Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MANTEN MAYIT (Part 2 END) - Pesta Penumbalan


(Sudut pandang Danan…)

Tanpa sadar air mata menetes di pipi Naya. Akupun tak hentinya gemetar membayangkan bagaimana seorang ayah harus memotong kepala anak satu-satunya yang ia miliki.

“Terima kasih.. Terima kasih kalian tidak menyerahkan kepala Sasti kepada setan itu,” ucap Pak Badhri.

Pak Kades dan warga menarik nafas lega. Sepertinya mereka merasa lega karena mereka mengambil keputusan yang tepat untuk melindungi Pak Badhri.

“Sudah tenang saja, Pak Badhri Aman di sini. Setelah masalah ini selesai biar kami bantu memakamkan jasad Sasti dengan layak..” ucap Pak Kades.

“Tapi, bukankah karena saya desa ini jadi diincar oleh Ndoro Sasmo dan pengikutnya?” ucap Pak Badhri ragu.

Merasakan keraguan Pak Badhri, Cahyopun menggeser segelas kopi panas untuk menenangkan Pak Badhri.

“Tenang Pak, nggak usah takut. Membunuh keluarga dan orang-orang yang berbubungan darah sama Pak Badhri saja dia harus pakai tumbal dan bantuan dari sesembahanya.

Artinya, Mereka belum tentu sehebat ancamanya. Apalagi ini desa Kandimaya,” ucap Cahyo.
Aku mengangguk membenarkan ucapan Cahyo.

Memang masuk akal, kalau dia bisa menghabisi warga desa, dia tidak butuh kepala Sasti lagi sebagai tumbal menghabisi warga desa Pak Badhri juga.

Wajah Pak Badhri mulai terlihat tenang, namun entah mengapa aku masih melihat rasa penasaran di wajah Pak Badhri.

“Jadi ternyata benar ya?” Tanya Pak Badhri.
“Benar apa Pak?”
“Benar kalau desa kandimaya adalah desa keramat?”

Mendengar perkataan itu kami dan beberapa warga desa sedikit tertawa. Entah darimana isu itu beredar, pada kenyataanya desa ini hanyalah desa biasa seperti desa-desa lainya. Hanya saja, mungkin desa ini merupakan tempat favorit untuk makhluk yang tak kasat mata.
...

Kabar akan adanya ancaman dari Ndoro Sasmo menyebar ke seluruh warga. Dalam waktu singkat keresahan warga semakin terlihat dan mempertanyakan apa yang harus mereka lakukan. Perintah Pak Kades agar warga berjaga dan waspada tidak membuat mereka mejadi tenang begitu saja.

Sampai di tengah kebingungan itu, seseorang yang cukup sepuh muncul dan berbicara dengan santainya.

“Wis, daripada bingung, Wayangan wae yok!” (Sudah, daripada bingung, kita buat pementasan wayang saja yuk!)

Ucapan itu terlontar dari mulut seorang dalang sepuh yang sudah lama sekali tidak memainkan keahlianya di tempat umum. Seorang dalang yang konon permainanya dikagumi oleh seluruh warga mulai dari yang kasat mata hingga yang tak kasat mata.

Ki Daru Baya…

“Yang Bener Ki?” Tanyaku.

“Owalah, Danan. Yo bener to, masak ngapusi?” (Ya bener donk, masak bohong?) Jawabnya.

Aku tahu, maksud Ki Daru baya adalah mengalihkan keresahan warga desa melalui pertunjukkan wayangnya.

Apalagi desa Kandimaya masih percaya bahwa pagelaran wayang dan dakwah yang disampaikan mampu menjauhkan desa dari mala petaka. Sontak saja berita ini menjadi ramai dan menyebar begitu cepat.

Dalam waktu singkat berita akan adanya pertunjukkan dadakan dari Ki Daru Baya menutupi berita mengenai serangan malam ini.
“Hebat.. Ki Daru Baya memang hebat,” gumamku.
Paklek hanya menggeleng melihat tingkah spontan dari dalang yang sudah sangat berumur itu.

“Berarti… Saat Ki Daru Baya sudah bisa mengumpulkan warga desa, saat itulah tugas kita dimulai,” ucap Paklek.
Aku dan Cahyo saling bertatapan mengkonfirmasi perintah Paklek. Nayapun menggenggam tanganku mendoakan agar kami bisa menghadapi semua ini.
...

Lama sekali aku tidak melihat pemandangan seperti ini. Warga desa berbondong-bondong mendirikan sebuah panggung sederhana dan mempersiapkan keperluan yang dibutuhkan Ki Daru Baya.

Tanpa ada perintah, ibu-ibu desa berinisiatif mempersiapkan kudapan untuk menemani warga menikmati pertunjukkan Ki Daru Baya.

…Ana kidung rumekso ing wengi Teguh hayu luputa ing lara luputa bilahi kabeh…

Itu suara Naya,

Suaranya begitu indah bersanding dengan merahnya langit senja yang berpamitan menutup hari.
jin setan datan purun
paneluhan tan ana wani
niwah panggawe ala…

Itulah hebatnya Naya…
Ia bisa merubah kekhawatiranya menjadi sebuah doa.

Kidung yang ia tembangkan, adalah kidung yang selalu bisa menenangkanku dari perasaan khawatir akan datangnya bahaya.
Rumekso ing Wengi..

“Terima kasih ya Naya,” ucapku.
“Terima kasih kenapa mas?” Naya bingung.

“Nggak, nggak papa..” balasku sembari tersenyum dan mencium keningnya untuk berpamitan.
Tanpa kuduga, Naya menggunakan kesempatan itu untuk memelukku. Akupun menghabiskan terbenamnya mentari dalam pelukan Naya.
...

Sementara kami pergi, Naya dan Ibu ikut dalam pagelaran Ki Daru Baya. Aku, Paklek, dan Cahyo akan menemani Pak Badhri di rumah Pak Kades dan menyaksikan pertunjukkan itu dari kejauhan.

“Mas apa benar ini tidak apa-apa?” Tanya Pak Badhri.

“Maksudnya gimana mas?” balasku.

“Desa ini mau diserang oleh rombongan setan, tapi kalian malah dengan santainya bikin pementasan wayang,” ucap Pak Badhri.

Cahyo sedikit tertawa mendengar pertanyaan Pak Badhri.
“Sudah, Pak Badhri tenang saja. Nanti juga tahu sendiri,” balas Cahyo.

Sementara itu Paklek memberikan segelas air putih yang telah dibacakan doa oleh Paklek. menurutnya, air itu sudah didoakan dan semoga bisa menghilangkan kecemasan dan ketakutan yang dirasakan Pak Badhri yang ia dapat dari Ndoro Sasmo.

“Pak Badhri jaga dan terus doakan Sasti ya. Saya pastikan, tidak ada doa yang sia-sia,” ucap Paklek.
Pak Badhri mengangguk dan terus memeluk bungkusan kain yang selalu ia bawa. Bungkusan itu semakin tebal dengan maksud agar bau dari jasad anaknya tidak terlalu menyebar.

Suasana rumah ini semakin hening. Hanya terdengar sayup-sayup suara persiapan dari lapangan desa. Setiap dari kami terus menggumamkan bacaan doa untuk mempersiapkan diri kami dan memohon perlinggungan dari Yang Maha Pencipta.

Duggg!

Sebuah benda jatuh di atap rumah pak kades. Suaranya begitu keras dan tidak wajar.

“Mereka datang..” Peringat Paklek.

Duggg!

Perlahan benda itu menggelinding dan jatuh. Terlihat dari kaca jendela benda yang terbungkus kain putih terjatuh ke tanah. Benda itu menggeliat dan berdiri menunjukkan wajah rusaknya melalui jendela.

“Pocong itu lagi…” gerutu Cahyo.

Sayangnya makhluk itu tidak datang sendirian. Tidak perlu membuka mata batin untuk merasakan kengerian ini. Siapapun pasti akan segera sadar bahwa rumah ini sudah dikepung. Paklekpun membuka pintu rumah.

Ia mendapati di halaman rumah pak kades sudah berdiri belasan pocong yang hanya menatap ke satu arah. Mereka semua menatap ke arah bungkusan kain yang dibawa oleh Pak Badhri dengan tatapan penuh amarah.

Paklek mengangkat kedua tanganya sedikit dibawah hadapan wajahnya dan membaca sebuah surat bacaan yang cukup panjang. Aku tahu bahwa ia bermaksud menenangkan sosok-sosok pocong yang menggentayangi rumah ini. Sayangnya semua doa-doa itu tidak berpengaruh pada mereka.

“Percuma Paklek, mereka bukan jasad biasa ataupun tumbal. Pocong-pocong itu adalah jasad orang-orang bodoh yang menjual jiwanya pada makhluk itu,” ucap Cahyo.
Paklek hanya menghela nafas dan menggeleng. Ia cukup kecewa saat tidak mampu menyelamatkan sosok-sosok itu.

“Ya Sudah, sebaiknya kita ikut menonton wayang saja. Sebentar lagi dimulai,” ucap Paklek.

“Ta—tapi, diluar.. pocong-pocong itu masih ada diluar,” Pak Badhri ketakutan dengan sosok yang mengelilingi rumah itu.

Tapi tepat saat Paklek berbalik kedalam rumah, terdengar suara teriakan lirih dari luar.
“Panas… sakit… tolongg…”

Pak Badhri menyadari ada cahaya menyala dari halaman rumah Pak Badhri. Ia mengintip keluar dan mendapati semua pocong-pocong itu tengah terbakar oleh api.

“Ka—kalian ini, sebenarnya siapa?” Tanya Pak Badhri yang akhirnya menyadari kemampuan yang kami miliki.

“Kami hanya manusia biasa, sama seperti Pak Badhri. Hanya saja kami dititipkan kelebihan yang mungkin bisa berguna untuk menolong Pak Badhri,” Balasku.

Mendengar jawabanku wajah Pak Badhri yang tegang sedari kemarin mulai berubah. Wajahnya mulai tenang seolah menemukan apa yang ia cari. Iapun menarik nafasnya dalam-dalam dan membuangnya dengan lega.

“Ternyata benar, saya yakin.. saya yakin Tuhan tidak akan meninggalkan saya. Walau takdir memutuskan Sasti untuk meninggalkan kami, ia pasti memiliki rencana yang lebih besar untuk kami..” balas Pak Badhri menahan harunya.

Cahyo menepuk pundak Pak Badhri untuk menguatkanya. Setelahnya kamipun pergi meninggalkan rumah Pak Kades dengan pocong-pocong yang telah terbakar habis oleh ajian yang digunakan Paklek.
Suara gamelan dan tembang jawa sudah terdengar.

Aku yakin suara merdu yang terdengar dari panggung adalah suara ibu. Naya menyambut kami saat sampai di lapangan.

“Naya, titip Pak Badhri ya…” ucapku.

“Iya mas, hati-hati. Jangan memaksakan diri,” balas Naya.

Aku mengangguk sembari menitipkan Pak Badhri pada Naya.

“Iyi mis, hiti-hiti…” Nyinyir Cahyo dengan memiringkan bibirnya.

“Cuma Danan doank nih yang disuruh hati-hati? Biar aku sama Paklek yang mempertaruhkan jiwa dan raga?” Akupun melirik ke arah Cahyo merespon ucapanya.

“Bibirmu itu lho, udah mirip kayak ceret mendidih,” balasku.

Belum puas aku membalas ledekan Cahyo, tiba-tiba terdengar suara dari arah luar desa.

Duooong…

Suara Gong gamelan memecah perbincangan kami. Nayapun segera berpamitan membawa Pak Badhri bergabung dalam rombongan penonton.

Semua warga sudah mengetahui tentang Pak Badhri dan bungkusan yang ia bawa. Merekapun memberikan tempat untuknya sekaligus membari posisi yang strategis bila terjadi sesuatu. Klontang…

Klontang… Cring.. cring..

Suara lonceng kereta kencana terdengar mendekat bersama suara gamelan yang mengiringi iring-iringan itu. Kami bertiga menyambut mereka dan mendapati seorang pria gemulai tengah menari membuka jalan untuk rombongan itu.

Kali ini kereta kencana itu tidak kosong. Ada sepasang pengantin di atas kereta itu. Mereka adalah sosok yang dipanggil dengan nama Ndoro Sasmo, dan sosok pengantin perempuan tanpa kepala yang kini kami tahu bahwa itu adalah Sasti.

Aku sama sekali tidak berharap ada warga desa yang melihat pemandangan ini. Bagaimana tidak, siapa yang tidak bergidik ngeri melihat rombongan pengantin dengan mempelai tanpa kepala yang di antar oleh iring-iringan pocong dan pemain karawitan dengan wajah yang berlumuran darah.

Sakehing lara pan samya bali
Sakeh ngama pan sami mirunda
Welas asih pandulune
Sakehing braja luput
Kadi kapuk tibaning wesi
Sakehing wisa tawa
Sato galak tutut
Kayu aeng lemah sangar

Dari panggung desa terdengar suara ibu menembangkan lantunan nada Rumekso Ing Wengi seperti yang dinyanyikan oleh Naya tadi.

“Kanjeng Nyai Rasmono sesembahanmu sudah lenyap! Sudahi saja niatmu!” Aku mencoba membuka pembicaraan.

Pintu kereta kencana itu terbuka dan Ndoro Sasmo keluar sembari menggandeng tubuh Sasti yang tanpa kepala.

“Itu hal baik, artinya aku bisa mewariskan ilmu pelet yang lebih tinggi. Aku bisa mewarisi ilmu yang dimiliki Kanjeng Nyai Rasmono dengan semua pengorbanan ini,” ucapnya.

Melihat mereka tidak ada niat untuk mundur, maka tidak ada jalan lain. Kali ini kami harus bertarung melawan semua iring-iringan makhluk ini.

“Hihi, menghalangi jalan yang kubuka hukumanya adalah mati..”

Sang setan berwujud pria gemulai yang tengah menari itu tiba-tiba sudah ada di belakangku. Belum sempat aku menoleh tiba-tiba sepasang tangan pucat sudah mencekik leherku dari belakang. Cengkeramanya begitu kuat seolah ada sesuatu yang membuatku tak mampu melepaskanya.

“Duaggg!”

Cahyo dengan cepat menendang setan itu hingga menjauh dari tubuhku.
“Setan banci ini biar urusanku,” ucap Cahyo.
Sementara itu Paklek sudah membacakan sebuah mantra untuk membakar pocong-pocong yang entah mengapa terasa semakin banyak.

Sayangnya, tidak seperti sebelumnya. Ajian Paklek hanya bisa membakar sebagian dari mereka. Aku tidak mau membuang waktu, dan segera menarik keris dari dalam sukmaku dan bersiap menyerang Ndoro Sasmo.

Trang!!

Ndoro Sasmo mengadu seranganku dengan keris miliknya. Sepertinya ia juga memiliki pusaka keris walau wujudnya sudah seperti berkarat.
Beberapa kali keris kami beradu. Namun aku cukup kesulitan ketika ia seringkali bertukar posisi dengan tubuh Sasti.

Seranganku acapkali tertahan dengan gerakan serangan mereka.
Sementara itu Cahyo dengan mudah mengimbangi setan penari itu dan membuatnya terpojok.

Entah sudah berapa kali darah bermuncratan dari tubuh penari itu, walau aku tahu penari itu tidak akan bisa diselesaikan secepat itu.
Makhluk itu terlihat begitu marah hingga akhirnya mengeluarkan perintah.

“Tak perlu menungguku! Kalian semua habisi semua manusia di desa itu!” Teriaknya.
Mendengar perintah itu seluruh pocong yang mengiringi Ndoro Sasmo segera melayang dan menyerbu Desa Kandimaya.

“Sial! Aku lengah!,” gerutu Cahyo.

Paklek berusaha menahan mereka dengan geni baraloka yang telah menyala. Sayangnya tidak semua dari pocong itu dapat tertahan.
Aku dan Cahyo segera meninggalkan gerbang desa dan mengejar pocong-pocong yang bergerak mendekat ke desa kandimaya.

Tanpa sengaja Pak Badhri menoleh ke arah kami dan menemukan ratusan pocong menyerbu pementasan wayang itu. Iapun gemetar dan wajahnya menjadi pucat.
“Pasukan pocong, itu pasukan pocong!” ucapnya memberitahu warga di sekitarnya.

Bukanya panik, Warga di sekitarnya justru memintanya untuk duduk.
“Nggak usah panik pak, bukan cuma pocong. Sejak tadi juga sudah banyak lelembut yang nonton pertunjukkan Ki Daru Baya,” ucap salah satu warga desa.

Pak Badhri menatap ke seluruh penjuru desa. Dan benar saja, samar-samar ia melihat sosok sosok yang tidak wajar hampir di seluruh penjuru desa. Ular sebesar rumah melilit di salah satu pohon, Raksasa yang mengintip dari atap rumah, sosok peri berwajah rusak yang beterbangan di atas mereka, hingga prajurit-prajurit berpakaian kerajaan yang samar-samar berada di tengah-tengah mereka.

Belum sempat pocong itu mendekati warga desa, sesosok makhluk hitam besar berhiaskan pusaka ditubuhnya tiba-tiba muncul dan melahap pocong-pocong itu satu persatu.

Ular-ular yang sedaritadi melilit di pohon juga akhirnya meninggalkan tempatnya dan melumat pocong-pocong yang mendekat.

“Siapa yang berani mengganggu pertunjukkan Ki Daru Baya dan Nyai Kirana?”
Suara itu tiba-tiba terdengar diantara kami. Warga desapun ikut mendengar suara itu dan mencarinya ke seluruh penjuru desa. tapi sepertinya mereka sudah tidak kaget dengan kejadian ini.

“Bu? Itu suara apa?” Seorang anak kecil mulai merasa takut saat mendengar suara itu.

“Oh, nggak usah takut. Dia juga penonton Ki Daru Baya, sama seperti kita,” balas ibunya sembari merangkul anaknya.

Anak itupun mencoba mengerti ucapan ibunya walau aku tahu dalam hatinya anak itu masih penasaran.

“Nan, itu!” Cahyo menunjuk ke salah satu sisi atap rumah. Ada sosok menawan yang sedang menonton dari atap rumah itu sembari duduk dengan anggun.

“Nyi Sendang Rangu?” Tanyaku bingung. Ia menoleh ke arah kami sejenak dan segera memalingkan kembali pandanganya ke arah panggung.

“Aku disini untuk menonton, bukan untuk direpotkan oleh kalian..” Bisiknya dengan suara yang hanya dapat didengarkan oleh kami.

“Dasar Nyi Sendang pelit..” Gerutu Cahyo.
Belum sempat kami kembali mengejar pasukan pocong itu, tiba-tiba sejumlah air jatuh di tubuh kami begitu saja. Sontak seluruh tubuh dan baju kami basah dan kami tahu dengan jelas ini ulah siapa.

Aku menoleh ke arah Nyi Sendang Rangu yang masih duduk dengan menawan namun membuang muka dari kami.

“Kamu sih jul, ngomong nggak dipikir,” ucapku menyalahkan ucapan Cahyo yang membuat Nyi Sendang Rangu tersinggung barusan.

Tapi saat kami hendak kembali mengejar pasukan pocong itu, tiba-tiba kami terhenti. Pocong-pocong telah terbakar api hitam yang berasal dari sosok makhluk berwujud manusia berkulit hitam dengan tubuh yang berhiaskan perhiasaan kerajaan.

Ia melayang-layang diatas kami memberi pelajaran kepada semua makhluk yang mencoba mengganggu jalanya pertunjukkan.

“Tidak! Kami bukan lawanmu! Mengapa kau menghabisi pengikut kami?” Ucap sang setan penari gemulai itu.

Bukanya menjawab, penari itu tiba-tiba melayang dengan tubuh yang kesakitan.

“Ja—jangan! Ampuun!” ucap penari itu.

“Jangan kira kau pantas berbicara denganku,” ucap sosok hitam itu.

Dalam hitungan detik, mata penari itu melotot hingga bola matanya keluar. Tubuhnya pecah dan memuncratkan darah ke jalan desa.

“Gila, makhluk apa itu?” Tanyaku.

“Nggak Nan, jangan suruh aku buat ngomong sama dia,” balas Cahyo yang juga bergidik ngeri melihat kejadian itu. 

Akupun melihat sekitar dan mendapati seluruh warga desa masih menyaksikan pertunjukkan wayang dengan tenang.

“Romo, Hanomanne metu..” (Tuan, Hanomanya muncul)

Sesosok makhluk berwujud wanita cantik berkebaya putih dan berselendang hijau melayang menjemput makhluk hitam itu.
Mendengar suara sosok wanita itu, raut majah sosok hitam itu berubah sumringah dan kembali terfokus pada atraksi Ki Daru Baya.

Akupun juga ikut terpaku sejenak pada adegan yang dimainkan oleh Ki Daru Baya.

“Cahyo, itu adegan Hanoman yang melakukan Triwikrama,” ucapku yang teringat tentang kejadian saat Cahyo menggunakan ajian itu pada Wanasura.

“Memang semengerikan itu, tidak dilebih-lebihkan,” balas Cahyo yang tubuhnya gemetar mengingat tragedi itu.
Sebuah atraksi yang luar biasa dari Ki Daru Baya. Ia bisa menceritakan dengan sangat luar biasa saat Hanoman mengamuk di kerajaan Alengka.

“Kalau kalian tidak cepat-cepat menyelesaikan setan itu, kalian akan ketinggalan pertunjukan Ki Daru Baya,” ucap Nyi Sendang Rangu yang seolah memerintahkan kami.
“Iya, Nyi Sendang Bawel..” balasku yang kali ini sedikit sengit dengan kelakuanya.

Sekali lagi guyuran air jatuh ke tubuh kami, namun aku berhasil menghindar dengan cepat.
“Wee, nggak kena!” Teriakku yang segera berlari meninggalkan tempat itu.

Tapi tidak dengan Cahyo, ia kembali basah kuyup dan meratapi sarungnya yang ia yakin tidak akan kering dalam waktu semalam.
“Asem kowe nan! Nggak ngomong-ngomong!” Teriak Cahyo.
Akupun sedikit tertawa dan segera berlari ke depan.

Kamipun mendapati Paklek masih bergulat beradu keris dengan Ndoro Sasmo, hanya saja kali ini tubuh Sasti tidak berkutik saat Api geni baraloka menyala di sekeliling Paklek.

“Paklek! Murnikan saja tubuh Sasti! Setan itu biar kami yang urus!” ucapku.

Paklekpun menanggapi teriakan kami dan segera mendekati tubuh Sasti.

“Sombong sekali kalian!” ucap Ndoro Sasmo.
Walau membalas perkataanku, aku melihat dengan jelas bahwa Ndoro Sasmo mulai merasa cemas.

Iapun memanggil kuda dari kereta kencananya dan menaikinya. Dengan cepat ia menerjang kearahku.

“Saatnya kalian mati!”

Aku melihat ada yang berbeda dari tubuh Ndoro Samo. Tubuhnya mengeluarkan asap yang berbau busuk, aku yakin asap itu akan menjadi masalah yang cukup rumit.

Benar saja, Saat aku mengadu keris denganya. Perlahan tubuhku mulai kaku. Begitu juga dengan Cahyo, seranganya melemah dan terpental saat mencoba menyerang Ndoro Sasmo dari atas kudanya. 

“Benar-benar bau busuk!” keluh Cahyo.

Ndoro Sasmo tersenyum saat mengetahui ilmunya mampu membuat kami kerepotan. Ia kembali menyerang kami, namun kali ini aku memilih berpencar dengan Cahyo.
Entah mengapa Ndoro Sasmo lebih memilih untuk mengejarku. Aku menghindari seranganya sekuat tenaga.

Beberapa kali aku menghunuskan kerisku pada kuda jadi-jadian yang ia tunggangi, namun luka pada kuda itu segera menutup.
Sebaliknya, tanpa sadar tiba-tiba aku terjatuh dan kulitku menghitam.

“Asap dari dalam tubuhku memikat wanita, dan membunuh pria manapun. Kau sudah salah memilih lawan,” ucap Ndoro Sasmo.

Aku lengah, serangan Ndoro Sasmo berhasil melukaiku. Iapun menggunakan kesempatan itu untuk menyerangku lagi.

“Wanasura!”

Sekali lagi Cahyo menyerang Ndoro Sasmo dengan kekuatan wanasura. Kali Ndoro Sasmo terpental, Namun Cahyo juga bernasib sama denganku. Tubuhnya terluka dengan asap yang muncul dari tubuh Ndoro Sasmo.
Melihat kami berdua mulai kewalahan, Ndoro Sasmo berniat menyerang kami kembali.

Tapi tiba-tiba mendadak ia terhenti. Ia menyadari sesuatu dari arah Paklek berada saat itu.
“Brengsek! Apa yang kau lakukan pada pengantinku?” Teriak Ndoro Sasmo pada Paklek.

Rupanya Paklek berhasil membersihkan ilmu pelet di tubuh Sasti dan membuat jasadnya terbebas dari pengaruh Ndoro Sasmo.

“Dia sudah bukan lagi milikmu, dia bisa beristirahat dengan tenang dan menikmati amal dan perbuatan semasa hidupnya.

Tidak seperti dirimu yang akan terbakar dengan api yang kekal,” ucap Paklek.

“Manusia sialan!!! Kurang ajar!!”

Dalam sekejap Ndoro Sasmo melayang mendekat kearah Paklek untuk menyerangnya dengan cara yang sama saat mengalahkan kami.

Paklekpun sudah bersiap dengan keris sukmageni di tangan.
Jelas saja kami tidak membiarkanya…

Sebelum Ndoro Sasmo mencapai Paklek. Tanpa ia sadari Keris Ragasukmaku sudah menancap di punggungnya, tak lama kepalan tangan Cahyo yang sudah diselimuti kekuatan wanasura sudah mendarat di wajahnya.

“Jangan berani-berani cari masalah dengan Paklek,” ucap kami.
Kami bertiga terjatuh.
Ndoro Sasmo tak berkutik dan asap dari tubuhnya menghilang.

Mulutnya mengeluarkan cairan hitam dengan tubuh yang terus mengejang.
“Sial! Tidak! Aku tidak mau mati!” ucapnya menolak keadaan itu.
Namun terlambat, kerisku sudah menusuk jantungnya. Serangan Cahyo sudah mematahkan lehernya.

Ia hanya bisa mengumpat dan menerima hukuman dari Yang Maha Pencipta setelah kematianya. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan siksaan apa yang akan ia terima setelah kematianya. Ndoro Sasmo pun mati dengan mata yang terbelalak.

Jasadnya berubah menjadi kurus kering seperti kakek-kakek yang sudah hidup ratusan tahun. Api dari keris sukmageni menetes di tubuh kami dan memulihkan keadaan kami. Kamipun bangkit dan menatap tubuh Ndoro Sasmo yang mati dengan mengenaskan.

“Sudah berapa nyawa ia tumbalkan untuk mendapatkan hidup selama ini?” Tanya Cahyo.

“Tak terhitung, seseorang yang sudah bersekutu dengan setan akan takut dengan kematian. Tidak ada tempat lain selain siksaan kekal yang akan mereka dapati di akhirat nanti.

Makanya, Ia akan mencari cara untuk terus hidup apapun bayaranya,” jelas Paklek.

“Padahal, mereka tetap tidak akan bisa menghindari panasnya api neraka selain dengan pertobatan,” ucapku.

Paklekpun membakar tubuh Ndoro Sasmo sementara kami membawa jasad Sasti ke teras rumah pak kades dan mengamankanya.
Setelahnya kami berniat memberi tahu Pak Badhri bahwa jasad Sasti sudah dapat dikuburkan dengan layak bersama dengan kepala yang masih terus dibawa olehnya.

Namun tujuan kami berubah…
Saat sampai di panggung, kami kembali terkesima dengan penampilan Ki Daru Baya. Belum lagi suara tembang yang dilantunkan ibu berhasil menghipnotis seluruh warga yang menonton.

“Ini, bajunya diganti dulu..”

Tiba-tiba Naya datang membawakanku baju kering. Cahyopun segera menoleh kearah kami dengan mata isengnya.

“Tenang, baju mas Cahyo juga Naya bawain.” Ucap Naya sebelum Cahyo sempat berbicara.

“Asem, aku nggak jadi ngeledek kalau begini,” balas Cahyo.

“Makanya lain kali kalian jangan iseng ngeledek Nyi Sendang Rangu. Dia itu penonton setia Ki Daru Baya dan Nyai Kirana,” ucap Naya yang ternyata melihat kejadian memalukan tadi.

Sementara itu di sebelah kami Paklek dengan senang menikmati pisang rebus dan kopi panas yang sudah dibawakan oleh Naya.
“Hati-hati Naya, kamu harus siap mental kalau mau deket sama bocah-bocah bandel ini, biar pendiam begitu Danan juga rakus” ledek Paklek.

Aku menyenggol tubuh Paklek memintanya untuk menjaga harga diriku di depan Naya.

“Jangan gitu Paklek, jangan di depan Naya.” Ucapku.

“Sama satu lagi, Danan juga banyak fansnya di kantor,” tambah Paklek yang masih belum puas meledekku.

Kali ini Naya termakan ucapan Paklek. Matanya berubah curiga dan memiringkan mulutnya.

“Bohong! Nggak banyak! Paklek ngada-ngada” ucapku membela diri.

“Nggak banyak? berarti beneran ada?” Balas Naya.

“Nggak—nggak ada, bukan fans kok. Mana bisa aku punya fans,” aku berusaha agar jawabanku tidak lakui memperuh keadaan.

“Terus yang makan bareng di kantin kantor kemarin siapa?” ledek Cahyo dari jauh yang sukses memperkeruh keadaan.

Aku menoleh padanya sembari mengancamnya dengan kepalan tanganku. Sebaliknya Paklek dan Cahyo malah menertawakanku sembari mengemil kacang rebus di hadapan mereka.

“Asem kalian!”

Pada akhirnya akupun menghabiskan menonton pertunjukkan ki daru baya sembari merayu Naya.

Walau sebenarnya aku juga tahu, Naya tidak benar-benar marah padaku. Ia hanya memanfaatkan situasi itu untuk ikut menggodaku.

***

“Pak Badhri yakin mau menguburkan Sasti di sini?” Tanyaku yang memastikan permintaan Pak Badhri untuk menguburkan jasad anaknya di desa ini.

“Iya mas jika diijinkan. Saya tidak tahu apakah masih ada yang mengincar jasad Sasti lagi. Saya rasa desa ini tempat yang paling aman dan nyaman untuk perisitirahatan terakhir Sasti,” Balas Pak Badhri.

Mendengar jawaban itu, kami dan wargapun menyelesaikan pemakaman Sasti dengan layak.

Pak Badhri mengatakan bahwa ia akan mengajak istrinya untuk mampir ke desa ini untuk mengunjungi makam Sasti sekaligus mengagumi keindahan karya-karya pertunjukkan kecil di desa Kandimaya.

“Aku tidak menyangka ada desa seperti ini,” ucap Pak Badhri kagum.

“Semua desa sama saja, hanya saja desa kami mengerti cara menonjolkan potensi desa,” balas Pak Kades.

Pak Badhri menggeleng.

“Tidak hanya itu, ada hal lain yang membuat desa ini begitu istimewa. Semua itu adalah keberadaan warga desa yang bersedia membantu siapa saja, bahkan orang asing dan mencurigakan seperti saya,” ucap Pak Badhri.

Aku tersenyum mendengarnya. Terlebih aku jadi teringat bagaimana desa kandimaya saat aku masih kecil dulu.

Mungkin bila Pak Badhri mendengar kejadian saat Paklek dan bapak menyelamatkan desa ini dari serangan Buto Lireng hingga Ki Jaruk ia akan lebih terkesima.

Pak Badhripun akhirnya berpamitan, kami menghantarnya sampai jalan utama diluar desa.

“Sebenernya aku penasaran, memangnya Ndoro Sasmo mengincar garis keturunan Pak Badhri kenapa? Apa karena kebetulan desa di sana dihuni oleh orang-orang yang masih berhubungan darah dengan Pak Badhri dan Sasti?” tanya Cahyo.

Aku juga sempat memikirkan hal itu, namun aku berpikir bahwa Ndoro Sasmo bisa menumbalkan siapa saja. hanya saja Pak Badhrilah yang tertimpa sial harus berurusan dengan Ndoro Sasmo.

“Entah mas, mungkin saja memang saya yang bernasib buruk. Atau mungkin bila bukan saya yang terkena musibah ini, orang itu tidak akan menemukan desa kandimaya. Itu artinya Ndoro Sasmo bisa mendapatkan tujuanya,” balas Pak Badhri.

Aku mengangguk setuju. Tuhan selalu punya rencana dibalik musibah yang dihadapi setiap umatnya.

“Kalau boleh tahu, memangnya nama trah keturunan Pak Badhri itu apa?” tanya Cahyo.

“Oh, maaf saya lupa memperkenalkan diri saya dengan benar. Kalau di desa saya, warga mengenal saya dengan nama Raden Mas Badhrika Pakujagar. Tapi tolong panggil saya Pak Badhri saja,” ucap Pak Badhri.

Aku tidak menyangka bahwa pak badhri juga memiliki gelar keraton.

Memang ia bercerita bahwa ia salah seorang juragan di desanya, tapi aku tidak menyangka akan hal itu. Mungkin ia hanya ingin dikenal sebagai pria biasa yang membutuhkan pertolongan.

“Pakujagar?” Cahyo menggumam sembari menoleh ke arahku.

Benar juga, aku pernah mendengar nama itu dari Ki Luwang. Akupun menatap Pak Badhri kembali dan tidak melihat hal buruk darinya seperti kisah mengenai kerajaan pakujagar yang diceritakan oleh ki Luwang.

Entahlah, mungkin pertemuanku dengan Pak Badhri merupakan salah satu rencana Tuhan akan apapun yang akan kami hadapi setelah ini.

Kamipun berpisah dengan beliau. Mungkin suatu saat kami akan mampir ke desanya dan berkenalan dengan istrinya. Seorang ibu hebat yang bisa mendidik anak berbakti seperti Sasti.

***

Bukit Batu Desa Kandimaya, sebuah tempat yang sangat istimewa untukku. Tak bosan-bosanya aku menikmati perbatasan hari menyaksikan langit yang memerah dan berubah hingga menghitam.

Gelap yang muncul perlahan seketika menjadi menawan ketika satu persatu lampu di rumah-rumah desa menyala menyaingi indahnya bintang di langit.

Diantara udara dingin ini, samar-samar aku mencium aroma kopi yang cukup menyengat.

Dari belakangku terlihat Naya menghampiriku dengan membawakan segelas kopi hangat.

“Kok bisa bikin kopi di sini?” Tanyaku bingung.

“Piye to Mas Danan, sekarang sudah ada teknologi yang namanya termos,” Balasnya singkat.

Aku menyeruput kopiku sementara Naya juga asik duduk di sebelahku dengan teh hangat yang juga ia buat untuk dirinya.

“Kamu sering ke sini?” Tanyaku.

“Lumayan, kalau bukan ibu yang ngajak ya gantian aku yang ngajak. Tapi sekarang jadi makin banyak warga desa dan pendatang yang naik kesini,” jelas Naya.

“Mereka ngapain?” tanyaku bingung.

“Ada yang menikmati pemandangan, ada yang pacaran juga,” jawab Naya.

“Kayak kita?”

“Emang kita pacaran?” Naya mencoba menggodaku dengan memasang muka isengnya kepadaku.

“Nek ora gelem yowis,” (Kalo nggak mau ya sudah!) aku mencoba membalas Naya.

“Ya udah, sini kopinya nggak jadi,”

“Eh… jangan-jangan, ampun..”

Seperti biasa, ledekanku selalu berakhir dengan cubitan Naya di sekujur tubuhku dan sulit untuk dihentikan. Tapi tetap saja, setiap bersama Naya aku selalu merasa beruntung.

Walau aku sering berada di keadaan diantara hidup dan mati, aku selalu tahu ada Naya dan orang-orang yang menyayangiku menungguku di desa yang istimewa ini.

Ghi..ghi..ghi…

Terdengar suara tawa berat dari belakang kami berdua. Aku mengenal suara tawa itu..

“Oh iya, dia juga tinggal di sini ya?” ucapku.

“Buto Kendil?”

“Iya..”
Aku mengangguk, Nayapun berdiri dan mengajak ke tempat dimana ia pernah menggali kendi berisi pusaka milik ayah.
Ia bercerita bahwa ia mengetahui tempat itu dari mimpinya.

Tak jauh dari tempat itu samar-samar terlihat sosok Buto Kendil yang masih asik dengan kendi kesayanganya.

Tapi hal aneh terjadi..

Tiba-tiba keris ragasukma muncul dari sukmaku.
Aku segera menangkapnya dan mencari tahu apa maksud semua ini.

“Kenapa mas? Kok Keris Ragasukma tiba-tiba muncul?” Tanya Naya.

“Nggak tahu Nay..” balasku singkat.

Ghi..ghi..ghi…
Namun sekali lagi Buto Kendil tertawa dan wajahnya menoleh menunjukkan sebuah tempat didekatnya dimana cahaya rembulan jatuh dengan terang dari sela-sela pepohonan.

Aku membawa keris ragasukma ke jatuh sinaran itu. Dan aku menemukan apa maksud dari semua ini.
Ketiga permata di keris Ragasukma memantulkan ketiga warna cahaya yang berbeda. Ketiga warna cahaya itu masing-masing menunjukkan bayangan tiga orang pendekar.

Aku tidak bisa menebak siapa mereka. Yang aku tahu, entah mengapa aku merasa cukup dekat dengan sosok misterius yang dipantulkan oleh ketiga cahaya itu.

Sayangnya pantulan cahaya itu tidak berlangsung lama. Pantulan cahaya itu menghilang tepat saat matahari menutupi sinar rembulan. Entah apa maksud dari semua ini. Aku mencoba berpikir keras, namun tetap saja sulit untuk menemukan jawaban begitu saja.

“Sepertinya, ini adalah petunjuk bahwa Keris Ragasukma masih memiliki misteri yang lebih besar,” ucap Naya.
Aku mengangguk setuju dengan ucapan Naya.

Akupun memutuskan untuk kembali menyimpan keris ragasukmaku dan menghabiskan waktu bersama dengan Buto Kendil yang sudah menolong kami di Alas Wetan beberapa waktu lalu.
Aku menceritakan padanya tentang sosok Raksasa pemberani yang dulu selalu setia menjaga bukit batu ini.

Tentang seorang raksasa pengagum pertunjukkan wayang desa Kandimaya yang memilih meninggalkan sifat jahatnya dan melindungi desa Kandimaya.

Ghi.. ghi.. gi…
Buto Kendil tertawa.
Tawanya itu benar-benar memiliki ciri khas yang sulit dilupakan.

Yang pasti, aku mengetahui bahwa ia sangat bersemangat mendengar kisah itu.
Tak lupa aku juga menceritakan betapa perkasanya raksasa penunggu bukit batu itu saat mengalahkan Setan dari kerajaan demit Setra Gandamayit, sang Batara Naga.

Bahkan saat Batara Naga sudah menggunakan pusaka padang Kurusetra dan seluruh kekuatanya, raksasa perkasa itu masih mampu menandinginya.
Dari raut wajahnya, sepertinya setelah ini Buto Kendil akan terus menagih cerita tentang raksasa itu setiap aku mampir ke tempat ini.

Akupun tidak keberatan…
Bagaimana mungkin aku bisa melupakan kisah seorang raksasa yang sayang dengan manusia, bahkan ia rela mengorbankan hidupnya walau dengan menghadapi kutukan yang membelenggunya selama ini.

Aku memperkenalkan pada Buto Kendil, Seorang raksasa teman kami yang akrab kami panggil dengan nama Buto Lireng…

***

TAMAT

Terima kasih sudah membaca cerita singkat ini sampai akhir.
close