TUMBAL PEMBANGUNAN WADUK KEDHUNG JATI (Part 5)
JEJAKMISTERI - Hari masih pagi. Namun kesibukan mulai nampak di bantaran kali Tempuran. Beberapa warga dengan dipimpin langsung oleh Pak Bayan mulai mendirikan tenda untuk persiapan upacara besok. Cukup meriah sepertinya upacara yang akan digelar itu, karena akan dihadiri oleh Pak Camat dan Pak Bupati. Tak heran persiapan yang dilakukan oleh Pak Bayan terkesan sedikit berlebihan.
Prabowo sendiri tak terlalu perduli dengan kegiatan warga tersebut, karena ia juga punya kesibukan sendiri. Beberapa tenaga kerja yang dipimpin oleh mandor Saman yang juga telah sampai di desa itu, mulai sibuk membangun bedeng untuk mereka tinggal selama pengerjaan bendungan itu.
Warga yang berniat untuk ikut bekerja di proyek itu juga telah didata oleh mandor yang sudah cukup lama menjadi orang kepercayaan Prabowo tersebut. Material dan bahan bahan bangunan juga telah dipesan, mungkin siang nanti sebagian sudah dikirim.
Beruntung hari itu cuaca cerah, karena memang sedang puncak puncaknya musim kemarau. Jadi semua kegiatan yang mereka lakukan hari itu bisa lancar tanpa kendala. Hanya satu yang menjadi masalah buat Prabowo. Jarak antara lokasi proyek dengan jalanan desa lumayan jauh. Dan itu hanya bisa diakses melalui pematang sawah. Praktis kendaraan tak bisa masuk kesitu.
"Jadi soal material bahan bangunan, nantinya akan ditimbun di pekarangan warga yang diatas sana Man. Terpaksa, karena kendaraan tak bisa masuk kesini. Kamu atur lah bagaimana baiknya nanti," ujar Prabowo saat mengawasi pembuatan bedeng di bantaran kali itu.
"Itu soal gampang Boss. Aku sudah menyiapkan beberapa gerobak sorong untuk mengangkut material dari desa kesini. Cuma mungkin kita perlu membuat jalan darurat barang semeter dua meter sebelum jalan yang utama kita selesaikan, dan juga butuh beberapa tambahan tenaga kerja lagi," sahut mandor Saman.
"Baguslah kalau begitu. Soal tambahan tenaga, ambil saja dari warga desa sini. Dan ini," Prabowo membuka gulungan kertas berisi salinan dari gambar rancangan proyek yang telah ia buat. "Ini gambar rancangan proyeknya. Nanti, dari sini kita buat jalan ke arah desa, lurus ke atas sana. Batas batas tanah warga yang sudah kita bebaskan, nanti kamu tandai. Ingat, harus jelas tandanya, karena sepertinya ada beberapa warga yang sedikit 'nakal'. Lalu nanti pondasi bendungan dimulai dari sini dan...." Prabowo menjelaskan panjang lebar soal rencana proyek yang akan mereka garap itu, sementara mandor Saman mendengarkan dengan sangat serius.
Selesai memberi pengarahan kepada anak buahnya, Prabowo lalu bergabung dengan Pak Bayan dan beberapa perangkat desa yang hadir disitu. Sekedar berbasa basi dan menanyakan rencana upacara yang akan digelar besok pagi. Tak lupa juga Prabowo meminta kepada sesepuh desa untuk singgah di pondok tempat ia menginap kalau sudah ada waktu senggang. Permintaan Rokhayah kemarin untuk 'membersihkan' pondok tempat mereka tinggal, kalau tak segera dituruti bisa panjang urusannya.
"Soal kepala kerbau itu, bagaimana Pak Insinyur?" tanya sesepuh desa itu mengingatkan.
"Sudah saya siapkan Mbah. Kerbau milik Kang Warno yang tinggal di dekat pondok saya itu. Tinggal dituntun kemari saja besok, atau mau dipotong di desa juga bisa," jawab Prabowo.
"Syukurlah! Biar nanti sore saya suruh anak saya untuk mengambilnya. Besok pagi kita potong di rumah Pak Bayan, untuk hidangan para tamu yang akan datang." sesepuh desa itu tersenyum puas.
Tak terasa, hari begitu cepat berlalu. Sorepun datang menjelang. Pekerjaan hari itupun selesai sudah. Tenda besar dengan atap terpal telah berdiri. Kursi kursi juga telah tersusun rapi. Sepertinya semua berjalan dengan lancar. Demikian juga bedeng tempat tinggal para pekerja. Semua telah siap. Listrik untuk penerangan juga telah tersambung dari salah satu rumah warga. Prabowo tersenyum puas. Sepertinya tak perlu ada yang dikhawatirkan lagi.
Namun dugaan Prabowo ternyata meleset. Malam harinya, saat sedang sibuk menyempurnakan rencana proyeknya, Prabowo merasakan kalau hawa malam itu sedikit berbeda dari biasanya. Udara khas pedesaan yang biasanya dingin terasa begitu pengap. Gerah! Sampai sampai Prabowo harus melepas kemeja yang dikenakannya dan hanya menyisakan kaos singlet saja.
"Tumben udara malam ini gerah banget," gumam Prabowo sambil beranjak keluar.
Terpaan angin malam segera menyambutnya saat Prabowo membuka pintu. Suasana di luar pondok terlihat begitu gelap. Cahaya lampu duapuluhlima watt yang tergantung di teras pondok itu bahkan seolah tak sanggup untuk mencapai halaman pondok.
Prabowo melangkah ke tengah halaman dan mendongak ke atas. Benar saja. Langit nampak menghitam. Kelam tanpa bintang gumintang. Bulan separuh yang menggantung di cakrawalapun mulai meredup ditelan pekatnya awan.
"Gawat! Bisa kacau ini kalau sampai turun hujan. Tapi masa sih tiba tiba mendung gelap begini, padahal ini kan lagi puncak puncaknya musim kemarau," gumam Prabowo sambil kembali masuk kedalam pondok. Diambilnya sebuah senter, lalu dikenakannya kembali kemeja yang tadi sempat ia lepas. Ia harus segera memperingatkan para pekerjanya untuk membereskan kursi kursi yang siang tadi telah disusun dibawah tenda yang dibangun di bantaran kali.
Namun sepertinya usaha Prabowo terlambat. Belum juga ia kembali beranjak keluar dari pondok, hujan deras seolah ditumpahkan dari langit. Dan kekhawatiran Prabowopun menjadi kenyataan. Esok paginya, saat ia datang ke lokasi proyek, tenda yang kemarin dibangun oleh warga telah porak poranda, sebagian hanyut terbawa air bah akibat hujan semalaman. Demikian juga dengan kursi kursi yang kemarin telah tersusun rapi.
"Wedhus!" Prabowo mendengus kesal. Sepertinya pagi ini ia harus bekerja ekstra keras sebelum rombongan Pak Bupati datang.
Beruntung warga desa yang dikenal dengan kegotongroyongannya yang kuat cukup bisa diandalkan. Tak butuh waktu lama, tenda yang baru telah berdiri kembali. Meski tak semegah tenda yang kemarin mereka buat, namun sepertinya tak terlalu mengecewakan.
Sempat Prabowo bertanya kepada para pekerjanya, kenapa semalam tak menyelamatkan tenda beserta isinya itu. Namun jawaban yang ia terima sungguh diluar dugaan.
"Tendanya dijaga sama Kuntilanak Pak, mana berani kami membereskan!" celetuk salah satu tukang.
Edan! Prabowo nyaris memaki tukang itu, kalau saja mandor Saman tidak buru buru menjelaskan. "Memang benar Boss! Semalam saat kami hendak menyelamatkan kursi kursi yang di dalam tenda itu, ada perempuan berbaju putih dan berambut panjang duduk di salah satu kursi. Dan saat kami dekati, perempuan itu tertawa mengikik lalu terbang ke arah pohon trembesi yang didekat batu besar sana itu. Jelas saja kami ketakutan. Sepertinya tempat ini memang angker Boss! Pantas saja sesepuh desanya minta tumbal kepala kerbau."
"Halah! Jangan bikin rumor yang bisa bikin anak buahmu nggak tenang bekerja Man. Bisa kacau pekerjaan kita nanti," sentak Prabowo mengingatkan.
"Hehe, tenang saja Boss! Sudah biasa kan kita kerja di tempat seperti ini."
"Sudah biasa kok baru lihat perempuan berbaju putih saja sudah kabur!"
Mandor Saman hanya nyengir. Memang, sudah sering ia menangani proyek proyek yang katanya berada di lokasi yang angker. Tapi melihat penampakan yang begitu jelas di depan matanya, ya baru semalam itu ia mengalaminya.
Menjelang siang, upacarapun dimulai, saat rombongan Pak Camat dan Pak Bupati datang. Acara yang cukup membosankan sebenarnya, terutama bagi Prabowo. Baginya, acara seperti itu hanya buang buang waktu saja. Waktu seharian yang seharusnya digunakan untuk memulai pekerjaan, harus diisi dengan segala macam pidato dan sambutan yang sebenarnya tak begitu penting. Dilanjut dengan acara syukuran dan pembacaan doa, serta penanaman tumbal kepala kerbau yang sialnya harus dilakukan oleh Prabowo dengan didampingi oleh sesepuh desa.
"Harus saya ya Mbah?" tanya Prabowo bermaksud memprotes.
"Kenapa? Pak Insinyur takut?" jawaban menohok ia terima dari laki laki tua itu, membuat Prabowo tak bisa mengelak lagi.
Dengan tangan sedikit gemetar, Prabowo meletakkan potongan kepala kerbau itu kedalam lubang yang sudah dipersiapkan. Bagaimana tak gemetaran. Mata di kepala kerbau yang masih terbuka itu seolah menatap tepat ke arah Prabowo, seolah tak suka kalau ia dijadikan korban persembahan.
Sesepuh desa lalu menaruh beberapa sesajen dan bunga tujuh rupa di lubang yang sama, sambil mulutnya tak henti berkomat kamit entah membaca doa apa. Lalu disusul dengan peletakan batu pertama di lubang yang sama juga. Dimulai oleh Pak Bupati, Pak Camat, lalu terakhir oleh Prabowo sendiri.
Masih dengan tangan gemetar, Prabowo menuang adukan semen diatas potongan kepala kerbau itu, lalu meletakkan sebongkah batu diatasnya. Matanya tak lepas memandang ke arah mata sang kerbau yang masih terbuka, lalu tiba tiba...
"As*!" tanpa sadar Prabowo mengumpat keras sambil melompat mundur, saat dilihatnya mata si kepala kerbau itu tiba tiba berkedip ke arahnya, dan moncong kerbau itu menyeringai lebar memperlihatkan gigi geliginya yang menguning terendam lumpur, seolah sedang mentertawakannya.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya