AKSORO JIWO - Tembang Kaping Sekawan (4)
"Jaganen awakmu dewe mbuh piye carane, amarga sing mbok goleki kuwi bolo pati ing deso iki."
JEJAKMISTERI - Tatapan penuh nanar nampak dari wajah sarno.
“Mas pokoe ojo podo obah utowo mlayu. Tetep tenang lan waspodo” (mas pokonya jangan pada bergerak apalagi lari. Tetap tenang dan waspada)
Tatapan sarno begitu membabi-buta dalam gelapnya malam yang merayap. Dinginpun kian serasa menggerayangi tubuh keperjakaan kami.
Hrrrmmmmm…. Hrmmm……..
Nafas dan benturan gigi sarno bagai suara nyaring yang memekakkan telinga kami, bahkan hembusan ranting dan angin yang saling memadu kasih, masih kalah nyaring dengan deru nafas berkolaborasi dengan benturan pada gigi sarno.
Deno nampak begitu ketakutan sejadinya ketika ada sekelebat bayang cepat melompat dari pohon ke semak belukar di dekat kami.
“Cok, aku wedi” (cok, aku takut) Hanya kata lirih itu yang di katakana deno untuk menggambarkan rasa takutnya.
“Sssstttt, meneng dhisik mas. Sedelo maneh awake dewe kudu kuat lan ojo pisan-pisan nduwe roso wedi pokoke” (sssstttt, diam dulu mas. Sebentar lagi kita harus kuat dan jangan ada sekali-kali punya rasa takut pokoknya)
Tiba-tiba…
Krosakkk!!!!
Suara dibarengi semak belukar yang bergerak…
Dan…
***
Hampir satu tahun saja cerita ini. Cerita yang ternyata cukup memakan waktu penelusuran hingga -+1000 hari.
Selamat menikmati tembang kaping sekawan, ketika tembang dirapalkan semua akan hanyut dalam ketakutan.
***
Wustttt!!!
Tiba-tiba…
Hanya babi hutan yang keluar dari semak belukar itu…
Sejenak hati kami semua disana merasa kelegaan, namun…
Terdengar suara tawa yang begitu menakutkan yang langsung menyambar dari belakang kami, suara yang menakutkan serupa suara mak lampir di film misteri gunung merapi. Sontak kami langsung berputar mencari sumber suara tawa menakutkan itu..
Dan ketika kami berbalik, benar saja kami melihat pemandangan yang sangat mengerikan yang tepat ada di depan kami.
Jelas… sangat jelas diri ini melihatnya. Seperti seorang nenek tua, nenek dengan pakaian batik lusuh, nenek yang putih rambutnya, nenek yang matanya buta satu, tubuhnya seperti hitam terbakar, dan jelas sekali rupanya yang sangat membuatku merasa getaran yang begitu hebat.
Tidak, tidak. Aku tidak boleh takut…
Namun tiba-tiba, kurasakan tangan ini bagai merasakan sakit. Sakit yang begitu hebat.
Lalu…
“Mas, pokoe ojo mbok uculno. Tetep podo gandengan, podo waspodo” (mas, pokoknya jangan dilepaskan. Tetap pada gandengan, pada waspada) Ucap sarno pada kami berdua.
Nampak kulihat sepintas deno juga merintih, ia juga menahan rasa sakit di pergelangan tangannya dengan ekspresi meringis kesakitan. Sarno pun komat-kamit seolah merapalkan sebuah mantra. Namun, aku sama sekali tak mengerti apa yang ia rapalkan dengan bacaan terbata-batanya.
“Mas tetep iling karo gusti pengeran mas, bab opo wae sing bakal kedaden pokoe tetep gandengan tangan ojo podo mbok culno, iki kanggo keselametan awake dewe kabeh mas…”
(Mas tetap ingat tuhan mas, apapun yang akan terjadi pokonya tetap bergandengan tangan jangan dilepaskan, ini untuk keselamatan kita semua mas…) Ucap sarno, namun..
