Cokro Kolo Munyeng (Part 8)
JEJAKMISTERI - Aku teringat pesan mbah yai AMBARI dan juga karena Gusti Allah aku menyanggupi untuk membantu Hamidah keluar dari lingkaran setan meski aku sadar bahwa ini sama saja dengan mempertaruhkan nyawaku sendiri, tapi aku yakin bahwa Tuhan mengirimkan mbok Nah kepadaku tentu dengan jalan keluarnya meski aku juga bingung harus memulai dari mana.
Berbekal sepeda motor tua aku membelah jalanan menuju perumahan Elite dimana Hamidah tinggal, setelah menekan bel disamping gerbang dengan sendirinya pintu gerbang bergeser memberi jalan kulihat mobil Acun sudah terpakir dihalaman, terlihat Acun dan Atun sedang duduk disebuah Gazebo yang terletak ditepi taman, melihat kedatanganku Atun segera menghampiri di susul Acun dibelakangnya.
"Wi sudah ditunggu tuh.." ucap Atun sambil menunjuk kearah ruang tamu, terlihat Hamidah tersenyum sambil berdiri dengan balutan daster bermotif bunga juga mbok Nah yang berdiri disampingnya.
Aku dibarengi atun dan Acun menghampiri Hamidah yang segera mempersilahkan untuk masuk dan duduk diruangan tengah, mbok Nah tersenyum kearahku sambil menganggukan kepala dan terus berjalan kearah belakang menuju dapur, setelah menata minuman dan toples makanan mbok Nah duduk disamping Hamidah sesuai permintaan Hamidah.
"WI.. Si Mbok sangat berterimakasih Wi,, sudah mau datang untuk memenuhi undangan ndok Hamidah" ucap mbok Nah sambil menujukan ibu jarinya kearah Hamidah.
Aku hanya mengganguk dan tersenyum sambil menuangkan kopi di piring kecil dan "cess" korek api gas ku menyala membakar ujung rokok kesukaanku.
"Gimana mas.. bisa membantu dan menolong saya.." tanya Hamidah.
"Insya Allah.. hanya saja ada beberapa hal yang harus saya sampaikan untuk memutus perjanjian ghaib" jawabku sambil menatap wajah Hamidah.
"Apa itu mas Wi.." balas Hamidah.
"Memutus perjanjian ghoib tentunya harus siap kehilangan kekayaan yang saat ini dimiliki, gimana ibu Hamidah siap???"
Hamidah terdiam sesaat seakan tengah berpikir dan dibarengi menarik napas yang panjang "saya siap mas.." jawab Hamidah dengan Mantap.
"Baik kalau begitu sedekahkan hartanya untuk panti asuhan dan kaum dhuafa seratus lima puluh orang, setiap hari jumat dan cari keluarga dari orang-orang yang telah menjadi tumbal kekayaan bu Hamidah santuni mereka, minta maaf sama mereka, gimana bu.. sanggup" tanyaku.
"Maaf mas.. aku hanya tahu beberapa orang saja, selebihnya saya tidak tahu" jawab Hamidah.
"Untuk selebihnya yang tidak tahu kita adakan doa arwah sampai hari ketujuh nanti disambung hari 40 dan hari yang ke 100, bagikan semua nasi kepada kaum dhuafa selama acara doa arwah, ini tahap pembersihan semua harta ibu, tahap yang lainnya buang atau larung semua benda-benda keramat yang ada dirumah ini termasuk arca Semar itu" kataku sambil menunjuk arca semar yang terlihat marah saat jariku menunjuk kearahnya.
"Iya mas.. aku terserah Sampean" ucap Hamidah.
Aku meminta Acun dan Atun untuk memasukan semua benda-benda mistis kedalam karung.
"Ini Aman Wi.." tanya Atun sambil menatap kearahku.
"Insya Allah aman Tun.." jawabku.
Semua benda-benda mistis telah masuk dalam karung juga beberapa lukisan sudah diturunkan, lalu melepas dari bingkainya dan menggulung lukisan itu, memasukan gulungan lukisan kedalam karung, hal ini aku lakukan untuk mengurangi energi negatif yang ada dalam rumah Hamidah.
Dengan menggeser sedikit demi sedikit akhirnya sepasang arca yang berdiri didua sisi tangga yang menuju lantai dua kini berada dihalaman rumah dan dengan menyebut nama Tuhan, Atun memukulkan martil besar ketubuh arca itu, "dess" martil besar seperti memukul ban mobil dan martil itu memantul lalu menghantam kening Atun, sambil menutupi mukanya Atun mengaduh kesakitan dalam posisi duduk dilantai, melihat hal itu Acun berlari menghampiriku yang tengah mengikat karung berisi barang-barang mistis
"Wi itu Atun Wi.." ucap Acun dengan nada panik, aku langsung berlari menghampiri Atun yang tengah duduk sambil menutupi wajahnya, terlihat ada darah yang keluar dari kening Atun.
"Tun... Atun.. kamu tidak apa-apa" tanyaku sambil mengoyangkan tubuh Atun, Atun hanya diam tidak menjawab segera ku tarik tangan Atun yang menutupi wajah, Atun tetap diam tanpa ekspresi, aku segera membasuh luka dikening Atun dan memberinya obat luka, Atun tetap diam.
"Sudah tidak beres nih anak.." batinku, baru selesai aku membatin tiba-tiba Atun berbicara dalam logat Sunda sambil menunjuk kearahku.
"Kurang ajar maneh.. wani ngannggu imah aing" (Kurang ajar kamu berani menggangu rumahku) ucap Atun.
"Ieu saha Ti mana??" (Ini siapa dan dari mana??) Jawabku.
"Aing anu ngageugeuh pakidulan laut" (aku yang menghuni pesisir laut selatan)
"Ooo.. ya sudah kamu pulang" jawabku.
"Kamu sudah menggangu rumahku sekarang nyuruh aku pulang.. emang siapa kamu??" ucap makhluk yang merasuk dalam tubuh Atun.
Aku tidak ingin berlama lama, segera kubacakan ayat qursi dan doa nur lalu mengusap wajah Atun, Atun kembali sadar dan celingukan kiri kanan.
Aku harus bisa mengusir makhluk ini untuk menghancurkan kedua patung itu, jangan sampai energi negatifnya masuk kedalam raga orang-orang disekitar rumah megah milik Hamidah, aku segera mengambil martil besar lalu memejamkan mata membaca sirr yasin lalu meniupkan energi sirr yasin ke arah kepala martil dan dengan mengucap asma Allah.. "brukkk" kepala martil besar menghantam patung Semar dan patung itu retak,, "awas kamu" satu suara terdengar setengah berbisik di telingaku.
Aku dan Atun duduk dibelakang, Acun duduk didepan sama Hamidah saat roda mobil merayapi aspal hitam jalanan menuju sebuah jembatan untuk melarung semua benda-benda mistis.
Sesampainya dijembatan aku meminta Hamidah untuk melemparkan semua benda mistis ke laut dari atas jembatan 4 barelang, aku meminta Hamidah untuk membaca beberapa surah sebelum melarung semua benda-benda pusaka miliknya, sebagai awal dari kehidupan baru Hamidah untuk membenahi diri dan lepas dari lingkaran setan yang membelenggunya.
Setelah usai semua ragkaian aku kembali pulang bersama Atun, setelah sebelumnya meminta Hamidah untuk mendawamkan ayat qursi sebanyak banyaknya dan pada malam harinya aku kembali kerumah Hamidah.
Aku dan Atun tidur disalah satu kamar dilantai dua, suasana begitu mencekam, dingin begitu menusuk tulang, hembusan angin terasa lain, semua penghuni ghaib murka karena rumahnya dilarung, aku meminta Atun untuk menyiramkan air di empat sudut kamar juga meminta Atun untuk terus berzikir memohon pertolongan gusti Allah hingga Atun tertidur.
Asap tipis perlahan lahan memasuki kamar lalu semakin tebal dan menggumpal yang akhirnya berwujud satu sosok yang menyeramkan, telinganya Lancip dengan dua mata yang bulat dan besar menatap kearahku dengan logat sunda makhluk itu memintaku untuk memindahkannya, kesebuah tempat yang tidak jauh dari rumah megah Hamidah.
"Pindahkan aku kesana" ucap makhluk itu sambil menunjuk kearah timur.
"Kemana ???" Jawabku.
"Ke pohon besar pinggir jalan dan kamu harus menggendongku" ucap makhluk bermata bulat.
"Kenapa harus digendong" jawabku.
"Karena kamu sudah merusak rumahku" balas makhluk itu sambil menggeram.
"Aku tidak akan menggendongmu, kalau kamu mau pindah, pindah saja sendiri" jawabku.
Aku tahu dengan menolak keinginannya, makhluk itu akan marah tapi aku juga tidak mau diperbudak oleh makhluk itu untuk memenuhi keinginannya, semua sudah aku pikirkan dan sudah kupersiapkan, hijib ayat qursi untuk memukul makhluk itu sebelum dia menyerang, benar saja makhluk itu betul-betul murka dan satu tangannya melayangkan sebuah tamparan kearah wajahku, tangan kiriku menangkis tamparan itu disusul tangan kanan yang memukul kearah tubuh makhluk bermata bulat, "dess" pukulanku dihalau oleh tangan kiri makhluk itu, adu kekuatan tenaga dalam terjadi, aku menahan napas dan menahannya dirongga dada, dibarengi satu hentakan aku mendorong makhluk itu, hal yang sama dilakukan makhluk itu dan dua tubuh sama-sama terdorong kebelakang
"Pantas kamu berani menghancurkan rumahku, juga menolak keinginanku ada juga isinya hahahaha.. aku senang bisa bertempur dengan orang macam kamu, sudah lama aku tidak merasakan segarnya darah manusia" ucap makhluk itu dengan sombong.
Aku segera memejamkan mata menyatukan hati dan pikiran larut dalam doa-doa, pukulan Jibril dan guncangan azjalalah sudah kupersiapkan untuk menghadapi serangan makhluk itu, makhluk itu memutar dua tangannya depan dada, dan secepatnya meghentakan kedua tangannya kedepan, aku segera memukulkan doa jibril dan memukulkan telapak tangan dengan az zalzalah, dua benturan begitu terasa di susul guncangan yang maha dahsyat... membuat makhluk itu terlempar dan kembali jadi asap, lalu menghilang, baru saja mengucap syukur dan menarik nafas satu tawa terkekeh kekeh terdengar dari arah balkon.
"Hehehehehe... Hehehehehe... ini baru awal anak manusia.. hehehehe" suara itu ditujukan padaku.
Aku segera keluar kamar dan berjalan kearah balkon, Nyai Kantil Semayang tengah duduk di tembok balkon dengan kain jarik dan kebaya putih,
"Apa maksud nenek..???" tanyaku.
"Kamu akan berhadapan dengan penguasa kegelepan dari kerajaan buto ijo yang jadi sesembahan Hamidah selama ini, mereka bangsa siluman tingkat tinggi, bisa saja kamu jadi korban dan binasa.. hehehehehe" tukas Nyai Kantil Semayang dengan tawanya yang mengekeh.
"Untuk apa nenek ada disini??" tanyaku.
"Aku ditanam oleh seseorang untuk menjaga Hamidah tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, dalam tubuh Hamidah bersemayam satu sosok yang menggerikan, aku mau minta tolong sama kamu..?" Ucap Nyai Kantil Semayang.
"Mintak tolong apa nek..??" tanyaku.
"Aku terjebak disini dan tidak bisa keluar tolong bebaskan aku.." jawab Kantil Semayang.
Kantil Semayang menunjukan satu tempat dimana ada satu media sebagai alat untuk menanam dirinya ditempat itu.
"Aku berjanji aku akan ikut denganmu bila aku bisa bebas dari sini.. tolong aku.. manusia.."
"Kalau nenek mau ikut denganku, nenek harus ikut dengan keyakinanku.. gimana??? Jawabku.
"Aku akan ikut semua kata-kata mu, tapi bebaskan aku.. aku sudah tidak tahan.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya