Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

AKSORO JIWO - Tembang Kaping Tigo (3)

"Menowo awakmu pengen weruh sejatine bab perkoro seng mbok goleki. Golekono gubuk pinggir deso lan mlakuo neng tengah alas peteng, neng panggonan iku ono bab kanggo gawe legone atimu" Ucap seorang pria tua renta.

-Deso Pati-


Cerita ini adalah cerita yang mungkin bisa saya benci karena akarnya tidak ada habisnya. 

Semakin saya mencoba mencari tahu pemecahan masalahnya semakin pula mendapat hal tak wajar kepada saya dan sahabat-sahabat saya.

Peringatan!
Cerita ini mungkin akan mengandung energi negatif.

Usahakan membaca dalam keadaan sehat dan siap. Kali ini saya tidak akan bertanggung jawab jika ada gangguan atau apapun itu. Semua saya kembalikan pada pembaca.

Bismillah
Pomo kaki podo dipun eling
Ing pitutur ingong
Siro ugo satriyo arane Kudu anteng jatmiko ing budi
Ruruh sarta wasis Samubarangipun.

Tingkah laku harus diperhatikan
Diperkataan dan perbuatan
Bertindak adil
Harus "anteng" (penuh ketenangan) di tingkah laku
Berpengetahuan tinggi Dalam segala-galanya.

Manusia selamanya akan haus penasaran, jika tak ada rasa penasaran dalam diri manusia sungguh tak ada tantangan dalam hidupnya.

JEJAKMISTERI - Sore di mega mendung yang berkidung, menghiasi kota kecilku tercinta.

"Iki uwes kabeh to?" (Ini sudah semua kan?) Tanya deno.

"Uwes, ayo mangkat saiki" (Sudah, ayo berangkat sekarang) Jawabku.

Di kemilau mega pada hari itu, kami seakan tak ada canda. Hanya rencana dan rencana tersusun agar jawab akan tanya segera terbuka mihrab-nya.

Ohh.. Tuhan...

Lancarkan

Lancarkan rencana kami... 

Brak!!!

Brukk!!!

Brakk!!!

Semua perlengkapan dibanting begitu saja ke bagasi belakang kuda perang.

Kami pun lantas tak langsung berangkat. Namun, kami menginap di rumah sakit atas permintaan deno.

Aku dan dimas pun mengiyakan...

Bismillah...

Kami pun lantas tak langsung berangkat. Namun, kami menginap di rumah sakit atas permintaan deno.

Aku dan dimas pun mengiyakan...

Suasana rumah sakit pada umumnya. Baunya, lalu lalang lalu sepi dan malam yang menjadi sunyi...

Namun aku melihat dengan mataku di sudut ruang dekat lift itu ada...

Ada...

Dan...

Ada suara Langkah kaki kian menghiasi di gendang telinga ini, bergema dan terngiang bertempo yang tak terlalu lama…

Namun…

“Heh, uwes ayo ndang pamitan” (heh, sudah ayo pamitan) ucap dimas membuyarkan konsentrasiku pada suara Langkah kaki itu.

Deno dan aku pun langsung menuju kamar siska walau aku tahu ada yang mengawasi kami dari balik Lorong gelap yang menuju ke lift itu.

Kami pun berada dalam ruangan kamar pasien..

Kamar yang biasa dengan gorden hijau dan teralis kaca yang usang dan berdebu, ruangan icu yang kental akan bau semerbak khas rumah sakitnya itu…

Tak ada banyak kata yang di lontarkan deno dengan tujuan guna meminta restu menuju tempat kelahiran pacarnya itu, sekaligus tempat dimana bu tini sendiri pernah menjalani hari-hari yang asri di desa itu.

Namun bukan kata Panjang atau sebuah wanti-wanti (berpesan/menyarankan) atau sebuah wejangan yang bu tini sajikan…

Hanya…

Hanya ucapan “jogonen awakmu kabeh…” (jagalah diri kalian semua…) sebuah ucapan bu tini, sebuah ucapan sederhana namun mempunyai banyak arti jika kita mau mencari dan menelaah ucapan orang tua.

Kami pun tak lupa bersalaman dan meminta restu, meminta restu akan sebuah perjalanan yang belum bisa kami bayangkan akan seperti apa.

Andai ada jalan yang lebih mudah dari ini pasti akan kami tempuh namun tak ada jalan lain.

Jalan keluar dari masalah ini hanya ada dalam sebuah teka-teki yang harus kami pecahkan sendiri di desa yang entah kami belum tahu juga desa seperti apa dan bagaimana keadaan serta peristiwa apa yang pernah terjadi disana.

Namun ketika aku hendak keluar kamar siska aku terkejut sejadinya…

"Astaghfirullah, jancok" spontan mulut ini istighfar meski terucap umpatan.

Kulihat nampak awalnya samar namun ternyata sudah...

Sudah Nampak muka yang mengintip dari Lorong gelap lift itu…

Sosok yang hanya terlihat kepala dan separuh bagian tubuhnya seperti bersembunyi di balik sela bangunan samping lift.

Wajahnya bercucuran darah dan gosong...

Mulutnya perot dan matanya melotot...

Senyumnnya menyeringai dan perlahan mulai melambaikan tangan padaku…

Dan...

“Heh.. ayo gage rasah ndomblong wae!” (heh.. ayo segera cepat tidak usah bengong saja!” ucap dimas dan lagi-lagi membuatku kehilangan jawaban sebenarnya apa yang ada di lorong gelap itu..

Dimas pun segera menyeret kami ke parkiran...

Brukk!! Brakk!! Brukkk!!!

Suara menutup pintu mobil itu adalah awal akan perjalanan kami menuju desa itu…

Tiba-tiba...

Kringg!! Kring!!!
Nada ponsel terdengar, dan kulihat dimas segera merogoh sakunya, ia pun ijin untuk mengangkat telfon…

Ia berjalan menuju trotoar sepi…

Cukup lama dimas bercengkrama dengan tawa namun pada akhir pembicaraan itu kulihat raut muka yang disuguhkan dimas begitu berbeda, Nampak kulihat sangat cemas dan was-was…

Entah apa, aku tak bisa menerka apa yang ada di benaknya, ia pun Kembali berjalan ke arah kami…

“Bro aku ora iso melu ki, aku ono perlu. Penting soale…” (bro aku tidak bisa ikut ini, aku ada perlu. Penting soalnya) ucap dimas dengan nada santai namun berat…

“Hloh.. piye sih dim, kowe ki seng paling mudeng masalah ora nalar koyo ngene ki, aku butuh awakmu ki…” (hloh.. gimana sih dim, kamu itu yang paling paham masalah tidak nalar seperti ini, aku buuh kamu ini) ucapku keberatan..

“Ayolah mas dimas melu wae” (ayolah mas dimas ikut saja) imbuh deno.

Luruh pangrekso.

Bismillah

Demit ora ndulit setan ora doyan.

“Sepurane cok, aku tak ngurusi masalahku sek yo..” (mohon maaf bro, aku mau mengurus masalahku dulu ya..) jawab dimas.

“Halah cok, konco ora tekanan…” (halah bro, teman tidak pengertian…) ucapku sedikit merajuk.

Seketika dimas langsung memeluk tubuhku dan berbisik…

“Wes ojo nesu, aku percoyo awakmu iso nangani iki kok. Aku percoyo awakmu…” (sudah jangan merajuk, aku percaya kamu bisa menangani ini kok. Aku percaya kamu…) ucap dimas yang kemudian melepas pelukannya dan tersenyum..

“Yowes lah, seng ngati-ati awakmu yo…” (yasudah lah, yang hati-hati kamu ya…) ucapku pada dimas.

Dimas pun mendekat padaku dan mendekatkan mulutnya ke kupingku lalu berbisik…

“Tenangno pikirmu, aku bakal neng sampingmu menowo awakmu butuh aku…” (tenangkan pikirmu, aku bakal di sampingmu jikalau kamu butuh aku)

Aku pun hanya bisa mengangguk lalu memeluk sahabatku itu…

Dimas pun bergegas memacu pergi dengan motor trail-nya selepas berpamitan dengan kami.

Aku dan deno melambaikan tangan pesan sebuah perpisahan dan berharap segera Kembali dipertemukan.

Aku tak pernah meragukan kata-kata dimas, karena bagiku dan dimas percaya bahwa kami adalah lelaki, seorang pria sejati..

Pria sejati adalah pria yang bisa menjaga ucapannya dan menepati janii akan ucapannya…

Jika kamu adalah seorang pria yang mengaku pria yang sejati maka jangan pernah kau ingkar janji atau malah obral-obral janji kepada manusia bahkan kepada wanita, jika kamu tahu ucapanmu adalah nyata sebuah palsu.

***

“Yoh mangkat den..” (ayo berangkat den..) Ajakku pada deno Deno pun mengangguk dan kami segera masuk ke mobil perang deno..

Arus lambat merayap di segala sisi menjadi pemandangan umum yang terkadang tak sengaja bisa menyulut emosi…

Lampu merah yang lama dan beberapa pengendara yang arogan menjadi ujian akan sebuah kesabaran…

“Bajingan! Lampu wes ijo kuwi! Ndang mlakuo!!!” (bajingan! Lampu sudah hijau itu! Cepat jalan!!!) Teriak pengendara tak berwibawa di belakang kami, hanya mengelus dada dan tertawa melihatnya.

Kemudian aku melihat tulisan di sebuah truk muatan bertuliskan “Ora sabar maburo” (tidak sabar terbang saja) Sungguh sarkasme yang pas bagi pengendara tak berwibawa di belakang kami.. hahaha…

Drutt!! Drutt!!

Namun tiba-tiba ada sebuah notifikasi dari fitur maps di gawaiku. Seolah memberikan bidikan tempat sebuah peta fiktif yang hanya berupa hutan…

Aneh…

Sangat aneh bagiku dan deno….

