Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

AKSORO JIWO - Tembang Kaping Gangsal (5 END)

Di sebelah barat daya alas seda aku tak sengaja menemukan sesuatu, sebuah kebenaran dari kedua bola mataku sendiri yang membuatku tercengang. Apakah benar ini wujud asli santet brojo?


Entah rasa apa yang aku rasakan aku tak mampu menggambarkan karena sudah diliputi banyak hal tak karuan dan diluar nalar. Dengan lari sekencang-kencangnya aku menuju ke tempat mbah nang.

Apakah aku harus pulang?

Apakah aku harus mengurungkan niatku menyelesaikan masalah ini?

***

JEJAKMISTERI - Di hutan kala seda ini aku masih berlari dengan sekuat tenaga, bagai aku sedang lomba lari namun bukan membuatku ingin memenangkan perlombaan namun
ingin memenangkan dari rasa takut yang sedari tadi sudah hampir mengalahkanku.

Entah apa yang aku rasakan, aku tak mampu menggambarkannya karena sudah diliputi banyak hal tak karuan dan diluar nalar.

Dengan lari sekencang-kencangnya belum juga aku sampai ke gapura kembar.. 

Tiba-tiba...

Srukk!!!

Akkkkk!!!

Aku sedikit berteriak kesakitan, aku terperosok kedalam lubang yang cukup dalam, aku bisa merasakan bahwa kakiku sangat sakit untuk digerakkan, jangankan untuk berdiri, menggerakkan kakiku sedikit saja rasanya seperti ditusuk jutaan duri.

Tolong! Tolong!!!

Teriakku begitu keras namun penuh kepayahan... Tiba-tiba tubuhku bergidik begitu hebatnya, sangat bisa aku rasakan terpaan udara dingin seperti angin lembut menyeka tubuhku yang masih terluka dan merasakan sakitnya.

Gedebuk!!!

Tiba-tiba sesuatu menimpa tubuhku, aku cukup terkejut. Sikap waspada mulai
kentara.

Ahhh... sial tenyata hanya buah kelapa yang menimpa tubuhku, huft... aku bisa menghela napas meski tadi sedikit gentar karena aku kira kepala.

Namun, pada malam nan gelap itu, keheningan tak menyuguhkan rasa ramah sama sekali.

Bahkan suara-suara mencekam dari atas sana seolah ingin terjun bebas dan memperkosa, suara itu bagai ingin merenggut kesucian dari keberanianku.

Sial, derai rintik hujan mulai menetes dan menitikkan beberapa butirnya di wajahku yang penuh debu. Perlahan rintik itu berubah menjadi butir-butir hujan
yang cukup deras menguyur tubuhku yang masih terduduk menahan rasa sakit di kakiku ini.

Perlahan air mulai naik dan perlahan mengisi lubang yang menawanku. Guratan-guratan luka yang tadi tidak aku rasakan kini mulai terasa perih tatkala air mulai mengisi satu hasta di lubang biadab ini.

Tolong! Tolong!!!

Teriakku sekencang-kencangnya karena kini air mulai setinggi dada. Aku mulai gentar, berdiri pun sudah sangat sulit bagaimana aku bisa keluar dari sini.

Tolong! Tolong!!!

Tetap aku berteriak meminta pertolongan meski aku tahu sudah lama aku berteriak namun sama sekali tak ada yang menggubrisku. Aku mulai putus harapan, aku pasrahkan semua pada Maha Kuasa yang berkuasa akan diriku dan semuanya.

Air sudah naik lagi, aku sudah tak kuat juga akan dingin yang menggelayutiku, mataku mulai berkunang-kunang. Aku mulai tak bisa menyadarkan diriku, aku kehilangan kesadaranku.

Tiba-tiba...

Byurrrr!!!

Suara entah itu apa terjun di dekatku. Semua sudah gelap aku tak bisa mengingat apa-apa setelah itu.

Sayup-sayup suara terdengar oleh telingaku ini,
“Pak, demam niki pak”
Suara perempuan terdengar lembut dan terasa kepalaku disentuh oleh tangan
lembut.

“Pokoke, dirumat dhisik iku cah bagus yo nduk”
(pokoknya, dirawat dulu anak tampan itu ya nak)

“Aku arep metu sedelo, jaganen bocah iku yo”
(aku mau keluar sebentar, jaga dulu anak itu ya) Ucap seorang pria yang nampaknya sudah paruh baya.

Aku hanya bisa mendengar semua percakapan itu, tapi badanku seperti masih mati rasa, bahkan
membuka mata ataupun berbicara saja aku tak mampu.

Aku bagai kembang kasur yang hidup dengan kebutaannya.

“Njih pak, ngatos-atos”
(iya pak, hati-hati) Ucap lembut suara gadis itu, kini aku hanya bisa mengandalkan indera pendengaranku.

Andai saja aku mempunyai kliwon seperti
dalam serial televisi “si buta dari goa hantu” mungkin aku tidak akan terlalu kesulitan dengan keadaanku saat ini, batinku yang masih bisa tertawa dengan keadaan seperti ini.

Namun, nampak samar-samar aku mendengar gadis itu berbicara sendiri, sedikit aku dengar gadis itu nampak penasaran akan diriku yang tiba-tiba dibawa dengan penuh luka. Hanya itu yang kudengar...

Ahhh.. Maha Pencipta aku belum bisa apa-apa, bahkan sekedar membuka mata atau membuka mulutku saja aku pun tak mampu, bagaimana aku bisa memberi tahu
seseorang di dekatku akan siapa sebenarnya jati diriku.

Hari-hari nampak bergulir begitu cukup cepat, itupun aku tak bisa memastikan. Hanya aku berprasangka dan mempertajam intuisiku.

Perlahan dengan semakin tajamnya intuisiku, aku mulai bisa menandai kapan terang dan kapan gelap dengan bantuan ayam yang berkokok.

Jika intuisiku benar, Mungkin sudah sepekan aku berada ditempat yang belum aku ketahui ini.

Dimana, setiap hari pula aku dirawat, disuapi bahkan diseka oleh gadis itu seperti orang lumpuh.

Sampai aku berpikir, apakah mungkin ini yang dirasakan
orang yang sedang koma? Hanya bisa mendengar tanpa tak bisa apa-apa?

Ahhh...

Manusia...

Manusia hanya bisa menggerutu dan banyak tanya tanpa mau mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Manusia, katanya ia adalah makhluk sempurna namun selalu diperkosa oleh egonya dan selalu bersenggama dengan ketidaktahuannya.

Bagai manusia melacurkan diri agar bisa memahami kepelikan dunia ini.

Sebuah hal tak manusia jika dikatakan, Meski itu memang sebuah kejujuran dalam kenyataan.

Dalam intuisiku, kurasa ini sudah hari ke-13, aku coba untuk meggerakkan jari-jariku perlahan, ahhh... aku bersyukur bisa menggerakkannya, aku coba untuk menggerakkan tangan dan kakiku dan itu bekerja.

Aku merasakan secercah cahaya dalam benakku sebagai manusia hina dina ini.

Aku pun mencoba posisi duduk dan mata masih terpejam, aku mencoba berdiri tapi mata masih enggan terbuka, bahkan masih sulit sekali terbuka, aku berjalan merambat dengan tubuh yang masih lemah layaknya balita, sekuat tenaga semua itu aku coba.

Namun, ketika aku mencoba untuk membuka mataku..

Aaaaa!!!

Teriakku dengan sangat amat keras, kudengar suara langkah cepat menghampiriku.

“Mas, mboten pareng gerak rumiyin, sampean tasih lemah” (mas, tidak boleh bergerak dulu, kamu masih lemah) Ucap suara gadis yang tiba-tiba langsung memapahku untuk kembali memposisikanku tertidur.

Aku hanya berdehem karena tak tahu harus berkata apa, aku ikuti arahan dari gadis itu tanpa terburu-buru bertanya, meski aku tahu rasa penasaran sudah menodongku seperti ingin membunuhku.

“Mas istirahat dulu njih, jangan banyak gerak dulu” Ucapnya padaku, dan aku hanya mengangguk menandakan menurut akan pintanya padaku.

Beberapa saat ia pun pamit kebelakang sebentar, kudengar bising suara entah dari mana, suara bising seseorang yang sedang mempersiapkan sesuatu. Lalu langkah kaki terdengar mendekatiku,

“Mas, makan dulu njih, aku bantu suapi” Ucap gadis itu yang mulai memintaku membuka mulutku, suapan demi suapan ia berikan padaku.

Lagi-lagi aku bagai balita dibuatnya. Sedikit malu, namun aku sangat berterimakasih entah siapapun kamu dan entah bagaimana rupamu, terimakasih telah dengan senang hati merawatku. Aku akan selalu berhutang
budi padamu.

Ucap dalam benakku, sedikit terharu akan ketulusannya merawat manusia sepertiku yang mungkin ia tak mengenal siapa sebenarnya diriku ini.

Kau adalah gadis baik, ucap batinku menaruh percaya walau rupanya tak bisa kulihat dengan bola mata yang telah buta.

Sayup-sayup suara serangga mulai kentara, suara angin mulai meniup tiap dahan-dahan, angin memetik tiap dahan bagai petikan senar gitar dengan melodi ritmis dikeheningan.

“Mas, istirahat lagi njih, biar cepet sehat” Ucap gadis itu padaku.

Aku hanya menganggukkan kepala tanda setuju, aku
dibaringkan di tempat yang kurasa ini terbuat dari bambu, tak lupa ia menyelimutiku dengan kais tipis agar tidak terlalu kedinginan.

Sungguh hal yang jarang aku dapatkan dari orang yang belum sama sekali aku kenal bahkan aku tahu namanya.

Tiba-tiba...

“assalamualaikum”

Ucap salam, suara itu suara sama seperti pria paruh baya tadi pagi.

Tapi, tunggu, suara ini nampak tak asing, suara ini cukup aku kenal namun dimana?

Ahh... aku terlalu payah untuk bertanya. Aku malu jika salah orang, aku pasti malu juga jika nama yang kusebutkan bukanlah pria paruh baya itu.

Namun...

“Cah bagus, wes siuman to?” (anak tampan, sudah siuman ya?) Tanya pria itu padaku, namun aku memilih diam karena takut jika aku salah bicara padanya.

“akamu ndak bisa melihatku?” Tanya lagi pria itu padaku.

Namun, “ssssst” terdengar suara gadis itu seperti menghentikan pria itu melanjutkan ucapannya, gadis itu pun memberi tahu bahwa diriku tidak bisa melihat.

“Nduk, ambil guci yang ada di belakang yo” Pinta pria itu pada si gadis.

“Njih” Ucap gadis itu terdengar ia mulai bergegas berjalan.

“Niki pak” (ini pak)

Terdengar mereka sedang bercakap dan terdengar pula pria paruh baya itu berdehem.

“Cah bagus, nek loro ojo nangis yo, iki bakal loro banget rasane hahaha” (anak tampan, kalau sakit jangan nangis ya, ini akan sakit sekali rasanya hahaha) Ucap pria itu padaku, dan seketika itu pria itu menempelkan sesuatu ke mataku.

Awalnya rasa dingin seperti es menjalar ke mataku, namun semakin lama rasa itu berangsur berubah menjadi panas dan seolah membakar kedua bola mataku.

Panas!!! pedihh!!! sakitt!!!

Aaaaaaaa!!!!

Teriakku cukup kencang karena sudah tak bisa menahan rasa sakit dan panas yang luar biasa, sangat sakit kurasakan di kedua bola mataku, seperti ditempel bara yang masih menyala.

Cukup lama rasa sakit itu aku rasakan, siksaan macam apa ini!?

Teriakanku seolah mengisi sunyinya tempat yang hanya bisa aku rasakan dengan intuisi, bagai belantara yang sunyi lalu kuisi dengan teriakan kesakitan yang membuat hewan-hewan malam melonglong karerna ketakutan...

Lalu...

“Wes rampung, bukak matamu alon-alon” (sudah selesai, buka matamu pelan-pelan) pinta pria itu padaku, aku
coba membuka kedua bola mataku sangat berhati-hati.

Ketika semua sudah terbuka dan aku bisa melihat, aku cukup terkejut sejadinya.

Dan....

***
Gadis itu tetap memberontak, ia berjalan terburu-buru. Sebelum ia keluar, ia mengambil wedung dengan dengan sarung bermotif buto-buto itu.

“Nduk ojo nekat nduk”
(nak jangan nekat nak)

Masih bujuk mas wasis pada gadis itu, sambil mas wasis masih memegang erat tangan si gadis. Namun tetap, kulihat niatnya sangat bulat.

Ia menepis tangan mas wasis dan membuat pegangan tangan mas wasis ditangannya terlepas. Ia nekat dengan mata yang kulihat nampak kecamuk amarah serta dendam yang nampak sudah tertimbun cukup lama.

“Camelia sundari!”

Teriak mas wasis dan terlihat air mata menetes darinya, dari pria paruh baya yang aku kenal itu.

Aku segera menarik tangan mas wasis, mencoba mengajaknya untuk mengejar gadis bernama camelia ini.

Namun...

Nampak hal cukup membuat ku bergidik ngeri...

i...ituu ii..ituuu..

Mas wasis masih memegangi tangan mungil dari gadis muda itu, nampak wajah angkara murka tersirat darinya, gadis bernama camelia.

Hah???

Ternyata bukan hanya itu. "dendam" ya, dendam. Dendam yang jauh lebih pekat tersirat dan tersembunyi dalam matanya, bahkan mungkin jauh juga dari lubuk hatinya.

Tak bisa aku pungkiri bahwa mata lebih jujur ketika ingin mengetahui isi hati seseorang.

“Uwes nduk, awakmu ora oleh tumindak goblok karo gegabah!” (hentikan nak, kamu tidak boleh bertindah bodoh dan gegabah!) Ucap mas masis dengan nada memelas pada gadis yang ia pegangi.

“Uculno pak, kulo kepengen musnahke demit sing nyolong sakabehane soko uripku iku!” (lepaskan pak, aku ingin melenyapkan demit yang mencuri segalanya dari hidupku itu!) Ucap gadis itu penuh amarah yang membara dalam setiap baitnya. Dilepaskan-nya pegangan tangan mas wasis dari tangan gadis itu secara paksa. Gadis itu kemudian berlari menuju ke arah demit yang berwujud nenek tua itu.

“Camelia!!!”

Teriak mas wasis menyebut nama gadis itu dengan penuh berat hati. Tangan mas wasis seolah tidak ingin membiarkan gadis itu melanjutkan hal bodoh yang ingin dilakukannya.

Kenapa aku pikir itu tindakan bodoh, karena aku bisa merasakan aura hitam mengerikan dari sosok yang akan dihampiri oleh gadis itu. Sosok dengan wujud sangat mengerikan.

Aku tak mampu menjelaskan dengan rinci bagaimana wujudnya, yang pasti itu adalah sosok mbok darsinah dengan rupa yang tidak akan mau dilihat siapapun.

Tiba-tiba, mas wasis berteriak dengan sangat kerasnya. Bahkan getar dari pita suaranya seolah mengisi di tempat sunyi dan gelap ini…

“Camelia sundari! Ojo tumindak goblok! Awakmu biso ciloko!”
(camelia sundari! Jangan bertindah bodoh! Kamu bisa celaka!)

Teriak mas wasis dengan penuh kata waspada. Namun, tetap saja gadis itu menghampiri sosok mengerikan itu. Lalu…

Camelia berdiri tepat di depan sosok mengerikan itu, sosok dengan badan yang menghitam terbakar, tepat disana camelia pun mengacungkan wedungnya, ia bersiap menebas sosok yang sangat ia benci itu.

“Modar kowe demit asu!!!” (mati kamu demit sialan!!!) Umpat camelia sambil mengayunkan wedungnya sekuat tenaga.

Hiiii… Hiiii… Hiii…

Tawa gelegar nenek tua terdengar mengisi kekosongan suara di gelapnya hutan belantara ini, wedung camelia tak sedikitpun menggores sosok itu. Malah, camelia terpental beberapa langkah kebelakang dan memuntahkan seteguk darah segar dari mulutnya…

“Nduk cah ayu, lereno lehmu nuruti roso dendam lan soro, amarga roso dendam lan soro bakale dadi ciloko” (anak cantik, sudahilah keinginanmu menuruti rasa dendam dan nelangsa, karena rasa dendam dan nelangsa akan membuat celaka) Ucap sosok mengerikan itu, lalu perlahan sosok itu hilang dalam dekapan malam.

Mas wasis langsung tersentak dan beranjak cepat ketempat dimana camelia masih terduduk dalam diamnya.

“Camelia, camelia, awakmu orapopo nduk?” (camelia, camelia, kamu tidak apa-apa nduk?) Tanya mas wasis sembari memegang tangan camelia, nampak pucat tangan gadis itu dan ada sedikit noda darah yang sedikit menetes dari sela bibirnya.

Dipapahnya gadis itu oleh mas wasis, dengan langkah tergopoh aku melihat betapa kecewanya gadis itu karena tidak bisa melenyapkan sosok itu. Aku langsung ke arah mereka berdua. Aku bantu untuk memapah gadis bernama camelia itu.

Terasa dingin, ya terasa dingin aku rasakan ketika aku menyentuh tubuhnya.

“Mas, awakedewe kudu cepet… camelia keno sawan alas” (mas, kita harus cepat… camelia terkena penyakit “ghaib” hutan) Ucapku dan pintaku pada mas wasis waseso, hanya anggukan kepala lemah ditujukan padaku yang sama-sama sedang memapah camelia.

Namun belum beberapa langkah kami mendapati hal yang tak mengenakkan lagi…

Kresekk!!! Kresekkk!!!

Suara itu terdengar dari rimbunan semak-semak di depan kami. Satu demit saja sudah membuat salah satu dari kami seperti ini, apalagi yang akan disuguhkan pada kami kali ini?

Apakah demit alas sedo yang lain ingin melawan kami juga?

Tiba-tiba…

“Woy!!!”

Suara pria muda dengan jaket lusuhnya, dari kejauhan terlihat bayangan pria dengan kesangarannya sudah ada tepat berapa langkah didepan kami. Aku bisa merasakan aura yang mengerikan dari bayangan pria itu.

Detak jantungku berpacu laksana pacuan kuda. Gemetar badanku tak bisa aku tahan kali ini, bahkkan aura ini lebih kelam dan hitam dari sosok yang membuat camelia terluka tadi…

Hahhh… hhaahh…

Nafasku memburu serasa akan kehilangan kesadaranku…

Jariku terlihat bergetar begitu hebatnya, detak jantung ini terasa semakin cepat seiring langkah dari bayangan pemuda yang ada dari kejauhan sana.

Apakah rasa was-wasku sudah pada batasnya?

Apakah ini akhir kami?

***

Aku lihat mas wasis waseso menutup matanya dan tangan satunya menutup mata camelia. Aku masih menatap bayangan itu tanpa berkedip sama sekali. Kenapa? Kenapa aku bisa seberani ini dari sebelumnya?

Aku tahu aku merasa takut, namun ketakutan itu berangsur pudar dengan sendirinya.

Ahhh… aku tak bisa ungkapkan dengan kata apa yang aku rasa saat ini…

Apakah ini yang selalu ingin aku rasakan?
Aku memang ketakutan. Dilain sisi, aku juga merasakan kesenangan yang luar biasa.

HAHAHA

Aku mungkin sudah tidak waras jika terus seperti ini, aku merasakan kesenanganku yang sesungguhnya. Yaitu sebuah kata dari “ambang kematian”

Apa ini sebuah kata yang selalu aku patri dalam hati;

“Segala hal tragis adalah puitis”

HAHAHAHA

Aku tertawa begitu kerasnya, dan…

“BALL!!!”
Aku terkejut sejadinya, kenapa bayangan yang semakin mendekat ke arah kami memanggil namaku?

“jer sekti mawa gusti, demit asrepo demit, manungso asrepo manungso, kulo tepak asmo balakarsa dawuh kaliyan demit padanyangan ugi nyerat kasunyatan. Mugi tepang pareng kaliyan jagad ireng dunyo muspro kuoso moho kuoso, puja lan puji gusti kang maha agung!”

Duarrr!!!!

Ledakan demi ledakan tersaji tatkala aku tak sadar mengucapkan mantra entah itu apa.
Sosok bayangan itu kemudian melesat kearahku, dannn…

“Bal, iki aku!” (bal, ini aku!) Ucap sosok bayangan hitam itu.

“Ehhh sepurane, sirahku dadi abot, tulung dim…” (ehhh maaf dim, kepalaku jadi berat, tolong dim…) Ucapku pada bayangan itu…

AHHHHHH….

Aku pun mengerang begitu keras dan kesadaranku pun berangsur lenyap…

Aku pun mendengar sedikit kata dari seorang pria muda, tatkala aku masih merasakan tak berdayanya diriku.

“Bal, ojo komedi bal! woy bal tangi ojo komedi bal!!!” Ucap seorang pemuda, dan kurasakan rasa perih dan panas di pipiku.

“Mas ojo komedi mas, mass ojo kemedi mas!!!” Ucap lagi seorang pria paruh baya dan aku rasakan bagian wajahku dimainkan seperti senam wajah.

Semakin lama aku rasakan wajahku seperti dimainkan layaknya sebuah komedi yang lucu bagi mereka.

Hmmm...

Tapi sayang, tubuhku tak mampu untuk tersadar dan masih saja terbuai di alam sadar.

"Pak, cocote ojo diremes-remes pak xixixi"
(Pak, mulutnya jangan diremas-remas pak xixixi) Ucap suara pemuda yang aku kenal sambil tertawa tipis. Memang bagian mulutku seolah dimainkan dan seolah diacak-acak. Belum lagi ada rasa perih dan panas di pipi ini.

Lalu, tiba-tiba semerbak bau menyengat seperti balsem menyengat hidungku dan kurasakan hidungku seperti di pencet keras.

Aku tak tahan dengan semerbak bau menyengat itu, sontak saja aku langsung terbangun. Terdengar juga suara samar yang aku dengar, “koyo patkay” (seperti patkay).
Dan…

JANCOK!!!
Aku terbangun seketika dan mengumpat. Parahnya lagi, tepat didepanku ada dimas yang sedang memainkan hidungku sambil tersenyum dan tertawa kecil.

Sontak saja, tanpa basa-basi karena kesal, aku langsung mendaratkan bogem mentah ke batok kepala salah satu sahabat jancukku itu.

Kenapa salah satu, karena aku punya beberapa sahabat yang tak kalah jancuknya seperti dimas ini...

Awalnya amarahku meluap-meluap dan ingin melampiaskannya dengan menjadikan dimas sebagai samsakku. Tapi aku mengurungkan niat konyolku karena suatu hal.

Sebenarnya tak sopan jika aku menuliskannya apa yang membuat sikapku berubah begitu cepat.

Huft… aku akan mengatakannya, tepat dibelakang dimas, diranjang yang terbuat dari bambu itu kulihat camelia tertidur dengan keadaan yang cukup memprihatinkan.

Aku merasa iba akan keadaan camelia.

“Nopo? Awakmu seneng karo arek iku po?”
(kenapa? Kamu suka dengan anak itu ya?) Ucap tanya dimas yang mengagetkanku.

Aku terkejut sejadinya karena bisa-bisanya sahabatku ini bertanya pertanyaan seperti itu di saat-saat seperti ini…

~SEKIAN DULU~
close