Cokro Kolo Munyeng (Part 4)
JEJAKMISTERI - Kepergian Andri menyisakan luka bagi Kamim dia merasa semua ini karena perbuatan Hamidah dan Kamim hendak meminta pertanggung jawaban dari Hamidah atas kematian anaknya.
Langit senja yang indah membawa langkah Kamim ke arah sebuah kedai kopi dimana aku dan Atun tengah asyik bercerita ditemani kopi hitam dan sebatang rokok yang terjepit di sela jari.
Dengan wajah kusut dan raut kesedihan kamim menggeser kursi dari bawah meja lalu duduk sambil meletakan satu kantong plastik hitam dan menarik napas panjang "hhah.." suara Kamim memecah kebisuan.
"Dari mana Mim.." tanyaku.
"Gak ada Wi.. suntuk saja dirumah terus" jawab Kamim sambil menyandarkan punggungnya di sandaran kursi plastik.
"Apa itu Mim.." tanya Atun.
"Uang Tun" jawabnya singkat, disusul dengan membuka ikatan kantong plastik hitam.
Dua ikat uang, lembaran merah sebagai nominal tertinggi di era joko widodo, wangi khas uang baru tercium, Atun melongo dan mangap sambil menatap uang dalam kantong plastik, aku yang sedikit banyak tahu kehidupan Kamim dari sebelumnya, merasa tidak percaya dengan apa yang dibawa sahabatku.
"Uang siapa Mim..???" tanyaku.
"Dari Hamidah Wi.. sebagai tanda bela sungkawa katanya" jawab Kamim sambil kembali mengikat kantong plastik itu.
"Kemarin Wi.. dikasihnya setelah acara Tujuh hari anakku" lanjut Kamim.
Aku hanya diam sambil menatap wajah sahabatku.
"Maaf ya Mim.. sebelumnya kalau boleh aku menyarankan kamu ambil saja seperlunya untuk acara tahlilan anakmu terus sisanya sedekahkan atau berikan pada kaum dhuafa" saranku pada Kamim.
"Apa Wi..!!!!" jawab Kamim sambil memperbaiki duduknya.
"Iya seperti tadi kamu dengar kan.." ujarku.
"Oh... tidak, tidak Wi.. uang ini saja masih kurang dan tidak akan bisa mengembalikan anakku, kalau boleh aku malah minta tambah lagi, jangan.. jangan kamu katakan kalau akan terjadi sesuatu, seperti yang kamu bilang dulu Wi.. mungkin omonganmu, kebetulan saja terbukti Wi.. dengan menerima uang ini aku sekaligus ingin membuktikan benar atau tidaknya kalau Hamidah itu memilki pesugihan, menurutku Hamidah itu kaya karena memang usahanya dimana mana." ungkap Kamim panjang lebar.
"Aku sahabatmu Mim.. sudah sepantasnya sebagai sahabat aku mengingatkan mu.. itu sebagai bentuk kepedulianku tapi semua terserah sama kamu Mim.. toh aku hanya manusia biasa tidak jauh beda dengan dirimu, mungkin betul apa yang kamu katakan bahwa semua yang terjadi itu kebetulan, tapi menurutku tidak ada yang kebetulan, karena semua yang terjadi sudah menjadi titik tulis Gusti Allah" ujarku sambil mengingatkan sahabatku.
"Jujur.. aku merasakan firasat yang tidak baik dengan uang itu mim.." lanjutku.
"Kamu akan mengatakan bahwa aku akan mengalami nasib yang sama dengan anakku, begitukan Wi maksudmu" jawab Kamim dengan sewot.
"Apakah dengan aku mengatakan iya, kamu akan menjawab aku tengah mengkultuskan diri sebagai Tuhan seperti kamu katakan waktu itu, apakah kejadian yang menimpa anakmu tidak kamu jadikan pelajaran dan peringatan dari tuhan buatmu Mim.." ujarku.
"Wi... aku kehilangan anakku, aku tidak ikhlas Wi.. kini kamu menyarankan untuk menyumbangkan uang ini, aku keberatan dan aku akan kehilangan dua-duanya, kapan lagi kesempatan bagiku untuk menikmati hidup Wi.." ucap Kamim sambil membakar ujung rokok kreteknya.
"Semua terserah Mim.. kamu yang menjalani, aku hanya mengingatkan" ungkapku.
"Terima kasih kamu sudah mengingatkan, tapi mohon maaf, aku akan menikmati uang ini biarkan aku menerima takdirku sendiri, kalau memang aku harus jadi tumbal dari Hamidah, itulah jalanku mungkin aku bisa bertemu anakku" jawab Kamim.
"Kamu itu bukannya bertahan hidup agar bisa mendoakan anakmu malah seperti itu, kamu terlalu silau dengan lembaran merah Mim.." ujarku.
"Ini hidupku.. ini nyawaku, toh kalaupun aku mati tidak akan merepotkan orang lain, kalaupun tidak ingin direpotkan lemparkan saja jasadku ke jembatan Barelang, toh aku akan habis dimakan ikan" kata Kamim sambil menunjuk kearah dadanya.
Aku hanya diam dan mengelengkan kepala mendengar kata-kata sahabatku, aku tidak ingin berdebat dengan orang yang sudah kehilangan akal sehatnya, sebagai sahabat, aku sudah mengingatkan dan itu hak dia menerima atau tidak saran dariku, nurani dan akal sehatnya telah tertutup oleh dua gepok uang merah.
Semenjak kejadian itu aku lama tidak bertemu dengan Kamim dan akupun sama sekali tidak ada lagi komunikasi dengan Hamidah, aku menjalani aktivitasku sebagai Marbot, juga salah satu pengurus dari sebuah yayasan yang menyantuni anak yatim dan kaum dhuafa.
Hingga satu sore handphonku berdering, terlihat dilayar nama Hamidah tertera segera aku menekan tombol bergambar gagang telpon, "Assalamualaikum.. bu Hamidah" ucapku.
Kudengar suara Hamidah diujung sana yang memintaku untuk segera datang secepatnya karena ada sesuatu hal yang penting yang ingin dibicarakan, aku menolak Hamidah dengan mengatakan tidak ada kendaraan tapi Hamidah sudah menyuruh Acun menjemputku dan sekarang Acun tengah menuju kearah kediamanku, aku menarik nafas panjang dan mengatakan "iya bu".
Selepas Maghrib, aku sudah berada dihalaman rumah megah mentereng berlantai dua, suasana diperumahan elite begitu sepi, hujan gerimis dan angin yang berhembus menambah suasana semakin terasa mistis, sebelum masuk kedalam rumah aku membaca ayat qursi 7x sebagai usaha untuk membentengi diri karena aku tahu betul hawa mistis dalam rumah megah Hamidah.
Setelah mengucap salam aku, Atun dan Acun juga satu teman Acun, masuk kedalam rumah, terlihat Hamidah tengah duduk di kursi tengah bersama Kamim sahabatku, "ko.. Kamim ada disini" batinku,
Kamim tersenyum juga Hamidah sambil berpegangan tangan mesra.
"Wi.. tolong nikahkan aku sama Hamidah secara siri" ucap Kamim.
"Apa.., kalian sekongkol memintaku, untuk datang kesini hanya untuk menikahkan kalian, kalian sudah merencanakan ini semua, kenapa tidak berterus terang, bukan dengan mengatakan ada yang penting, ini seperti sebuah penodongan kalian betul-betul tidak punya otak," kataku dengan nada marah.
"Mas wi.. maafkan saya, saya tidak bermaksud untuk melakukan ini semua atas ide mas Kamim." Ucap Hamidah.
"Bu.. saya menghormati ibu tapi kalau seperti ini caranya ibu tidak bisa menghormati orang lain, jangan harap saya menghargai orang lain termasuk ibu, jangan karena ibu banyak harta bisa memperlakukan seenaknya, saya tidak akan pernah takut dengan siapapun termasuk sama sesembahan ibu sekalipun, kamu juga Kamim, jangan harap aku akan menolongmu, kalau satu saat kamu kesulitan, asal kamu tahu hari ini aku katakan padamu bahwa uang yang kamu bawa kemarin adalah uang tebusan dari nyawamu dan kalian tidak perlu nikah siri, toh kalian sudah sama-sama punya tujuan," lantang suaraku bergema di ruang tamu rumah megah itu.
"Jaga mulutmuWi.." bentak Hamidah.
"Kamu bukan saja harus menjaga mulut tapi jaga ragamu, cepat atau lambat kamu sendiri yang akan jadi tumbal dari sesembahanmu" aku balik membentak Hamidah.
"Kurang ajar kamu.." kata Kamim sambil melayangkan kepalan tangannya ke arah pelipis dengan gerakan menghindar, aku tangkap pergelangan tangan Kamim, lalu memegang bagian telapak tangannya serta memegang ibu jarinya aku memutar tangan Kamim ke belakang.
"Mundur kamu Cun.. jangan ikut campur." kataku sambil menunjuk kearah Acun yang hendak melangkah mendekati.
Melihat Kamim yang meringis, Hamidah langsung tertunduk dan duduk, sambil menutupi wajahnya dengan telapak tangan, tidak berapa lama Hamidah mengangkat wajahnya dan berkata dengan suara yang berat juga serak,
"Lepaskan dia.." sambil menunjuk ke arah Kamim, kali ini bukan Hamidah yang berbicara tapi sosok lain yang masuk dalam raga Hamidah.
Sorot mata Hamidah dingin dan tajam dan anehnya menatap kearah Kamim, aku segera melepaskan tangan Kamim dan mendorong tubuhnya hingga terjerembab di kursi panjang sebelah Hamidah.
Aku mencoba menatap sorot mata Hamidah..
"Hmm... ternyata ini yang masuk dalam raga Hamidah" batinku saat melihat satu nenek-nenek berkebaya putih dengan sanggul dan tusuk konde berupa bunga Kantil, lalu suara mengekeh terdengar dari mulut Hamidah.
"Beraninya kamu menghina cucuku," sebut nyai Kantil semayang.
"Iki putuku, kowe ojo wani-wani, tak cakar ngko kowe" (ini cucuku, jangan berani-berani, ku cakar nanti kamu) ujar nyai Kantil Semayang.
"Cucumu yang kurang ajar, kamu jaga baik-baik, biar tidak kurang ajar" jawabku.
Acun dan temannya juga Atun mundur menjauh saat melihat kejadian itu.
"Kowe nang kene karo simbah" kata nyai Kantil semayang pada Kamim yang hendak beranjak menjauh karena takut Kamim menurut dan tetap duduk disamping Hamidah yang kerasukan.
Tiba tiba mbok min pembantu disitu datang sambil membawa air dalam gelas yang berisi bunga melati putih dan mengusapkan air itu melalui telapak tangannya ke Wajah Hamidah dan anehnya Hamidah langsung tergeletak tak sadarkan diri, mbok Itu berbisik di telingaku
"Suara Auman. milikmu membangunkanku" setalah berbisik dengan begitu saja melangkah pergi kearah rumah bagian belakang. Aneh..
Setelah siuman Hamidah bertanya "ini ada apa" aku hanya diam dan Kamim yang menjelaskan semua yang terjadi, setelah mendengar itu semua. Hamidah meminta maaf bahwa semua yang terjadi diluar kesadarannya, aku semakin bingung dan merasa Aneh dengan penghuni rumah megah ini.
Dan aku tetap menolak untuk menikahkan mereka, semua kulakukan untuk menyelamatkan Kamim, akhirnya mereka memintaku untuk menjadi saksi setelah Acun menghubungi seseorang yang sanggup menikahkan mereka secara siri.
Setelah prosesi pernikahan selesai, aku dan Atun berpamitan, Kamim menyalami dan meminta maaf atas kejadian tadi, juga Hamidah yang kembali tersenyum, sebuah senyum yang misterius, aku segera melangkahkan kaki keluar dari dalam rumah diikuti oleh Atun, ketika sampai dihalaman depan tanpa sengaja Atun melihat kearah balqon lantai dua,
"Wi.. itu nenek siapa ya, di atas balqon" tanya Atun sambil menarik tanganku.
Sudah tidak usah dilihat, jawabku sambil terus berjalan kearah pintu gerbang dan tak lama kemudian Acun datang dengan segera aku dan Atun masuk kedalam mobil Acun.
Aku tahu hidup Kamim terancam secara batiniah, tapi secara lahiriah hidup Kamim berlimpah kemewahan, hidupnya tidak susah dan sengsara lagi.
Ternyata aku salah, ternyata Kamim dijadikan Hamidah sebagai umpan untuk mencari korban yang lain demi untuk kelanggengan kekayaan dan kecantikannya dan Kamim hanya diperalat untuk mencari anak-anak muda. Dengan mencarikan korban, Kamim mendapatkan kemewahan hidup bergelimang harta dan Kamim menjadi budak iblis bersama Hamidah. Kamim bersekutu dengan syetan.
Siang itu cuaca panas, tiba-tiba redup mendung hitam menjelma angin berhembus kencang, satu berita duka terdengar dari sebuah masjid bahwa telah meninggal seorang anak remaja yang tidak lain adalah salah seorang pekerja dirukonya Hamidah dan sebagai penghuni ruko tersebut, aku yang tidak jauh dari lokasi ruko menyempatkan diri untuk melaksanakan fardhu kiffayah, saat aku membuka kain penutup jenazah, terlihat jenazah itu, matanya melotot, bibirnya membiru dengan lidah sedikit menjulur, aku mencoba untuk mengusap wajahnya tapi mata jenazah itu tetap melotot tidak lama kemudian satu mobil mewah datang, Kamim dan Hamidah turun dengan memasang raut wajah sedih begitu juga dengan Hamidah yang beberapa kali mengusap air matanya dengan tissu, menurut teman kerjanya, jenazah ini baru bekerja selama 4 bulan dan tiga hari yang lalu merasakan demam serta suhu badan yang panas, aku hanya diam dan menganggukan kepala.
Aku melangkah menghampiri Kamim dan istrinya Hamidah, dan tepat berada ditengah diantara keduanya aku berkata dengan suara pelan, "ini ulah kalian berdua"
KAMIM membuang wajahnya tak berani menatap wajahku. Sedangkan Hamidah tersenyum begitu manis dengan wajahnya yang terlihat lebih cantik dan tampak lebih muda.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya