Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PESUGIHAN KELUARGA NINGRAT "NGIPRI KETHEK" (Part 20) - Dibalik Desa Kutukan


Bagian 20 - Dibalik Desa Kutukan

Malam itu seorang bayi yang akan dilahirkan tiba-tiba menghilang dengan sekejap. Seruan teriakan minta tolong terus didengungkan oleh seorang pria yang ternyata adalah suami dari wanita yang akan melahirkan tersebut.

Bayi yang seharusnya dilahirkan di malam itu tiba-tiba menghilang dengan sekejap. Yang tersisa hanyalah cairan darah yang terus menerus keluar dari Rahim wanita tersebut.

Wajahnya pucat pasi. Nafasnya tidak lagi setenang kemarin. Akibat diambil paksanya bayi dari perut wanita tersebut membuat si wanita itu tidak sadarkan diri untuk beberapa saat.

Suami dari wanita itu pun berlari ke arah rumah-rumah warga tak terkecuali juga rumah dari bapak dan ibu.
Ia menggedor-gedor pintu sembari menangis dan berteriak minta tolong.
‘’Tolong pak! Tolong saya! Bukakan pintu!’’

Bapak yang merasa kasihan dengan pria itu langsung keluar dari kamar. Namun sayangnya, ibu melarang bapak ikut campur urusan orang lain.
‘’Pak! Jangan! Itu bukan urusan kita.’’

‘’Tapi bu. Dia minta tolong kepada kita.’’

Suara teriakan minta tolong terus digemakan dari pria itu. Dia tidak menyerah untuk terus menggedor pintu sampai bapak membukakannya.
‘’Tolong pak! Anakku hilang!’’

Deg! Hati bapak langsung syok mendengar kalimat itu. Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya seakan-akan memberikan tanda kepada bapakku agar tidak membantunya.

‘’Jangan pak. Ini alas wingit. Tidak semua yang berada di tanah ini bisa diselesaikan dengan apa yang kita inginkan.’’
Bapak menyadari perkataan ibuku. Ia kembali terduduk sembari menunggu pria yang berada di depan rumah pergi dengan sendirinya.

Namun yang mengejutkan adalah pria itu terus merengek dan meminta bantuan kepada bapakku agar mau membukakan pintu dan segera membantunya.
Alas wingit yang terkenal akan keangkerannya sudah lebih dulu dikenal sebagai hutan yang begitu mengerikan.

Setiap bayi yang akan lahir akan menghilang dalam satu malam bersamaan dengan datangnya para penghuni alas wingit ke rumah orang yang akan melahirkan tersebut.

Para penghuni alas wingit sendiri tidak bisa diprediksikan jumlahnya. Mereka akan terus berdatangan sampai bayi itu benar-benar bisa didapatkannya.

Setelah 1 jam lamanya, suara rengekan pria itu menghilang dengan sendirinya. Bapak dan ibuku pun keluar dari kamar untuk memastikan luaran rumah.

Saat mereka berdua membuka pintu, tiba-tiba sebuah tangan menarik paksa tangan ibuku hingga terjatuh. Untungnya saat itu ibu tidak sedang menggendong mas rahardian.

‘’Tolong aku! Tolong! Kalau kau tidak mau menolongku, isterimu akan kuserahkan ke demit alas wingit di tanah ini!’’ Ancam pria itu.
Bapak yang melihat ibuku ditarik paksa hingga terjatuh pun marah. Ia kemudian menendang kaki pria itu hingga tersungkur di lantai depan rumah.

Ibu pun merintih kesakitan karena tarikan paksa dari pria itu hingga membuat pergelangan tangannya terkilir.
‘’BAJINGAN! APA YANG KAU LAKUKAN KEPADA ISTERIKU! BUKANKAH KAU SENDIRI YANG MEMINTA AGAR KAMI TIDAK MEMBANTUMU!”

Pria itu terdiam. Ia kemudian menatap bapak dengan tatapan yang tidak biasa. Aura pembunuhnya benar-benar tumbuh seperti hendak mematahkan leher bapak dalam sekejap.

‘’AKAN KUPASTIKAN! JIKA ANAKMU AKAN LAHIR, PENGHUNI DARI ALAS WINGIT INI AKAN MEMBAWA ANAKMU SEBAGAIMANA MEREKA MENCURI ANAKKU!’’
Pria itu kemudian meninggalkan rumah bapakku sembari menyumpahi bapak dan ibu dengan kalimat yang tidak baik.

Mungkin ini adalah kesalahan bapak karena tidak membantu pria itu. Namun apa yang menjadi pilihan dari ibuku tidak selamanya salah.

Bapak yang awalnya ingin membantu pria tersebut akhirnya kehilangan rasa empati karenanya.

Hari berganti hari, bapak dan ibuku tidak lagi mendengar kabar pria tersebut. Bapak pikir pria itu sudah menghilang dan pergi dari desa tersebut.
Karena penasaran, bapak dan raden kuncoro pun akhirnya menuju ke rumahnya untuk memastikan.

Namun saat mereka tiba di rumah pria itu, bapak dan raden kuncoro mencium bau tidak sedap dari rumah itu.

Baunya sangat busuk seperti bau bangkai yang sudah lama dibiarkan. Entah mengapa perasaan bapak semakin tidak enak disaat kedua matanya melihat sepasang sandal yang masih berada di dapan pintu.

‘’Mas? Apa jangan-jangan…‘’ Ucap Raden Kuncoro dengan nada datarnya.
Bapak pun akhirnya membuka pintu rumah. Dan yang membuat bapak semakin terkejut, pintu rumah itu tidak terkunci.

Saat bapak membuka pintu rumah, tiba-tiba raut wajah bapak berubah seketika, ia menyaksikan dua mayat sudah terkapar dengan pisau yang masih menempel di kedua lehernya.
‘’ASTAGHFIRULLAH!’’ Teriak Bapak.

Raden kuncoro yang menyaksikan itu langsung keluar rumah karena perutnya merasa mual akibat bau busuk dari kedua mayat yang diperkirakan sudah terkapar beberapa hari di rumah tersebut.

Ia pun akhirnya muntah dan kepalanya terasa pusing saat mendapati dua mayat dengan bau busuk yang menyengat menusuk indera penciumannya.
Bapak yang masih di dalam tidak bisa berbuat apa-apa. Ia pun segera keluar menuju ke rumah sesepuh di desa tersebut.

Tujuan bapak adalah untuk meminta sesepuh dan para warga desa lainnya agar mau membantu menguburkan kedua mayat itu.

Desa yang awalnya menjadi tentram, kini hawanya berubah menjadi sangat mencekam. Para warga juga enggan untuk mengurusi kedua jenazah tersebut karena memang kejadian seperti ini sudah biasa.

Saat dimana bapak menemui sesepuh di desa tersebut, sesepuh itu seperti menolak untuk ikut campur dalam urusan yang berkaitan dengan alas wingit.

‘’Aku tidak ikut campur mengenai hal ini. Sudah sering terjadi tragedi semacam ini yang diawali puluhan burung walet berjatuhan tanpa sebab. Itu sebabnya aku sendiri tidak ingin ikut campur dengan hal-hal yang berkaitan dengan alas wingit.’’

Karena tidak ada yang ingin membantu, akhirnya hanya bapak dan raden kuncoro lah yang mengurusi jenazah laki-laki. Sedangkan ibuku dan nyai ratih, mereka berdua mengurusi jenazah perempuan tersebut.

Bapak masih memiliki sedikit rasa empati. Ia tetap menjadikan hal ini sebagai pembelajaran baginya agar tidak terlalu acuh terhadap permasalahan yang ada di desa ini.

Setelah semua sudah siap, bapak dan raden kuncoro segera menguburkan kedua jenazah itu di tempat yang berjauhan dengan desa.
Setelah kedua jenazah itu dikuburkan dalam satu liang lahat, tiba-tiba angin berhembus dengan kencang.

Raden kuncoro yang menyaksikan itu seperti merasakan ada sesuatu kemarahan yang terjadi di sekitaran alas wingit.
Bapak pun meminta Raden Kuncoro untuk cepat-cepat mengubur kedua warga itu agar tidak ada lagi hal-hal aneh yang terjadi.

***

MALAM PERTAMA

Malam pertama saat tragedi kedua warga itu meninggal, ibuku tidak bisa tertidur. Ia masih mengingat adanya kejanggalan yang terjadi pada perut wanita tersebut.

Ibu akhirnya menceritakan kepada bapak terkait keanehan yang berada di sekitaran rumah semenjak dua orang warga itu meninggal dunia.
Hingga akhirnya, ketika ibuku menceritakan hal itu kepada bapak, tiba-tiba pintu depan rumah digedor-gedor oleh seseorang.

Bapak dan ibu yang mendengar suara gedoran pintu yang amat kencang itu langsung terkejut. Mereka berdua segera keluar kamar dan menuju ke bagian depan rumah untuk mengetahui siapa yang baru saja menggedor-gedor pintunya.

Saat dimana mereka sudah membuka pintu, anehnya tidak ada satu orang pun yang berada di depan rumah.
Namun keanehan terjadi di saat lantai depan rumah sudah dipenuhi dengan langkah kaki bekas tanah kuburan.

Ibu langsung ketakutan. Ia segera meminta bapak untuk segera masuk ke dalam rumah. Takutnya ada sesuatu hal yang tidak baik menimpa mereka berdua.

Akhirnya mereka berdua kembali masuk ke dalam rumah dan mencoba untuk melupakan kejadian yang mengerikan tersebut.

MALAM KEDUA
Di malam kedua, mas rahardian selalu menangis tanpa sebab. Bapak merasa jika di sekitaran rumahnya ada yang mengganggu.
Belum lagi kejadian kemarin malam sempat membuat takut keduanya karena suara gedoran pintu yang sangat kencang.

Selain itu juga, ada banyak jejak kaki dan tanah kuburan tersebar di lantai depan rumah.
Ibu mencoba untuk menenangkan Mas Rahardian. Namun anehnya mas rahardian seperti diganggu oleh apa yang ada di sekitarannya.

Bapak pun tidak tinggal diam. Ia pun segera mengambil air wudhu dan segera melaksanakan sholat sunnah dua roka’at.
Setelah selesai, bapak mengambil segelas air putih dan mengusapkannya ke bagian wajah mas rahardian.

Bersamaan dengan itu, mas rahardian bisa terdiam dan langsung tertidur.
Bapak merasa ada sesuatu yang tidak beres yang kaitannya masih dengan kejadian tragedi dua warga yang meninggal secara misterius itu.

MALAM KETIGA
Di malam ini ibu mendengar suara rintihan orang menangis yang berada di bagian belakang rumahnya.
Saat itu bapak sedang berada di luar rumah mengobrol dengan raden kuncoro.

Ibu yang kebetulan penasaran, ia pun segera membuka pintu belakang rumah untuk memastikan siapa yang sedang menangis di belakang rumahnya.

Saat ibu membuka pintu bagian belakang rumah, tiba-tiba pandangan ibu tertuju pada sesosok wanita yang sedang menggaruk-garuk perutnya seperti tidak terima jika takdirnya hanya sampai saat itu saja.

Ibu pun berteriak histeris di saat wanita itu menatap wajah ibu sembari tersenyum sinis sangat mengerikan.

‘’BAAPAAAKKKKKK!’’

Sontak saja bapak dan raden kuncoro segera menuju ke bagian belakang rumah.

Namun sayangnya, saat itu ibu langsung pingsan karena ketakutan melihat sosok wanita tersebut yang merupakan korban dari sosok-sosok yang berasal dari alas wingit.
Atas kejadian tersebut, keesokan harinya bapak pun melaporkan hal ini kepada sesepuh desa.

Bapak merasa jika kejadian ini ada kaitannya dengan orang-orang yang sengaja menaruh ilmu sihir atau ilmu hitam kepada orang-orang yang sudah meninggal.
Bapak juga meyakini, jika kedatangan dari para sosok-sosok yang berasal dari alas wingit itu bukan tanpa alasan.

Itu artinya, ada seseorang yang memang bergerak di belakang ini semua.
Setelah bapak mengatakan hal tersebut kepada sesepuh desa, jawaban dari sesepuh desa itu benar-benar mencengangkan.

‘’Desa ini memang sedang melakukan pembersihan. Pada dasarnya, di desa ini hanya berjumlah kurang dari 20 orang saja. Jika memang lebih, maka ada sesuatu yang harus ditanggung.’’

Bapak pun terdiam. Ia sempat berpikir, apa alasan utama dari desa ini hanya memiliki kurang dari 20 penduduk.

Sesepuh itu mengatakan,
‘’Desa ini merupakan desa terkutuk. Desa yang tidak boleh dihuni oleh manusia.’’

Mendengar jawaban singkat dari sesepuh tersebut, bapak kembali berpikir. Dalam pikiran bapak, jika desa ini terkutuk, maka ada sesuatu yang menjadi penyebab utamanya.
‘’Mengapa desa ini bisa dikutuk?’’ Tanya Bapak.

‘’Desa ini hanyalah sebuah alas (hutan) yang tidak bernyawa. Mereka yang datang ke sini harus rela untuk melakukan pembersihan. Namun saat pembersihan dilakukan oleh orang pertama yang menempati desa ini belum sepenuhnya sempurna. Karena itulah, para penghuni alas wingit-lah yang melakukan pembersihan dengan mengambil bayi-bayi yang akan terlahir.’’
Setidaknya dengan perkataan yang baru saja dikatakan oleh bapak, sesepuh itu benar-benar menjaga rahasia.

Itu artinya, ada sesuatu yang tidak beres yang berasal dari perkataan sesepuh itu. Bisa juga karena memang adanya hal yang tidak perlu diketahui oleh bapak atau karena memang ada latar belakang yang menjadikan sesepuh itu menutup mulut atas tragedi yang terjadi di masa lampau.

Tiga hari sudah kejadian yang aneh meneror bapak dan juga ibuku. Pertanyaan demi pertanyaan terus bermunculan dipikiran mereka berdua.

Jika memang kematian kedua warga tersebut adalah karena penghuni alas wingit, lalu mengapa sesepuh di desa itu tidak memiliki solusi agar kejadian ini tidak terulang kembali.

Bapak dan Raden Kuncoro pun mencari cara untuk membongkar sesuatu yang ada di desa tersebut.

Pertama-tama, mereka berdua kembali menuju ke pemakaman dua orang warga yang berada di jauh dari desa.
Lalu mereka akan melihat, apakah ada sesuatu yang menjanggal semenjak 3 hari dikuburkan.

Dan benar saja. Kuburan dari dua warga tersebut telah hancur dan dibongkar paksa oleh seseorang.

Lalu yang lebih mengerikannya lagi, kedua jasadnya hilang tak berbekas. Yang tersisa hanyalah dua kain kafan yang sudah penuh dengan darah dan lumpur yang menjadi satu.

Bapak dan Raden Kuncoro pun semakin yakin dengan apa yang dipikirkannya. Sesuatu yang berada di desa bukanlah sebuah kutukan semata yang dikatakan oleh sesepuh itu.

Melainkan ada seseorang atau oknum lain yang sengaja menjadikan hal tersebut demi menjaga sesuatu yang tidak diketahuinya.
Malam harinya bapak bersama raden kuncoro sengaja tidak tidur. Mereka berdua berniat ingin mengetahui apa yang terjadi saat malam hari di desa tersebut.

Tepat saat itu bapak dan raden kuncoro tidak sengaja melihat salah seorang warga yang keluar sembari membawa sebuah bungkusan berwarna hitam.
Lalu orang tersebut menuju ke sebuah tempat yang ternyata dekat dengan alas wingit.

Bapak dan Raden Kuncoro pun akhirnya perlahan mengikuti orang tersebut. Ketika orang yang mencurigakan itu tiba di sebuah tempat yang ia tuju, tiba-tiba ia mengeluarkan sebuah pisau dari ikat pinggangnya dan perlahan menyeset tangannya dengan perlahan menggunakan pisau tersebut.
Kengerian itu semakin dipertambah ketika darah itu diteteskan ke sebuah kain berwarna hitam yang belum dipastikan isinya.
Bapak dan Raden Kuncoro semakin dibuat penasaran oleh orang tersebut. Sampai akhirnya, momen yang ditunggu-tunggu tiba.

Kedua tangan dari orang tersebut bergerak ke atas seperti sedang memanggil sesuatu. Tidak lama kemudian, terdengar suara gemuruh yang entah dari mana asalnya.

Bukan hanya suara gemuruh saja yang membuat Bapak dan raden kuncoro terkejut, melainkan terpaan angin yang berasal dari tempat itu membuat keduanya merinding dibuatnya.

Ritual masih berlanjut. Orang misterius itu bangkit dari duduknya. Ia kemudian melemparkan kain hitam itu di sebuah semak-semak belukar.

Hingga akhirnya, pandangan bapak dan raden kuncoro tertuju kepada satu sosok yang keluar dari semak belukar tersebut. Sosok itu memiliki rambut yang sangat panjang hingga menutupi wajahnya. Tubuhnya tinggi dan memakai baju berwarna merah.

Tidak berselang lama, bapak dan raden kuncoro mendengar sebuah kalimat yang terucap dari pria itu.
‘’Aku haturkan banyak terima kasih karena telah hadir, nyai. Kini, dua orang warga telah aku serahkan kepadamu.’’

Bapak dan Raden Kuncoro terkejut mendengar perkataan dari pria misterius itu.
‘’Mas?’’ Tanya Raden Kuncoro.

‘’Dia pelakunya.’’
Tidak lama kemudian, pria itu menunduk seperti ingin meminta sesuatu kepada sosok wanita berambut panjang itu.

Tampak dengan jelas, tangan dari sosok itu memegang kepala dari pria misterius tersebut. Ia seperti memberikan sesuatu kepada pria itu. Entah apa yang diberikan sosok itu kepada pria misterius yang masih belum diketahui wajah dan perawakannya.

Namun ada keyakinan di dalam hati bapak bahwa pria itulah dalang di balik ini semua.
Setelah ritual itu selesai, sosok wanita berbaju merah pun menghilang bersamaan dengan munculnya kabut yang menutupi sekitaran.

Namun yang aneh, sesaat sebelum kabut itu menghilang, pria itu menatap ke arah pepohonan yang mana tempat tersebut adalah tempat persembunyian dari bapak dan juga raden kuncoro.

Bapak yang mengetahui hal tersebut langsung menarik baju raden kuncoro.
‘’Kenapa mas?”

‘’Dia tahu kalau kita sedang mengawasinya.’’

Bapak dan raden kuncoro pun segera pergi meninggalkan tempat tersebut.
Alih-alih mereka berdua bersembunyi lagi di tempat yang agak jauh dari tempat ritual tersebut.

Tujuannya adalah untuk membuntuti kembali pria misterius tersebut.
Anehnya, pria misterius itu tidak tampak dan seperti mengambil jalan lain.
‘’Mas? Hilang kemana orang itu?’’

Bapak hanya terdiam. Ia masih meyakini jika pria misterius itu adalah pelaku dari pemanggilan para sosok-sosok yang berasal dari alas wingit.
Bukan hanya itu saja. Kalimat yang baru saja diucapkan dari pria tersebut seperti menandakan sebuah arti yang sangat dalam.

Karena tidak ada lagi tanda-tanda dari kehadiran pria misterius tersebut, bapak dan raden kuncoro akhirnya kembali ke rumah untuk beristirahat dan melanjutkan pelacakan di hari esoknya.

Keesokan harinya, bapak dan raden kuncoro kembali menelusuri setiap rumah warga. Tujuannya adalah untuk mengetahui siapa di balik orang yang menjalani ritual tersebut.

Bapak dan Raden Kuncoro mengecek satu persatu rumah yang ada di desa tersebut. Sampai akhirnya, tindakan bapak ini diketahui oleh sesepuh dari desa tersebut.

‘’Apa yang sedang kalian lakukan?’’ Tanya sesepuh itu kepada Bapak dan Raden Angkoro.

Bapak dan Raden Kuncoro terkejut saat sesepuh itu mengatakan hal yang sangat tidak masuk akal baginya.

‘’Kami baru menemukan sebuah petunjuk mbah.’’ Ucap bapak.

‘’Petunjuk apa?’’ Tanya sesepuh itu.

‘’Semalam tadi, kami menemukan pria misterius yang ternyata memuja demit penjaga alas wingit.’’ Jelas bapak.

Sesepuh itu menampakkan raut wajah kesalnya kepada bapak. Dia seperti tidak menerima apa yang baru saja bapak katakan.

‘’Sudah kubilang! Jangan pernah memasuki tempat itu! Itu tempat terlarang!” Ucapnya dengan nada yang tinggi dan kesal.

‘’Tapi mbah…‘’

‘’Aku sudah bilang, tempat itu tempat terkutuk! Jika kalian memasuki tempat itu, keturunan kalian akan terkena imbasnya!’’ Jelas sesepuh itu kepada bapak.

Bapak dan Raden Kuncoro hanya terdiam mendengar larangan dari sesepuh itu. Mereka pun kembali ke rumah dan menggagalkan rencananya untuk mencari tahu terkait pria misterius tersebut.

Tepat di malam harinya, saat bapak dan raden kuncoro sedang berbincang-bincang di depan rumah, mereka tidak sengaja melihat sesepuh itu berjalan menuju ke alas wingit dengan langkah yang tidak biasa.

Bapak dan Raden Kuncoro mulai curiga. Mereka berdua pun kembali membuntuti orang-orang yang ingin memasuki alas wingit.
Dengan langkah yang sedikit tergesa-gesa, sesepuh itu terkadang sering menengok ke arah belakang. Ia sangat waspada dengan apa yang dilakukannya itu.

Bapak dan Raden Kuncoro terus mengamati sesepuh itu dari kejauhan. Mereka berdua tidak ingin kehilangan kesempatan ini untuk kedua kalinya.

Hingga akhirnya, ketika sesepuh itu tiba di alas wingit, ia berhenti di sebuah pohon tempat dimana pria misterius itu melakukan sebuah ritual.

Ia kemudian membuka tangan kanannya dan mengambil sebuah pisau yang ada di pinggang sebelah kanannya.
Sembari mengamati sekitaran, sesepuh itu kemudian menyeset jarinya dengan menggunakan pisau hingga darah menetes.

Darah itu ia minum sembari membacakan sebuah mantra khusus. Entah mantra apa yang ia baca, namun tindakan yang baru saja ia lakukan sama persis dengan pria misterius kemarin.

Tidak lama kemudian, sesepuh itu mengangkat kedua tangannya. Ia bermaksut mengundang sosok yang sama seperti yang dilakukan pria misterius kemarin.
Suara gemuruh pun terdengar dari sekeliling tempat dimana sesepuh itu melakukan sebuah ritual pemanggilan.

Lalu hembusan angin yang berada di sekitaran datang dengan amat kencang hingga membuat tubuh dari sesepuh itu membentang.

Tidak berselang lama, ada gerakan aneh yang berasal dari semak belukar. Lalu muncul sebuah tangan yang sama persis bentuknya seperti sosok wanita berambut panjang yang dipanggil oleh pria misterius kemarin hari.

Bapak dan Raden Kuncoro langsung merasa ada yang tidak beres dengan sesepuh itu. Ia mengundang sosok itu sama seperti halnya pria misterius kemarin.

Tidak lama kemudian, sesepuh itu menundukkan kepalanya sewaktu sosok yang berada di semak belukar itu keluar sepenuhnya.
‘’Nyai. Aku datang memberi pesan untuk nyai.’’

Sosok itu tampak sangat kesal. Wajahnya berubah seketika ketika sesepuh itu menyampaikan sebuah kalimat yang kurang menarik baginya.

‘’Ada dua orang warga baru dari desa ini yang bertujuan untuk menghancurkan ritual kita. Apa yang harus aku lakukan nyai?’’
Sosok itu kemudian memberikan sebuah tanda yang hanya bisa diketahui oleh sesepuh itu.

Bapak dan Raden Kuncoro terus memperhatikan sesepuh dan sosok mengerikan itu.
Tampaknya, sesepuh itu juga adalah pelaku dari penumbalan dua orang warga yang berada di desanya.

‘’Baik nyai. Aku akan melakukan apa yang nyai inginkan.’’
Tidak berselang lama, muncul kabut yang datangnya entah dari mana. Lalu kabut itu menutupi sesepuh dan sosok tersebut hingga sosok itu menghilang dengan sekejap.

Bapak yang mengetahui hal tersebut langsung menarik paksa Raden Kuncoro. Ia berniat untuk kabur dari tempat tersebut.
‘’Mas? Kita mau kemana?’’

‘’Kita harus lari dari desa ini!”

‘’Lari?’’

‘’Kita akan ditumbalkan!”

‘’Tapi mas? Bagaimana dengan nasib para warga yang lain? Apa mas gak kasihan dengan mereka?’’
Bapak langsung terdiam. Ia kembali memikirkan orang-orang yang masih berada di desa ini.

‘’Aku akan menyelamatkan mereka. Tapi untuk sekarang, kita harus menghentikan sesepuh dan pria misterius itu. Jika tidak akan banyak tumbal yang mati dengan sia-sia.’’

Raden Kuncoro mengiyakan.
Mereka berdua pun kembali ke rumah untuk menyusun strategi agar bisa menghentikan langkah dari sesepuh itu.

Malam itu bapak dan Raden Kuncoro sudah mengetahui sisi buruk dan kejam dari sesepuh itu. Ternyata kematian dari para warga yang berada di desa ini adalah karena ulah dari sesepuh dan pria misterius itu.

Bisa jadi, keduanya sedang melakukan sesuatu untuk tujuan tertentu. Entah berupa praktek pesugihan, ngilmu atau memang ada tujuan lain yang tidak ingin diketahui oleh orang banyak.
Keesokan harinya, bapak dan raden kuncoro kembali membahas tentang persoalan malam tadi.

‘’Mas? Apa mas yakin, jika sesepuh itu ada kaitannya dengan pria misterius itu?’’ Tanya Raden Kuncoro.

‘’Aku yakin! Tapi yang membuat aku sangat kesal hanyalah satu.’’

‘’Apa itu mas?’’

‘’Kita belum mengetahui siapa pria misterius itu.’’ Tidak berselang lama, terdengar suara teriakan dari para warga menuju ke rumah bapak.

Mereka berduyun-duyun membawa senjata tajam sembari meneriakkan sebuah kalimat yang menyuruh bapak dan juga raden kuncoro untuk pergi dari desa.

Bapak dan Raden Kuncoro terkejut di saat melihat sesepuh itu berjalan menuju ke rumah bapak tepat di belakang kerumunan para warga.
Hingga akhirnya, di saat mereka sudah berada tepat di depan rumah bapak, sesepuh itu berjalan ke arah depan dan mengucapkan sesuatu kepada bapak,

‘’Pergi dari sini! Kalian telah merusak kedamaian kami semua!’’

‘’Mak-maksud mbah apa?’’

‘’Kalian telah melanggar pantangan!’’

Para warga yang tersulut oleh perkataan dari sesepuh itu yang memaksa bapak dan juga raden kuncoro untuk segera pergi dari desa tersebut.

Tak ada yang bisa bapak dan raden kuncoro lakukan saat itu. Mereka berdua hanya bisa terdiam sembari melihat sekitaran para warga yang pandangannya merasa aneh.

Mulut-mulut mereka memang mengatakan seruan kepada bapak dan raden kuncoro untuk pergi, namun pandangan matanya yang berseri-seri seperti memberikan sebuah arti kepada bapak dan raden kuncoro akan sebuah makna yang sangat dalam.

Para warga itu seperti ditekan oleh sesepuh desa itu agar mau mengusir bapak dan juga raden kuncoro.
‘’Pergi! Kalian berdua harus pergi dari desa ini!’’

Namun hati mereka membelot akan hal itu. Mereka seperti mengatakan,
‘’Tolong jangan pergi! Selamatkan kami!’’

Begitulah kira-kira kalimat yang diucapkan oleh para warga. Namun, hati mereka mengatakan hal lain yang hanya bapak saja yang mengetahuinya.

Bapak melihat dengan jelas akan paksaan yang dilakukan oleh sesepuh itu.
Para warga dijadikan alat untuk mengusir bapak dan juga raden kuncoro karena sesuatu hal.

Bisa jadi, para warga yang berkumpul di depan rumah bapak saat ini adalah mereka yang kelak akan dijadikan tumbal selanjutnya oleh sesepuh dari desa ini!

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close