Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cokro Kolo Munyeng (Part 6)


JEJAKMISTERI - "Mim, besok kita pergi ya.." ajakku.

"Pergi kemana Wi..??" jawab Kamim dengan mimik muka heran.

"Mulai besok agar kamu lebih aman, kamu tinggal di pondok dulu ya" jawabku sambil melipat kain sarung.

"Dipondok siapa Wi..?? Jawab Kamim sambil menuang air panas dalam cangkir.

"Dipondok Darrul ulum Mim, mau..? Ujarku dengan menatap wajah Kamim

"Memang kenapa Wi, harus pindah.." kata Kamim sambil ngaduk kopi dalam cangkir.

"Jujur Mim aku takut, aku tak mampu menjagamu, terus terang Mim, yang mengejarmu kini penguasa kegelapan yang menjadi sesembahan dari Hamidah, kalau disana ada pak kyai yang ikut menjagamu, disini aku sendiri ragu Mim, ini semua untuk kebaikanmu.." jawabku sambil menuang kopi dalam piring kecil.

"Kamu tidak kuat Wi.." jawab Kamim.

"Aku manusia biasa, bisa saja aku lengah Mim, disaat aku lengah disaat itu aku tidak bisa menjagamu, yang kita hadapi Makhluk astral yang tidak punya rasa lelah dan ngantuk, mereka bisa datang kapan saja, siang atau malam untuk mengambil dirimu, aku sadar bahwa aku bukan apa-apa buat mereka, minimal kalau disana ada pak kyai yang ikut menjagamu.." ujarku diteruskan dengan menyeruput kopi dalam piring kecil.

"Tapi pak kyai apa mau menolongku sekaligus menyelamatkan nyawaku Wi..??" tanya Kamim.

"Insya Allah Mim, kyai Solehhudin pasti menolongmu, aku kenal baik dengan beliau, beliau adalah teman dari kecil dulu, kami sering main bersama" jawabku seraya menyulut ujung rokok kesukaanku.

"Wes, aku manut ae wi.." (Sudah, aku nurut saja wi..) jawab Kamim sambil menyalakan korek api dan membakar rokok.

"Eh Wi.. kamu sendiri gimana, apa tidak akan menemaniku Wi..??" Kamim kembali bertanya.

"Aku akan menemanimu setiap malam, aku akan ke pondok Mim.." jawabku.

"Makasih ya Wi, aku selama ini sudah salah menilaimu, ternyata kamu sampai sejauh ini menyelamatkanku.." ucap Kamim dengan raut muka yang sedih dan terlihat kedua matanya basah.

"Sudahlah Mim, jangan dipikirkan yang penting saat ini kita bisa keluar dari situasi ini" balasku.

Sore hari aku telah sampai di pondok Darul Ullum setelah mengucapkan salam pintu terbuka disusul jawaban salam, kyai Solehhudin membukakan pintu, aku segera menyalami serta mencium tangannya begitu juga Kamim yang melakukan hal sama dengan diriku, setelah duduk dan berbincang-bincang, aku segera mengutarakan maksud dan tujuanku serta mengenalkan Kamim sahabatku.

Kyai Solehhudin adalah teman bermain waktu kecil, aku tidak pernah menyangka bisa bertemu di kota Batam dan kini teman sepermainanku telah mendirikan sebuah yayasan untuk kaum dhuafa, juga membuka pondok pesantren gratis bagi anak-anak tidak mampu, Luar biasa.

"Wi.. sudah kamu disini saja, sayang ilmu yang dipelajari kan, kalau disini bisa mengajar ngaji anak-anak" ucap kyai Soleh.

"Hehehe.. iya kang nanti ya kang, aku masih terikat dengan yayasan Darul Gufron kang.." jawabku.

"Oh... kamu sekarang disana, ya gak apa-apa kalau disana, eh... gimana kabar kyai Di ... sehatkan?" tanya Kyai Soleh.

"Alhamdulillah.. sehat kang" jawabku.

Tak lama kemudian salah seorang santri dengan membawa nampan datang dan meletakan dua cangkir kopi dan satu gelas teh manis, kyai Soleh sudah tahu kebiasaanku dan mempersilahkan aku untuk minum kopi dan menyulut roko sambil berkata,

"Kopi tanpa rokok ibarat sayur tanpa garam ya Wi.. hehehe" ujar kyai Soleh.

"Hehehe.. iya kang" jawabku disusul dengan menuang kopi dalam piring kecil.

"Wah... kebiasaanmu tidak berubah ya Wi.." ujar kyai sesaat setelah melihat aku menuang kopi.

"Hehehe.. iya kang" jawabku, kamim yang dari tadi diam saja minta ijin untuk kewarung membeli sesuatu, aku dan kyai mengangguk.

"Wi.. ada satu kamar kosong dibelakang suruh nanti Kamim tidur disana" pinta kyai Soleh.

"Iya kang, terus gimana kang masalah keselamatan Kamim.." tanyaku.

"Kita hanya berdoa dan memohon keselamatan pada Gusti Allah Wi.. kita itu makhluk yang tidak ada daya dan upaya, semua kita serahkan pada gusti Allah Wi, nanti kamu antar ke kamar belakang dan minta Kamim untuk banyak-banyak mendawamkan ayat qursi sama sholawat Wi.. insya Allah Aman." Jawab kyai Solehhudin.

Setelah Kamim datang dan setelah perbincangan selesai aku mengajak Kamim ke kamar yang ditunjukan oleh kyai Soleh, setelah membersihkan dan merapikan isi kamar aku meminta Kamim untuk mendawamkan ayat qursi juga sholawat yang diajarkan kyai Soleh, aku meminta sama Kamim untuk tetap terjaga malam ini.

Saat tengah malam seperti biasa udara terasa sangat berbeda hawa terasa begitu panas, aku segera keluar dari kamar saat membuka pintu tampak kyai Soleh tengah berdiri membelakangi pintu, kedua tangannya kebelakang jarinya memutar biji tasbih mendengar suara pintu terbuka kyai Soleh menoleh kearahku sambil tersenyum dan berkata;  "mereka sudah datang dari tadi Wi.."

Aku baru merasakan, tapi kyai Soleh mengatakan bahwa mereka sudah datang dari tadi, hebat kawan kecilku ini. Aku mengucap syukur jika masih dirumahku mungkin Kamim sudah dibawa.

"Kamu tidak melihat mereka Wi.." tanya kyai Soleh.

"Belum Kang.." jawabku.

"Tirakatmu kurang lama wi.. yang kamu hadapi, sudah bukan utusan lagi, kalau dialam manusia pangkatnya sudah dibahu bukan dipangkal lengan lagi Wi.." ucap kyai Soleh .

"Jadi gimana kang.." tanyaku.

"Ya lawan, masa mau membiarkan kawanmu di bawa, kok malah nanya gimana.." jawab kyai Soleh, aku betul-betul dibuat 'Oon' oleh kyai Soleh, hehehe.

"Siap kang" jawabku sambil berjalan kearah kamar mandi untuk bersuci, bersuci adalah salah satu cara untuk menjadikan doa-doa kita berefek lebih saat digunakan dalam berbagai keadaan, apalagi untuk menghadapi makhluk astral, kadang orang menghadapi yang kerasukan membaca bermacam macam surah tanpa bersuci ini yang menjadikan apa yang kita baca kurang ampuh, mbah Yai dulu mengajarkanku untuk bersuci terdahulu sebelum membaca atau menggunakan doa sebagai obat atau tameng diri.

Secepatnya aku keluar dari kamar mandi dan menghampiri kyai Soleh.
"Jangan tidur Wi.. jaga temanmu" kata kyai Soleh sambil melangkahkan kaki meninggalkanku, aku faham maksud kyai Soleh dan segera aku masuk kamar.

Segera aku memejamkan mata mengheningkan cipta menyatukan hati dan pikiran, hatiku menyebut asma Gusti Allah, mulut berucap bersholawat dalam keagungan sang pemimpin umat memohon perlindungan gusti Allah dan mengharap syafaat baginda Rosul.

Aku kembali merasakan memasuki dimensi lain, dimensi alam astral, alam lelembut, satu sosok buto ijo dengan membawa gada di temani satu Sosok yang memegang kendali kuda kencana dengan wajah yang tidak kalah menyeramkan dengan satu gerakan dia meloncat dan berdiri di samping buto ijo, mereka tertawa terbahak bahak saat melihat kedatanganku dan memintaku untuk menyerahkan Kamim dan jangan ikut campur.

Melihat sosok mereka aku mencoba bersikap tenang dan mencoba mengingatkan mereka untuk membatalkan niat dan kembali ke alamnya.

"Lebih baik kalian pulang dan minta pada pemujamu (Hamidah) untuk jadi gantinya" ucapku.

"Hamidah itu urusanku bukan urusanmu" jawab buto ijo.

"Kalau kamu tetap mau membawa Kamim, ini menjadi Urusanku" ucapku menantang sambil merapal sirr Yasin dan doa Jibril.

"Bagus kalau begitu biar aku bisa menikmati segarnya darah manusia..." jawab makhluk satu lagi yang bertubuh agak pendek dengan memegang sebuah pedang yang cukup besar dan berkilauan.

"Swiiiittt..."

Desingan angin dari pedang besar yang dikibaskan oleh makhluk itu menyambar ke arah leher di susul ayunan gada yang datang dari samping, menderu,, siap menghancurkan tulang igaku.

Aku menarik langkah untuk mundur gada itu lewat depan dadaku pedang Sirr yasin dalam posisi menangkis serangan pedang besar,

"Tranggggg......"

Dua benda tajam beradu aku merasakann getaran yang sangat kuat, gada yang luput kini kembali berbalik arah, disaat aku menahan tekanan pedang besar, posisiku benar-benar sulit, sebelum gada itu menyentuh kulitku satu auman dashyat terdengar seiring melesatnya satu sosok tubuh belang hitam, Wangsa direja menerkam sosok buto ijo, kali ini aku melihat sosok Wangsa direja sama besar dengan sosok buto ijo, mulut wangsa direja mencengkram tangan buto ijo kukunya yang tajam mencakar wajah buto ijo, tangan kiri Buto Ijo mencengkram leher belakang Wangsa direja dan berusaha untuk membantingkan tubuh Wangsa direja.

Sosok berpedang besar yang berwajah seperti buto Cakil mendorongkan pedangnya disusul sebuah tendangan kearah perut, aku menarik pedang Sirr kesamping untuk keluar dari tekanan, pedang besar juga tendangan mengenai tempat kosong melihat hal itu aku segera memukulkan, pukulan Jibril kearah buto Cakil satu hawa panas menderu mengarah ke tubuh buto Cakil dengan cekatan Buto Cakil menghindar sambil memukul balik, ternyata buto Cakil lebih berpengalaman dalam main Silat, melihat pukulan Buto Cakil aku menarik napas dan menahannya di rongga dada secara bersamaan ku hentakan bersama guncangan az zalzalah, benturan terjadi..

"Blarrr..." Aku dan Buto cakil sama-sama terjajar kebelakang.

Disisi lain Wangsa direja terlibat pergumulan dengan buto ijo, Buto ijo dan Wangsa direja sama-sama memiliki taring dan Cakar, auman-auman Wangsa direja menggelegar dibalas suara Buto ijo yang menggeram.. "grrrrrrrhhh".

Buto Cakil menancapkan pedangnya disusul tangannya yang diangkat keatas mulutnya komat kamit? terlihat kedua lengannya membara, Aku yang pernah merasakan beberapa pertarungan tidak ingin menganggap enteng Buto Cakil dengan kedua tangannya yang membara, guncangan az azlzalah dan doa Jibril ku siapkan untuk menghadapi pukulan Buto Cakil, ternyata Buto Cakil menghantamkan kedua tangannya ke tanah dibawahnya, ini jelas diluar dugaanku.. dan aku kalah cepat, tanah yang kupijak bergetar hebat bersama hawa panas menyengat, aku merasakan seluruh tubuhku seakan terbakar, aku berteriak sekuat mungkin dengan menyebut Asma gusti Allah sambil memukulkan kedua telapak tanganku ke tanah... tanah yang kupijak semakin bergoncang dan aku, juga Buto Cakil sama-sama terpelanting lalu badanku jatuh tertelungkup.. aku tak mampu bangun, seluruh tubuhku terasa panas seakan terbakar, dadaku sesak dan sakit berdenyut, sudut mataku masih sempat melihat Buto Cakil yang sudah berdiri sambil tertawa terbahak-bahak.

"Modar... modarrr... kowe" (mati.. mati.. kamu) ucap Buto Cakil bergema dan suara langkahnya mendekat kearahku yang tengah tertelungkup.

Sayup-sayup kudengar satu suara oleh telingaku,
"Hudang maneh.. karek sakitu geus ngagoler" (bangun kamu, baru segitu sudah jatuh) satu suara yang cukup akrab ditelingaku. Suara teman kecilku yang juga kakak kandungku.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close