Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MANTEN MAYIT (Part 1) - Pengantin Tanpa Kepala

Sepasang pengantin itu melayang-layang mengejar seseorang. Ada sesuatu yang telah diambil oleh orang itu.

Kepala sang mempelai wanita..


PROLOG

Desa Kandimaya…

Gelapnya langit malam perlahan menutup pintu-pintu rumah bersama hadirnya suara serangga malam.

Beberapa kali ada warga yang berkeliling dengan memukul kentongan seolah mengatakan bahwa ada mereka yang akan menjaga desa selama mereka tertidur.

Sesekali mereka yang bertugas ronda menyapa warga yang masih menikmati kopi hitam di teras rumahnya, namun saat semakin malam jarang sekali mereka berpapasan dengan warga di malam-malam biasa.

Tapi, kali ini berbeda…

Dari kejauhan terlihat seseorang yang berjalan lambat dengan langkah yang terseok. Selangkah, demi selangkah…

“Kuwi menungso?” (Itu manusia?)

“Iyo lah! Tapi ketoke dudu wergo kene,” (Iya lah! Tapi sepertinya bukan warga sini.)

Warga yang bertugas ronda itu awalnya hanya bingung melihat sosok itu. Namun ketika mereka melihat darah di pelipis dan beberapa bagian tubuh dari orang itu, merekapun segera berlari menghampirinya.

“To....tolong!”

Suara itu terdengar dari mulut seorang bapak tua yang sekuat tenaga mendekat ke arah mereka. Sesekali ia terjatuh, namun ia tetap berusaha berdiri dan berjalan untuk mencapai mereka.

“Astagrifullahaladzim! Bawa ke pos! Siapin obat!” Perintah satu ke yang lainya.

Salah seorang dari merekapun membopong bapak itu, dan seorang lainya mencari obat-obatan untuk mengobatinya. Namun saat tengah menuju pos dan membelakangi gapura, ada sesuatu yang membuat mereka terhenti.

Tengkuk mereka terasa begitu dingin, angin yang tak wajar bertiup dari belakang. Merekapun menoleh dan segera menemukan apa yang menyebabkan semua hal itu.

Samar-samar, di belakang mereka melayang sepasang makhluk…

Mereka berpakaian layaknya sepasang pengantin jawa yang sudah lusuh dengan noda darah menutupi warna pakaianya, dan luka borok juga terlihat hampir di seluruh tubuh pucatnya.

Sosok yang pria terlihat cukup berumur, mungkin seumuran bapak yang berlari ke desa itu.

Hanya saja makhluk itu lebih kurus dan memiliki janggut yang panjang.

Namun sosok satunya adalah perempuan itu melayang-layang di sekitar pengantin prianya tanpa kepala…

“Se....setan!”

Mereka mempercepat langkah untuk menuju ke pos, sayangnya langkah mereka terlalu lambat.

“Setan itu tidak punya kepala?! Dimana kepalanya??” Teriak salah satu dari mereka sembari terus mencoba berlari.
..
“Disini…”

Tanpa di sangka, bapak itu mengeluarkan bungkusan kain yang ternyata berisi jasad kepala seorang perempuan yang sudah membusuk.

“Hoeeekk!!!” Merekapun melepaskan bapak itu karena panik dengan pemandangan itu, namun bapak itu masih terus meminta tolong.

“Kembalikan kepala Istriku!” Teriak setan pengantin pria itu sembari terbang kearah bapak itu dengan membawa sebuah arit.

Namun belum sempat sosok itu mendekat, tiba-tiba muncul gempa yang menggetarkan desa kandimaya. Sebuah gempa yang berasal dari salah satu bukit batu di ujung desa. Anehnya, Kedua sosok setan itu ketakutan dan memilih untuk mundur.

“Akan kudapatkan kepala itu, atau kuambil kepala seluruh warga desa ini sebagai gantinya!” Ucapnya sebelum menghilang di kegelapan malam.

Mereka cukup lega dengan kepergian kedua sosok itu, walau mereka tahu dengan jelas kepergian setan itu hanya sementara.

Gempa yang terjadi secara mendadakpun membangunkan hampir seluruh warga. Beberapa dari mereka berlarian keluar dan melihat keberadaan bapak itu dan segara membantu pemuda-pemuda yang bertugas ronda untuk membawanya ke balai desa.

Pak Kadespun datang dan menemui bapak yang ketakutan itu. Ia terus menolak untuk lukanya diobati dan terus memeluk bungkusan di tanganya di sudut ruangan.

“Pak, bapak kenapa? Cerita sama kami, biar kami bantu,” Tanya Pak Kades.

Sayangnya Pria itu tetap menggeleng dan menatap seluruh warga desa di dekatnya dengan ketakutan. Ada rasa trauma dimatanya yang entah datang dari mana.

Tapi tak lama seorang perempuan datang…

Perempuan itu datang dengan membawakan sebuah nampan berisi pisang rebus hangat dan secangkir teh panas. Ia tidak berkata apapun dan hanya mengangguk menjawab tatapan mata pria itu mengisyaratkan agar ia menikmati suguhan sederhana yang ia bawakan.

Pak Kades itu menatap perempuan itu dan menerima isyarat yang diberikan olehnya. Iapun menghela nafas dan meminta warga desa meninggalkan pos. Biar hanya pak kades dan perempuan itu yang menemani pria misterius itu.

“Ya sudah, Saya percayakan ke Dek Naya saja ya,” ucap Pak Kades.

“Iya Pak,” Balas Naya.

Naya menemani pria itu menghabiskan kudapan yang dibawa Naya, sementara Pak Kades dan beberapa perangkat desa memantau dari jauh sembari juga menikmati kopi panas yang sudah disiapkan untuk mereka.

“Sudah selesai?” Tanya Naya.

Pria itu mengangguk.

“Saya bereskan dulu ya, habis itu saya obati lukanya,” Ucap Naya yang segera memindahkan nampan dan gelas kosong itu ke belakang.

Iapun kembali dengan membawa obat-obatan untuk mengobati luka luar yang dialami pria itu.

“Kulo Naya, Pak… Asmone panjenengan sinten njeh?” (Saya Naya, Pak. Namanya Bapak siapa?) Tanya Naya sopan.

“Ba...Badhri…” Balasnya ragu.

Walau begitu Pak Kades dan Naya cukup senang pria itu sudah mau berinteraksi dengan mereka.

Kali ini Pak Kades kembali mendekat, berbeda dengan sebelumnya kini Pria bernama Turdi itu tidak lagi takut dengan Pak Kades.

“Pak, Kami akan coba membantu menolong Pak Badhri. Tapi apa Bapak bisa jelaskan apa yang terjadi dan apa sebenarnya yang bapak bawa itu?” Tanya Pak Kades.

Pak Badhri sedikit melamun, namun Naya tahu bahwa Pak Badhri tengah berusaha untuk mengeluarkan apa yang ada di pikiranya.

“Se...setan itu! Setan-setan itu ingin membunuh saya, keluarga saya, saudara saya, dan seluruh keturunan saya,” ucapnya.

“Setan yang tadi mengejar Pak Badhri?” Tanya Pak Kades.
Pak Badhri mengangguk sembari semakin menggenggam erat bungkusan itu.

“Hantu pengantin itu? Berarti benar bungkusan itu berisi kepala setan pengantin perempuan itu?” Tanya Naya.
Sekali lagi Pak Badhri mengangguk ragu.

“I...ini benar kepala setan wanita itu, sekaligus juga ini adalah kepala putri saya…” ucapnya dengan air mata yang mulai menetes di pipinya.

***

KEPALA SANG PENGANTIN

(Sudut pandang Danan…)

“Desa itu desa keramat, kalau kalian datang dengan niat jahat, kalian tidak akan bisa memasuki desa itu,” Aku menguping perbincangan seorang nenek yang sudah sepuh kepada cucu-cucunya.

“Memangnya kenapa Nek? Apa bedanya dengan desa lainya,” Tanya seorang cucunya yang mungkin seumuran anak SMP.

“Desa itu penghasil dalang, sinden, dan kelompok wayang terbaik. Konon banyak makhluk tak kasat mata yang menyukai permainan mereka dan menjaga desa itu.

Selain itu juga, disana ada sebuah bukit batu. Katanya, ada sosok raksasa yang juga ikut menjaga desa itu,” Cerita sang nenek.

Aku sedikit tersenyum. Sudah jelas yang diceritakan nenek itu adalah desa Kandimaya. Desa kelahiran ibu sekaligus tujuanku saat ini.

Dalam hati aku berpikir, ternyata begitulah pandangan orang-orang terhadap desa kandimaya.

Keramat?

Sepertinya sebutan itu cukup bagus. Dengan begitu beberapa orang jahat akan berpikir beberapa kali untuk mengganggu desa Kandimaya.

Aku sampai di Desa Kandimaya cukup pagi. Pemandangan warga desa yang berlalu lalang sangat membuatku rindu akan tempat ini.

“Eh Mas Danan? Kapan pulang?” sapa seorang ibu yang melintas dengan sepedanya.

“Baru saja Bu, ini baru sampai,”

“Ya sudah cepat temui ibumu, kangen banget pasti,” balasnya sembari kembali melajukan sepedanya.

Aku melihat sanggar ibu dari jauh dan sudah ada keramaian di sana. Ada seorang perempuan yang terlihat menunggu di depannya.

Aku menoleh ke arah perempuan itu memandang dan menemukan ada gerobak sayur yang masih melayani warga yang lain.

Akupun diam-diam menghampiri gerobak tukang sayur itu dan memberi isyarat jari telunjuk di depan mulutku kepada ibu-ibu dan tukang sayur.

“Jangan bilang-bilang Naya, nanti saya pinjam sebentar ya gerobak sayurnya,” ucapku pada mereka. Merekapun setuju sembari menahan tawa saat mengerti maksudku.

Setelah mereka selesai, akupun meminjam handuk tukang sayur itu dan mendorong gerobak ke tepat di hadapan Naya.

“Mas, Ikan asinya masih ada?” tanya Naya.
“Ehm.. kalau ikan asin nggak ada,” balasku dengan mencoba merubah suaraku.

“Yah, kalau bandeng?”

“Nggak ada juga..” balasku lagi sembari menahan tawa.

“Kok nggak ada semua? Terus adanya apa donk?” Tanya Naya dengan wajah cemberut.

Sayangnya wajah cemberutnya itu benar-benar membuatku tak bisa menahan rasa rinduku dan memilih untuk membongkar penyamaranaku. Akupun memutar ke sisi lain gerobak dan bersiap di belakangnya.

“Adanya Mas-mas Ganteng…”

Sontak Nayapun kaget dan menoleh ke belakang. Ia tertegun sejenak saat mengetahui tukang sayur yang hendak ia marahi adalah aku.

“Ma....Mas Danan?” ucapnya ragu.
Aku menganggu sembari tersenyum.

“Jahaaaat!! Jahaaat! Buuuk Danan ngusilin Naya!!” Teriak Naya sembari beberapa kali melempar sandal dan benda-benda yang dapat ia gapai.
Sontak suasana sangar menjadi riuh. Dari jauh ibu-ibu yang sebelumnya berbelanja juga ikut menertawakan kami.

Mendengar adanya keramaian Ibupun muncul dari dalam dan melongo melihat kelakuan kami berdua.

“Udah! Udah! Sakit!” ucapku meminta Naya menghentikan cubitanya.

“Nggak mau! Kesel!” Balasnya sembari menahan kesal, namun dengan senyum di wajahnya.

Ingin sekali aku memeluknya saat itu, sayangnya saat ini tempat ini sudah terlanjur ramai dengan para tetangga yang juga keluar melihat kericuhan yang telah kubuat.

“Satu kosong…” ucapku menggodanya.
Nayapun menggembungkan pipinya sembari meletakkan kedua tangannya di pinggang.

Ia terus menatapku dengan tatapan lucunya.

“Sudah-sudah! Nggak usah marah, sini belanjaanya Mas yang bayarin,” ucapku.

“Emang harus,” Balas Naya.
Kamipun segera menyelesaikan belanjaan dengan beberapa request lauk dariku tentunya.

Aku ingin tahu sudah seberapa sakti Naya dalam mempelajari resep wasiat ibuku.

“Danan emang suka iseng. Dulu pura-pura jadi anak buah Ki Daru Baya, sekarang malah jadi tukang sayur,” ucap Ibu.

“Turunan,” balasku singkat.

Sayangnya ucapanku saat itu segera berganti dengan jeweran dari ibu.

“Mas Cahyo sama Paklek nggak ikut?” Tanya Naya yang penasaran dengan kedatanganku yang seorang diri.

“Nggak usah dicariin, itu masakan kalau udah mateng juga mereka tiba-tiba bakal muncul dari dalam panci,” balasku.

“Yee, begitu banget sama mereka,” balas Naya.
Bukan apa-apa, aku sudah mengalah untuk berangkat menggunakan kendaraan umum.

Sementara Paklek dan Cahyo berboncengan menaiki motor vespa milik Cahyo. Tapi ternyata, malah aku yang sampai duluan. Aku yakin mereka terlambat karena kualat denganku, motornya pasti mogok lagi seperti biasa.

Sembari menunggu masakan matang. Akupun membereskan barang bawaanku dan mandi membersihkan diri sejenak.
Setelah kejadian di Alas Wetan, aku sempat kembali ke Jakarta untuk bekerja sedangkan Paklek dan Cahyo kembali ke Klaten. Memang sudah cukup lama setelah kejadian itu.

Kami menduga sudah tidak ada lagi hal-hal yang berkaitan dengan hutan-hutan yang mendapat julukan “Alas Sewu Lelembut” itu.

Sampai beberapa hari kemarin, tiba-tiba Naya tiba-tiba menghubungiku dan menceritakan bahwa ada seseorang yang diserang oleh sepasang hantu pengantin tanpa kepala. Yang mengejutkanya lagi, sosok setan itu adalah abdi dari Kanjeng Nyai Rasmono yang telah kami kalahkan.

“Kabar bapak itu, Pak Badhri? Sudah sehat?” ucapku sembari menghampiri meja makan yang sudah diisi beberapa makanan yang sudah matang.
“Sudah, sore ini juga mau nganter rantang buat dia di balai desa,” balas Naya sembari menyusun piring.

Aku hanya mengangguk sembari membantu Naya merapikan meja. Sebaiknya aku menggali informasi sendiri dari orangnya langsung.
Ada sebuah ruangan di Balai desa yang dijadikan tempat menginap oleh Pak Badhri.

Sebuah kasur darurat dengan beberapa pakaian yang disediakan oleh warga sudah tersedia di sana dengan harapan kebutuhan Pak Badhri bisa tercukupi. Tapi walau begitu, Pak Badhri masih saja waspada dan ketakutan tiap ada warga desa yang menemuinya.

“Nggak papa pak, ini Danan putranya Nyai Kirana,” ucap Naya memperkenalkanku.
“Iya Pak, saya Danan,”
Aku memperhatikan Pak Badhri yang tengah duduk di sudut kamar dengan memeluk bungkusan kain yang semakin tebal itu.

Aku menduga, itu adalah bungkusan berisi kepala yang diceritakan oleh Naya. Mungkin ia membungkus dengan tebal agar baunya tidak tercium.
“Makan dulu Pak, masakan hari ini spesial karena Nyai Kirana masakin buat kepulangan Danan juga,” ucap Naya.

Pak Badhri mendekat mencium aroma masakan yang Naya bukakan dari rantang. Sepertinya ia sudah cukup lapar dan mudah tergoda dengan bau masakan ibu.
“Ya sudah, dimakan dulu ya.. habis itu mas Danan mau ngobrol-ngobrol sama Pak Badhri juga,” jelas Naya.

“Monggo Pak,” balasku yang segera berpamitan menunggu di depan balai desa.
Tapi sebelum aku sempat keluar, tiba-tiba Pak Badhri berbicara.

“Kalian.. kalian ingin aku menyerahkan kepala anakku kan? kalian ingin menyerahkannya pada setan itu agar setan itu tidak membunuh warga desa kan??” Ucap Pak Badhri dengan mata yang menatap tajam padaku.
Akupun berbalik sebentar dan menghela nafas sejenak.

“Nggak pak.. kami cuma mau nganterin masakan ibu. Dimakan ya!” Balasku yang melanjutkan pergi meninggalkan tempat itu bersama Naya.
Aku cukup tenang saat mendengarkan suara sendok dan rantang yang beradu saat meninggalkan Pak Badhri.

Dari ucapanya barusan, aku mulai mengerti kekhawatiranya. Siapapun pasti akan berpikir bahwa warga akan berusaha merebut kepala anaknya dari dirinya demi menyelamatkan desa.
Tapi… Pak Badhri tidak kenal dengan desa Kandimaya.

Saat tengah menikmati perbincangan singkat dengan Naya, tiba-tiba terdengar suara keras dari dekat kami.

Brakk!!! Brak!!!!

Itu adalah suara jendela yang digedor dengan keras.

Trang!!

Suara rantang terjatuh terdengar menyusul suara itu. Aku dan Nayapun buru-buru mendatangi Pak Badhri dan menemukan asal suara itu.

Ada seseorang…
Ada seseorang yang menggedor jendela dari luar dengan sangat keras.

Akupun segera berlari keluar dan mendapati seseorang yang tengah membenturkan kepalanya ke daun jendela kayu yang tertutup itu.

“Hentikan!! Hentikan!!” Teriakku yang segera berlari menghampirinya.

Saat aku mendekat, iapun menoleh. Orang itu adalah seorang pemuda berambut panjang yang wajahnya kini berlumuran darah karena apa yang ia lakukan.

“Kepala… serahkan kepala itu!” ucap orang itu sembari menatap tajam kearahku.

Dia kesurupan..

Dalam waktu singkat ia sudah berlari mendekat ke arahku dan mencekikku hingga terjatuh. Naya yang melihat hal ini segera berteriak.

“Tolong!! Tolong!” Teriak Naya yang panik.

Mata pemuda itu memutih dengan tubuh yang terus bergetar, ia terus berteriak untuk menyerahkan kepala yang ada pada Pak Badhri. Orang itu terbatuk-batuk memaksakan teriakkanya hingga tenggorokkanya terluka dan memuntahkan darah di tubuhku.

“Mas! Mas Danan!” Teriak Pak Kades yang datak tak lama setelah Naya berteriak.

Iapun berusaha menarik pemuda itu dariku. Dan aku menggunakan kesempatan itu untuk menangkap dahi pemuda itu dan membacakan ayat-ayat suci.

“Makhluk apapun kalian, kalian tak pantas mendiami tubuh ciptaan Tuhan yang paling Mulia,”
Dengan doa dan ayat suci yang kubacakan, pemuda itupun berteriak kesetanan dan berusaha memberontak. Tapi tak ada satupun kesempatannya untuk lepas dariku.

Sampai tiba-tiba pemuda itu berhenti meronta, matanya mengintip dari celah jariku sembari tersenyum menyeringai.

“Jangan kau kira aku datang sendirian..” balasnya sebelum akhirnya terjatuh lemas tak berdaya.

Aku mengecek nadi dan nafas dari pemuda itu dan mendapati pemuda itu masih bernyawa.

Setelah memastikan tidak ada lagi sosok yang menguasainya, akupun mempercayakanya pada warga desa yang mendampingi Pak Kades.

“Pak! Pak Kades!! I...itu! di luar desa!” Tak lama berjeda setelah kejadian tadi tiba-tiba beberapa warga berlari mendekati pak kades dengan wajah panik.

Kamipun segera pergi setelah mempercayakan pemuda tadi kepada salah seorang perangkat desa.

Senja yang mulai usang kini terhiasi dengan obor-obor warga desa yang keluar dengan panik mendengar teriakan dari luar desa. Di sana sudah ada beberapa warga yang memandang keluar gapura dengan wajah yang pucat.

“I...itu Pak Kades.. Itu!” Tunjuk salah seorang warga.

Aku dan pak Kades menatap menuju arah itu dan mendapati ada sekumpulan orang berwajah pucat berdiri dengan raut wajah yang datar menyebar di lahan yang cukup luas di depan gapura desa.

Seorang perempuan dan tiga orang pemuda.

Wajah mereka pucat dengan urat ditubuh mereka membiru, rambut mereka berantakan, dan mata mereka memutih persis seperti pemuda yang kesurupan tadi.

“Mas, Mereka siapa?” Tanya Naya yang mulai merasa takut.

“Kalau dugaanku benar, mereka juga orang-orang yang dirasuki oleh suruhan setan pengantin itu,” balasku.
Mereka tidak mendekat seperti pemuda tadi, namun warga juga tidak gegabah menghampiri mereka.

Kami takut bila salah langkah, bisa terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terhadap orang-orang itu.

“Dayang-dayang penganten mayit wis teko, balekno sirah ndoro penganten putri yen isih sayang nyowo..”

Salah seorang dari makhluk itu berbicara dengan nada mengancam. Dari gerak gerik dan cara bicaranya aku menebak, dialah yang memimpin kelompok setan-setan ini.

Mendengar ucapan itu, Pak Badhri ketakutan dan memeluk erat bungkusan yang ia pegang.

Wargapun menoleh ke arah Pak Badhri yang mengetahui bahwa benda itu adalah benda yang dicari setan-setan itu.

“Sirah menungso kuwi? Opo sirah kowe kabeh?” Ancamnya lagi.

Mendengar ucapan itu seorang pemuda mendekati Pak Badhri dan berdiri tepat di hadapanya sembari tetap membawa obornya.

“Jangan harap! Nggak akan kami biarkan kalian merampas milik orang lain di desa kami,” ucap pemuda itu.

Pak Badhri kaget dengan ucapan pemuda tadi. Sementara itu, seorang warga kembali mendekati Pak Badhri seolah berusaha melindunginya.

“Nurutin kemauan setan saja sudah salah, apalagi takut sama ancaman setan,” ucap warga itu.

Satu persatu warga mendekat ke arah Pak Badhri dan melindunginya dari pandangan orang-orang yang dirasuki itu.

“Menungso guoblok! Mati kowe!” (Manusia goblok! Mati kalian!) Teriak sosok yang dirasuki itu sembari menyeret kakinya dengan cepat menuju kearah kami.

“Selama seorang Dananjaya Sambara ada disini, takkan kubiarkan kalian menyentuh warga Desa Kandimaya!” Ucapku sembari bersiap menyambut serangan setan itu.

Suara ayat-ayat suci melantun dari mulut seluruh warga yang berkumpul disini.

Ayat-ayat itu seolah sudah mereka hafal diluar kepala hingga terdengar begitu menenangkan. Tapi aku tahu, lantunan ayat itu begitu menyakitkan untuk setan-setan yang merasuki orang orang itu.

Benar saja, belum sempat setan itu mendekat ke dalam desa, tiba-tiba mereka mengerang kesakitan. Mereka benar-benar tersiksa dengan ayat-ayat suci yang dibacakan warga desa. Aku benar-benar tidak menyangka akan hal ini.

“Sakit!!! Panass!” Teriak mereka.

Aku menggunakan kesempatan ini untuk mendekati mereka satu persatu dan melepaskan setan itu dari tubuh mereka.

Klontang.. Klontang.. Klontang…

Di tengah ritualku, tiba-tiba aku mendengar suara dari kejauhan. Suara itu mendekat seperti suara lonceng yang berbunyi dengan cepat.

“Khikhkhi… terlambat! Mereka datang! Dayang-dayang penganten mayit telah datang! Saat matahari terbit, tidak ada satupun kepala kalian yang masih menempel di tubuh kalian!” Ancam salah seorang yang masih dirasuki oleh setan suruhan penganten mayat itu.

“Jadi, kalian hanya diperintahkan untuk mengancam?” Ucapku sembari berdiri dan meletakkan tanganku di kepala orang itu.
Beberapa bait ayat suci kubacakan untuk memberi pelajaran pada setan itu.

“Panas!! Manusia sialan!! Lepaskan!!!” Teriak setan itu.

Memang aku sengaja tidak mengusirnya. Setidaknya aku ingin memberinya pelajaran agar mereka tidak lagi berani mendekat ke desa ini.

“Khikhikhi.. mereka datang,” salah satu perempuan yang kerasukan tertawa dengan girang mendengar suara itu.

Suara itu benar-benar memberiku firasat yang tidak enak. Jelas, sosok yang datang bukanlah sosok biasa seperti setan-setan yang merasuki orang-orang ini.
Ada suara langkah kaki kuda bersama lonceng yang terus berbunyi.

Warga yang sedari tadi membacakan ayat-ayat sucipun terhenti gentar dengan suara-suara itu.

“Itu, itu yang menyerang desa saya! Kereta kencana itu membawa puluhan pocong haus darah yang menyerang warga desa saya!” Ucap Pak Badhri ketakutan.

Aku tahu sosok yang mendekat mungkin berbahaya. Namun aku tidak akan gentar dan tidak akan membiarkan makhluk-makhluk itu melukai warga desa.

Dan benar saja, tak lama kemudian sebuah kereta kencana mendekat dan berhenti tepat di hadapan kami.

Seekor kuda jadi-jadian menarik kereta yang dihiasi ukiran kayu tua itu.

“Hati-hati mas,” ucap Naya memperingatkanku.
Aku mengangguk dan menanti sosok apa yang akan muncul dari kereta kencana itu.

Tapi.. entah mengapa tawa setan tadi terhenti saat melihat kereta kencana itu. Ia seolah mencari sesuatu yang tidak ia temukan.

“Hati-hati! Kita mungkin bisa melihat kereta kencana itu, tapi kita tidak bisa melihat pocong-pocong yang dimaksud Pak Badhri!” Teriak salah seorang warga.
Benar, mungkin warga desa hanya manusia biasa yang tidak mampu melihat makhluk tak kasat mata.

Tapi bagaimana mungkin aku tidak menyadari sosok yang dimaksud Pak Badhri?

“Dimana???!! Tuan dimana??!”

Tiba-tiba setan itu berteriak.

“Tidak mungkin! Tidak mungkin kereta kencana datang tanpa membawa dayang-dayang!”

Aku mengernyitkan dahi. Mungkin saja yang kami lihat benar. Kereta kencana ini kosong! Tidak ada satupun yang menumpanginya.

Tapi apa maksudnya ini?

Di tengah kebingunganku tiba-tiba terdengar suara bising yang mendekat.

Cahaya lampu motor menyilaukan mata kami yang masih terpaku pada kereta kencana tua itu.

“Pantes aja motornya sering mogok! Kamu bawa motor udah kayak bawa kuda!” terdengar suara Paklek dari jauh bersama motor itu.

“Kan buru-buru Paklek! udah kemaleman ini!” Suara Cahyo menyusul ocehan Paklek itu.

Benar saja, dari balik kegelapan Paklek dan Cahyo datang dengan menaiki vespa tua miliknya. Saat mengetahui ada keramaian di depan desa, merekapun berhenti dan memarkirkan vespanya.

“Paklek? Ini kan kereta kencana yang tadi? Kok ada di sini?” ucap Cahyo.

“Lha mbuh, bukanya kamu udah Paklek suruh ngurusin pocong-pocongnya?” Balas Paklek.

“Udahlah Paklek! tapi kan pocongnya doank,” Cahyo menjawab ucapan Paklek.

Paklek menggeleng sembari mencabut sandalnya.

“Ya kudanya sekalian to Panjul!” Balas Paklek sembali memukulkan sandalnya sementara Cahyo berusaha menghindar.

Tu...tunggu? Jangan-jangan… hilangnya pocong-pocong yang menumpangi dan mengikuti kereta kencana ini adalah ulah mereka.

“Paklek! Cahyo!” Aku memanggil mereka yang masih saling beradu mulut.

“Eh Danan! Bentar Paklek! Itu udah dijemput Danan!” Ucap Cahyo yang menggunakanku sebagai alasan untuk menjauh dari Paklek yang masih kesal.

Tapi sebelum melangkah lebih jauh, Cahyo terhenti.

Iapun tersadar dengan keadaan di tempat ini.

“Hrrrrr… Ra mungkin! Ora mungkin dayang-dayang ndoro kalah kalo menungso koyo kowe!”
(Nggak mungkin! Nggak mungkin dayang-dayang tuan kalah oleh manusia seperti kalian!)

Setan itu tidak percaya dengan apa yang terjadi. Walau berbicara seperti itu, tetap saja aku bisa melihat bahwa dirinya gentar.

“Bentar Jul! Biar aku selesain masalah disini,” ucapku yang mendekati sisa-sisa setan yang merasuki orang-orang itu.

Mereka mencoba untuk mundur, tapi ada Cahyo di belakang mereka yang membuatnya tidak berani bergerak. Dengan sigap aku menangkap kedua kepala yang tersisa. Seorang pria dan seorang wanita. Lantunan ayat suci kubacakan dan membuat mereka meronta kesakitan.

“Panas!! Panas!! Ndoro tolong Ndoro!!” Teriaknya.
Namun aku tidak berhenti sampai akhirnya sosok itu tak lagi menguasai orang-orang itu. Tepat setelah setan itu menghilang, kuda jadi-jadian yang menarik kereta kencana itupun menghilang menyisakan kereta kayu tanpa penumpang.

“Danan,” panggil Cahyo.
Aku menoleh ke arahnya, namun ia malah melemparkan wajahnya ke arah salah satu sisi diantara langit malam.
Dia disana…
Sepasang makhluk yang diceritakan oleh Naya. Sepasang Penganten Mayit yang mengincar kematian seluruh keluarga dan keturunan Pak Badhri.

Saat melihatnya langsung, jelas aku merasa mereka makhluk yang berbahaya. Penganten pria itu jelas merupakan sosok setan yang menjadi dalang semua ini. Dan yang mengikutinya ada mempelai wanita yang melayang-layang tanpa kepala.

Dan satu hal yang membuatku bingung sekaligus ngeri. Apa hubungan mempelai wanita itu dengan Pak Badhri? Apa benar makhluk itu adalah anaknya?

“Kuterima tantangan kalian! Desa ini akan menjadi tempat perayaan pernikahan kami. Tepat saat purnama besok malam, seluruh iring-iringan kami akan tiba di desa ini. Kita rayakan pernikahanku dengan banjir darah!” Makhluk itu mencoba mengancam kami.

Aku melihat beberapa warga desa menelan ludah mendengar ancaman itu. Walau begitu masih ada warga yang berusaha menenangkan Pak Badhri.

“Tenang saja pak, warga desa kandimaya sudah tidak lagi takut dengan setan,” ucap warga itu sambil menepuk punggung Pak Badhri.

Walau berbicara begitu, dengan jelas aku juga merasakan ketakutan mereka.

Sayangnya, Sepasang pengantin itu pergi dengan cepat dan menghilang setelah melemparkan ancamanya. Terlihat pengecut memang, tapi aku tahu bahwa ancamanya bukanlah ancaman kosong.

“Iki ono opo to, Nan?” (Ini ada apa sih, Nan?) Tanya Cahyo yang bingung dengan apa yang terjadi.

“Ra ngerungokno mau? Enek Jagongan!” (Nggak denger tadi? Ada kondangan!) Balasku.

“Ojo guyon to, (jangan bercanda donk) mentang-mentang aku telat,” Rajuk Cahyo

Akupun menarik nafas dan menoleh kearah sekitar. Naya dan beberapa warga sudah lebih dulu menolong orang-orang yang sebelumnya kesurupan tadi.

Beberapa warga mengenal bahwa mereka adalah warga desa yang lokasinya tidak jauh dari desa kandimaya.

“Yah, Aku belum tau jelasnya Jul. Abis ini kita dengerin aja dari yang berhubungan langsung,” ucapku sembari menunjukkan keberadaan Pak Badhri pada Cahyo.

Paklekpun mendekatiku mempertanyakan hal yang sama. Namun aku meminta mereka beristirahat dan meletakkan barang-barang dulu di rumah ibu sebelum menemui Pak Badhri untuk meminta penjelasan darinya.

***

PELET PENCARI TUMBAL

Kecantikan seringkali dipandang seseorang sebagai anugerah. Wanita manapun yang dianugerahi paras rupawan akan sangat mudah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Namun kita tidak sadar bahwa Tuhan itu maha adil.

Kelebihan yang dimiliki seseorang akan selalu berbanding dengan tanggung jawab dan resiko yang ia hadapi. Banyak yang tidak menyangka, dibalik anugerah akan wajah yang rupawan ada mata-mata yang memandang dengan niat yang buruk.

Dia Nasti, anak salah seorang juragan pemilik perkebunan di Desa Sumurparang. Seorang kembang desa yang menarik perhatian setiap pria yang memandangnya.

Walau anak seorang juragan, Nasti bukanlah perempuan yang angkuh.

Sebaliknya, ia masih sering berbicara dengan warga desa dan bersosialisasi dengan setiap kalangan. Hal itulah yang membuat Nasti disenangi oleh warga di desanya.
Namun ada suatu hal yang membuat Nasti cemas. Ia sudah berkali-kali menolak lamaran pria-pria yang mendekatinya.

Bukan karena tidak suka, namun karena Nasti masih ingin tinggal dan merawat kedua orang tuanya lebih lama.

Kadang rasa sayang Nasti terhadap kedua orang tuanya membuat tetangga-tetangganya iri. Namun keberadaan Nasti juga menjadi contoh untuk anak-anak di desa itu.

“Sudah cantik, sayang sama orang tua.. Pak Badhri dan istrinya pasti bangga,”

Kata-kata itu sering terucap di kalangan warga desa Sumurparang yang sebenarnya hampir sebagian besar masih memiliki hubungan saudara.

Tapi suatu ketika sifat Nasti berubah…

Ia tidak lagi perhatian dengan kedua orang tuanya dan lebih sering pergi keluar untuk menemui seorang laki-laki. Nasti memanggilnya Mas Sasmo, namun pengikut-pengikutnya memanggilnya Ndoro Sasmo.

Ia dan pengikutnya datang dan menetap di desa Sumurparang begitu saja dan seringkali membuat keributan. Walaupun banyak yang mengetahui namanya, namun jarang ada warga desa yang bertemu langsung dengan sosok Ndoro Sasmo ini.

Pak Badhri yang merasa khawatirpun melarang Sasti untuk berhubungan dengan orang itu. Anehnya, Sasti malah menolak dan mengamuk sejadi-jadinya. Ia benar-benar tergila-gila dengan sosok bernama Ndoro Sasmo itu.

Sekali saat Pak Badhri mengikuti Sasti saat hendak menghampiri Ndoro Sasmo. Ia mendapati bahwa Sasti menemuinya di sebuah bangunan kecil di hutan yang belum lama dibangun.

Pak Badhri tahu, ada seseorang di bangunan itu. Iapun terus mengikuti Sasti hingga Sasti masuk ke dalam rumah.
Seorang anak perawan masuk kedalam rumah bersama seorang lelaki merupakan sebuah Tabu di desa itu.

Pak Badhri mendekat dan bermaksud membawa Sasti pulang, namun saat semakin dekat Ia justru mendengar suara dari dalam bangunan itu.
“Mas Sasmo jangan tinggalin Sasti, Sasti janji akan ngelakuin apa aja..” terdengar suara Sasti dengan nada yang manja.

Pak Badhri mendengar suara itu sama sekali tidak menyangka bahwa kata-kata itu akan keluar dari mulut anaknya. Iapun mendobrak masuk untuk membawa anaknya pergi.
“Sasti! Pulang! Kamu nggak bapak ijinkan berhubungan dengan pria itu!” Perintah Pak Badhri.

Sasti kaget melihat kedatangan ayahnya, tapi ia masih tidak bisa melepas pelukanya pada kekasihnya itu.
“Nggak Pak! Sasti mau sama Mas Sasmo!” Bantah Sasti.
Jelas saja Pak Badhri kaget melihat anaknya yang membantah secara aneh itu.

Terlebih Pak Badhri melihat keanehan pada sosok Ndoro Sasmo yang ternyata terlihat seumuran dengan dirinya. Pak Badhri juga merasakan bahwa Ndoro Sasmo memiliki aura mengerikan tidak seperti manusia pada umumnya.

“Pergi, Sasti akan menikah denganku!” Usir Ndoro Sasmo.

Jelas saja Pak Badhri tidak terima, iapun mencoba menarik Sasti untuk kembali namun Sasti terus menolak.
“Sasti sudah menjadi milikku, apa saja yang aku minta pasti akan ia lakukan,” ucap Ndoro Sasmo.

“Tidak! Sasti tidak seperti itu! Ayo Sasti, kita pulang! Ibu sudah menunggu,” perintah Pak Badhri.
Namun Sasti hanya terdiam dan malah menoleh menatap Ndoro Sasmo.
“Buka pakaianmu, dan tunjukkan kalau kau memang milikku!” Perintah Ndoro Sasmo.

Pak Badhri kaget dengan ucapan Ndoro Sasmo. Ia yakin bahwa anaknya tidak akan melakukan perintah gila dari pria itu. Sayangnya pemikiran Pak Badhri salah.

Walau dengan ragu, Sasti membuka sehelai demi sehelai pakaianya hingga tak tersisa sehelai benangpun di tubuhnya.

Iapun segera menghampiri ndoro sasmo dan meminta kecupan di bibirnya sebagai penghargaan dengan apa yang telah ia lakukan.
“Sasti! Kamu sudah Gila?” Teriak Pak Badhri.

Pak Badhri yang sudah tidak tahan dengan kejadian itu memaksa Sasti sekuat tenaga untuk meninggalkan Ndoro Sasmo.

“Percuma, dia akan tetap kembali ke sini,” ucap Ndoro sasmo yang meninggalkan ayah dan anak itu yang masih berseteru dan menyaksikanya dari kursi ternyamanya.

“Apa? Apa maumu? Apa yang sudah kau lakukan pada anakku!” Kali ini emosi Pak Badhri membuatnya tak mampu membendung amarah dan air matanya.

“Mauku? Tenang saja.. aku tidak mau anakmu. Ia hanya kunci agar aku bisa mendapatkan tumbal nyawa seluruh warga desa ini,” ucapnya.

“Kau Gila!”
Tepat setelah ucapan itu, samar-samar Pak Badhri melihat sosok pocong di sudut-sudut rumah itu. Kali ini tidak ada perkataan lagi, ia segera mengambil sasti dan menyeretnya keluar dari bangunan itu.

Sasti terus memberontak bahkan hingga sampai di rumah, ia masih memberontak. Beberapa sesepuh desa dipanggil untuk menenangkan Sasti. Sayangnya semua sia-sia. Yang mereka ketahui, saat ini Sasti sedang dalam pengaruh pelet.

Beberapa orang berjaga bergantian di depan kamar Sasti. Mereka berusaha semaksimal mungkin agar Sasti tidak keluar dari kamarnya untuk menemui ndoro sasmo.
Tapi saat malam telah terlewati separuhnya, tiba-tiba seluruh listrik di rumah itu mati dengan sendirinya.

Hujanpun mulai turun perlahan.
Bermodalkan senter dan lampu minyak, mereka masih tetap menjaga Sasti yang saat ini dalam keadaan linglung.

Crek.. crek…

Terdengar suara becekan yang terinjak oleh sesuatu. Suara itu menggambarkan ada sesuatu yang mendekat ke rumah Pak Badhri.

Mereka ingin tidak menghiraukan suara itu, tapi entah mengapa mereka merasakan sesuatu yang membuat bulu kuduk mereka merinding.

“Pak.. i...itu,” Wajah istri Pak Badhri pucat seketika saat menatap ke arah jendela.

Ada sosok jasad manusia yang terbungkus dengan kain kafan lusuh. Bau busuk memenuhi rumah menandakan ada sosok lain yang mengelilingi rumah mereka.

“Pocong.. itu pocong pak!” Teriak Istri Pak Badhri.

Tak mau kalah dengan rasa takutnya, Pak Badhri dan beberapa kerabat yang ada di rumah itu terus menerus membaca doa untuk melindungi mereka dari sosok-sosok itu.

“Ndoro Sasmo, meminta kepalamu untuk mengorbankan warga desa ini sebagai tumbal Kanjeng Nyai Rasmono..” terdengar suara serak yang mengarah ke kamar Sasti.

Sontak Pak Turdi membuka kamar Sasti dan mendapati Sasti tengah berdiri di depan daun jendela seolah berkomunikasi dengan sosok dibalik jendela itu.

“Sasti! Jangan!!” Teriak Pak Badhri.

Tidak seperti tadi saat Sasti memberontak, kali ini Sasti meninggalkan ayahnya dan kembali ke tempat tidurnya. Pak Badhri hampir merasa lega, tapi jauh dari dalam hatinya ia merasakan ada hal yang sangat tidak beres.

Saat hujan reda, sosok pocong-pocong itu menghilang.

Bersamaan dengan itu Pak Badhri merasakan rasa cemas yang tidak terbendung.

“Pak!! Sasti! Sasti Hilang!!” Ibu Sasti berteriak panik saat tak menemukan Sasti di kamarnya.

Pak Badhri segera memeriksa kamar Sasti dan mendapati terdapat lubang yang dibuat dengan paksa di langit-langit kamarnya.

Mereka mencari ke sekitar rumah dan tidak mendapati keberadaan Sasti. Hanya satu tempat yang terlintas di kepala Pak Badhri.

Sebuah rumah di tengah hutan yang merupakan kediaman Ndoro Sasmo.

Firasatnya sebagai ayah merasakan hal yang buruk. Iapun secepat mungkin mengambil sepedanya dan mengayuh dengan cepat menuju rumah itu.

Dan benar saja, keempat sudut halaman rumah itu dijaga oleh empat orang yang memegang obor, namun tak satupun dari mereka yang bergerak.

Pintu rumah terbuka, seorang perempuan yang dengan mudah dipastikan bahwa itu adalah sasti berdiri tepat di hadapan Ndoro Sasmo.

Sasti mengenakan pakaian pernikahan adat jawa yang sudah lusuh. Ada bekas darah di pakaian itu. Sepertinya pakaian itu juga sudah digunakan berkali-kali.

“Sasti! Kembali! Sadar Sasti!” Teriak Pak Badhri mendekat dan hendak merebut sasti.

Tapi tepat saat ia memasuki rumah, sesuatu terjatuh. Itu adalah sebuah bungkusan putih lusuh dengan bau yang sangat busuk. Benda itu bergerak menggeliat berusaha berdiri dengan perlahan.

Bau busuk dengan wajah mayat yang sudah hancur terbungkus dalam kain kafan yang kini berhadapan dengan Pak Badhri.

“Po...pocong!” Kaki Pak Badhri lemas, namun ia tetap berusaha keras menahan rasa takutnya untuk menolong Sasti.

Tapi pocong-pocong itu semakin banyak berjatuhan di sekitarnya.

“Tak ada gunanya.. Aku butuh kepala kalian untuk memberi makan mereka dan sebagai persembahan pada Kanjeng Nyai,” ucap Ndoro Sasmo.

Kini Pak Badhri sadar bahwa yang ia hadapi bukan sekedar manusia jahat. Melainkan sosok yang telah menjadi setan demi memuaskan semua nafsunya.

Pak Badhri merasa tidak ada lagi yang bisa menolongnya selain Tuhan Yang Maha Pencipta.

Iapun dengan segenap hatinya membacakan doa-doa yang sering ia lafalkan setiap malam.

Bukan doa yang menuntut banyak hal. Doa tulus yang sebagian besar hanyalah berisi permohonan kepada Tuhan agar anak perempuan yang ia sayangi bisa hidup bahagia hingga dewasa.

Pocong-pocong yang mengerubunginya tak lagi bergerak. Sayangnya tubuh sasti sudah bukan miliknya lagi. Air mata menetes di pipinya. Hatinya melawan, namun tubuhnya tak mampu.

Trang!

Sebilah pisau dilemparkan ke arah Sasti.

“Apa kau bersedia memberikan kepalamu kepada pria yang kau cintai ini?”

Ini terlalu gila.
Sasti tanpa ragu mengambil pisau itu di tanah dan mengarahkanya ke lehernya.

“Hentikan! Hentikan Sasti!”
Sekuat tenaga Pak Badhri mencoba menggapainya.

Namun pocong-pocong itu semakin betambah memenuhi ruangan itu.

Sasti hanya menoleh sekali ke arah Pak Badhri sembali menitikkan air mata. Setelahnya, ia menyembelih lehernya sendiri hingga darah mengalir deras di pakaian pernikahan yang ia gunakan.

Noda darah itu semakin bertambah seiring dengan terjatuhnya tubuh Sasti.

Pemandangan tersakit terpampang di hadapan Pak Badhri. Di akhir hayatnya, Sasti berusaha menatap ayahnya dengan terus meneteskan air mata.

Matanya tak mampu menutup seolah berharap maaf dari ayahnya.

“Sasti!!!”

Pak Badhri tak mampu lagi menahan sedihnya. Tubuhnya lemas. Ia tida bisa menerima kenyataan yang ada di hadapanya.

Iapun terjatuh kehilangan kesadaranya tak mampu menahan semua derita yang ia terima saat itu.
“Pak.. Bapak,”
Mata Pak Badhri terbuka dan melihat Sasti tengah berdiri dengan anggun tak jauh dari hadapanya.

“Sasti?” Teriak Pak Badhri yang berusaha menggapai tubuh Sasti. Sayangnya setiap ia mencoba menyentuh, Sasti berubah menjadi kabut dan menghilang.

Wajah Pak Badhri semakin bingung dan Panik.
Sasti memandang ayahnya sembari menahan air mata yang bisa menetes kapan saja.

“Maafin Sasti Pak, Bapak harus mengikhlaskan Sasti..” ucapnya.

Jelas saja Pak Badhri tidak mampu menerima kenyataan itu. Ia masih terus mencoba menggapai sasti namun tetap saja sasti menghilang dan muncul di sisi lain.

“Bapak nggak bisa menyelamatkan Sasti, tapi bapak masih bisa menyelamatkan ibu dan warga desa saudar-saudara kita..” ucap Sasti.

Setelah mendengar ucapan itu, tiba-tiba Pak Badhri tersadar.

Ia mendengar suara kerumunan di luar rumah dan mendapati Ndoro Sasmo tengah mengumpulkan pengikutnya.

Ada sebuah kereta kencana disana bersama timbunan jasad yang sudah terbungkus kain kafan.
Jasad Sasti masih tergeletak di hadapa Pak Badhri.

Ia tahu bahwa Ndoro Sasmo membutuhkan jasad Sasti sebagai perantara penyambung darah orang-orang yang akan ia tumbalkan.

Pak Badhripun mengambil pisau yang masih berada di genggaman sasti. Ia menatap jasad anaknya yang telah meninggal dengan naas.

Sebuah doa ia panjatkan sembari menutup mata jasad anaknya itu.

Berat… sangat berat.

Seharusnya tidak ada seorangpun ayah yang sanggup melakukan hal ini. Tapi ini demi nyawa orang-orang yang mereka sayangi.

Air mata Pak Badhri menetes membasahi tubuh sasti. Dengan rasa yang amat bersalah, ia memotong leher anaknya dan segera membungkus kepala sasti dengan kain yang ia temukan di sekitar tempat itu.

Dengan berhati-hati, iapun pergi meninggalkan bangunan itu dari sisi jendela dan menghindari pandangan penjaga yang ada di sekitar tempat itu.

Sekuat tenaga Pak Badhri berlari dan terus berlari. Ia harus mencari tempat yang aman untuk menjaga kepala anaknya demi melindungi warga desanya.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya
close