Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PESUGIHAN KELUARGA NINGRAT "NGIPRI KETHEK" (Part 21) - Hilang Dalam Dekapan


Bagian 20 - Hilang Dalam Dekapan

Pengusiran yang dilakukan oleh para warga pun akhirnya dituruti oleh bapak dan juga raden kuncoro.

Mereka memilih untuk pergi dari desa tersebut untuk menghindari pertumpahan darah yang bisa saja terjadi karena hasutan yang dilakukan oleh sesepuh tersebut.

Hari itu juga, bapak dan raden kuncoro mencari sebuah tempat yang nantinya akan dijadikan sebagai tempat singgah atau mungkin tempat menetap mereka selamanya.

Dalam hati bapak, ia berkeinginan untuk menyelamatkan para warga yang masih terpasung di desa tersebut.

Namun apa daya. Sesepuh itu memiliki kuasa yang tiada bandingnya. Ia mampu memperalat warga desa demi kebutuhannya dan menjadikannya sebagai boneka untuk menuruti segala kemauannya.

Desa alas wingit. Desa yang berdiri di atas keberadaan banyak dedemit yang masih liar dan sering dijadikan sebagai wadah untuk kejahatan orang-orang yang memiliki banyak ambisi.

Setelah bapak dan raden kuncoro meninggalkan desa tersebut, para warga yang memang masih menempati desa itu hanya tertunduk lesu.

Harapannya hancur. Kehidupan mereka kembali tidak tenang. Akan banyak lagi korban yang berjatuhan terlebih semuanya bergantung kepada sesepuh dan salah seorang yang belum diketahui nama dan perawakannya dengan jelas.

Sesepuh itu sendiri ternyata menganut kepercayaan terhadap sesembahan kepada alam dan juga makhluk-makhluk yang tak kasat mata.

Ia juga sering melakukan ritual di hari-hari tertentu untuk mengambil tumbal jika waktunya telah tiba.
Saat bulan purnama mulai naik dan cahayanya berwarna kemerahan, sesepuh itu akan mengambil seekor anak kambing untuk dijadikan seserahan.

Lalu ia akan menebas kepala kambing itu dan meminum darahnya hingga tidak tersisa lagi tetesan pun.

Barulah tahapan terakhir yang nanti akan dilakukan oleh sesepuh tersebut yaitu melukai tangannya untuk memanggil nyai yang disebut-sebut sebagai penunggu dari hutan alas wingit itu sendiri.

Jika nyai sudah muncul, maka dilakukanlah kesepakatan dan perjanjian tertentu. Biasanya jika ada salah seorang warga yang memang sudah dijadikan sebagai target tumbal berikutnya, alam akan menyaksikannya dan mengabulkan apa yang diinginkan oleh sesepuh tersebut.

Terlepas dari keberhasilan ritual yang dijalankan, alam sendirilah yang akan menunjukkan pertanda yang mengerikan seperti kematian puluhan burung walet dan lain sebagainya.

1 bulan kemudian...
Sudah 1 bulan lamanya bapak dan raden kuncoro meninggalkan desa tersebut. Mereka berdua sebenarnya ingin kembali ke sana untuk mengetahui apa yang sudah terjadi selama 1 bulan terakhir yang tanpa kabar itu.

Akan tetapi ibu melarang bapak dan raden kuncoro untuk pergi ke desa tersebut. Ia seperti memiliki firasat yang tidak baik jika bapak dan juga raden kuncoro pergi ke desa itu lagi.

‘’Pak Tolong jangan kembali ke sana.’’ Pinta Ibu.

‘’Bu, Aku dan mas kuncoro ingin menyelamatkan orang-orang yang berada di desa alas wingit itu. Kalau tidak ditolong, mereka akan jadi korban berikutnya.’’ Jelas Bapak.

Ibu menggenggam erat tangan bapak. Tampaknya ibu merasa khawatir dengan keadaan bapak dan juga raden kuncoro jika mereka berdua kembali ke desa tersebut.

‘’Aku merasakan firasat buruk jika bapak pergi ke sana. Ingat pak. Ini malam purnama. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di desa itu.’’

‘’Bu, Aku akan baik-baik saja.’’

‘’Tapi apa yang akan bapak lakukan?’’

Bapak pun mengeluarkan sebuah keris kecil pemberian dari kang waris saat masih berada di rumah keluarga ningrat.
Tampaknya kang waris telah mempersiapkan ini semua untuk menjadikan bapak lebih mandiri lagi dalam menyelesaikan masalah.

Malam purnama yang disebutkan oleh ibu adalah malam dimana sesepuh itu akan melakukan ritual. Di malam itu sesepuh akan melakukan seserahan kepada nyai yang menjadi panutannya untuk mengabulkan segala permintaan yang dia inginkan.

Tangan ibu perlahan melemas. Bapak tidak bisa melepaskan apa yang ingin membuatnya tenang, yaitu menolong para warga yang berada di desa tersebut.
Bapak tidak ingin ada korban yang berjatuhan lagi karena kesalahan dirinya dan terlambat untuk memberikan pertolongan.

Senyum manis bapak mengakhiri pertemuan di hari itu. Bapak dan raden kuncoro bersikukuh untuk kembali ke desa alas wingit dengan tujuan menghentikan sesepuh tersebut dan menyelamatkan para warga yang masih berada di sana.

Mereka berdua pun akhirnya berangkat tepat di saat matahari akan tenggelam. Riuh angin sore membuat perjalanan keduanya sedikit terganggu.

Biasanya angin sekencang ini akan terjadi tepat di pertengahan tahun. Namun nyatanya angin yang berhembus sedikit kencang ini sudah terjadi di awal tahun.

Tubuh keduanya terus menerobos masuk hingga menemui sebuah petilasan yang melambangkan sebagai batas desa untuk menuju ke desa alas wingit.

Tampaknya bapak baru menyadari jika desa alas wingit sendiri bukanlah desa biasa yang sering dilalui oleh orang-orang

‘’Kita sudah sampai. Malam ini adalah malam ritual dari sesepuh itu. Jika kita bisa menghentikannya, maka semua warga akan selamat dan kita bisa kembali lagi ke desa ini.’’

Mereka berdua pun memasuki desa tersebut sembari mengucapkan kalimat ‘’basmalah’’.

Belum ada tanda-tanda dari kehadiran para warga yang berlalu lalang di sana. Namun bapak dan raden kuncoro berniat menyamar agar tidak diketahui oleh para warga yang mungkin saja sudah mengenalinya.

Keduanya pun menuju sebuah warung. Dengan mengenakan penutup mulut dan pengikat kepala, keduanya tampak seperti musafir yang tengah tersesat dan butuh petunjuk jalan.

Saat keduanya tiba di warung tersebut, mereka berdua melihat beberapa warga yang sedang bersantai sembari menyantap wedang dan merokok di sana.
‘’Bu. Pesan kopi 2.’’ Ucap Bapak.

Anehnya saat bapak mengucapkan kalimat itu, orang-orang yang berada di sana keheranan. Mereka seperti tampak asing melihat dua orang yang mulutnya ditutup menggunakan kain dan bagian dahinya diikatkan sebuah ikat kepala berwarna hitam.

Tidak lama kemudian, dua gelas kopi panas pun diantarkan oleh pemilik warung tersebut. Ia menyuguhkannya tepat di depan Bapak dan juga Raden Kuncoro. Para warga yang masih duduk santai di tempat itu masih memperhatikan gerak-gerik bapak dan juga Raden Kuncoro.

Mereka seperti penasaran wajah dari dua orang asing yang memasuki desanya dengan pakaian yang sedikit nyeleneh. Saat dimana bapak ingin menyeruput kopi tersebut, ia kemudian membuka penutup mulutnya dan berusaha untuk sebisa mungkin tenang.

Takutnya jika wajah dan ekspresi bapak terlihat sangat gugup dan mencurigakan, para warga di warung tersebut tentu saja akan mengenalinya dengan cepat.

‘’HUFFFFFF…‘’
Sruputan pertama kopi tersebut telah bapak minum. Para warga masih memandangi bapak dan juga raden kuncoro.

Wajah mereka awalnya sangat penasaran, namun lama kelamaan, mereka kembali sibuk dengan urusannya masing-masing.

Sedangkan Raden Kuncoro, ia hanya terdiam sembari memegangi kopi di tangan kanannya.
Sambil menatap bapak, raden kuncoro tampak gugup di saat para warga selalu memperhatikan keduanya,

‘’Mas? aman kan?’’

‘’Aman.’’
Raden Kuncoro pun menyeruput kopi tersebut tanpa rasa takut di saat dirinya kembali ditatap dengan tatapan yang tajam dari orang-orang yang ada di warung itu.

Sampai akhirnya ketika waktu surup/sorop telah tiba, para warga bergegas meninggalkan warung.

‘’Cepat pulang! Sekarang purnama!’’
Ibu pemilik warung juga meminta kepada bapak dan juga Raden Kuncoro untuk menghabiskan kopinya.

‘’Pak, Cepat habiskan kopinya. Sebentar lagi purnama akan muncul.’’ Ucap ibu pemilik warung itu dengan wajah penuh kekhawatiran.

‘’Ada apa, bu? Kok para warga seperti ketakutan dengan kedatangan bulan purnama?’’ Tanya bapak sembari menyeruput kopi dengan cepat.

Ibu itu tidak berkata apa-apa. Justru ia meminta kepada bapak dan juga Raden Kuncoro untuk segera menghabiskan kopinya.
Karena ibu itu tidak ingin menjawab, akhirnya bapak dan raden kuncoro pun segera mencari surau/musholla untuk beristirahat.

Mereka sengaja mencari surau/musholla agar mereka bisa beristirahat sembari mencari waktu yang tepat untuk menghentikan sesepuh itu.
Selama bapak dan raden kuncoro menyusuri rumah-rumah milik warga, mereka berdua juga merasakan ketakutan seperti yang para warga rasakan.

Suhu di waktu maghrib benar-benar berubah. Rasa dingin yang menusuk hingga ke tubuh mereka membuat keduanya segera mencari tempat untuk beristirahat.
Belum lagi dengan desiran angin yang tampak aneh seperti bukan angin pada umumnya.
Malam itu desa alas wingit benar-benar sepi dan tidak ada pencahayaan kecuali obor yang menyala di depan rumah masing-masing.
Setelah mereka berdua berkeliling untuk mencari surau, akhirnya mereka menemukan sebuah surau yang letaknya sedikit jauh dari rumah mereka yang dulu.

Karena bapak dan raden kuncoro tidak banyak berbuat apa-apa, yang terjadi adalah mereka sendiri tidak memahami lokasi atau tempat-tempat yang ada di desa tersebut.

Yang mereka ingat hanyalah alas wingit yang berada di belakang rumah mereka dan itu adalah satu-satunya tempat yang mereka ketahui.
Purnama sudah naik menunjukkan wajahnya. Sentuhan warna dan cahayanya menerangi kegelapan malam.

Putih dan merah yang tercampur menjadi satu. Kedua warna itu menjadikan bulan purnama malam ini memberikan arti dan makna tertentu.

Bapak dan raden kuncoro terus terjaga. Mereka selalu waspada. Jangan sampai ada korban selanjutnya yang tentu saja akan membuat mereka semua terhenti sampai di sini.

Prioritas mereka adalah para warga dan mencegah ritual dari sesepuh itu terjadi. Namun mereka berdua lupa jika ada salah seorang lagi yang sampai sekarang belum tahu keberadaannya dan siapa dia sebenarnya.

Dengan hal semacam itu, bapak kira menarik pelatuk di atas senjata yang mematikan memang diperlukan.

Jika nanti ada salah seorang warga yang mencurigakan dan benar-benar ingin menggagalkan rencananya, bisa jadi orang tersebut adalah dalang dari semua ini.

Jam menunjukkan pukul 10 malam. Bapak dan raden kuncoro masih memperhatikan rumah-rumah warga.
Mereka berdua belum mengetahui apapun atau merasakan apapun yang terjadi pada waktu itu juga.

Hanya saja mereka berdua tampak sedikit curiga dengan sesuatu yang berada di salah seorang rumah warga.
Bapak dan Raden Kuncoro menyadari ada yang tidak beres dengan sesosok bayangan hitam dengan mata yang memerah menyala sedang menengok ke arah kanan dan kiri.

Kecurigaan itu semakin membesar ketika sesepuh itu keluar tepat di saat bayangan hitam itu mundur ke arah belakang.
Sesepuh itu membawa sesuatu yang berada di tangannya.
Keyakinan bapak semakin menguat ketika ada tetesan seperti darah yang berjatuhan secara perlahan di tanah.

‘’Itu kepala kambing!” Ucap Bapak kepada Raden Kuncoro.

‘’Kepala kambing? Untuk apa?’’

‘’Ritual kali ini menggunakan kepala kambing.’’

‘’Loh? Bukannya kemarin-kemarin menggunakan tubuh bayi dan juga manusia.’’

Bapak hanya terdiam. Ia masih fokus dengan apa yang berada di hadapannya kali ini/ Tampaknya, bayangan hitam itu menjadi pelengkap dari sesepuh agar bisa mengetahui apa yang sedang terjadi di saat itu juga.

Bapak tertegun saat itu. Ia menyadari jika sesepuh itu benar-benar selangkah lebih maju di banding pemikiran dan langkah yang telah lama ia diperhitungkan.
Sembari menatap sesepuh itu berjalan menuju ke alas wingit, bapak dan raden kuncoro pun segera membuntutinya dari belakang

Tidak ada waktu lagi. Ketika purnama berada tepat di atas kepala, maka ritual itu dimulai. Saat bapak dan juga raden kuncoro masuk ke arah alas wingit, bapak dan raden kuncoro terkejut ketika mendengar suara orang yang sedang menyenandungkan sesuatu.

Suaranya sekejab berubah menjadi penghormatan dari sesepuh itu karena telah mendatangi alas wingit.
Namun ada yang membedakan di saat dimana bapak dan juga raden kuncoro mulai memperhatikan suara-suara yang entah dari mana asalnya.

Saat dimana sesepuh itu mulai menuju ke salah satu pohon yang ada di alas wingit, tiba-tiba dari semak-semak belukar, keluar puluhan sosok dengan pakaian yang sangat menyeramkan.

Rata-rata mereka mengenakan kain kafan yang sudah lusuh dan kotor. Wajah mereka tidak ada yang jelas dan sempurna.

Tidak lama kemudian, saat dimana bulan sudah hampir berada di atas kepala, tiba-tiba kedua tangan dari sesepuh itu mengambil sesuatu dari karung.

Dan benar saja. Benda yang berada di dalam karung tersebut adalah kepala kambing yang ia dapatkan untuk menjalani ritual.

Perlahan kepala kambing itu ia arahkan ke atas. Tetesan demi tetesan membasahi wajahnya. Ia tampak senang tatkala darah itu mulai mengalir dan masuk perlahan ke mulutnya.

Sosok-sosok yang berada di sekitarannya peralahan mendekati. Mereka kemudian menundukkan tubuhnya seolah-olah tuan mereka sedang berada di hadapannya.

‘’Tunduklah semua para demit di alas wingit! Aku akan menjadi orang hebat yang tidak terkalahkan. Aku akan bangkitkan nyai agar bisa memberikan kekuatan lebih kepadaku.’’

Tangan bapak sudah mulai gatal. Ia ingin mengeluarkan sebuah keris kecil pemberian kang waris agar bisa membatalkan hal tersebut. Namun saat bapak ingin keluar dari tempat persembunyian, tiba-tiba ada sebuah pisau yang menancap tepat di atas kepala sesepuh itu.

Pisau itu berasal dari belakang mereka dan tentu saja ini sangat aneh dan mengerikan.
Sesepuh itu teriak kesakitan. Ia kemudian menarik pisau yang tertancap di kepalanya hingga membuat darah segar mengucur deras.

Ia pun berteriak kesakitan sembari mencela, mengumpat dan memaki-maki orang yang baru saja melemparkan pisaunya tepat di kepalanya.

‘’BAJINGAN! SIAPA YANG MELAKUKAN INI?’’
Tidak lama kemudian, bapak dan raden kuncoro merasakan hawa membunuh yang besar.

Mereka berdua merasakan ketakutan yang luar biasa. Ketakutan yang menjadikan tubuh keduanya seolah-olah tidak bisa bergerak lagi.
Langkah dari orang tersebut dibarengi dengan tepuk tangan yang dibuat secara perlahan,

‘’Bagus, bagus. Jadi simbah mau jalanin ritual ini agar menjadi orang yang sangat kuat? Dan benar saja, hal itu akan terjadi.’’
Pria itu mendekati simbah yang menahan rasa sakit.

Dinginnya bahasa dan cara pria itu berbicara menjadikan ia sangat misterius.

‘’Mas? Bukankah orang itu?’’

‘’Benar. Itu adalah orang yang kita cari.’’

‘’Jadi? Apa yang harus kita lakukan mas?’’
Bapak berpikir sejenak.

Setelah dimana bapak mulai menyadari sedikit demi sedikit terkait ritual tersebut, ia pun berencana untuk menusuk pria misterius itu dari belakang.
Namun tindakan yang dilakukan pria misterius itu kepada sesepuh merupakan pilihan yang tepat.

Ia kemudian menarik paksa kepala kambing ity dari sesepuh. Lalu ia arahkan kepala kambing itu ke atas hingga tetesan darahnya mengalir masuk ke dalam mulutnya.

Tak berselang lama, pria misterius itu akhirnya meminta pertolongan kepada penunggu dari alas wingit yang sangat ditakuti oleh warga.
Sosok itu adalah nyai. Pria itu mengundang nyai dan meminta sesuatu darinya.
‘’Nyai! Aku datang! Akulah orang yang melakukan semua ini!’’

Setelah pria itu menggucapkan hal yang mengerikan, tiba-tiba sesepuh itu berusaha untuk menggagalkan ritual.
Ternyata pria misterius itu berkhianat. Ia lebih dulu tahu terkait rencana yang dijalankan sesepuh itu demi kepentingannya sendiri.

Dengan menggagalkan ritual sesepuh itu, maka keuntungan berpihak kepada pria misterius tersebut.
Setelah kedua tangannya di angkat, tiba-tiba dari semak belukar muncullah sesosok yang ditunggu-tunggu kehadirannya.

Sosok nyai dengan tubuh yang sedikit besar dan tinggi. Lalu rambutnya yang panjang membuat sosok tersebut sangat mengerikan.
Tidak lama kemudian, sosok itu menarik paksa tubuh sesepuh. Ia bermaksud untuk menjadikan sesepuh itu sebagai tumbal dari ritual ini.

Teriakan demi teriakan terus terlontar dari mulut sesepuh itu hingga tubuhnya ditarik ke dalam semak belukar bersamaan dengan itu teriakannya semakin menghilang di telan rimbun hutan dan gelapnya malam.
Tampaknya sesepuh itu sudah dijebak oleh pria misterius tersebut dan dijadikan tumbalnya.

Sepertinya pria misterius itu sudah menghetahui rencana dari sesepuh tersebut.
Tidak berselang lama, pria misterius itu menghilang di saat kabut menutupi pandangan mereka.

Bapak dan juga raden kuncoro pun segera meninggalkan desa tersebut. Mereka berdua tidak berkeinginan untuk menanggung resiko semacam ini itu.

Alhasil, mereka berdua pun segera pergi dari desa tersebut.
Malam itu juga bapak dan juga raden kuncoro telah mengetahui siapa pelakunya. Pelakunya adalah orang yang berada di belakang dari sesepuh itu.

Dengan begini, bapak dan raden kuncoro pun berkeinginan untuk meninggalkan desa tersebut.
Mereka akhirnya paham mengapa alas wingit sendiri sangat mengerikan dan dijadikan sebagai tempat penumbalan?

Itu dikarenakan masih ada orang-orang yang berkeciumpung dalam dunia seperti ini dan membanggakan apa yang dimiliknya dengan cara melakukan ritual-ritual tertentu!

***
Di part selanjutnya kita akan diarahkan ke 5 tahun ke depan.
Di fase ini, akan ada beberapa kejutan-kejutan yang istimewa. Terlebih lagi, di tahun itu juga, aku (aisyah) dilahirkan.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close