Desa Putuk Wetan (Part 1)
2 sah...
2 sah...
2 sah...
JEJAKMISTERI - "Pak sepertinya bapak akan menang, selisih suaranya sudah 3 ribu suara" ucapku pelan sambil berbisik ketelinga bapakku yang saat itu duduk tepat disampingku.
"Iyo nduk berdoa saja ya, semoga perjuangan kita membawa hasil" sahut bapakku dengan raut wajah yang terlihat cukup tenang.
Namun anehnya, ditengah-tengah kami masih menunggu surat suara selesai dihitung. Sore itu tiba-tiba kami berdua dihampiri oleh Yai Bahri yang ku tau, beliau adalah salah satu sesepuh yang ada di desa ini.
"Selamat ya le, tanggung jawab deso iki mariki ono ndek pundakmu." (Selamat ya nak, setelah ini tanggung jawab desa ini, ada di pundakmu) ucap yai Bahri sambil duduk dibarisan kursi yang berada tepat dibelakangku.
Mendengar hal itu, bapakkupun seketika menunduk sembari mencium tangan yai Bahri seraya menghormati sosok beliau yang juga memang ku kenal sebagai guru spiritual bapakku dan keluargaku tersebut.
"Injih bah, nedi pangestune." (Iya bah, minta restunya ya) jawab bapak.
Tapi anehnya, bukannya membalas ucapan bapak, yai Bahri sore itu malah terlihat cemas melihat bapakku yang waktu itu tinggal selangkah lagi akan menjadi pemimpin desa ini.
Mengetahui hal itu, akupun hanya diam sambil merasa aneh dengan tingkah yai Bahri yang terlihat sangat berbeda dari biasanya.
Yai Bahri, yang biasanya kulihat selalu murah senyum dengan wibawanya, sore itu beliau sepertinya benar benar terlihat kecewa dengan apa yang terjadi di desaku waktu itu.
Dan tidak lama setelah itu, beliau tiba tiba terlihat berdiri dan pergi meninggalkan tempat duduknya dan berjalan kebelakang entah kemana.
Singkat cerita, sekitar pukul 16.00 Waktu setempat, bapakku akhirnya dinyatakan telah memenangkan pemilihan kepala desa yang waktu itu hanya diikuti oleh 2 orang saja.
Pak Tarjo, yang menjadi satu satunya lawan bapakku saat itu, tiba tiba juga terlihat pergi meninggalkan tempat perhitungan suara dengan tidak sekalipun menegur bapakku.
Sore itu, suasana desaku seketika riuh dengan suara pendukung bapak yang terlihat bergembira dengan hasil perhitungan surat suaranya.
Dan berbanding terbalik dengan para pendukung pak Tarjo, waktu itu mereka terlihat seketika pergi diiringi dengan suara suara umpatan yang saat itu terdengar dengan sangat keras.
"Kowe mariki ajur. Tak rusak deso iki, deloken ae." (Kamu habis ini hancur, aku akan merusak desa ini, lihat saja) ucap salah satu pendukung pak Tarjo dengan di sahuti suara pendukung bapakku yang saat itu terus bergembira karena kemenangan bapak.
"Kalah yo kalah, ra usah ruwet." (Kalah ya kalah, gak usah ribet) sahut pendukung bapak.
Karena aku menganggap jika hal seperti itu sudah biasa dalam berdemokrasi, akhirnya akupun tidak menghiraukannya sambil ikut terus berjabat tangan dengan warga desa satu persatu.
Dan singkat cerita, setelah semuanya selesai, sore itu bapakkupun diarak keliling desa yang akhirnya sampai dirumahku sekitar malam hari.
Malam harinya, di rumahkupun terus berdatangan tamu yang ingin mengucapkan selamat kepada bapakku.
Saudara, tetangga hingga perangkat desa yang sebelumnya, malam itu juga silih berganti mengunjungi rumahku.
Hingga akhirnya, waktupun berlalu begitu saja.
Kini, bapakku telah resmi dan dilantik sebagai kepala desa baru diusianya yang sudah menginjak 55 tahun.
***
Desaku ini, terletak disalah satu kabupaten yang ada di jawa timur, terletak jauh di perbatasan antar kota yang juga jauh dari jalan raya.
Akses menuju desaku, memang bisa dikatakan masih sangat sulit dengan hanya bisa dilalui oleh kendaraan kecil saja.
Dan tidak hanya itu, aliran listrik yang belum sepenuhnya merata ditambah dengan sumber air utama desa yang sering tercemar, menjadi salah satu pekerjaan rumah yang diemban bapakku dalam menjabat sebagai kepala desa yang baru.
Begitu juga dengan aku, kini, waktu demi waktu kulalui dengan membantu pekerjaan bapakku, atau bisa dibilang waktu itu aku menjadi salah satu kaki tangan beliau mengingat akulah anak bapakku satu satunya yang saat itu memang diharapkan bisa membantunya.
Namun sayangnya, semuanya malah menjadi tidak terduga, masih sekitar 3 Bulan bapakku menjabat sebagai kepala desa yang baru, tanpa disangka sangka, waktu itu tiba tiba keluargaku mulai mengalami hal hal yang sangat tidak masuk kedalam akal dan logika.
Masih sangat teringat jelas dikepalaku,
Malam itu, aku masih berjalan pulang dari kantor kepala desa dan menuju kerumahku.
Namun anehnya, baru sampai aku di depan rumahku, malam itu pandanganku tiba tiba teralihkan dengan adanya taburan bunga melati yang saat itu terlihat tercecer disepanjang teras rumahku.
Dan tidak hanya itu, tepat disalah satu bagian teras rumah, waktu itu aku juga melihat adanya dupa menyala yang hanya tersisa setengah bagian saja.
Mengetahui hal itu, akupun seketika terkejut bukan main dengan aku yang segera berjalan menuju dupa tersebut dan seketika mematikannya.
"Ya allah, ulah siapa sih, ada ada saja,,, buat apa coba kayak gini segala" ucapku sambil menginjak dupa yang saat itu memang tertancap kuat dipojokkan teras rumahku.
Dan setelah semuanya kupastikan sudah tidak ada apa apa, akhirnya akupun seketika masuk kerumahku dengan badan yang mulai terasa lelah.
Tapi sayangnya, belum sempat aku beristirahat, malam itu tiba tiba aku mendengar suara orang yang sedang mengetuk pintu rumahku dengan ketukan yang sangat keras.
"Tok tok tok tok"
"Pak, pak,,, pak lurah,,," teriakknya.
Mendengar hal itu, akupun seketika kembali kearah pintu rumah sambil sedikit berteriak seraya menjawab panggilannya.
"Siapa ya" sahutku sambil membukakan pintu.
"Bapakmu mana" jawab orang tersebut yang ternyata, beliau adalah pak Waringin.
"Bapak masih di kantor desa pak, ada apa ya pak." tanyaku heran.
"Si Ajis mbak, anaknya bu Siti, dia jatuh di jembatan desa, kondisinya kritis" ucap pak Waringin dengan raut wajah yang terlihat sangat gugup.
"Ya allah, ayo ayo saya antar ke kantor desa pak, eh tapi sebentar dulu ya pak, saya nyalain dulu semua lampu rumahku biar gak gelap" sahutku.
Dan tak menunggu lama, malam itupun aku segera pergi bersama pak Waringin kembali menuju kantor desa untuk segera memberi tahu bapakku tentang kejadian yang telah menimpa salah satu warganya tersebut.
Sesampainya kami dikantor desa, Pak Waringinpun seketika menceritakan semuanya kepada bapakku yang akhirnya, kami bertigapun bergegas menuju rumah bu Siti yang ada tepat dipojokkan desa ini.
Namun sayangnya, sesampainya kami dirumah bu Siti, Ajis malam itu ternyata sudah dalam keadaan tidak bernyawa.
Dia menghembuskan nafas terakhirnya tepat hanya sekitar beberapa menit sebelum aku dan bapakku datang.
Dirumah itu, akhirnya semuanya menangis karena sepertinya pihak keluarga Ajis masih tidak percaya dengan kepergian Ajis yang memang masih perjaka.
Bu Siti, yang kutau beliau adalah orang tua Ajis, malam itu tiba tiba malah kesurupan tidak karuan dengan mengacak acak semua perabotan rumah.
Mengetahui hal itu, aku dan semua orang yang ada dirumah itupun seketika menenangkan bu Siti sambil terus memegang tangan dan kakinya yang saat itu masih meronta ronta.
Dan tidak berhenti disitu saja, ditengah tengah bu Siti masih ditenangkan, malam itu tiba tiba pandanganku teralihkan dengan adanya sosok wanita tua yang terlihat duduk di kursi goyang yang ada didalam rumah bu Siti tersebut
Sosok tersebut, terlihat duduk tenang sambil menatap keadaan bu Siti yang malam itu bisa dikatakan sudah semakin tidak terkendali.
"Pak.. nenek itu siapa ya pak, kok aku gak pernah lihat sih pak, aneh banget loh wajahnya" bisikku sambil sedikit menarik Baju bapakku dari belakang.
"Udah nanti saja, ini bu Siti masih mengamuk" sahut bapakku tegang.
Dan tidak lama setelah itu, akhirnya bu Siti bisa dikendalikan meskipun masih belum sadar dari kesurupan.
Dan anehnya, ditengah tengah bu Siti masih mengamuk, malam itu tiba tiba beliau terlihat berbicara keras kearahku dan kearah bapakku.
"Huahhahahahahaha,, kabeh iki gara gara kowe." (hahaha ini semua gara gara kamu) teriak bu Siti histeris sambil melihat kearah bapakku yang saat itu baru sampai didepan ruang tamu rumahnya.
Mendengar hal itu, akupun seketika terkejut bukan main sambil melihat kearah bapakku yang sepertinya juga kebingungan dengan apa yang barusan bu Siti bilang.
Dan tidak hanya itu, bersamaan dengan itu, malam itu aku masih sempat melihat sosok nenek nenek yang sebelumnya kulihat duduk tidak jauh dari tempatku tersebut, beliau terlihat berdiri dan berjalan kearahku dengan langkah kaki yang sedikit pincang.
"Lo, nenek itu pincang to" fikirku dalam hati sambil tubuhku yang sedikit bergeser lebih mendekati bapakku.
Namun anehnya, sesampainya nenek nenek tersebut tepat didekatku, beliau terlihat tidak berhenti dan terus saja berjalan keluar dari rumah bu Siti dengan tidak sekalipun menghiraukan keadaan Bu Siti yang waktu itu masih tidak terkendali.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya