijau.

Aku membuka mata bajuku basah oleh keringat, terlihat Andri lelap tertidur, aku segera keluar dari kamar, diruang depan terlihat Kamim tengah mengaduk kopi dengan sendok kecil, satu petak ruangan sebagai tempat tinggal Kamim, terasa begitu sempit dan sumpek, aku yang memang tahu dengan kondisi kamim dari dulu, duduk beralaskan karpet plastik yang sudah sobek disana sini, dengan cepat aku menuang kopi kedalam mangkuk plastik, karena tidak ada piring kecil, lalu meneguknya dan menyulut sebatang rokok, asap putih memenuhi sepetak ruang kecil, keadaan Kamim tidak jauh beda dengan keadaanku, yang jadi pembeda keimanan dan rasa bersyukur dengan  hidup yang kita jalani, Kamim sosok yang ingin menikmati hidup, baginya bisa hidup dengan bergelimpangan kemewahan itulah kebahagian.

Aku faham dengan keinginan sahabatku yang sudah merasa lalah, hidup dalam kesusahan dan bergelut dengan kesulitan, setelah berbincang-bincang cukup lama aku berpamitan.

Satu setengah bulan kemudian, kamim datang kerumah dan bercerita bahwa satu hari saat ke toko untuk membeli rokok, Hamidah meminta anaknya untuk dijadikan suami, menurut Kamim sebagai orang tua ia menyerahkan keputusan kepada anaknya, orang tua hanya bisa mendoakan, dan Kamim diberi uang yang cukup banyak sebagai tanda terima kasih dari Hamidah.

Aku mengingatkan kamim untuk membatalkan pernikahan anaknya dan mengembalikan uang pemberian Hamidah.

"Memang kenapa Wi.." tanya Kamim.

"Kamu tidak faham Mim., siapa Hamidah, apa kamu tidak pernah mendengar tentang Hamidah.." jawabku sambil mengambil satu batang rokok yang di sodorkan Kamim.

"Gak Wi.." ucap Kamim.

"Kalau kamu sayang sama anakmu, juga dirimu, batalkan acara pernikahan mereka" kataku menekankan sama Kamim.

"Ngomong yang jelas-jelas saja Wi.." cetus Kamim.

"Aku tidak bisa membuktikan dan tidak mau menuduh, tapi banyak kudengar bahwa siapapun yang menikah dengan Hamidah akan berakhir tragis.." ucapku.

"Maksudmu tragis itu.. mati Wi...???" Tanya Kamim.

"Mungkin seperti itu Mim.." jawabku sambil menatap wajah Sahabatku.

"Wi...Wi... kamu itu sudah kaya Tuhan saja yang menentukan kematian seseorang, mati itu urusan gusti Allah Wi., kita juga berdua akan mati Wi.." Kamim berbicara dengan Lantang.

"Ya sudah.. aku sebagai teman sudah mengingatkan semua terserah kamu Mim.." jawabku.

Kehidupan Kamim memang jauh dari kata cukup, jadi saat anaknya meminta restu untuk menikah dengan pemilik toko, bagi Kamim ini sebuah kesempatan untuk hidup enak.

Dihari yang sudah ditentukan Kamim memintaku untuk menjadi saksi pernikahan anaknya, aku duduk disamping. Didepanku sepasang pengantin duduk berdampingan, sedang di hadapannya seorang laki-laki paruh baya yang memimpin acara ijab qobul, pernikahan itu sendiri hanya dihadiri oleh beberapa orang saja, aku dan Atun sebagai saksi, Acun dan Kamim sebagai Wali.

Dari awal aku datang Hamidah hanya menunduk dan saat acara ijab berlangsung,
"Bagaimana.. Saksi.. Sah.." tanya laki-laki separuh baya dengan peci hitam.

Aku hanya diam tak menjawab, batinku merasakan getaran energi negatif yang menyelimuti tempat itu dan satu hawa negatif, begitu terasa kental, wangi bunga kantil dan kemboja menyeruak, aroma amis darah seakan menanti sebuah persenbahan, bau kematian sedang mengintip satu nyawa sebagai persembahan.

"Wi..." suara Atun mengingatkan.

"Iya Tun..." jawabku.

"Itu di tanya Sah Gak.." cetus Atun.

Andri menatap kearahku dengan heran di susul Hamidah yang mengangkat kepalanya dengan menyingkap kerudung putih yang menaungi dua kepala sepasang pengantin.

Aku langsung "nyebut" (istighfar) saat melihat wajah Hamidah, aku tidak melihat  wajah Hamidah yang cantik, yang kulihat wajah seorang nenek-nenek berkebaya putih, sangat menyeramkan, aku cepat mengendalikan diri dan berkata, di ulang ustad.. akhirnya ijab qobul diulang dan dengan mantap aku bilang SAH.

Setelah selesai acara ijab qobul aku segera keluar, aku merasakan pusing dan perut mual seakan mau muntah, hal ini bisa menjadi pertanda adanya energi negatif yang menyerang atau dalam acara ruqiah sebagai bentuk keluarnya energi negatif dalam tubuh, secepatnya aku membaca beberapa surah untuk membentengi diri dari energi negatif.

Aku dan Atun segera berpamitan, dan menyalami Kamim juga Andri Anaknya, dan berjalan kearah luar gerbang dari jauh terlihat Hamidah tersenyum.. senyum yang penuh misteri, saat aku tengah berboncengan dengan Atun, sebuah mobil mewah berjalan pelan disampingku kaca jendela bagian depan diturunkan, satu senyuman sumringah dan lambain tangan dari Kamim seakan mengisaratkan kebahagian.. bahwa dia sudah keluar dari kesengsaraan hidup dibagian bekakang, Hamidah tersenyum sambil melambaikan tangan..

"Sering-sering main ke rumah ya Wi.." kata Hamidah.
Aku hanya mengangguk lalu dengan cepat mobil mewah itu meninggalkanku. 

"Wi... siap-siap saja" kata Atun malam itu diwarung kopi.

"Siap-siap apa Tun..??"  jawabku.

"Hehehe.. siap-siap ngurus jasad si Andri" jawab Atun sambil cengar cengir.

Tepat hari ke 41
Kamim datang kerumah dan memintaku untuk menengok anaknya yang sakit, aku mengantar Kamim tapi tidak masuk dalam Rumah Hamidah.

"Kamu masuk sendiri saja Mim, aku nunggu di sini" kataku.

"Iya Wi.." jawab Kamim.

Tidak berapa lama Kamim datang lagi dan memaksaku untuk melihat anaknya, akhirnya aku masuk. Hamidah tertunduk dengan raut muka sedih, Andri terbaring dengan bibir membiru, tatapan matanya kosong, seluruh badannya panas.

"Sudah terlambat" batinku.
Andri sudah dibawa oleh sosok astral, setelah tanganku memegang pergelangan tangan andri dan mengecek leher andri, denyutan nadinya sudah tak ada helaan, napasnya telah hilang... secara kasat mata itu raga Andri.. tapi secara batiniah.. itu bukan raga Andri tapi aku memilih diam hanya mengatakan pada Kamim untuk sabar dan menerima takdir dari sang pencipta. Andri telah meninggal... Kamim menjerit menangis sejadi jadinya.. sudut mataku melihat sebuah senyuman misterius dari sudut bibir Hamidah.

Aku tidak habis pikir dengan Hamidah, apakah dia memang punya ikatan dengan makhluk astral untuk memperoleh kekayaan, terus kekuatan dari mana yang membuat Hamidah terlihat awet muda dan cantik atau satu kekuatan yang memberikan dua efek yang berbeda, kekayaan dan kecantikan. Aku baru kali ini berhadapan dengan hal ghoib seperti yang terjadi pada Hamidah, dalam setahun dua nyawa jadi tumbal, ngeri.

Disatu sisi.. Hamidah ingin memperbaiki diri dan keluar dari masalah.. disisi lain Hamidah seakan menjadi monster yang haus darah.. dua kepribadian yang berbeda dalam tubuh Hamidah.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close