Kenapa maps itu tiba-tiba mengarahkan ke alas “J” ? 

Karena yang aku perkirakan akan ucapan bu tini adalah alas “B”

Tapi tak apa, aku mecoba mengikutinya barangkali ini sebuah petunjuk, toh juga jalurnya sama dengan jalur yang akan kami lewati yaitu pesisir jalan pantai selatan…

Jalan-jalan ramai dengan kiri kanan berpanorama dataran tinggi yang permai, menyejukkan mata namun kali ini terulang Kembali…

Tetttt!!!!

“Jancok! Den awas ono bis iku” (jancok! Den ada bis itu!) Umpatku dengan keras sambil memukul kepala deno.

Bagaimana tidak mengumpat, bagaimana tidak memukul deno, jika dia hampir membuat nyawa hanya sebatas satu ambilan nafas saja.

Hanya berjarak kurang dari satu hasta mungkin kami hanya akan menjadi sebuah rongsokan penuh darah manusia dan menjadi nama yang bertulis di batu nisan nantinya.

“sory cuk, aku dadi ora fokus.” (maaf cuk, aku jadi tidak fokus) ucap deno dengan lemas.

Kuda perang deno pun lembat laun melambat dan kahirnya berhenti di pinggir jalan, aku sudah tahu maksudnya apa.

Akulah yang akan menggantikan posisi pemacu kuda perangnya deno kali ini.

“Wes ndang tak gentine nyopir, timbangane mengko mbok sopir malah ciloko…” (ayo cepat tak gantikan nyupir, daripada nanti kamu supir malah celaka…) Ucapku pada deno yang padahal sudah tahu bahwa dirinya juga ingin memintaku menggantikannya di kursi pemudi.

Deno yang hanya turun dari mobil, dan aku langsung bergeser ke tempat kursi kemudi.

Ahhh.. tak mau aku turun juga, kesal rasanya nyawa ini dijadikan mainan lagi oleh deno. Kemudian dengan raut muka cemberut ia memasuki kuda perang lagi.

“as* ora usah raine tekuk-tekukan ngono! Njalok tak setliko raimu piye? Hahaha” (anji** tidak usah mukanya kusut begitu! Minta aku setrika mukamu ya? Hahaha) Ucapku bercanda meledeknya, aku tahu ini bukan perjalanan biasa dan akan berat.

Akan aku coba untuk membuatnya terasa perjalanan layaknya dharma wisata.

“Hehe.. ora-ora cok…” (hehe.. tidak-tidak cok) ucap tanggap deno dengan sedikit senyuman.

Cukup senang melihat deno sedikit tersenyum, itu membuatku lega..

"Kawan, meski aku selalu tak sopan dan sering membully mu aku sebenarnya sangat peduli padamu kawan. Mari berjalan Bersama dan songsong masa depan di depan mata…" Ucapku dalam batinku sambil melihat senyum sahabatku deno.

Kami pun Kembali melanjutkan perjalanan dengan aku yang menahkodai kuda perang deno…

Namun…

Ting! Tingg!!

Tiba-tiba gmaps menunjukkan lokasi fiktif dan seperti menembak lokasi itu untuk kami datangi, sungguh aneh karena tidak seperti alamat yang di “ancer-ancer” atau di tunjukkan oleh bu tini, namun malah menyuruh kami menuju ke dataran tinggi perbukitan di sebelahnya.

“Edan iki den, kok gmaps’e malah ngarah neng bedo panggon iku yo?” (gila ini den, kok gmaps nya melah mengarah ke tempat itu ya?) Ucapku keheranan pada deno di sebelahku yang tak kalah bingung juga.

“Hla teros piye iki?” (hla terus bagaimana ini?) tanya deno balik padaku semakin membuatku kebingungan.

Hsssss huffftttt….

Aku pun mencoba untuk tenang dengan mengambil nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan-lahan. Berasa seperti orang mau lahiran saja duh…

Aku pun menghentikan laju kuda perang ini, aku berdiam dan deno pun juga ikut terdiam…

Kami saling bertatapan dan sesekali saling memalingkannya, cukup lama…

Dan…

“Ahaaa!!!” ucapku refleks dan benar saja…

“Jancok!” umpat deno terkejut…

Hahah... Hahaha…

Aku pun tertawa melihat deno terkejut sambil memegang dadanya dan melihat mukanya yang memerah…

“Opo cuk opo? Ngageti wae…” (apa cuk apa? Mengagetkan saja…) Tanya deno padaku.

“Wes den percoyo wae, awake dewe melu wae arahane gmaps iku. Hehe…” (sudah den percaya saja, kita ikuti saja arahannya gmaps itu. Hehe…) Ucapku pada deno.

“Temenan iki cuk?” (beneran ini cuk?) tanya deno sedikit ragu..

“Tulung percoyo aku sayang awakmu…. Ehh tulung percoyo aku maksude hahaha” (tolong percaya aku sayang kamu… ehhh tolong percaya aku maksudnya hahaha) Ucapku bercanda pada deno.

Dijawab dengan ketus, “Jancok malah nyanyi… mbok serius sithik to cok! Hmmm” (jancok malah nyanyi.. tolong serius sedikit ya cok! Hmmm)

“Ben ora sepaneng to su! Hahaha” (biar tidak tegang ya nj***! Hahaha” Jawabku bercanda lagi.

Brumm!!! Brummm!!!

“BERANGKAT!!!!”

Perjalan kami lanjutkan lagi, mungkin memakan waktu yang cukup lumayan karena harus memutari bukit yang kira-kira mempunyai ketinggian 2.000 Mdpl. Jalan yang naik turun tajam dan tentunya dengan belokan yang sangat tajam pula.

Tapi alhamdulillah meskipun aku belum terlalu mahir namun serasa tangan dan kaki ini terkesan lihai dalam menyusuri jalan menuju desa yang belum tahu dimana keberadaannya.

Dreggg!! Dreggg!! Brummm!!! Ngokk!!

Tiba-tiba kapal perang deno berhenti berfungsi, padahal gmaps menunjukkan tujuan sampai sebentar lagi.

“Cuk ngopo iki den?” (cuk kenapa ini den?) Tanyaku pada deno.

“Yo ora ngerti lah cok!” (ya tidak tahu lah cok!) Jawab deno padaku.

“Yaweslah ayo mudun, kemebul keluk ngono…” (yasudahlah ayo turun, berkepulan asap begitu…) Ucapku.

“Yawes ayo…” (Yasudah ayo…) Ucap deno dan keluar dari kapal perang.

Brakk!! Brukk!! Brakk!!!

Kami pun turun dari kapal perang deno dan melihat apa yang salah dengan kapal perang ini kenapa bisa tiba-tiba mati.

Kepulan asap membumbung sampai memenuhi hutan pinus di kanan dan kiri kami, suara serangga kentara kami dengar memekikkan telinga.

Blukk!! Krakkk!!!

Kap mesin ku buka, benar saja mesin sangat panas dan mengepul.

“Cok! Iki radiatore garing, awakmu lali ngisi banyune po?” (cok! Ini radiatornya kering, kamu lupa isi airnya ya?) Ucapku pada deno.

“Hehe sory” ucapnya sambil mengelus kepala.

“Ono banyu ora?” (ada air tidak?) tanyaku pada deno.

“Ora cok, lali aku yoan” (tidak cok, lupa aku juga) jawabnya.

“Waduhh… ono jerigen ora. Cobo tak golekke banyu menowo neng cedek kene ono mata air” (waduh… ada jerigen tidak. Coba aku carikan air siapa tahu di sekitar sini ada mata air) Ucapku sambil menyuruh deno mencarinya, dan hanya anggukan kepala yang ia sajikan padaku.

“Nyoh…” (nih…) ucap deno sambil menyodorkan jerigen padaku.

“Awakmu tunggu kene wae, aku tak golek banyu dhisik yo?” (kamu tunggu disini saja, aku mau cari air dulu ya?) Ucapku pada deno.

Ia hanya mengangguk, meski kutahu bahwa diraut wajahnya tak bisa bohong, deno sangat takut ditinggal sendirian. Tapi apa boleh buat karena hanya jaga-jaga agar armada kami tetap disitu dan tidak…

Ahh.. aku hanya takut kemungkinan yang belum aku tahu akan terjadi…

Kutinggalkan deno di kapal perangnya dengan sedikit perasaan tidak tega, aku pun beranjak menapaki jalan yang asing bagiku ini, kususuri tiap jengkalnya. Hanya berupa hutan pinus yang gelap dan hanya sedikit sinar Mentari saja yang masuk.

Ilalang yang tinggi dan suara serangga serta suara kicau burung yang menghiasi tiap gema hutan ini.

Brrrrr!!! Brrrr!!!

Suara deru air kudengar di gendang telinga ini, dengan insting alamiku ikuti bunyi deru air itu…

Dan benar saja dibawah sana ada aliran sungai yang tidak terlalu besar dan mungkin terkesan dangkal, aku turuni tanah yang basah dan sedikit licin guna menuju sungai itu.

Srett… srettt….

Gedebukkk!!!

Kakiku terpeleset dan terjungkal, hahh!!! Untung saja kepalaku tak tertancap batu yang meruncing itu, hampir saja huft…

Ku buka tutup jerigen dan mulai mengisi jerigen ini, sekilas kupandangi sekitar…

Wushhhh!!! Tikk!! Tikk!! Tikk!!!

Sekelebat kulihat ada seseorang berjalan di seberang sungai sana, mataku sedikit kabur namun kucoba pandangi lagi..

Tapi…

Kabut tipis pun turun dan aku segera bergegas pergi dari sungai ini karena jerigen telah penuh ku isi.

Namun…

Lagi-lagi Nampak kulihat memang ada yang mengamatiku, benar…

Memang benar, ada sesuatu di balik pohon besar di seberangku. Rambut yang Panjang terurai dan hanya terlihat tangannya…

Ahhh..

Masa bodoh! Aku segera pergi saja dari sini. Untuk apa aku mengurusi hal yang mungkin tak ada hubungannya dengan apa yang ingin kami cari…

Kutinggalkan sungai itu dan beranjak melangkahkan kaki menuju deno…

Sial! Ternyata ada sesuatu yang benar-benar kulihat, ku percepat langkahku karena ada sesuatu yang ingin menyeberang ke arahku.

Memang tak jelas karena kabut namun aku yakin itu bukan hal biasa namun mungkin akan membuatku kerepotan...

Kupercepat lagi Langkah kaki ku…

Brukkk!! Brakkk!! Srekkk!!!

Suara sepatu boot ku beradu dengan dedaudan kering…

Hahh… hah.. ha… hufttt…

Ku hela nafas dengan lega karena sampai juga di kapal perang deno. 

Tiba..tiba…

“Cok! Suwe temenan awakmu, aku wedi banget cok!!!!” (cok! Lama sekali kamu, aku takut sekali cok!!!!) Ucap deno dengan nada yang sangat ketakutan seperti habis melihat setan.

“Opo to den opo? Awakmu yok opo seh?” (apa sih den apa? Kamu ini kenapa sih?) Tanyaku kebingungan.

“Wes ndang ayo, iki banyune to? Kene tak isino radiatore…” (sudahlah cepetan ayo, ini airnya kan? Sini aku isikan radiatornya…) ucap deno dan serasa mengacuhkan pertanyaanku.

Deno langsung merampas jerigen berisi air dan secara sigap berjalan menujun kap mesin, ia mengisi radiator kapal perangnya dengan sangat tergesa-gesa.

Nampak mulai aneh dengan raut wajahnya yang memucat.

Bisa aku pastikan pasti dia mengalami kejadian yang membuatnya sangat kacau. Dengan segera deno memaksaku memacu kapal perangnya lagi, kami Kembali masuk dan terburu-buru…

“Wes ayo, ndang lungo soko kene cok!” (sudahlah ayo, cepat pergi dari sini cok!) ucapnya memintaku segera menghidupkan mesin.

Brummm!! Brumm!!!

Roda 4x4 pun memutar dan meninggalkan tempat itu, kulihat masih pucat sayu muka deno dan sesekali ia menengok ke penjuru arah…

Aku beranikan bertanya pada sahabatku ini.

“Den yok opo she awakmu ki?” (den kenpa sih kamu ini?) tanyaku pada deno.

“Emmtt.. anu.. emmttt..” ucap deno.

“Ona anu ona anu, anumu cilik cok! Rasah bahas anu. Loss wae omongo jancok!” (ona anu ona anu, anumu kecil cok! Tidak usah bahas anu. Biasa aja bicaranya jancok!) Ucapku sedikit dengan nada tinggi.

“Aku mau pas mbok tinggal, lagi sedelo weruh…” (aku tadi pas kamu tinggal, lagi sebentar lihat…)

Cittt!!!!!!!! (suara rem)

Belum selesai deno melanjutkan kalimatnya aku refleks mengerem kapal perang deno karena di depan ada seorang wanita tua yang sedang berjalan di tengah jalan dengan sedikit bungkuk dan terkesan tergopoh…

“Edannn!!! Arep mateni aku po awakmu cok!?” (gilaaa!!! Mau membunuh aku ya kamu cok!?) ucap deno yang keget dan sampai kepalanya terbentur.

“Sory.. sory.. kuwi deloken ngarepe awake dewe ono opo..” (maaf.. maaf.. itu lihatlah depan kita ada apa..) ucapku sambil menunjuk ke arah wanita tua yang masih berjalan namun sekarang tiba-tiba berhenti di depan kapal perang ini..

Segera aku turun dan takut saja jika wanita tua itu kenapa-kenapa, aku langsung menghampirinya…

“Mbah, mboten nopo-nopo njenengan?” (nek, tidak apa-apa kamu?) tanyaku dengan raut wajah khawatir.

“Ora le, aku ora popo kok le..” (tidak nak, aku tidak apa-apa kok nak) jawabnya membuatku menghela nafas lega..

“Alhamdulillah…” dalam batinku lega karena beliau tidak apa-apa…

Namun tiba-tiba wanita tua itu atau nenek itu bertanya padaku…

“Awakmu arepe gawe perlu opo mrene thole cah bagus…?” (kamu mau ada perlu apa disini anak ganteng..?) tanya nenek itu padaku.

“Kulo ajenge ten nggoleki deso mbah” (Saya mau mencari desa nek) jawabku pada beliau.

“Owalah…” ucapnya singkat dan terkesan malah menyeramkan, senyum yang membuat bulu kudukku merinding.

Tiba-tiba…

Brakk!!

(suara menutup pintu mobil)

“Hey, suwe men. Ayo selak udan iki…” (hey, lama sekali. Ayo keburu hujan ini..) ucap deno yang tiba-tiba turun dari kapal perangnya dan memintaku segera melanjutkan perjalanan ini.

“Kosek den, iki ono simbah. Mbok menowo awake dewe oleh ancer-ancer panggonan sek awake dewe goleki iki hlo” (sebentar den, ini ada simbah. Siapa tahu kita dapat petunjuk tempat yang kita cari ini hlo) jelasku pada deno.

“Hehehe, cah bagus. Deso sek arep mbok parani ki cedak kok…” (hehehe, anak ganteng. Desa yang mau kalian datangi itu dekat kok…) ucap beliau..

“Pundi niku mbah?” (dimana itu nek?) tanyaku.

“Lurus kae ono simpangan, jupuken sek nengen cah bagus mengko lurus teros maneh, nek awakmu menowo weruh grojogan karo sendang nah iku…” (lurus disana ada persimpangan, ambillah yang kanan anak ganteng nanti lurus terus lagi, kalau kalian melihat air terjun dan danau nah itu…) ucap beliau.

“Nah opo mbah?” (nah apa nek?) ucap deno memotong ucapan beliau..

“Hust! Menengo sek. Monggo mbah dilanjut…” (hust! Diam dulu, silahkan nek dilanjut..) ucapku menyuruh deno diam sejenak, dan mempersilahkan nenek untuk melanjutkan ucapannya.

“Nah, metu kono belok kiri lurus wae..” (nah, keluar sana belok kiri lurus saja..) Ucap beliau…

“Hahaha, koyo lirik lagu ya cok?” (hahaha, seperti lirik lagu ya cok?) ucap deno spontan.

“Hustt… ora sopan! Menengo wae sek kowe den! Ngapunten mbah menawi tutuk rencang kulo mboten sopan”

(Husttt.. tidak sopan! Diam saja dulu kamu den! Maaf nek kalau mulut teman saya tidak sopan) Ucapku pada deno sembari melanjutkan ucapan maaf pada beliau akan ucapan tidak sopan sahabatku deno.

(Hahaha, tidak apa-apa anak ganteng, yasudah ini mau petang, ini ya mau hujan juga. Kalian semua mampir dulu ke gubuknya nenek. Nanti menginap sekalian satu malam. Ini hutan hlo kalau malam itu berbahaya dan dingin anak ganteng) Ucap dan ajak beliau.

Bagiku alas/hutan itu memang berbahaya dan dingin namun lebih berbahaya sikap dia jika sudah bersikap dingin hahaha..

Sedikit aku berpikir, memang tidak salah juga ucapan nenek ini, orang tua jaman dahulu juga menganjurkan untuk beristirahat jika bepergian jika itu menunjukkan waktu petang, pamali kalau kata orang tua dulu.

Namun sepertinya kami tak bisa meng-iyakan tawaran beliau, karena kami harus secepat mungkin menuju desa itu dikarenakan waktu yang sangat terbatas.

“Matursuwun sak derenge mbah, naming ngapunten wektu kulo mepet hehe, kulo wonten perlu bab penting soale.” (terimakasih sebelumnya nek, tapi mohon maaf waktu saya mepet hehe, saya ada perlu perihal penting soalnya.) Ucap dan tolakku secara sopan..

“Ngapunten sak derenge, asmane njenengan sinten nggih mbah? Menawi mbesok tasih wonten wektu kulo badhe sowan griyane panjenengan..” (mohon maaf sebelumnya, nama nenek siapa ya? Siapa tahu besok kalau masih ada waktu saya mau bertamu/berkunjung ke rumahnya..) Ucap tanyaku halus…

“Jenenge darsinah cah bagus, sri darsinah..” (namaku darsinah anak ganteng, sri darsinah..) Jawab beliau..

Seperti tidak asing ketika mendengar nama itu, tapi darimana nama itu pernah aku dengar?

Ahh.. Mungkin hanya perasaanku saja...

“Nggih pun mbah, kulo badhe nyuwun pamit. Matursuwun nggih…” (yasudah nek, saya mau pamit, terimakasih ya…) ucapku sambil mencium tangan beliau, begitupun dengan deno.

Brakk!! Brukk!! Brakkk!!!

Brummm!!!

Suara pintu dan gelegar mesin 4x4 kapal perang deno menyambut kami untuk segera melanjutkan menyusuri belantara hutan ini menuju desa yang belum kami temukan…

“Monggo mbah…” (mari mbah…) ucap kami berbarengan…

Hanya senyuman dan lambaian tangan yang diberikan beliau untuk kami…

Tettt!! Tett!!!

Suara klakson berbunyi dan kami meninggalkan tempat ini….

Lalu…

Tikk!! Tikkk!!! Breeessss!!!!!!

Hujan pun perlahan turun membasahi seluruh tempat ini…

“Hey cok! Simbahe mau neng ngendi? Kok wes ora ono???” (hey cok! Nenek tadi mana? Kok sudah tidak ada???) Ucap tanya deno padaku keheranan.

Cukup tidak nalar juga, baru sebentar kami melajukan kapal perang ini beliau sudah hilang tanpa jejak padahal ini sudah hujan…

Ahh….

Aku tak peduli, aku sebaiknya fokus dengan petunjuk ke arah desa itu saja, daripada berfikir yang tidak perlu aku pikirkan.

“Weslah, awake dewe ki luwih apik fokus wae nggoleki deso kuwi” (sudahlah, kita ini sebaiknya fokus saja mencari desa itu) ucapku menampik pertanyaan deno meski aku tahu, aku juga sedikit penasaran kenapa beliau bisa hilang dengan cepatnya dari sana.

Kupercepat laju kapal perang deno dengan medan yang sekarang terjal berbatu dan berlumpur…

Sungguh menemukan desa ini harus “nyebar godong koro, sabar sak wetoro” jika di terjemahkan dalam Bahasa Indonesia adalah (sabar sejenak, atau bersabar dalam waktu yang tak bisa ditentukan) “sabar sak jembare segoro” (sabar seluas samudera)

Jalan naik turun dan berlumpur membuat kian ciut nyaliku, namun aku tak pantang mundur meski kami hampir saja masuk jurang dan tak kuhitung berapa kali kami masuk ke lubang yang cukup dalam…

Tali towing strap/tali penderek berkali-kali kami ikatkan ke pohon agar kapal perang deno bisa keluar dari lubang yang menjebak armada kami ini…

Tak ayal kadang kami marah dan menangis, namun tangisan kami terurai akan guyuran hujan, aku tak malu tatkala aku menangis akan perjalananku karena tangisku tertutupi oleh rinai hujan yang menyapu wajahku…

Sungguh perjalanan yang memaksa raga dan jiwa untuk mundur…

Namun aku tetap menyemangati sahabatku ini, ini semua aku lakukan agar semua jerat masalahnya bisa terlepas dan kembali tersenyum seperti sedia kala.

Sahabatku, meski badanku serasa remuk aku akan tetap berpura-pura kuat dihapanmu. Aku tak mau jika kau melihatku remuk hatimu dan ragamu pasti juga akan ikut merasakannya.

Lepas aku berlari setelah merekatkan tali derek ke pohon besar, aku berlari menuju belakang kapal perang deno yang terperangkap di lubang…

“Den!!! Gass terusss!!!” ucapku pada deno lantang.

“Wess cok!!! Uweesss!!! Ora usah mbok peksakne awakmu! Nek wes iki raiso lanjut leren sampek terang. Awake dewe balik waee!!! Huhuhu”

(sudah cok!!! Sudahhh!!! Tidak usah kamu paksakan dirimu! Kalau memang ini tidak bisa lanjut istirahat sampai reda. Kita balik saja!!! huhuhu) Ucap deno pasrah dengan derai air mata...

“Elingo siska den sek iseh neng Kasur ora iso opo-opo! Opo awakmu tego!? Lanjut gass terus pokoe!!!!” (ingatlah siska den yang masih dikasur tidak bisa apa-apa! Apa kamu tega!? Lanjut gass terus pokonya!!!) Ucapku yang masih dengan mendorong kapal perang deno agar keluar dari lubang perangkap ini…

Akan kuhadirkan sejuta tawa, meski itu hanyalah tawa kepalsuan saja sahabat. Itu semua kulakukan agar kau bisa tetap melanjutkan masa depan.

Tetaplah tersenyum sahabatku…

Aku berjanji ini adalah kali terakhir aku melihatmu menjatuhkan air mata….

Dan...

Brummmm!!!! Bruukkk!!! Brummm!!!!!

Akhirnya kapal perang deno keluar dari lubang perangkap ini… Tangis deno pun pecah mengalahkan derai hujan yang derass…

Kuhampiri sahabatku itu di kursi kemudinya, ku peluk dia yang masih berlinang air mata…

“Semangat!!!” ucapku padanya sambil kuseka air matanya…

Hanya anggukan kepala yang ia berikan padaku...

"Ayo, iseh semangatkan?" (Ayo, masih semangatkan?) Tanyaku...

"Semangat..." Jawabnya masih dengan sesenggukan...

Aku tahu ini perjalanan yang berat namun kami harus tetap kuat...

Kusuguhkan senyuman padanya...

Kami berganti posisi lagi dengan aku yang sekarang menjadi nahkoda kapal perang ini.

Selang setengah jam kami melihat air terjun dan danau yang dimaksud dan mengikuti jalan kecil yang hanya sebatas jalan selebar 3 meter dengan tanah dan batu...

Alhamdulillah kami melihat gerbang desa, jadi beberapa menit lagi akan sampai di desa yang kami cari...

Benar...

Memang benar...

Akhirnya kami sampai di desa yang....

Sepi...

Hanya ada beberapa penduduk yang menampakkan batang hidungnya...

Aku parkirkan di lahan sedikit luas di depan rumah megah namun rumah yang terkesan kosong tak berpenghuni...

Brukkk!!! Brakkk!!!

Kami pun turun dan melihat sekitar...

Dan....

"Kok sepimen yo deso iki..." (Kok sepi sekali ya desa ini..) Ucap deno padaku.

"Ho'o den, sepi koyo deso pati.." (Iya den, sepi seperti desa mati..) Ucapku dengan memandangi sekitar.

Lalu...

"Mas..." Whhaaaa!!!! Sontak kami berdua kaget dan melonjak kedepan.

"Sopo kuwi?" (Siapa itu?) Ucap deno.

Dari samping bangunan tua megah itu, dari rerimbunan ilalang...

Nampak seorang pemuda dengan membawa celurit mendekati kami... 

Kaget kami dibuatnya...

Lalu pemuda itu bersuara lagi masih dengan sedikit siluet gelap...

"Aku dudu demit mas, sante wae..." (Aku bukan setan mas, santai saja..) Ucapnya.

"Hla yo kowe ki sopo?" (Hla iya kamu ini siapa?) Tanya deno lagi masih setengah takut..

"Kudune aku sek takok kuwi karo sampeyan mas, huh.. aku sarno mas, wong deso kene.." (Harusnya aku yang bertanya itu pada kamu mas, huh.. aku sarno mas, penduduk disini..) Ucap pemuda itu namun sedikit ketus.

"Hah? Sarno? Sarape keno? Hahaha" (Hah? Sarno? Sarafnya kena? Hahaha) Ucap canda deno...

"Hushh.. ora sopan cok! Ojo kulino guyon ngono lah. Guyon ki ora iso mbok gowo mbendino, guyon ki ono wektu karo panggone. Ojo mung waton guyon mergo ora kabeh uwong iso di ajak guyon.."

(Hushh.. tidak sopan cok! Jangan kebiasaan bercanda begitu lah. Bercanda itu tidak bisa kau bawa/gunakan setiap hari, bercanda itu ada waktu dan tempatnya. Jangan cuma asal bercanda karena tidak semua orang bisa diajak bercanda..) Ucapku menasehati sahabatku deno.

"Hahaha sante mas, aku yo seneng guyon kok." (Hahaha santai mas, aku juga suka bercanda kok.) Ucap sarno.

"Untunge mas sarno ngerteni lan mudeng guyonan, nek wonge ora trimo wes dibacok ndasmu nganggo arit sek digowo kuwi cok.."
(Beruntungnya mas sarno pengertian dan paham candaan, kalau orangnya tidak terima dibacok kepalamu dengan celurit yang dibawanya itu cok..) Ucap tambahku lagi menasehati deno, deno hanya tertunduk dan diam.

Lalu...

"Wes mas, malah udur ngene haha. Sampeyan iki sopo lan arepe ono perlu opo kok iso tekan kene?" (Sudah mas, malah berdebat begini haha. Kalian ini siapa dan mau ada perlu kok bisa sampai kesini?) Lerai dan tanya sarno pada kami.

Akupun menjawab...
"Aku bara mas, nek iki koncoku deno. Awake dewe iki rene ono perlu karo kasepuhan deso kene mas.." (Aku bara mas, kalau ini temanku deno. Kita ini kesini ada perlu dengan sesepuh desa disini mas..) Jawab dan Jelasku.

"Owalah, iku simbah kakung mas. Monggo aku yo arep sowan neng griyane simbah." (Owalah, itu kakek buyut mas, mari aku ya mau berkunjung ke rumahnya kakek.) Ucap sarno sembari mengajak kami mengikutinya...

Kami pun segera mengikuti pemuda dengan pakaian serupa pemuda desa jadul itu...

Namun masih menjadi pertanyaan di benak ini...

Siapa sebenarnya simbah kakung/kakek buyut itu?

Karena dari cerita sarno di perjalanan kami mengikutinya, sarno bercerita beliau sangat disegani di desa ini..

Semakin penasaran....

Namun...

Tiba-tiba...

"Hopp mas! Cekelen pundakku, ojo sampek mbok uculno!" (Stop mas! Peganglah pundakku, jangan sampai kalian lepaskan!) Ucap sarno sangat serius dan terkesan ketakutan...

Lalu...

Lalu kudengar dari mulut sarno merapalkan/mengucapkan sebuah bahasa jawa atau bisa kupastikan itu sebuah mantra...

Sang kuasaning jagad, sang kuasaning urip...

Sang maha luhur lan sang maha adidaya...

Abdining diri jumeneng anteng madhep manteb ing dalanmu gustiku cipto rosoku...

Demit lan setan ora wani ndilat kajaba soko kahendak panjenengan...

Mugo slamet lan kantreman ono ing kulo..

Krukk!!! Krukk!!! Krukk!!! Srettt!!! Srettt!!! Srettt!!! 

Nampak dari jauh kulihat wujud yang masih samar bergelantung di pohon beringin tua...

Lalu sarno memegang tangan kami erat dan tetap menbuat kami tak kemana-mana...

"Pokoe anteng mas, iki bakal rampung menowo awake dewe kabeh iso anteng." (Pokoknya tenang mas, ini bakal selesai jika kita semua bisa tenang.) Ucap sarno masih dengan was-was ketakutan..

Apa yang sebenarnya ditakutkan sarno?

Dan apakah yang akan kami hadapi?

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close