Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KONSER DI DESA GHAIB GUNUNG MERAPI, Yogyakarta, 2011


Kisah mengerikan ini terjadi pada Sofi, personil band religi lokal yang mendapat panggilan manggung di salah satu desa di kaki Gunung Merapi pada November 2011 silam.

Saat itu Sofi yang tergabung dalam kelompok band itu sebagai vokalis diundang oleh seseorang bernama Pak Tugio untuk mengisi acara di rumahnya. Setelah oke dengan tanggal manggung dan pembayaran dimuka, ia bersama bandnya pergi ke rumah Pak Tugio dengan menggunakan motor.

Jarak antara rumah Sofi dan lokasi acara sebenarnya cukup jauh, tapi pemilik acara tidak membekali personil dengan angkutan jemputan hingga terpaksa Sofi dan bandnya membawa motor dan saling berboncengan menuju lokasi berbekal petunjuk arah dari sang pemilik acara.

Saat itu rombongan sofi berjumlah 8 orang dan Sofi dibonceng oleh salah satu rekannya. Sofi sendiri asli orang Surabaya dan pendatang di Yogyakarta karena sedang kuliah. Menjadi vokalis band ini adalah sampingannya untuk menambah uang saku selama ia menempuh pendidikan.

Sofi yang hanya ikut tanpa tau siapa dan dimana lokasi acara lalu bertanya kepada rekannya yang membawa motor.

“Ini kita acaranya nanti daerah mana mas?”

“daerah XXXX, patokannya ada lapangan nanti dekat dekat sana” ujar rekannya itu.

Memang biasanya cukup mudah menemukan sebuah acara apalagi dengan panggung besar hanya dengan menyebutkan daerah dan patokan lokasi rumahnya saja. Darisana biasanya bisa terlihat keramaian yang menandakan lokasi tempat mereka manggung nantinya.

“Acara apa ya? Hajatan pernikahan, syukuran rumah, acara desa?” wajar jika Sofi menanyakan ini, tentu ia perlu tau lagu dan pembawaan apa yang cocok ia tampilkan diatas panggung nanti.

“Lah saya juga gatau. Itu yang nerima job si Mas Samsul” balas rekan Sofi tanpa melepaskan pandangannya dari jalan raya.

Desa XXX ternyata berada di arah kaki Gunung Merapi. Dari Maguwo iring iringan motor itu terus melaju dan meninggalkan hiruk pikuk jalan besar. Kini mereka memasuki jalan perkampungan yang begitu sepi dan hari yang semakin sore.

Awalnya rombongan ini berangkat pukul 4 sore, namun hingga menjelang maghrib dan hari mulai gelap, mereka sama sekali belum menemukan lokasi yang dimaksud.

Keanehan mulai dirasakan Sofi pada momen ini, mengapa lokasinya begitu jauh dan mereka tidak kunjung sampai? Apalagi ditengah jalan menuju lokasi yang semakin dekat dengan puncak merapi, Sofi melihat sebuah bangunan mall yang tidak pernah ia liat sebelumnya..

Posisi mall juga begitu kontras dengan keadaan disekitarnya yang begitu rimbun dengan pepohonan asri. Selain itu Sri juga melihat seorang pria tua yang mengangkut dua wadah besar berisi air di punggungnya dan berjalan sendirian di hari yang sudah gelap itu.

Lewat dari waktu Maghrib, rombongan melewati sebuah jembatan yang dibawahnya terbentang sungai dangkal yang terhubung dengan aliran Merapi. Tanpa dikomando, para pengendara motor rombongan membunyikan klaksonnya beberapa kali ketika melintas jembatan itu.

Sofi yang bingung karena rekan rekannya membuat keributan padahal hari sudah malam dan tidak ada kendaraan lain yang menghadang rombongan mereka lalu bertanya,

“kenapa pada klakson mas?”

“Itu dibawah jembatan tadi banyak orang yang ketimbun waktu erupsi tahun lalu mbak. Jadi kita ngehormatin lah dengan klakson..” jawabnya lagi.

Ketika waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, rombongan ini akhirnya menemukan patokan yang disebutkan oleh pemilik acara, sebuah lapangan golf.

“Nah dari sini harusnya udah deket nih. Katanya kalo ketemu lapangan golf lurus lagi nanti acaranya deket deket jalan ini”

Namun dari lokasi lapangan itu sama sekali tidak ada tanda tanda keramaian.
“Mungkin masih keatas lagi” saran salah satu personil yang lain.

Karena masih belum menemukan lokasi tepat acara, rombongan kembali melanjutkan perjalanan.

Mereka menyusuri jalan menanjak yang semakin mendekati jalur pucak Gunung Merapi. Meskipun sudah menemukan lapangan golf yang dimaksud, nyatanya setelah sejam berlalu, hajatan atau acara apapun itu tidak pernah mereka temukan.

Padahal hari sudah semakin larut jelang jam 9 malam dan udara disekitaran kaki gunung Merapi semakin dingin.
Hingga pada salah satu sisi jalan, rombongan ini bertemu dengan sekumpulan pria yang berkerumun di tepi jalan. Tidak ada rumah atau apapun disana.

Karena merasa sudah tersesat, Sofi ditunjuk untuk bertanya kepada kumpulan pria itu mengenai rumah Pak Tugio, orang yang mengundang mereka.

“Misi pak, mau tanya, tau rumah Pak Tugio ga ya pak?”

Pria pria itu memandangi Sofi dan berujar “Lah ini rumahnya mba” sambil menunjuk sisi sebelah Sofi dan tiba tiba saja, di lokasi yang awalnya gelap gulita dan antah barantah itu muncul dua buah rumah entah darimana.

Kondisi rumah itu juga memprihatinkan, jendelanya berlubang tanpa kaca, daun pintunya rusak dan banyak debu bertumpuk disana sini. Awalnya Sofi ragu, terlebih hanya ada 2 rumah saja disana dan itupun tanpa ada panggung atau acara.

Hampir saja ia akan melanjutkan perjalanan kalau bukan karena kemunculan seseorang dari rumah itu dan memanggil mereka masuk. Ternyata benar rumah usang dan berdebu itu adalah sang penyelenggara acara yang mengundang Sofi dan bandnya tampil.

Akhirnya kelompok itupun masuk ke rumah itu. Keadaan dalam rumahnya sama dengan yang terlihat di luarnya. Kondisinya begitu usang dengan tikar anyaman yang begitu tua. Bahkan di bagian depannya terdapat sesajen dari beberapa macam bunga yang ditaruh di wadah.

Sofi dan kelompoknya lalu duduk diatas tikar usang itu dan mengamati keadaan rumah. Rumah ini benar benar seperti rumah setengah jadi atau sebaliknya, seperti rumah lama yang sudah bertahun tahun tidak diurus.

Seorang anggota rumah lalu datang dan menawarkan teh hangat kepada rombongan Sofi untuk menghilangkan dinginnya udara kaki Merapi. Namun ketika Sofi mencicipi teh yang dihidangkan, rasa teh itu terasa sangat aneh.

Rasanya lebih seperti air rebusan bunga melati yang dicampur bunga bunga lain dengan aroma yang menyengat. Tidak sanggup menelan teh itu, Sofi beralih ke air mineral dalam kemasan yang juga disajikan di hadapannya.

Tapi sekali lagi Sofi tersentak karena air mineral yang dihidangkan masih mengenakan kemasan lama yang beredar tahun 90an.. Sofi sangat mengenali kemasan lawas ini karena dosennya pernah membahas transformasi kemasan air tesebut dalam salah satu kuliah.

Namun karena tidak ada pilihan, Sofi akhirnya tetap meminumnya.
Setelah membasahi kerongkongannya dengan air, Sofi izin untuk merapikan kembali makeupnya yang sudah hilang saking lamanya perjalanan.

Rumah itu memiliki dua kamar disisi kanan dan kiri yang bersebelahan. Bapak pemilik rumah itu sempat berpesan,

“Kamarnya yang kiri ya nduk, jangan ke yang kanan” ujarnya.

Namun entah apa yang ada di pikiran Sofi ia justru membuka pintu kanan..

Di dalam ruangan itu ada seorang wanita berambut panjang dan memunggungi Sofi. Ketika pintu terbuka, perlahan kepala wanita itu menoleh pelan ke arah Sofi dan ia segera menutup pintu itu lagi rapat rapat!

Akhirnya Sofi yang trauma segera pindah ke kamar kiri, meminta satu rekan lainnya yang juga perempuan beserta suami rekannya itu untuk juga ikut dan menemaninya berhias dan merapikan penampilan.

Baru beberapa menit berhias, orang rumah itu masuk dan berkata pada Sofi dan yang lainnya.

“Ayuk cepet cepet.. acara udah dimulai mas mba, itu diluar tamu udah pada nungguin..”

Sofi jelas bingung karena saat kedatangannya tadi ia sempat mengira salah rumah karena tidak adanya panggung atau apapun. Namun saat ia kelua kamar, ternyata diluar sudah ada sebuah panggung, tata lampu, rombongan para tamu dan sound system yang telah terpasang..

Entah sejak kapan berada di lokasi itu.. penontonnya juga sangat banyak terdiri dari bapak bapak di bagian depan panggung dan ibu ibu di sisi samping dan belakang panggung. Tapi mereka semua sama.. dalam keadaan menunduk dan diam dengan pandangan kosong.

Sofi dan krunya dengan sopan melewati rombongan ibu ibu itu sambil menyapanya.

“Misi ya bu”

Namun semua orang disana begitu hening dan diam tanpa menjawab sapaan Sofi. Ketimbang acara syukuran yang meriah dan penuh kebahagiaan, acara ini justru terasa begitu hening dan sepi.

Sofi tetap profesional dan tampil membawakan lagu demi lagu religi di acara yang tidak ia ketahui apa tujuannya itu dan siapa pengantinnya jika memang adalah syukuran acara pernikahan. Bahkan keberadaan banner bertuliskan nama pengantin yang biasa terpasang pun tidak ada disana.

Sofi sempat coba mencairkan suasana dengan melemparkan pertanyaan dan candaan kepada para penontonnya.

“Ayo dari bapak bapak, ada request lagu tidak?..”
Biasanya, hal seperti ini para pria di depan akan menyambut pertanyaan Sofi dengan menyebutkan judul-judul lagu yang terkenal.

Namun berbeda dengan para pria berpakaian hitam dan berpeci di hadapannya kini. Tidak ada satupun yang menjawab maupun mengangkat kepalanya. Semua masih menunduk.. mengakibatkan Sofi khawatir penampilannya membosankan dan tidak mendapat respon baik dari para tamu.

Setelah sesi penampilannya usai dan akan berlanjut ke acara setelahnya, Sofi dan krunya izin turun panggung untuk istirahat dan akan naik kembali menjelang penutupan acara nanti.

Namun saat hendak turun, mereka dilarang dan diminta untuk tetap berada diatas panggung dan menyimak acara selanjutnya yang ternyata adalah penyampaian ceramah oleh salah satu pendakwah.

Lagi lagi hal cukup aneh Sofi rasakan saat itu. Tema yang dibawakan penceramah tadi bertema kematian dan ajal.. jauh dari yang biasa dibawa seorang penceramah di acara tasyakuran yang biasanya bertema tentang pentingnya rasa syukur atau keutamaan ibadah menikah.

Setelah acara ceramah selesai, Sofi kembali tampil bersama bandnya. Hingga dipertengahan lagu, tiba tiba saja para penonton pria mengangkat kepala mereka hampir secara bersamaan dan Sofi sadar orang orang dihadapannya bermata putih tanpa ada bagian hitam di bola matanya!

Penyanyi kedua band itu selain Sofi mendekat dan memegangi tangan Sofi sambil bergetar. Namun entah keberanian darimana, Sofi melanjutkan lagunya hingga selesai walaupun orang orang dihadapannya tetap tanpa ekspresi dan presiasi.

Bahkan hingga lagu terakhir dan biasanya panitia atau keluarga mempelai diundang naik untuk menyumbang lagu, saat itu tidak ada satupun yang merespon hingga penampilan mereka selesai dengan sangat canggung.

Setelah turun panggung, Sofi bersama rekan perempuannya pergi ke toilet yang hanya ada di rumah tempat mereka datang tadi. Tapi ternayata di dalam sana begitu riuh dengan orang orang tertawa.

Awalnya Sofi masuk dan mengira orang orang itu menertawakan sesuatu, sampai akhirnya Sofi sadar mereka semua melihat kearah Sofi dan temannya.. mereka semua tertawa dengan suara melengking khas kuntilanak.. menertawai Sofi tanpa alasan yang jelas..

Sofi bergegas masuk ke wc yang keadaannya seperti wc terbengkalai itu dan segera buang air kecil secepat mungkin. Setelah beres, ia keluar dan segera menarik tangan rekannya untuk secepat mungkin pergi dari rumah itu.

Saat keluar, ternyata Sofi dan rekan perempuannya sudah ditunggu oleh anggota band laki laki di dekat panggung.

“Yuk makan dulu yuk” ujar mereka sambil membawa Sofi ke rumah di sisi satu lagi dari panggung.

Disana mereka dihidangkan makanan, teman teman Sofi makan dengan lahap makanan yang ada disana.. namun Sofi menolak.

“Silakan dimakan nduk..” tawar salah satu orang disana.

Sofi menggeleng. Bukan karena tidak lapar, tapi yang ia liat, piring piring yang mereka hidangkan adalah berbagai macam jenis kembang.. bukan makanan atau lauk pada umumnya.. namun entah kenapa rekan rekannya makan dengan santai.

Sambil menunggu rekannya makan, Sofi mengajak ibu yang menghidangkannya makanan untuk mengobrol..

“Bu, ngapunten nggih, ini acara apa ya? pengantinnya mana ya?..” tanyanya ramah

“Pengantinnya wes mati nduk..”

Sofi yang sudah tidak tahan lalu meminta pulang sesegera mungkin. Sofi dengan panik meminta teman temannya segera berkemas dan segera pergi dari lokasi itu. Akhirnya dengan tergesa mereka semua mengendarai motor dan menyusuri jalan untuk pulang.

Saat itu jam sudah menunjukan jam 2 dini hari. Rombongan melaju dengan kecepatan tinggi dan terus membunyikan klakson secara bersahut sahutan. Hingga menemukan jalan dengan lampu pertama yang cukup terang.

Disana Sofi sudah merasa cukup lega saat itu, sampai tiba tiba ia merasa ada sesuatu yang mengikutinya.. dan ketika ia hendak menoleh.. sebuah suara yang berat dan besar terdengar memanggilnya dari atas...

“SOOFIIIII..”

Sofi refleks menoleh ke atasnya dan disana sudah ada sesosok raksasa yang memandang kearahnya dan seperti hendak meraih tubuhnya!
“MAS CEPET MAS!!” Sofi menangis dan panik sambil memukuil punggung rekannya yang membawa motor.

Motor melaju dengan sangat cepat, dan saat itu juga Sofi melihat makhluk makhluk mengerikan yang tidak pernah ia liat sebelumnya.

Rombongan itu akhirnya berhasil menemukan jalan raya dengan beberapa kendaraan yang masih melintas, namun posisi mereka berbeda dengan jalan tempat-

-mereka masuk sore tadi. Tapi berbeda dengan tadi sore yang memakan waktu hampir 5 jam, kali ini mereka sampai di jalan raya hanya 1 jam saja sejak mereka pergi dari lokasi acara aneh itu.

Sofi segera pulang dalam keadaan sudah demam dan trauma. Ia baru berani menceritakan ke keluarganya keesokan harinya dan hanya kepada kembarannya, Sofi menutup cerita ini dari orang tua dan pacarnya rapat rapat.

Tapi pada akhirnya Sofi menceritakannya kepada pacarnya sebagai alasan mengapa ia demam saat itu.

Pacar Sofi yang tidak percaya akhirnya berniat kembali ke lokasi itu dan mengajak Sofi ikut sebagai penunjuk jalan.

Sofi berkali kali menolak namun rasa penasaran pacarnya memaksa Sofi menurut dan untuk kedua kalinya, sore itu ia diboncengi pacarnya pergi ke lokasi yang sama. Sofi masih ingat betul nama desa dan orang yang mengundangnya. Bahkan ia menuliskannya di kertas jika tiba-tiba lupa.

Motor yang dikendarai pacar Sofi berjalan menuju arah yang sama dengan yang ia lalui kemarin.. saat itu sudah lewat waktu ashar dan perasaan Sofi sudah tidak enak. Namun tiba tiba saja ia hilang arah, ia merasa jalur ini begitu berbeda dengan yang terakhir ia ingat.

Bahkan mall besar yang ia lewati malam itu seakan lenyap tak bersisa. Khawatir salah arah, Sofi bertanya pada seorang ibu ibu yang tengah berjalan di tepian jalan tepat disamping lokasi pemakaman.

“Bu maaf, tau alamat ini ga ya?” tanya Sofi sambil menyodorkan kertas bertuliskan lokasi alamat acara kemarin.

“Ooh disana mba, lurus, disana itu dulu posisi desanya. Tapi sekarang udah gaada lagi mba”

DEG!

Sofi lemas mendengar hal itu tapi tidak dengan pacarnya. Walaupun Sofi sudah merengek minta pulang, pacarnya tetap membawa motor menyusuri lokasi yang menurut ibu tadi merupakan bekas alamat yang kini sudah hancur itu.. dan benar saja, pada akhirnya jalan itu terputus..

Di ujung jalan, Sofi menemukan banyak bangkai truk dan bus yang rusak parah dibiarkan berkarat disana., tidak ada jalur desa ataupun rumah warga yang beberapa waktu lalu ia kunjungi..

Pengalamannya ini begitu membekas dan menyisakan traumatis berkepanjangan pada Sofi. Ia pada akhirnya dibawa pada salah satu tokoh di Yogyakarta untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Setelah ia menceritakan pengalamannya, orang itu berkata..

“Oh berarti kamu satu lagi yang juga diundang kesana..” ujar orang itu.

“Gimana maksudnya pak?”

“Sebelum kamu, ada orang lain yang juga datang kesini dan ceritanya mirip sama apa yang kamu sampaikan sekarang. Lokasinya juga sama persis, bedanya dia disana diundang sebagai tamu, kamu diundang sebagai pengisi acara..” jelas orang itu lagi.

Melalui tokoh agama itu juga Sofi mengetahui, dulu saat Merapi erupsi, desa tempat ia tampil beberapa waktu lalu, salah satu warganya sedang mengadakan walimahan pernikahan. Namun baru saja akad akan dilakukan, merapi erupsi dan seluruh desa tertimbun material vulkanik.

Akibatnya bencana yang tiba tiba itu menewaskan para penduduk yang tidak sempat menyelamatkan diri, termasuk keluarga yang melakukan pernikahan itu dan juga para tamu yang hadir..

Jika Sofi hanya mendapatkan trauma dan menutup dalam dalam cerita ini sendirian, nasib lebih memilukan terjadi pada rekan rekannya yang juga ikut saat itu. Diantara mereka mengalami depresi beberapa bulan setelah kejadian itu hingga dirawat di rumah sakit,

Selain itu ada juga yang tertimpa penyakit hingga tubuhnya menjadi kering dan habis. Itu jadi kali terakhir Sofi berkumpul dan tampil bersama regunya sebelum akhirnya Sofi memutuskan berhenti dan pensiun karena trauma..

SEKIAN
close