Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DEMIT WENGI - Perjanjian Berdarah


"MALAM INI AKU MILIKMU SEPENUHNYA!" ucap nadia.

"Rasa yang aneh setiap hari ku lalui kurang nyaman rasanya, entahlah...!" dalam batin Katon berucap.

Pada suatu malam, Katon duduk kembali di bawah pohon pisang didepan, sambil memandang majelis.

"Oh indahnya...." dalam batinnya.

Cukup lama Katon memandang bangunan tersebut.
Bangunan majelis yang disampingnya berdiri tegak pohon ketapang dengan rindang.

Sekejap mata dia melihat bayangan hitam, gelap.
Semakin lama Katon memandang, nampak tak begitu gelap.
Dia semakin penasaran dan melihat dengan seksama.
Lalu muncul dua cahaya 'thing' seperti mata terbuka namun berwarna hijau, menyala.

"Loh! Itu apa?" ujarnya lirih.

"Besok siang temui aku disini! Tepat jam dua belas!" ucap suara dari sosok yang melesat, melewati pohon ketapang, membuat ranting dan daunnya bergoyang.

Suara ranting bergoyang begitu gemeresek.
Membuat Katon kaget dan mengambil langkah seribu.

Pagi pun tiba dan seperti biasanya, Katon mengerjakan aktifitas.
Lalu setelah jam menunjukan pukul sepuluh siang, tiba-tiba pandangan Katon memudar.
Kepalanya pusing dan perut agak sedikit mual.
Seakan orang yang tengah di mabuk perjalanan.

Katon merasa tubuhnya tak mampu lagi untuk beraktifitas dan berjalan menepi sampai di gubug sawah.
Katon meletakkan anggota badannya diatas ranjang bambu, yang ada didalam gubug itu.
Lalu pandangan mata yang tadinya buram, berubah menjadi gelap.

Namun masih ada sedikit kesadaran dalam diri Katon dan dia merasakan ada sosok perempuan mendekat.
Perempuan itu membawa serta seorang lelaki yang tak dia kenal.
Sedangkan sosok perempuan tersebut tak asing bagi Katon.

"Nadia?" teriaknya bertanya.

Nadia tak menjawab, dia hanya tersenyum sambil terus mendekat.
Membuat Katon seketika melihat kearah kanan dan kiri.
Namun apa yang dia lihat tak lagi sama.

Katon melihat tubuhnya tergeletak ditepi telaga.
Dan melihat pohon-pohon tinggi menjulang.
Sedangkan posisi Katon pada saat itu dia masih tengkurap.
Terlihatlah tanah kering yang seakan tak pernah terjamah air bertahun-tahun.
Dedaunan kering pun berserakan dan hawa panas begitu menyengat.

"Mas! Bangun! Ayo ikut Nadia!" ajaknya sambil mengangkat tangan Katon.

Katon pun bangkit mengikuti apa yang Nadia ucapkan.
Sedangkan dalam batinnya masih mengganjal rasa penasaran.

Ketiganya mulai berjalan.
Namun Katon merasa terusik dengan sosok lelaki yang bisa dibilang seperti orang gila.
Pakaian compang-camping, rambut gimbal dan badannya sangat kotor, disertai bau yang tak enak di hidung.

Katon menutup hidungnya sambil terus berjalan sejajar dengan Nadia dan lelaki tersebut.
Merasa tak kuat Katon berlari mendahului.
Sedangkan si lelaki tersebut terus menyanyikan sebuah lagu yang tak bisa dimengerti oleh Katon.

"Nad! Dia siapa?" tanya Katon.

"Dia orang yang akan kita tolong mas! Kasihan dia itu masih keturunan ki ageng *** loh mas," jawab Nadia.

"Kok bisa dia jadi seperti itu?" tanya Katon penasaran.

"Hm.., nanti juga tahu sendiri!" balas Nadia mengakhiri percakapan.

Mereka bertiga masih terus berjalan.
Hingga sampai di area perbukitan.
Yang di tumbuhi semak belukar, lebat memanjang. Seakan sudah lama tak terjamah.

Ketiganya masih terus berjalan dan berjalan melewati semak belukar dan ilalang.
Hingga mendaki keatas bukit.

Katon merasa lelah, nafasnya terengah.
Langkahnya menjadi begitu berat.
Lalu dia duduk dan beristirahat diatas batu kecil seukuran buah kelapa.

Katon melirik kearah belakang terlihat si lelaki masih berjalan santai dengan sebuah nyanyian.
Dan sesekali dia tertawa seakan ada seseorang yang mengajaknya bercanda.

Tangan kanannya seakan menggandeng seseorang dan sesekali diayunkan.
Sambil tersenyum dan kembali bernyanyi.
Namun Katon tak melihat adanya apa atau siapa disamping lelaki tersebut.

Katon membalik arah pandangannya dan kaget, "Astaga! Setan kamu hah...!" teriak Katon sambil mendorong dahi Nadia.

"Haha takut apa kaget mas?" tanya Nadia tertawa.

"Kaget! Blok-g*blok! Kamu seenaknya saja! Kan kamu sudah mendahului? Kenapa balik lagi dan mendekatkan wajahmu didekat wajahku?" gerutu Katon.

Nadia belum menjawab, tiba-tiba tanah pijakan Katon berubah menjadi panas seperti bara api, menyala dan beruap mengenai tubuh Katon.

Sedangkan dari arah semak belukar yang kurang lebih sepuluh meter jauhnya, muncul sesuatu dan terbang keatas setinggi semak dan ilalang.

Muncullah sesosok makhluk berkepala besar dengan rambut gimbal.
Tak ada tangan maupun leher.
Hanya kepala dan organ tubuhnya saja, seperti kuyang.
Namun bedanya yang ini lelaki dan ukuran kepalanya berkali-kali lipat lebih besar dari ukuran kepala pada umumnya.

"Sebentar mas! Nadia mau buang air kecil!" ucap Nadia dan langsung menghilang.

Katon langsung melihat kebelakang kearah lelaki yang ikut bersamanya.
Namun lelaki tersebut juga tak ada.

"Setan! Aku ditinggal sendiri!" keluh Katon.

Sosok kepala dengan usus yang terseret itu langsung mendekat dan semakin dekat.

"Kamu telah melewati batas! Apa yang ingin kamu tukarkan dengan emas-emasku?" ucap sosok itu melayang-layang dihadapan katon.

Jarak keduanya hanya berkisar dua meteran.
Dan tiba-tiba bumi pun terbelah.
Perlahan peti harta karun naik ke permukaan.

Sosok itu masih melayang-layang tak beraturan dan mendekat.
Lalu salah satu peti terbuka dengan sendirinya.

Katon melihat tak berkedip.
Tubuhnya mulai bergetar hebat dan jantungnya memompa dengan sangat kencang.

Katon terpaku, kala melihat isi didalam peti itu.
Dilihatnya berbagai macam perhiasan dan uang koin kuno berbahan emas.

"Apa yang hendak kamu tukarkan wahai manusia?" ucap sosok itu lagi, menanyakan hal yang sama untuk kedua kalinya.

"Dia pasti demit sini dan mencoba menghalangi langkahku!" pikir Katon.

"Apa yang bisa kau berikan wahai demit?" teriak Katon.

"Harta yang kau inginkan dengan sesuka hatimu! Sesuai apa yang kau inginkan dan yang bisa kau bawa! Tapi dengan satu syarat," balas sosok itu dengan suara menggema.

"Oke! Apa syaratnya?" tanya Katon lagi tanpa berpikir panjang.

"Berikan aku satu nyawa! Maka akan ku beri sepuluh peti harta!
Dan setahun sekali, kalau bisa kau memberikan satu nyawa! Maka aku akan melipat gandakannya, menjadi dua puluh peti," jelas sosok tersebut.

"Hm.., siapa yang mau aku korbankan agar menjadi kaya raya?" tanya Katon dalam hati, sambil memegang dagunya.

Katon berpikir sejenak, sedangkan sosok itu masih melayang-layang menunggu jawaban.
Lalu Katon mencoba bertanya lagi, "Kalau mau memilih, siapa yang kamu inginkan?"

"Anakmu!" jawab makhluk itu dengan sigap.


"Woh hala, malah melunjak! Kalau aku mau jadi orang kaya, mengapa mengorbankan anak? Berarti aku goblok dong? Mit, demit!
Lah aku kaya untuk siapa? Coba pikir!
Banyak harta tapi tak punya anak, bisa kamu rasakan bagimana rasanya?
Hey demit! Seenaknya saja kalau ngomong! Dasar demit!" ucap Katon sedikit emosi.

"Haha.., terserah kamu! Mau kaya atau tidak?" tanya sosok itu lagi.

"Mau sih! Begini saja, kalau diganti nyawa binatang bagaimana?" tanya balik Katon.

"Aku tidak mau nyawa binatang! Aku hanya ingin nyawa manusia," balasnya seakan tahu apa yang Katon pikirkan.

"Ya sudah begini saja! Kamu kesini! Dekat-dekat denganku! Ada yang mau aku bisikan," pinta Katon.

Sosok itu menuruti kemauan Katon, dia langsung mendekat dan melayang-layang disamping Katon.

"Aku korbankan orang yang mendengar atau membaca ceritaku! Bagaimana?" bisik Katon.

"Tidak mau! Dasar orang gila!" ketusnya menjauh dan semakin jauh,
"Pergi! Dan jangan kembali!" timpanya langsung kembali kedalam semak dan menghilang.

Kini Katon hanya seorang diri ditempat tersebut.
Tempat yang bahkan dia sendiri tak tahu ada dimana.

Katon pun berlari mencari Nadia.
Dia pikir Nadia sudah mendahuluinya diatas bukit.

Sampai diatas bukit, Katon menajamkan indra pendengarannya.
Samar-samar terdengar suara perempuan tengah menangis.
Suaranya lumayan jauh dan Katon berjalan mendekati sumber suara tersebut.

Semakin dekat dengan suara tangisan seorang perempuan dan terlihat pula sosok yang tengah menangis.
Rupanya tangisan itu datang dari Nadia.
Dia duduk memeluk kedua lututnya dengan tangisan yang begitu pilu.
Katon langsung mendekat, duduk berjongkok disamping Nadia.

Sebenarnya Katon hanya menerka kalau sosok yang menangis adalah Nadia.
Dia hanya mengenali pakaian yang sama dengan yang Nadia kenakan.

"hikhikhik" Tangisnya pilu, tersendu.

"Nad! Kenapa kamu menangis?" tanya Katon.

Nadia tak menjawab dan masih terus menangis.
Katon berusaha meredam tangisannya.

Lumayan lama, akhirnya Nadia berhenti menangis.
Lalu dia menoleh kearah Katon.

"Setan!" teriak Katon kaget, terjungkal kebelakang dan berguling diatas tanah.

Katon kaget karena sosok Nadia tak seperti biasanya.
Wajahnya putih pucat, pipinya mengeluarkan darah segar, disertai belatung yang menggeliat dan lalat yang berterbangan.

"Sudah, tak usah menangis! Nanti matamu lepas!" pinta Katon bangkit dari atas tanah tempatnya terguling, seraya mendekat dan memegang tangan Nadia.

Setelah memegang tangannya, sosoknya berubah seperti sedia kala.
Sedangkan tubuhnya mulai naik keatas, mengambang.
Nadia melayang sejajar dengan wajah Katon.

"Sudah, jangan bercanda! Sebenarnya kita kesini mau apa?" ketus Katon.


Nadia melepaskan pegangan kedua tangannya di lutut dan meluruskan kakinya.
Perlahan, kaki Nadia mulai menginjak tanah.

"Ah kamu mas! Di takut-takutin tapi gak takut! Harus diapakan?" ucapnya,
"Mas! Apa benar kalau nangis terus, matanya bisa lepas?" sambung Nadia dengan tatapan polosnya.

"Memang benar! Sebab ada orang yang menangis gara-gara putus cinta.
Sampai berhari-hari dia menangis. Tiba-tiba lidahnya menjulur, mata melotot dan lepas keduanya.
Lebih anehnya lagi, lehernya terikat tali yang menjuntai keatas plafon," terang Katon.

"Owalah itu namanya gantung diri mas! Woyyy...." teriak Nadia melipat bibir dan tangannya meraih Katon, menggandengnya dan mulai berjalan.

Keduanya terus berjalan hingga sampai didepan mulut goa yang cukup besar.
Tingginya sekitar dua meteran.
Goanya berumur tua dan sepertinya tak pernah dijamah manusia.

Baru melangkahkan kaki untuk masuk, Katon melihat sosok lelaki itu, lelaki yang berpenampilan seperti orang gila.

"Loh Nad! Kok dia sudah ada disini? Kep*r*t! Tadi ada bahaya malah menghilang dan sekarang malah ada disini! Huh," keluh Katon.

"Ayo mas! Masuk! Takut telat, kasihan si mas itu!" ajak Nadia sambil menunjuk kearah lelaki tersebut.

Keduanya lanjut berjalan masuk kedalam goa.
Katon menggelengkan kepalanya beberapa kali, tak percaya kalau dia bisa sampai ke tempat tersebut.

Setelah melewati mulut goa, Katon bergumam, "Wah jangan-jangan goa ini mulut ular raksasa? Hih takut!"

Bebauan haus goa mulai menyeruak di hidung Katon dan hawa disekitar membuatnya merasa pengap.
Bau kotoran kelelawar dan kotoran binatang lain.

Semakin masuk kedalam udara menjadi dingin dan semakin dingin.
Dari kejauhan nampak kerlipan cahaya, seperti pecahan kaca yang terkena sinar.

Goa yang seharusnya gelap, namun sedikit terang karena ada pencahayaan dari kerlipan tersebut, kerlipan yang menempel di dinding-dinding goa.

Saking takjubnya, Katon tak melihat kearah bawah.
Sampai kakinya menginjak sesuatu yang bergemerincing.

"Astaga! Ini emas loh Nad! Nadia! Ini emas," seru Katon seraya duduk sambil memunguti butiran emas sebesar pasir.

"Jangan diambil mas! Bahaya!" ucap Nadia mengingatkan.

"Ah bahaya apanya? Kalau dijual mahal loh!" balas Katon yang masih asik memunguti bitiran emas yang agak besar, sebesar batrai korek gas.

"Lumayan...." pikir Katon, lupa dengan tujuannya.

Lalu tiba-tiba suasana goa menjadi semakin terang benderang.
Seperti ada lampu yang baru saja dinyalakan.

"Ahahaha, kalau mau kaya? Ambillah emas-emas itu! Asal kau memberikan gantinya," terdengar suara yang entah datang dari mana, membuat Katon terperanjat, kaget.

Dia langsung menelisik dan mencari asal dari sumber suara tersebut.
Lalu pandangan matanya berhenti, setelah melihat patung kera dan disampingnya ada sosok bertubuh kerdil.

Katon ketakutan saat melihat sosok itu.
Tetapi hanya sesaat. Mungkin, karena kaget.

Katon langsung berjalan, mendekati sosok tersebut.
Dan disusul oleh Nadia yang mengekorinya dari belakang.

"Apa yang harus aku berikan kepadamu?" tanya Katon.

"Apa kamu sudah siap kaya? Ahahaha, dan siap dengan segala resikonya?" ucap sosok kerdil, balik bertanya sambil sesekali tertawa.

"Siap! Ayo, cepat katakan!" balas Katon tak sabar.

"Kalau tanpa sengaja mengambil emas dari tempatku ini, resikonya menjadi gila dan kalau dengan sengaja mengambilnya, maka akan binasa! Kalau pun tidak binasa, harus ditukar dengan nyawa seseorang," jelas si kerdil menakuti.

"Oh halah... Setan!
Setan! Nih, aku kembalikan!" ucap Katon sambil melempar emas yang ada didenggaman tangannya.

Seketika si Kerdil mengeluarkan pisau yang terbuat dari bambu.
Namun, tipis.

"Kalau mau? Harus mengadakan perjanjian terlebih dahulu!
Mau atau tidak?" tawar si kerdil bertanya, sambil memegang erat gagang pisau tersebut.

"Terus apa yang harus aku lakukan dan perjanjian seperti apa?" tanya Katon dengan nada tinggi.

"Perjanjian berdarah! Perjanjian dengan siluman kera!" ucapnya memicingkan mata dengan nada suara menggema,
"Cukup cap jempol saja dan kamu akan kaya raya hahaha...." lanjutnya menjelaskan.

Katon melempar pandangannya kearah Nadia.
Dia menggelengkan kepalanya.
Memberi kode, agar Katon tak mengiyakan perjanjian tersebut.
Namun Katon tak mengindahkan Nadia dan melanjutkan percakapannya dengan sosok tersebut.

"Ya sudah, aku harus apa? Cap jempol pakai darah ya?" tanya Katon sambil melihat kembali kearah sosok kerdil.

"Iya!" jawab si kerdil singkat, dengan bibir mulai mengembang.

Katon menelisik kearah kanan dan kirinya.
Dia melihat sesuatu.
Katon melihat katak tengah bertengger diatas batu yang berada disampingnya.

Katon menuduk setengah badan, mengambil batu kecil yang bisa dikepal.
Lalu melihat kearah si kerdil yang saat itu tak melihat kearahnya.

"Pruk, ngek!"

Katon menghantamkan batu yang dia kepal ke katak tersebut dan seketika mati.
Tubuh hancur dan darahnya mengalir.

Jempol tangan kananya ditempelkan ke darah katak yang ada diatas batu.
Lalu dengan sigap Katon mengambil pisau bambu milik si kerdil.

"Ah kamu mah kelamaan!" teriak Katon sambil berpura-pura menyayat jempol tangan kanannya, sambil berekpresi menahan sakit,
"Sudah nih, terus buku perjanjiannya ada dimana? Cepat!" lanjut Katon berteriak.

"Disini!" jawab si kerdil, menunjuk patung kera yang kedua tangannya seperti orang berdoa.

Katon menempelkan jempolnya kearah yang ditunjuk si kerdil.
Lalu dia berujar, "Aku tak meminta apapun! Aku hanya ingin orang gila yang berada di mulut goa itu sembuh!"

"Boleh! Tapi kamu harus menukarnya dengan orang lain," jawab si kerdil.

"Oke! Pilih sendiri diantara teman-temanku!" balas Katon memicingkan mata.

"Mas! Orangnya belum sembuh!" sela Nadia dengan nada teriak.

Katon melirik, dia tak tahu kalau Nadia sudah tak ada disampingnya dan Nadia sendiri kini tengah berdiri disamping lelaki itu.

"Hai siluman kera! Kamu bohong ya? Awas saja kalau bohong! Goa ini, aku ledakkan!" gertak Katon.

Lalu matanya seakan mencari sesuatu.
Katon melihat batu besar dan mengangkatnya dengan kedua tangan.
Dia membawanya mendekati patung kera.

Katon hendak menghantamkan batu besar tersebut.
Namun tindakannya terhalang, karna mendengar suara tanpa wujud yang menghentikan tindakannya itu, "Jangan gegabah wahai anak muda! Iya aku turuti permintaanmu!"

Masih dengan posisi mengangkat batu, Katon melirik kearah Nadia.
Tiba-tiba sosok lelaki itu jatuh tersungkur dengan sendirinya.

Dengan sigap Katon melempar batu tersebut dan berlari menghampiri lelaki itu. Lalu membangunkan tubuhnya.

"Alhamdulillah dia sadar! Tapi kok kaya orang linglung?" ucap Katon bingung.

"Loh aku harus pulang! Ibu menungguku di rumah," ucapnya sambil melihat badannya yang aneh. Baju compang-camping, dekil dan bau kotoran,
"Kok aku ada disini? Harusnya ada dirumah!" timpanya dengan tatapan bingung.

Lalu lelaki itu berjalan.
Terus berjalan keluar dari mulut goa dan Nadia mengikutinya.

Katon kembali berjalan mendekati patung kera.
Belum sempat menyentuh, terdengar lagi suara tanpa rupa, "Pergi! Perjanjiannya aku batalkan!"

"Pergi! Pergi...!" timpa si kerdil.

"Alhamdulillah...." ucap Katon.

Katon berjalan naik ke sebelah patung kera.
Lalu menjabat tangannya yang seperti orang berdoa.

"Terima kasih siluman kera! Kamu siluman yang baik hati," ucap Katon dengan senyuman picik, sedangkan kedua tangannya masih menjabat tangan patung kera tersebut.

"Pergilah! Sebelum aku berubah pikiran! Setan pun kamu tipu," ucap suara itu.

"Maksudmu?" tanya Katon.

"Memangnya aku tak tahu itu darah apa?! Setan kamu! Sana pulang! Cepattt...!" teriak suara tanpa rupa.

Dengan sigap Katon mengambil langkah seribu.
Lari sambil tertawa dan menemui mereka yang sudah menunggu diluar goa.

SEKIAN

Jangan menghalalkan segala cara agar menjadi kaya!
Lihatlah kanan dan kirimu! Dan lihatlah diri sendiri!
Setan tidak serta merta mengabulkan keinginan kita, walau hal tersebutlah yang dia sukai.
Setan lebih suka memilih calon tumbalnya.

Ketika badan kotor (bau kotoran), memintalah kepada tuhan yang maha esa dengan cara yang baik!
Sopan, bersih dan harus mengikuti aturan-aturannya.

Ibarat tangan kotor terkena lumpur dan kita meminta minum kepada orang lain.
Lalu apa yang akan dia berikan?
Gelas berisi air putih, atau Kendi?
close