Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DEMIT WENGI - Kyai Edan


Malam itu Katon dirundung kebosanan. Dia mulai keluar rumah dan berjalan sesukanya, tanpa adanya sebuah tujuan.

Ditengah lamunannya, dia berhenti sejenak dan duduk diatas sebuah batu. Tak lama, melihat sesuatu yang berkelebatan seperti kain berwarna merah dan putih. Dia mengira ada seseorang tengah mengibarkan bendera.

Katon kaget dan melihat kebelakang untuk memastikan apa yang tertangkap oleh sorot matanya. Namun bukanlah bendera, tetapi seseorang yang dia kenal.

"Woy! Simanis jembatan kletak!" teriak Katon sambil memicingkan kedua matanya.

"Opo mas? Bengok-bengok?" (Apa mas? Teriak-teriak?) ucap seseorang itu sambil mendekat, seseorang yang tak lain adalah Nadia.

"Ngopo kok nungul?" (Kenapa kok keluar?) tanya Katon.

"Mlaku-mlaku mas! Yok!" (Jalan-jalan mas! Yok!) ajak Nadia.

"Nandi?" (Kemana?) tanya Katon lagi.

"Pondok pesantrene kyai Edan," (Pondok pesantrennya kyai edan,) jawab Nadia.

"Adoh ra? Numpak opo rono ne?" (Jauh nggak? Naik apa kesananya?) tanya Katon kembali dengan nada ketusnya.

"Cedak sak kedepan netro, numpak pesawat mas ahahaha," (Dekat sekedipan mata, naik pesawat mas ahahaha,) jawabnya diiringi tertawa.

"Ayo!" balas Katon mengiyakan.

Nadia duduk disamping Katon, lalu memeluknya dari samping sambil tersenyum. Tiba-tiba Katon merasa begitu kedinginan, seperti tengah berada didalam kulkas. Merasa ada sesuatu yang janggal, Katon membuka mata batinnya.

"Asu...! Nadiaaa...!" teriak Katon sedikit emosi.

"Ahaha jangan marah mas!" balas Nadia dengan tersenyum manis.

"Bagaimana tidak teriak? Aku dan kamu berada didalam air yang tingginya seleher!" keluh Katon melemparkan pandangan setengah ngambek.

Kemudian Katon berenang untuk sampai ketepian. Sedangkan Nadia dengan santainya bergaya apung tidur terlentang, kemudian dia berjalan dengan sangat santai.

"Edan! Aku lelah berenang, kok kamu santai banget!" ketus Katon, namun Nadia tak meladeninya.

Sampai ditepi kubangan, Katon naik kepermukaan dengan posisi tubuh menahan dingin, menggigil.
Sedangkan Nadia sendiri tiba-tiba sudah berada jauh didepan dan masuk kedalam semak-semak. Katon tak menyadari kapan Nadia naik kepermukaan, tetapi sudah berada jauh darinya.

Katon semakin mengigil kedinginan, ditambah angin yang begitu kencang. Namun ditengah dingin dia masih terus berjalan dan berjalan.

Setelah lama berjalan melewati semak belukar yang tinggi, dia melihat sebuah bangunan. Rumah joglo yang begitu besar dan ada lampu lentera yang menempel disetiap tiangnya.

Tiba-tiba Nadia menghentikan langkah kakinya.
Melihat Nadia berhenti, Katon pun ikut berhenti. Lalu Nadia melanjutkan berjalan mendekati rumah tersebut. Sedangkan Katon sendiri memilih duduk diatas gundukan tanah yang seperti rumah rayap.

Katon melipat kedua tangannya sedekap untuk menahan dingin yang berasa menusuk sampai tulang. Dia tak memikirkan Nadia yang mulai jauh melangkah dan memilih untuk menetap disitu.

Lama kelamaan angin kencang yang tadinya jarang, berubah menjadi tak berhenti untuk menyambar tubuhnya yang menggigil. Namun Katon masih memilih diam.

Tetapi tempat yang dia duduki semakin lama berasa bergerak dengan sendirinya, mengangkat tubuh Katon yang masih duduk diatasnya.

Katon merentangkan kakinya kebawah mencoba untuk meraih pijakan. Dia mulai merasa ada yang janggal dengan tempat duduknya itu dan memikirkan hewan apa yang tengah dia duduki.

"Mbah! Nek kewan nggeh amit sewu!" (Mbah! Kalau hewan ya permisi!) ujar Katon setengah ragu.

Dia semakin penasaran, karena semakin lama semakin naik. Akhirnya Katon memberanikan diri untuk melihat apa yang dia duduki. Katon menundukkan kepalanya untuk melihat dan kaget setelah tahu apa yang dia duduki,

"Astaghfirullah... ! Setan!" teriak Katon kesesuatu yang dia duduki.

Kaget karena melihat ular yang begitu besar. Mulutnya saja sebesar pohon beringin. Mata ular tersebut berwarna merah dan lidahnya menjulur keluar, membuat Katon semakin ketakutan.

Dia melompat mundur sambil kakinya menendang-nendang kearah ular raksasa itu, sedangkan tangannya terus meraba untuk mencari sesuatu dan tanpa sengaja mendapatkan sepotong kayu, lalu menodongkan kayu tersebut kearah ular.

Memang ular setan! Katon mundur tetapi ular semakin mendekat,
"Mundur o! Mundur! Awas tak tunjep kowe!" (Mundur! Mundur! Awas kutusuk kamu!) ucapnya kesosok ular yang awalnya dikira gundukan tanah.

Dalam keadaan terduduk, Katon mencoba terus mundur. Tetapi ada sesuatu dibelakangnya, ditabrak oleh punggung Katon, membuatnya tidak bisa begerak mundur lagi.

"Mati ki, mati pokoke!" (Mati nih, mati pokoknya!) pikirnya.

Ular itu semakin mendekat dan kini sudah berada disampingnya. Namun tiba-tiba terdengar suara,

"Wes, ayo mlebu wae!" (Sudah, ayo masuk saja!) Suara yang datang dari sisi sampingnya.

Katon pun kaget dan menoleh kearah suara tersebut dan ternyata sesosok lelaki dengan jubah putih bersorban, sedangkan tangannya tengah mengelus kepala ular tersebut. Tidak jauh dibelakangnya ada Nadia tengah memandang kearah Katon sambil tersenyum.

"Ayo mlebu wae!" (Ayo masuk saja!) ucap sosok itu.

Mendengar hal itu, Katon pun bangkit dan orang itu beserta Nadia mulai berjalan. Katon mengikutinya, sedangkan sang ular ada dibelakang Katon, membuatnya semakin takut.

"Lha nok mburiku, njur piye nek aku langsung di untal? ra nganggo suwe gur mak gleg Tekan njero wetenge?!" (La di belakangku, terus gimana kalau aku langsung dimakan? Nggak pakai lama, cuman 'glek' sampai dalam perutnya?!) pikir Katon sambil terus berjalan.

Tiba-tiba kepala ular itu menempel di pundak kiri Katon, membuatnya berteriak, "whaaaaa ... woeee! woeeee! "

Mendengar teriakan Katon, orang berjubah dan Nadia yang sudah ada di teras rumah pun menoleh, "Opo to mas! Kok melang-melung ki?" tanya Nadia.

"Ulo ne ki lho, ulo ne... Naaaad!" (Ularnya ni lo, ularnya... Naaaad!) balas Katon dengan nada teriak pula.

"Wes nduk! Kono balio sik!" (Sudah nak! Sana pulang dulu!) perintah sosok berjubah itu.

Ular itu menuruti apa yang diperintahkan orang berjubah, dia berhenti dan hanya diam, lalu Katon kembali melanjutkan berjalan, mendekati Nadia.

"Karo ulo kok jireh men to mas," (Sama ular kok takut banget sih mas,) ujar Nadia.

"Jirah-jireh turuk mu kuwi! ojo kok ulo sak mono gede, karo cacing wae aku mlayu, kok ulo sakmono, ngompol Nad!" (Takut-takut mulutmu itu! Jangankan ular segitu besar, sama cacing saja aku lari, Kok ular segitu, ngompol Nad!) jawab Katon.

Lalu mereka melanjutkan berjalan dan masuk kedalam rumah tersebut. Sampai didalam rumah Katon pun tercengang. Karena apa yang dia lihat dari luar seperti rumah jelek, namun didalamnya begitu istimewa.

Karena banyak orang yang tengah duduk, baik lelaki maupun perempuan dan ada pembatas diantaranya, terpisah dengan sebuah garis yang ada dilantai rumah tersebut.

"Penak ke nang! Lungguh awor bature!" (Di enakan nak! Duduk bersama temannya!) pinta sosok berjubah itu.

Katon dan Nadia mengikuti perintahnya dan duduk berjejer. Namun tiba-tiba Katon teringat dengan sosok Diah Ayu, karena tengah dinasehati oleh sosok guru sejati. Membuatnya menitihkan air mata.

"Wes ra usah di pikir mas! Sesok bakale mbalik keadaane koyok wingi uni, sabarke atimu!" (Sudah nggak usah di pikir mas! Besok bakal balik keadaannya seperti dulu itu, sabarkan hatimu!) ucap Nadia setengah berbisik.

Sambil mendengar sosok berjubah memberi pelajaran/petuah/ilmu, rasa benci hatinya masih tertancap ke Diah Ayu,
"Kenapa kok sampai seperti ini kejadiannya?!" gumam Katon.

Setelah bubar, sosok-sosok itu kembali ke alamnya masing-masing. Pundak Katon tiba-tiba ditepuk. Dia mulai sadar dan melihat dirinya berada ditengah-tengah rawa.

"Lho, iki lak rowo bale deso to?" (Lo, ini kan rawa balai desa kan?) tanya Katon.

Katon kebingungan dan melihat ke segala penjuru arah, hanya terlihat Nadia dan sosok bersorban, sedangkan rumahnya sudah tak ada.

Lalu sosok bersorban itu berucap,
"Rungokke nang! Menungso kuwi kanggonan salah lan khilaf. Mulo ilengo yen urip iku ora usah daksio marang sak podo-podo. Kuncine urip kuwi, wenehono ngombe marang wong sing ngelak, wenehono maem marang wong sing luwe wetenge.

InsyaAllah urip mu pinayungan poro malaikat. Di suwunke marang Kanjeng nabi, diijabahi maring gusti Allah sang Ilahi. Yen gur dunyo sing mok gudhak, kae ngetio sak jerone rowo!"

(Dengarkan nak! Manusia itu tempatnya salah dan khilaf. Jadi ingatlah jika hidup itu tidak usah menyia-nyiakan oleh sesama. Kuncinya hidup itu kasihilah minum ke orang yang haus, kasihilah makan ke orang yang lapar perutnya.

InsyaAllah hidupmu dilindungi para malaikat. Dikasihi oleh Baginda Nabi, dikabulkan oleh Gusti Allah sang Ilahi. Jika hanya dunia yang kamu kejar, itu lihatlah sedalamnya rawa!)

Lalu muncullah sinar hijau kekuningan dari dalam air, naik dan semakin cepat, bersinar terang. Terlihat wujud air seperti air raksa sembloyor, namun bedanya berwarna kuning keemasan.

"Yen arep sugeh bondo dunyo. Kae jukuken! Ben uripmu mulyo," (Kalau mau kaya harta. Itu ambil! Supaya hidupmu enak,) sambung sosok bersorban itu lagi.

"Wah! Tebih niku. Mangke kulo teles, kudu ngelangi," (Wah! Jauh itu. Nanti saya basah, harus berenang,) sahut Katon.

"Resiko yen kowe urip nok ndunyo ora gelem mbudidoyo kepiye mengko arep mulyo? Usahamu njukuk bondo kae pepalange kudu wani mok gegem. Opo wae ora keno sambat lan nyerah yen tujuanmu mulyo kanggo sanak dulur lan sak podo-podone.

Ora usah kawatir diterimo opo ora usaha mu, tetep di sedyo karo sing kuoso. lantarane iso wujud opo wae, kanthi Bissmillah, mugo berkah opo sing mok wenehke tangan tengen mu, tangan kiwo mu ora kudu mangerteni,"

(Resiko jika kamu hidup di dunia tidak mau berusaha gimana nanti bisa sejahtera? Usahamu ngambil harta itu halangannya harus berani kamu genggam. Apa saja tidak bisa mengeluh dan menyerah jika tujuanmu sejahtera untuk saudara dan sesama.

Tidak usah khawatir diterima atau tidak usahamu, tetap diridhoi oleh sang kuasa. Karena bisa berwujud apa saja, Bissmillah, semoga berkah apa yang kamu berikan lewat tangan kananmu, tangan kirimu tidak harus mengerti,) tutur sosok berjubah tersebut.

"Nggih, namung kulo bade ngertos, panjenengan niku sinten?" (Iya, tapi saya mau tau, anda itu siapa?) tanya Katon.

"Jenengku ora kudu mok ngerteni Nang! Nanging, sejarah tanah jowo wes ngerti sopo aku lan awakmu," (Namaku tidak harus kamu mengerti. Tapi, sejarah tanah jawa sudah tau siapa aku dan kamu,) ucap sosok berjubah itu lagi.

Kemudian, dia lanjut berucap,
"Sir dumadine roso kang tibo ono ing ati, pinayungan roso kang utomo dumadi seko pangandiko tanpo kelio.

Yo mung sak podone jalmo kang aran poro ulomo mugio kerso maringi dungo kanggo awak siro. Si jabang bayine s****o kabul pangucape dungo lan kanggo rondo rondo tuo ne, amin."

Katon melihat-lihat.
Sekejap dinginnya angin seperti manusia pakai rasa, menyusap badannya sampai merinding.

Tanpa tahu alasannya, sosok bersorban mengambil batu berukuran besar dan menghantamkan batu tersebut ke kepala Katon.

"Bhettt" pandangannya langsung gelap gulita.

"Asu...! Kyai edannn...!" (Asu...! Kyai gilaaa...!) teriak Katon.

Berasa sunyi senyap tak ada balasan. Nampak masih gelap gulita, kemudian Katon pun merayap, meraba apa pun yang ada disekitarnya.

"Opo iki, kok empuk-empuk? Telek opo piye yo? (Apa ini, kok empuk empuk? Tai apa gimana ya?) gerutunya.

Katon masih terus meraba,
"Lah, iki opo yo? Kok empuk ngene, opo telek neh?" (Lah, ini apa ya? Kok empuk gini, apa tai lagi?)

"Iku s*s* ku mas," (Itu s*s* ku mas) terdengar suara Nadia.

"Asem! Kok cilik. Opo aku wes nok Neroko Nad?" (Asem! Kok kecil. Apa aku sudah di neraka Nad?) tanya Katon ke Nadia.

"Durung mas! Kowe iseh nok alamku, lha kowe angel dikandani karo kyai ne kok mas," (Belum mas! Kamu masih di alamku, lha kamu susah dinasehati sama Kyaine kok mas) jawab Nadia.

"Ancen kyai edan! J*ncuk... j*ncuk! Nek ndi cah e saiki Nad? Tak sikate sisan!" (Memang kyai gil*! J*ncuk... j*ncuk! Dimana arangnya sekarang Nad? Aku sikat sekalian!) seru Katon sambil berdiri. Karena merasa ada Nadia di sampingnya.

"Lho malah ngelunjak, malah njangkar," (Lho malah ngelunjak, malah njangkar,) sahut kyai bersorban itu.

"Lah nok kene to kyai ne. Kowe ki asu kok Nad! Kok ra omong!" (Lah di sini ya kyainya. Kamu itu asu kok Nad! Kok nggak ngomong!) seru Katon ke Nadia.

Setelah mengucapkan kalimat itu, pandangan Katon sudah pulih kembali. Terlihat Nadia duduk diatas batu, sedangkan Kyai Edan berdiri sambil ngait tangan ke belakang.

"Ngertio cah bagus, ibadah sing mok banggakke ora mergo niat apik mu, tapi mergo gur pingin pahala utowo ganjarane. Podo karo kowe iso ndemuk wujude, nanging ora bakal ngerti jenenge,"

(Ketahuilah anak bagus, ibadah yang kamu banggakan bukan karena niat bagusmu. Tapi karena hanya ingin pahalanya. Sama seperti kamu bisa megang wujudnya, namun tidak akan tahu namanya,) jelas kyai itu.

"Nggih yai," (Iya yai,) jawab Katon singkat.

"Aku ra ngelegewo karo sosok bersorban." (Aku tidak memperhatikan si sosok bersorban.) pikir Katon.

Angin tiba-tiba semakin kencang, semakin dingin seperti angin beliung. Katon ketakutan, dan berpegangan tangannya ke Nadia.

Katon tidak memperhatikan si sosok bersorban. Bersamaan dengan angin yang berhenti, dia melihat Kyai tiba-tiba menghilang.

"Nad! Lha kyai ne nandi mau?" (Nad! La kyai nya tadi mana?) tanya Katon.

"Muleh mas! Kowe angel dikandani, ra nggatekke!" (Pulang mas! Kamu susah dinasehati, nggak nggubris!) cetus Nadia.

"Yos wes ayo bali!" (Ya sudah ayo pulang!) ajak Katon.

"Sepurane mas! Aku tali seko kene wae, mase bali dewe wani ra?" (Maaf mas! Aku ikat dari sini saja, masnya pulang sendiri berani nggak?) tanya Nadia.

"Ahahahaa... Lha kok ngeremehke," (Ahahaha... La kok meremehkan,) sahut Katon.

Kemudian Katon berjalan tanpa menoleh ke Nadia, jalan terus sampai keluar dari area rawa-rawa. Tepat disisi pagar titihan, ada cahaya terangnya lampu. Ketika sampai disampingnya, ternyata warung bakso.

Perutnya lapar, lalu merogoh saku celana. Mengambil uang, ternyata uang tinggal duabelas ribu, "Wah, jelas kurang ini! Kalau harganya lima belas ribu bagaimana?"

Terlihat ada yang beli, perempuan cantik. Dua perempuan dan satu lelaki. Dan sang penjual, lelaki setengah tua.

"Woe! Iki piye mlebune?" (Woe! Ini gimana masuknya?) teriak Katon sambil mondar-mandir ingin melompat.

Sosok-sosok itu melihat kearahnya sambil tersenyum,
"Mencolot o wae mas! Emang iki dodolanane ora wajar." (Lompat saja mas! Memang ini jualannya nggak wajar.)

Mendengar kata tersebut, Katon langsung mengambil ancang-ancang, kemudian dia langsung melopat, 'Buug!'

"Asu...! Malah njelungup!" (Asu...! Malah jatuh!) seru Katon.

"xixxxixxix...." suara tertawa dari para perempuan.

Kemudian Katon pun duduk, "Dodolan opo iki, bakso opo mie ayam?" (Jualan apa ini, bakso apa mie ayam?)

"Bakso enek, mie ayam yo enek," (Bakso ada, mie ayam juga ada,) jawab si pedagang.

"Bakso wae siji," (Bakso aja satu) ucap Katon.

Tiga orang yang jajan terlihat asik makan, sampai keringetan. Katon menyalakan rokok sambil menunggu penjual meracik bumbu.

Meja panjang diisi tiga orang, sudah pas. Katon duduk di depannya perempuan yang agak besar. Terlihat cantik, sambil terus tersenyum. Katon melihat perempuan didepannya sampai salah tingkah.

'Pluk' Bakso di mangkok mengglinding di meja tepat di depannya, reflek tangan Katon berjaga agar baksonya tak jatuh.

Matanya mengawasi bakso yang menggelinding, dia merasakan ada yang aneh! Segi bulatnya berwarna putih, seperti telur. Dia masih terus mengawasi bakso yang menggelinding, lalu berhenti lagi seperti awal dan terlihat dibagian putih ada kehitam-hitaman.

"Asu...! Iki dudu bakso, iki mripat!" (Asu ...! Ini bukan bakso, ini mata!) Pikir Katon sambil melotot kearah perempuan, lalu perempuan itu mengambil bakso yang mengglinding.

Terdengar suara yang bersamaan tangan perempuan tengah mengambil bakso yang melompat, 'Glodakk!'

"Iki baksone mas! Iki ora spesial." (Ini baksonya mas! Ini tidak spesial.)

Mangkuk penuh bakso sudah di depannya. Tangan kiri memegang rokok.
Terlihat jelas mangkuk tidak berisi bakso lagi, tetapi sudah ganti mie kuning yang terlihat meliuk-liuk, mieunnya pun terlihat bergerak.

"Kuwi ora spesial mas! Bakso ginjal kuwi!" (Itu tidak spesial mas! Bakso ginjal itu!) jelas perempuan yang baksonya menggelinding.

Katon mengangkat pandangan, melihat hanya ada dua perempuan. Sedangkan si lelaki sudah tak ada. Kemudian kembali melihat kearah perempuan itu dan nampaklah wujud aslinya.

Matanya merah dilingkari warna hitam, giginya runcing bersiung kanan dan kiri, kulitnya merah, tangannya bersisik seperti kulit biawak, kukunya panjang dan hitam, rambutnya berantakan.

Yang berada disebelahnya tersenyum, seakan mengejek. Dia berwujud kulit hitam, payudaranya kendor sampai diletakkan keatas meja.

"Jelas nih! Aku diganggu!" pikir Katon.

"Bissmillah... Siro matek ajiku sabrang ndalan, tak sabrangke pinggire dalan nek ora tak sabrangke mundak ketabrak becar keslentik pitik ketendang gajah ke semplak jaran.

Kiwo ku poro wali tengen ku poro nabi lingsir wengi sopo sing nyanyi, sastroyoni suryono suryanto suyatini kabeh mbalik dadi awu yen ketaman ajiku si aji an gilung gemak, matio matio matio," Katon membaca mantra.

"Ora opo-opo mas. Leh mu moco ajian kare nggeranggam ora ngefek belas, nderedek wae ora," (Tidak apa-apa mas. Kalau kamu baca ajian kare nggeranggam tidak ngefek sama sekali, deg-degan saja tidak,) celoteh salah satu dari sosok itu.

Kemudian diiringi tawa perempuan yang satunya lagi, "xixxxixixixixixiii .... !"

"Gur diguyu karo demit setan," (Cuman diketawain sama hantu setan,) gumam Katon dalam hati.

"Bismillahhirohmannirrohim... sing kanjingan roso bab roso kang tanpo wujud maliho muleh yen ra muleh tak kasuske rawe gatel dadung gede sirno mergane kyai edan yen ra minggir amuk amuk an," ucapnya membaca mantra lagi.

"Ah! Edian iki bocah, kuat nemen! Awakku nganti lemes," (Ah! Gila ini bocah, kuat banget! Badanku sampai lemas,) ucap salah satu dari mereka.

"Awakku panas!" (Badanku panas!) sambung satunya lagi.

"Jledeeerrrr !" Terdengar seperti suara atap yang kejatuhan batang kayu.

"Ampun mas! Ampun ... ! Aku kapok!" teriak mereka.

"Pleng!" Saat menoleh, kepala Katon seakan dihajar sesuatu yang entah apa itu.

"Gage ndang metu seko kono!" (Cepetan keluar dari situ!) Seru sosok yang ternyata Kyai Edan.

Kyai Edan di luar pagar, hanya terlihat setengah badan dari dada ke atas. Dan tangannya membawa gulungan sarung, diikat bagian ujungnya.

"Pantesan loro ndasku, la sarung dibundeli," (Pantesan sakit kepalaku, lah sarung ditali) gerutu Katon.

"Ndang metuo... metu!" (Cepat keluarlah... keluar!) serunya lagi.

"Iyo-iyo! Iki lo lagi ngadek!" (Iya-iya! Ini lo baru berdiri!) sahut Katon sambil membalikkan meja.

"Bruakkk... ! Krompyang.... !"

Kemudian Katon berlari melompati pagar, lalu kembali lari secepat kilat. Sampai di rumahnya dan dia kelelahan.

"Setan... Setan... Dam***.... ! Dasar kyai edan!" (Setan... Setan... Dam***.... ! Dasar kyai gila!) teriak Katon sambil istirahat di depan rumah.

SEKIAN
close