Sakittt! Aku merasakan sakit!!! Tangan ini bagai terasa ingin diremuk oleh sarno. Bagaimana tidak? Cengkeramannya begitu kuat sampai deno kulihat merasa pucat menahan rasa sakit ditangannya sekaligus menahan rasa takut dibenakknya.
Ingin rasa aku berteriak; “SAKIT COK!!!!” dan kusepak kepala sarno yang membuat tanganku merasakan sakit begitu hebatnya.
Namun semua itu aku urungkan karena aku tak mau ada salah satu dari kami yang mengalami hal na’as jika aku melakukannya.
Tiba-tiba…
Pepohonan di sekitar kami diterpa angin yang seperti badai, pepohonan bagai menari, melenggak lenggok di sekitar kami. Sosok itu hanya tersenyum menyeringai lalu tiba-tiba pergi meninggalkan kami.
Namun aneh, nenek itu berjalan mundur, langkahnya begitu cepat namun aku bisa dengan jelas melihatnya bagai slow-motion.
“Alhamdulillah mas, wes rampung. Iku sambutan khusus kangge njenengan mas” (alhamdulillah mas, sudah selesai. Itu sambutan khusus untuk kalian mas) Ucap sarno dengan sedikit senyuman.
Jancok! Undangan khusus katanya, ditambah masih sempat-sempatnya ia tersenyum padahal baru saja ia hampir meremukkan pergelangan tangan kami.
Tangan kami pun dilepaskan oleh sarno, aku sempat menggerutu kesal dan memegang tanganku, memastikan tak ada sendi dipergelanganku yang meleset akibat ulah sarno.
“Monggo mas lanjut malih” (mari mas lanjut lagi) Ucap ajak sarno pada kami, kami pun melanjutkan perjalanan lagi menuju tempat yang katanya seorang pemangku adat disana.
Penduduk disana menyebut beliau “mbah nang” singkatan dari mbah lanang. Itu ujar dari sarno selaku penduduk sana.
Diajaklah kami kembali berjalan di jalan setapak yang licin karena kontur tanah yang sedikit lembab, tidak lama kami berjalan sampailah kami di gubuk yang sederhana dengan anyaman bambu dan atap berupa welit.
Di sebelah gubuk terdapat banyak tumpukan kayu bakar dan sedikit jauh terlihat sumur dan bilik kamar mandi yang terbuat dari anyaman bambu juga.
“Mbah nang, wonten tamu saking kutho” (mbah nang, ada tamu dari kota) Ucap sarno kepada orang didalam.
“sopo ngger?” (siapa nak?) Ucap suara berat lelaki tua dari dalam.
“Iki hlo mbah. Arek kutho, wong lanang loro” (ini hlo mbah. Orang kota, dua orang lelaki) ucap sarno menjawab lagi.
Lalu…
Krekkkkk!!!!
Suara reot pintu anyaman bambu terbuka perlahan.
Spontan diri ini mengatakan “mbah” dan langsung saja mencium tangan beliau. Deno pun mengikuti apa yang aku lakukan. Namun, raut wajah pria tua itu begitu mencurigai kami dan nampak seperti bertanya-tanya dalam benaknya, batinku.
“Kate golek opo ngger adoh-adoh mrene soko kutho pisan?” (mau cari apa nak jauh-jauh kesini dari kota malahan) Tanya pria tua dengan suara berat namun masih menggambarkan kegarangan.
“Sakderenge kulo nyuwun agunge pangapunten mbah, menawi niat kulo mriki badhe tanglet bab penting kalih panjenengan…” (sebelumnya saya mohon maaf sekali mbah, niat saya kesini ingin bertanya hal penting denganmu..)
“Opo?” (apa?) langsung saja ucapanku dipotong begitu saja oleh beliau. Rasa dalam hati menjadi segan dan mulai tercipta rasa canggung diantara kami semua. Tanpa terkecuali.
Aku lanjutkan pertanyaanku lagi.
“Njenengan tepang kalih nama darsinah?” (kamu kenal dengan nama darsinah?) Tanyaku pada beliau, sejenak ia seperti mengernyitkan dahi menimbulkan banyak kerutan keriput menandakan usia yang terlampau jauh dariku, deno bahkan sarno.
Lalu…
Sekilas kulihat beliau juga seperti mengamati sekitar, dengan gerak mata yang berpindah dari kiri ke kanan serasa sedang memastikan semuanya aman.
“Ayo gage mlebu, bab iki bakal tak jelasno kanthi setiti lan opo onone ngger” (ayo cepat masuk, hal ini akan aku jelaskan dengan lugas/jelas dan apa adanya nak) Ucap beliau seraya merangkulku mengajak ke dalam dan semuanya.
“Sar, tutup lawange ngger” (sar, tutup pintunya nak) Ucap beliau pada sarno, segera pula sarno mengangukkan kepala seperti sudah paham bahwa pembahasan kami pastilah sangat serius sampai diperlakukan seperti ini.
Masuklah kami kedalam rumah beliau, rumah yang sederhana. Tidak terlalu besar pun tidak terlalu kecil, didalam rumah hanya beralaskan tikar pandan dengan sajian kendi dan gelas bambu. Pun sesekali tercium bau semerbak kemenyan dan bakaran jerami yang sudah menjadi merang.
“Ora usah kaget ngger, neng kene kuwi akeh jengklong dadi yo kudu mbakar menyan lan damen. Pancen iku wes lumrah menowo urip neng ndeso koyo ngeneki ngger hahaha”
(tidak perlu khawatir nak, disini itu banyak nyamuk jadi harus membakar kemenyan dan jerami. Memang itu sudah hal biasa jika hidup di desa seperti ini nak hahaha) Ucap penjelasan beliau dengan tawa yang menggelegar, nampak sangat amat berbeda jika dilihat dari kesan awal tadi. Nampak keteduhan jika kulihat sekarang.
Memang benar kata orang jika menelik jaman dahulu, obat nyamuk jarang ada. Mungkin ada namun hanya kalangan tertentu saja yang bisa membelinya pun jika ada.
Dan orang jaman dahulu sebelum ada obat nyamuk pun memakai kemenyan ataupun jerami yang dibakar guna menjadi media pengusir nyamuk.
Obrolan demi obrolan kami saling lontarkan, mbah nang pun juga manggut-manggut sambil menghisap rokok tingwe/linting dewe dari tangannya. Sampai aku teringat satu nama lagi yang pernah disebutkan dalam cerita siska dan ibunya.
“Mbah ngapunten, kulo badhe pirso. Kulo nembe kelingan. Njenengan tepang kaliyan mbah sambung? Mbah sambung macan?”
(mbah maaf, saya mau bertanya. Saya baru teringat. Kamu kenal dengan mbah sambung? Mbah sambung macan?) Tanyaku pada beliau, terlihat beliau sangat kaget dengan pertanyaanku.
“Aku ki mbah sambung ngger” Jawab beliau padaku, lalu aku sodorkan pertanyaan lagi. Serupa apa yang aku tanyakan ketika diluar tadi.
Tapi belum terjawab ada suara benda-benda jatuh di belakang. Sontak kami semua terkejut dan segera untuk mengeceknya. Banyak sekali barang yang berjatuhan kami lihat.
Dandang, kwali yang pecah dan ada seperti wajan yang besar serupa wajan yang biasanya untuk membuat “jenang jadi” atau dodol. Dan secara mengejutkan wajan besar itu tiba-tiba bergerak.
Dengan keberanian yang maju-mundur, sarno dengan nekatnya membuka wajan besar itu, sarno nampak penasaran apa yang sebenarnya ada dibalik wajah itu.
Alangkah terkejutnya kami ketika melihat wujud yang sangat mengerikan serta menjijikkan tepat tersaji didepan bola mata kami. Wujud yang tidak karuan bentuknya, seperti kera namun dengan kepala manusia dan badan serupa babi.
Lalu, dengan sigap mbah nang/mbah sambung segera menutup kembali wajan besar itu, menutupi makhluk berbentuk tak karuan itu.
sembari menutup wajan besar itu mbah nang berkata;
“Ayo wudhu dhisik, sholat dhisik. Soale wes manjing wayah sholat” (ayo wudhu dulu, sholat dulu. Soalnya sudah mendekati waktu sholat) ajak mbah nang pada kami semua.
Namun, ketika pintu dibuka alangkah lebih terkejutnya kami semua disana, pemandangan yang mungkin akan membuat semua orang ketakutan. Kami semua melihat dengan jelas wujud nenek-nenek dengan posisi tubuh dan tangan seperti menguping dari luar, ada di depan mata kami.
Nenek-nenek itu nampak sadar kami sudah melihatnya, tapi, sungguh menakutkan nenek itu hanya tersenyum menyeringai ngeri lalu berangsur pergi meninggalkan kami, yang masih merasa tidak percaya akan baru saja apa yang kami lihat. Terlebih bagiku dan bagi sahabatku deno.
Kami semua pun mencoba untuk tak membahasnya, segera semua dipinta mbah nang untuk mengambil wudhu dan segera menunaikan sholat.
Setelah selesai sholat kami segera pula dipinta mbah nang untuk beristirahat dan akan menjawab semua pertanyaan kami, serta menceritakan hal-hal yang berhubungan dengan hal “mengerikan” yang pernah terjadi pada masa lampau oleh mbah nang.
Aku dan deno tidur ditempat sarno. Namun, ada yang membuatku penasaran. Kenapa malam-malam seperti ini banyak bayi yang menangis. Sungguh aneh.
Karena dari penjelasan sarno memang dimalam hari setiap rumah yang memiliki “jabang bayi” rumah itu akan dihiasi suara tangisan bayi yang begitu kencangnya dan begitu lamanya.
Itu semua karena terror yang masih belum bisa di patahkan. Dan sebenarnya terror itu sempat berhenti beberapa tahun lalu.
Namun, ketika kami datang kenapa terror itu datang lagi? Itu juga sempat aku lihat bahwa sarno sedikit mencurigai kami, terlebih ditambah akan rentetan peristiwa mengerikan yang sempat kami semua alami tadi.
Sarno juga berujar bahwa makhluk nenek-nenek itu terkadang juga suka berjalan di atap rumah warga.
Terkadang pula jika atapnya rusak jika ada celah, ketika ada yang mencoba melihat celah itu dimalam hari ia akan melihat pemandangan cukup sedap yaitu senyuman menyeringai dari nenek-nenek itu.
Singkatnya kami di pinta segera tidur oleh sarno. Kebetulan aku dan deno tak sekamar yang sama. Kami tidur di tempat yang berbeda namun bersebelahan.
Dalam tidurku aku bermimpi ada sumur tua, sumur itu tepat berada di tengah hutan.
Dan ada sebuah suara terdengar tapi tak dapat aku lihat wujudnya, ia berkata:
“Iku wates sedo ngger, awakmu kudu mrono menowo pengen oleh jawaban soko pitakonmu” (itu wates sedo nak, kamu harus kesana jika ingin mendapat jawaban dari pertanyaanmu)
Lalu aku seketika terbangun dan beranjak ke tempat deno tidur.
Kulihat deno hanya berdiam diri di pojokan, kakinya ditekuk dan dipeluk oleh tangannya. Ia melihat ke kanan dan kekiri seperti ketakutan akan hal apa yang belum aku tahu.
“Den, ono opo?” (den ada apa?) tanyaku. Ia masih sedikit linglung, tatapan matanya nampak sayu terlihat dari bola matanya yang secara aktif menari memastikan sesuatu.
Kudekati dan kucoba menepuk pundaknya pelan sembari ku ulang pertanyaanku, “Den ada apa?”
Hah… dia tergugah, terkejut dari kegiatannya tadi. Sepertinya ia tadi setengah sadar pikirku sampai tak menghiraukan pertanyaanku.
“Ojo seneng ngalamun, ora ilok. Raup dhisik kono. Mari ngono mengko ngumpul neng griyane mbah nang meneh” (jangan suka melamun, tidak baik. Cuci muka dulu sana. Setelah itu nanti berkumpul di rumahnya mbah nang lagi) ucapku pada sahabatku satu ini. Namun, tiba-tiba…
“Bro, aku ndek bengi raiso turu” (bro, tadi malam aku tak bisa tidur) ucap deno lirih.
Kemudian aku bertanya, “kenapa” lalu ia bercerita bahwa tadi malam seperti ada suara genteng yang bergeseran sampai menimbulkan sebuah celah.
Dan ketika celah itu membuat penasaran deno ia mencoba melihatnya. Alhasil, ia mendapati pemandangan cukup menyeramkan. Tepat di celah itu ada yang tersenyum padanya dan itu adalah wujud dari nenek-nenek yang kemarin membuatnya takut sampai ke celah pori-pori.
“Yawes, ayo gage. Wis ditunggu sarno karo mbah nang ketoke” (yasudah, ayo cepat. Sudah ditunggu sarno dan mbah nang sepertinya) Ucapku pada deno.
Singkat cerita kami menuju rumah mbah nang, disana deno yang bercerita duluan akan peristiwa yang menimpanya tadi malam. Lalu.. ketika aku bercerita akan mimpiku mbah nang terlihat terkejut dan berpikir sangat serius.
“Wates sedo iku panggonan kang wingit ngger, wingite iku sampek biso gawe soro awakmu. Amargo iku panggonan dadi panggonan larangan deso iki.” (wates sedo itu tempat yang sakral nak, sakralnya itu sampai bisa membuatmu sengsara. Karena tempat itu menjadi tempat terlarang di desa ini) Ucap penjelasan mbah nang padaku.
Dengan sedikit rayuan dan niat yang tulus aku di restui oleh mbah nang. Dan saat ini juga aku akan di antarkan ke gapura alas peteng.
Kami berjalan sekitar 30 menit dari rumah mbah nang dengan menyusuri area yang kian rapat akan pepohonan. Jelas sekali saking rapatnya vegetasi bahkan cahaya mentari hanya memberikan remang menyeramkan di alas ini.
Mungkin nama alas peteng memang cocok di sematkan pada alas/hutan yang menaungi tempat bernama wates sedo itu sendiri.
Sampailah kami di gapura kembar, gapura kecil dengan tinggi tak setinggi betis kami. Gapura itu dililit kain lurik menutupi ornamen-ornamen majapahitan di dalamnya.
Ada pula beberapa sesaji di taruh di kedua gapura itu. Bau semerbak dupa pun kian menambah kesan mistis di area itu.
Sarno dan mbah nang hanya bisa mengantarkan kami di gapura itu, selebihnya itu hanya kami yang akan melanjutkan menuju sumur tua di wates sedo. Di perpisahan itu mbah nang berkata dengan penuh keteduhan.
“Urip iku urup ngger, ono enom ono tuwo. Ono apik ono olo. Nanging kabeh bab panguripan iku sejatine neng pribadi manungso. Sopo sing aji lan tindak tanduke mukti kaliyan Gusti bakale dadi pribadi kang aji lan suci.”
(hidup itu menyala nak, ada muda ada tua. Ada buruk ada baik. Tapi semua hal mengenai kehidupan sejatinya ada di individu manusia. Siapa yang sakti dan kelakuannya baik dengan Tuhan akan menjadi orang yang sakti dan suci)
“Jaganen awakmu ngger, pokoe metu kudu urip ojo sampek mati sio-sio” (jagalah dirimu nak, pokoknya keluar harus hidup jangan sampai mati sia-sia) Ucap panjang mbah nang pada kami, terutama padaku. Aku hanya bisa menyeka air mata. Nampak deno juga sedikit gemetar akan ucapan mbah nang. Namun perjalanan harus tetap dilakukan agar semua hal tak nalar ini segera terselesaikan.
Aku akan selalu membantu dan menguatkanmu sahabatku.
Kami langkahkan kaki menuju ke dalam lagi melewati gapura kembar itu. Perlahan berjalan dengan penuh kehati-hatian. Suasana semakin berbeda. Hanya suara kera dan serangga yang kentara.
Perjalanan kurang lebih 15 menit menyusuri jalan setapak yang sedikit ditumbuhi semak berduri dan sampailah kami disebuah lahan sedikit luas, disana… ya disana akhirnya kami telah menemukan sumur itu. Sumur wates sedo.
Sesampai disana aku langsung mendirikan tenda dibantu deno, setelah selesai aku menyisiri sekitar area guna mencari kayu bakar untuk nanti malam. Tapi aku dibuat terkejut, nampak deno seperti berbeda, badannya gemetar dan kesakitan.
Dengan sigap aku berikan air rebusan dengan gula jawa. Namun, tak merubah apapun. Segera tanpa bertanya aku meminta deno untuk aku antar kembali ke tempat mbah nang.
Dengan terhuyun-huyun, tertatih-tatih memapah deno sampailah aku di gapura kembar dan terlihat mbah nang serta sarno masih disana. Mungkin mereka sudah tahu akan terjadi hal seperti ini.
“Bener sar, iseh podo biasane wingite wates sedo” (benar sar, masih seperti biasanya kesakralan wates sedo)
Nampak terdengar ucapan mbah nang kepada sarno, langsung aku serahkan deno pada mereka untuk dirawat. Dan sepertinya mbah nang sudah paham bahwa hanya akulah satu-satunya harapan untuk mendapatkan jawaban.
Sekali lagi aku meminta restu dan doapun terpanjat dari mulut mbah nang. Kucoba untuk mematri jiwa sekuat baja, mencoba membunuh segala keraguan serta ketakutan. “AKU HARUS BERANI!”
Perjalanan kembali aku lakukan, namun kini aku harus berani. Sampailah lagi aku di sumur wates sedo. Rasanya “singup” (panas dingin membuat merinding). Kulihat jam juga menunjukkan menjelang waktu mahgrib…
Aku berjalan menuju sumur tua itu, di sumur itu tertutup sebuah papan yang terbuat dari pohon jati. Ada kerekan timba namun tak ada embernya. Aku pun kembali ke tenda guna mengambil nesting yang aku berikan tali paracout guna mengganti ember di timba.
Setelah selesai kupasang kuturunkan timba dan suara “plung” menandakan dibawah sana ada air yang melimpah. Kutimba dengan tak tergesa-gesa guna menjadi syarat akan ritual wudhu untuk sholatku.
Sampai hal itu aku ulangi ketika memasuki isya’. Namun di penimpaan air kedua kurasakan timbaku dibawah sana kutarik begitu berat. Bahkan saking beratnya aku sampai sekuat tenaga untuk menariknya.
Sampai ketika timba terangkat hanya ada lumpur dan tanah di dalamnya. Selesai semua prosesi ibadah dari maghrib ke isya’ aku memutuskan untuk membuat api unggun dan sejenak bersantai.
Sampai begitu larut dan aku terhanyut oleh kantuk yang tak bisa aku kendalikan. Aku pun tertidur.
Byurrr!!! Byurrrr!!!
Suara seperti orang memukul mukul air sambil memainkannya terdengar dari telingaku. Bukan rasa ketakutan yang hinggap diperasaan, namun rasa penasaran yang memenangkan. Sontak diri ini segera mengambil senter dan segera mencari dari mana asal suara itu.
Perlahan aku dekati sumur itu dan mencoba menyenter ke dalam sumur dan sama sekali tak ada apa-apa. Aku kembali lagi ke tenda karena dirasa tak ada apa-apa.
Namun, lagi-lagi ada suara sama seperti tadi, aku coba mendekat dan melihatnya lagi namun hasilnya sama.
Tapi… di ketiga kalinya aku menyenter guna memastikan sebenarnya apa dan siapa yang membuat suara tadi.
Rasanya hampir mati rasa sekujur tubuh, kaget bercampur peluh karena disuguhi hal tak nalar ini. Dari dalam sumur sana, dibawah sana sudah ada wujud nenek-nenek yang merangkak naik.
Suara tangannya yang merambat mencoba menaiki sumur dari cecal batu-bata itu nampak jelas aku lihat. Aku tak boleh lari bahkan jika ketakutan menghujamiku, aku harus tetap berani.
Karena jika sampai aku terlena oleh ketakutan pastilah aku takkan menemukan jawaban apapun dari segala rentetan semua masalah ini.
Aku mundur beberapa meter ke balakang. Dan aku siap menunggu. Entah apapun yang akan terjadi aku mencoba untuk tetap siap. Karena aku sudah tak peduli lagi akan semua hal tak nalar ini.
***
“Culingkam culingkem tunggak papak kala mingkem, kem kebingkem saking kersane Allah. Wong kepingin mlaku utowo mblayu, slamet kala yo slamet”.
***
Masih, aku masih menunggu. Kutunggu sampai sosok itu naik. Dan, ketika tangannya mulai terlihat di bibir sumur darah panas kian deras mengalir keseluruh tubuhku.
Sosok itu benar-benar naik. Badannya basah bercampur darah yang menghitam. Sosok itu berdiri tepat beberapa meter di depanku. Ia menatapku begitu tajam dengan satu matanya.
Pepohonan kian menari seirama dengan sayup angin malam yang berhembus, dingin malam masih kalah dengan tubuhku yang seketika memanas.
“Arep golek opo awakmu cah bagus nganti adoh-adoh tekan jongko kolo sedo?” (mau cari apa kamu anak tampan sampai jauh-jauh sampai ke jongko kolo sedo?) suara yang tiba-tiba muncul dari sosok itu.
Badan tambah merasakan bergidik ngeri mendengar suara sosok itu.
“Siska kuwi tak jogo, awakmu ora perlu melu-melu!” (siska itu aku jaga, kamu tidak perlu ikut campur!) ucap lagi sosok itu.
“T..tapi kulo badhe nulung…” (t..api saya mau menolong…) ucapku.
Tiba-tiba angin begitu kencang menerpaku seperti ingin mengusirku. “ORA USAH MELU-MELU! MULIH SAIKI!!!” (TIDAK USAH IKUT CAMPUR! KEMBALI SEKARANG!!!) bentak sosok itu menyuruhku pulang sekarang juga. Tanpa ada kata yang terucap lagi aku berjalan menuju tendaku.
Tapi….
Belum juga aku berjalan beberapa langkah, pundak dicengkeram begitu kerasnya. Ketika aku menengok ke belakang sosok itu sudah ada tepat dibelakangku. Merinding kurasakan sekujur tubuh, bahkan tubuhku berasa bergetar begitu hebatnya.
“Mulih saiki” ucap sosok itu lirik dengan raut wajah yang menakutkan. Dan tangannya perlahan melepaskan cengkeramannya. Seketika itu juga aku berlari menuju desa.
Entah rasa apa yang aku rasakan aku tak mampu menggambarkan karena sudah diliputi banyak hal tak karuan dan diluar nalar. Dengan lari sekencang-kencangnya aku menuju ke tempat mbah nang.
Apakah aku harus pulang?
Apakah aku harus mengurungkan niatku menyelesaikan masalah ini?
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya