Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SEKAR PATI (Part 6) - Serangan

Rumah yang semula tenang mendadak gaduh tanpa sebab. Malam itu, serangan Sekar semakin gila, melalui raga yang dirasukinya, ia hampir membunuh orang yang ia sasar.


Bagian 6 - Serangan

Sudah satu minggu Pak Satria dan Pak RT melakukan tirakat yang diarahkan oleh Pak Sasongko. Meski bergantian karena masing-masing dari mereka punya kesibukan, tirakat itu selalu diupayakan setiap harinya.

“Kapan tirakat ini bisa diselesaikan?” pertanyaan itu melekat pada pikiran mereka setiap harimya.

Beruntung, Pak Sasongko menyuruh mereka melakukan itu pada sore hari saat matahari masih di atas kepala,

mungkin jika diminta melakukannya saat malam hari, banyak diantara mereka memilih mundur dari tugasnya dan lebih memilih di dalam rumah saja karena merasa takut oleh gangguan Sekar.

“Pak Dewa! Ayo buruan, sebentar lagi maghrib, waktunya hampir habis. Kita kudu cepat melakukan tirakatnya hari ini” ucap Pak Satria di depan rumah Pak Dewa.

Hari itu, kebetulan hanya Pak Satria, Pak Dewa dan Pak Rangga yang melakukannya, karena yang lainnya masih bekerja dan belum pulang. Namun, sore itu kampung Kramat hujan, sehingga mereka terlambat melakukan tirakatnya pada hari itu.

Setelah semua siap, mereka melangkah ke ujung-ujung desa seperti biasanya. Mereka sudah membawa empat botol kecil berisikan garam keramat yang dibawa Pak Satria,

sehingga, ketika sudah sampai di titik yang ditentukan, mereka hanya mengambil botol yang lama, untuk kemudian diganti oleh botol garam baru yang mereka bawa.

“Cepat, Pak! Kalau perlu kita lari.” ajak Pak Satria.

“Jalan saja, Pak. Memangya kenapa toh kalau ketemu maghrib? Mataharinya juga masih terlihat dan kita masih bisa melihat dengan jelas.”

“Jangan. Kita lakukan sesuai yang diarahkan Pak Sasongko saja. Kalau sudah maghrib, artinya sudah tidak sore lagi.” pungkas Pak Satria.

Mereka bertiga pun lantas bergerak cepat untuk mencapai titik pertama. Singkat cerita, sampai pada titik ketiga, mereka lakukan dengan lancar. Namun, pada saat mereka akan tiba pada titik ke empat, suara adzan maghrib lebih dulu berkumandang.

“Maghrib?” tanya Pak Satria.

“Iya, Pak.” Jawab Pak Dewa dan Pak Rangga bersama.

“Ayo, cepat kita ganti botol yang lama, Pak.” ucap Pak Satria seraya berlari dan menggali tanah yang berisikan botol garam kemarin yang terpendam kemarin.

Ketika selesai, mereka bertiga lantas melangkah ke arah pulang. Entah mengapa, saat itu hanya Pak Satria yang merasa tidak enak karena hari itu ia melakukan tirakat melebihi dari waktu yang telah diarahkan oleh Pak Sasongko.

“Pak! Perasaan saya kok tidak enak, ya?” ucap Pak Satria.

Pak Dewa pun menepis perkataan Pak Satria dengan dalih jika itu hanya perasaan angin lalunya saja.

Titik akhir mereka hari itu berada di utara desa, sementara pada titik itu dan wilayah rumah-rumah di kampung dibatasi oleh lahan warga yang diatasnya tumbuh banyak sekali pohon jati.

Tak begitu luas, namun cukup membuat orang lelah ketika melewati jalan yang membelah diantaranya dengan berjalan kaki.

Cahaya matahari perlahan hilang, dan hanya menyisakan temaram yang tampak di ujung langit. Apa lagi, tepat saat itu Pak Satria, Pak Dewa dan Pak Rangga baru saja memasuki area lahan jati.

Hal itu lantas menyebabkan jalanan tampak gelap dan sukar dilihat jika hanya dengan mata telanjang.

“Ada yang bawa senter?” tanya Pak Dewa.

“Tidak.” Jawab Pak Satria dan Pak Rangga.

“Tapi, handphone saya ada senternya, Pak. Coba saya nyalakan.” tukas Pak Rangga.

Suara adzan dan pujian masjid dan musholla masih banyak terdengar sampai telinga mereka, sehingga tidak terbesit sedikit pun rasa takut di pikiran dan perasaan mereka.

Namun, banyak orang menganggap, jika waktu maghrib adalah waktu dimana banyak sekali setan-setan dan makhluk gaib keluar dari sarangnya untuk berkeliaran. Semakin lama, suara adzan dan pujian hilang, berganti dengan suara jangkrik dan serangga malam yang memekik telinga.

“Pak Rangga, cepatlah sedikit, bapak kan yang ada senter.” suruh Pak Dewa.

Pak Rangga pun menambah kecepatannya, diikuti Pak Dewa dan Pak Satria di sebelahnya.

Namun, tak lama setelah itu, di belakang mereka muncul dua orang wanita sedang jalan beriringan. Spontan, Pak Dewa, Pak Satria dan Pak Rangga menepikan dirinya karena melihat kedua wanita itu terlihat sedang terburu-buru.

“Silakan, duluan saja, Mbak.” ucap Pak Dewa.
Kedua wanita itu lantas menyalip mereka bertiga dan dengan cepat melangkah hingga hilang dari tangkapan mata. Setelahnya, mereka bertiga kembali jalan.

Namun anehnya, kembali muncul dua orang wanita di belakangnya dan dgn jalan yang terburu-buru. Mereka bertiga pun kembali menepi dan menyuruh mereka untuk jalan lebih dulu. Pak Satria yang sedari tadi sudah merasa tak nyaman, lantas menyadari sesuatu hal aneh dari dua wanita itu

“Pak, bukannya mereka adalah dua wanita yang pertama tadi?” tanya Pak Satria sambil berjalan.

“Apa iya? Ah, enggak mungkin, Pak Satria salah lihat saja.” kata Pak Rangga.

“Sepertinya, dia akan lewat lagi dari belakang kita. Perhatikan saja ya, yang satu pakai daster merah, dan satunya lagi berwarna coklat. Dua-duanya punya rambut panjang tergerai hingga ke punggungnya.-

Dan satu lagi, mereka datang tanpa senter, berjalan menembus kegelapan disini hanya dengan mata telanjangnya."

“Ingat-ingat ya, Pak. Karena keyakinan saya, dari tadi mereka yang mendahului kita hanyalah dua orang yang sama.” ucap Pak Satria.

Ternyata firasat Pak Satria tidak salah, sekarang di belakang mereka kembali muncul dua orang wanita lagi. Dengan cepat mereka bertiga mempersilakan dua wanita itu menyalip dan berjalan duluan.

Satu-persatu yang dikatakan Pak Satria mulai terjawab dengan mata kepala Pak Dewa dan Pak Rangga sendiri.

“Coba perhatikan bentuk dan pakaian yang mereka kenakan.” bisik Pak Satria seiring dua wanita itu yang lama-lama hilang dari pandangan mereka.

Wajah Pak Dewa dan Pak Rangga yang semula santai, seketika berubah menjadi gelisah dan timbul keringat di dahinya. Entah apa sebabnya, lahan jati yang biasanya bisa mereka lalui cepat, malam itu terasa sangat lama.

Langkah demi langkah mereka bertiga menyisakan jejak dan menimbulkan suara dari daun jati kering yang diinjak. Tak lama kemudian, kejanggalan itu muncul lagi.

Dua wanita yang sudah tiga kali muncul sebelumnya, sekarang tiba lagi di belakang mereka bertiga. Pak Satria menepikan dirinya, lalu meraih handphone milik Pak Rangga, kemudian perlahan ia sorotkan senter di handphone menuju dua wanita itu.

“Mbak? Mau kemana?” tanya Pak Satria.

Dua wanita itu tak bergeming, kini, wanita itu berjalan pelan melewati mereka bertiga. Pak Satria tidak melepaskan pandangannya. Ia masih tajam menatap dua wanita itu dengan rasa penasaran.

“Pak Rangga, Pak Dewa, ada yang kenal wanita itu?” tanya Pak Satria. Keduanya lantas menggeleng.

“Mbak!” panggil Pak Satria lagi. Namun kali ini dengan nada keras.

Dua wanita itu tiba-tiba saja berhenti.

“Mbak, kalian mau kemana?” Pak Dewa mulai bersuara.

“Mau pulang” jawab salah satu wanita itu dengan suara serak dan pelan dan tubuh yang masih membelakangi Pak Satria, Pak Dewa dan Pak Rangga.

“Pulang? Dimana rumahnya?” timpal Pak Dewa lagi.

Mereka berdua lantas mengangkat tangannya, lalu menunjuk ke satu arah.

“Dimana itu, Mbak?” gantian Pak Rangga bertanya.

Dan beberapa detik kemudian, satu wanita itu kembali bersuara.

“Kuburan”

“Heh!” Pak Dewa terlonjak.

“Kuburan? Kami tidak ada niat buruk kepada kalian. Kami hanya tanya dimana rumah kalian.” Seru Pak Satria.

Namun, lagi-lagi wanita itu kembali bersuara sama “Kuburan…. Kuburan…. Kuburan” ucapnya berkali-kali.

Rasa takut berbalut penasaran, justru membuat Pak Satria nekad menghampiri dua wanita itu, mau tidak mau Pak Dewa dan Pak Rangga pun mengikutinya karena hanya Pak Satria yang bawa penerangan.

Ketika kira-kira sudah berjarak tiga langkah di depan wanita itu, sorot senter handphone di tangan Pak Satria ia arahkan ke tubuh dua wanita itu. Hanya dalam kedipan mata, pandangan Pak Satria berubah, dua wanita itu kini berubah wujud dalam sekejap.

Dari tempatnya berdiri, warna merah daster salah satu wanita itu ternyata adalah warna merah darah yang memenuhi pakaiannya. Serta yang berwarna coklat, ternyata adalah warna bekas tanah.

“Mbak.” Pak Satria masih sempat memanggilnya.
Beberapa detik kemudian, darah mengalir melalui bawah daster dan sela-sela kaki dari wanita yang memakai daster merah. Aroma busuk yang menyengat pun seketika menusuk hidung Pak Satria, Pak Dewa dan Pak Rangga.

Mereka bertiga langsung menutup hidung, menahan bau busuk yang menyengat itu. Pak Satria termangu, seolah tidak yakin dengan apa yang ia lihat di depannya.

Bersamaan dengan itu, ia merasakan tepukan di punggungnya, ternyata berasal dari tangan Pak Dewa yang ketakutan. Tak lama setelah itu, wanita berpakaian merah tiba-tiba saja bersuara.

“Tolong antarkan saya pulang.”

Pak Satria pun tercekat, terlebih lagi tadi dia mengatakan jika rumahnya berada di kuburan. Artinya, bisa jadi yang sedang dihadapannya sekarang adalah salah satu arwah yang bersemayam di kuburan sana.

“Pak?” panggil Pak Satria, ia menoleh ke arah Pak Dewa dan Pak Rangga. Kakinya gemetar, keringat dingin mengucur di seluruh badan, tidak tergambarkan seberapa rasa takut yang kini menyerangnya.

“Sekar?” tanya Pak Satria dalam hati. Pasalnya, perawakannya sangat berbeda dengan sosok Sekar yang mengejarnya beberapa hari yang lalu. Kata istigfar lantas ia ucapkan berulang-ulang untuk meredakan rasa takutnya.

“Ini bukan Sekar. Tolong tenanglah. Ingatkan Pak Rangga? Sekar bukan begini perawakannya.” ketus Pak Satria yang mencoba tenang.

Di tengah kecamuk pikiran dan rasa penasarannya, tiba-tiba saja senter handphone seketika mati. Beberapa detik kemudian, mereka mendengar suara lirih yang lama-lama berubah menjadi tawa cekikikan.

Pak Satria berusaha menyalakan handphone Pak Rangga yang ia genggam, namun berkali-kali usahanya tidak membuat handphone itu lantas menyala. Pak Satria, Pak Dewa dan Pak Rangga saling memanggil, mereka berharap apa yang mereka dengar hanyalah suara-suara halusinasinya saja.

Beberapa detik kemudian, suara lirih dan tawa itu semakin menggema dan berpindah-pindah tempat di sekitarnya. Dan…

“LARIIII!!!” ajak Pak Satria. Ia berlari tunggang langgang, melompat kesana-kemari keluar dari lahan jati menuju area rumah warga yang tidak jauh lagi keberadaannya.

Ia tidak dapat melihat Pak Dewa dan Pak Rangga di belakangnya, ia hanya mampu mendengar suara langkah kaki dan suara teriakannya saja. Jantungnya terpacu, napasnya terengah seiring dengan langkah yang ia keluarkan. Sementara suara Sekar masih menggema di telinga mereka.

“SEKAR!! SEKAR!!” teriak mereka bergantian sambil terus berlari tergopoh-gopoh.

Pak Satria lebih dulu lolos dan keluar dari lahan jati itu lantas menunggu Pak Dewa dan Pak Rangga di ujung jalan.

Dia mengira situasi sudah aman, tapi ternyata, bersamaan dengan Pak Dewa dan Pak Rangga yang muncul, sosok Sekar masih mengikuti mereka di belakangnya. Seketika, Pak Satria kembali berlari seraya berteriak “Cepat, Pak! Sekarrrrr!!!” .

Karena saat itu maghrib baru saja lewat, banyak sekali orang-orang yang masih lalu-lalang, spontan berhamburan berlarian pulang ke rumahnya karena melihat Pak Satria berlari sambil teriak menyebut-nyebut nama Sekar.

Beberapa meter di depan, tampak masjid yang masih terang, Pak Satria pun lantas berlindung di dalamnya, disusul Pak Dewa dan Pak Rangga di belakangnya. Orang-orang yang masih berada di dalam masjid pun terkejut melihat ketiganya datang dengan cara yang tidak wajar.

“Ada apa, Pak Satria?”

“Pak Dewa?”

“Pak Rangga?”

Tanya orang-orang. Kebetulan, diantara mereka ada Pak Basori yang menghampiri mereka.

“Sholatlah dulu, Pak.” suruhnya.

Setelah selesai, barulah mereka bicara jika baru saja ia ditemui dan dikejar sosok Sekar dari dalam lahan jati.

“Apa yang memicunya datang ya, Pak?” tanya Pak Dewa pada Pak Basori.

“Perasaan saya sudah merasa tidak enak sejak tadi. Apa lagi, kita melakukan tirakat hari ini telat, dan sudah masuk waktu maghrib. Mungkin itu sebabnya.” sela Pak Satria.

***

Malam itu, entah mengapa Pak Satria masih merasa janggal dengan perasaannya. Padahal, ia sudah pulang ke rumah tanpa teror Sekar lagi yang mengejarnya.

Ia yang saat itu tengah menghabiskan satu batang rokoknya dan segelas kopi di ruang tamu tiba-tiba dikejutkan dengan suara istrinya yang teriak-teriak dari dalam kamar.

Sontak Pak Satria dengan cepat menyusulnya ke dalam kamar. Disitu, ia melihat istrinya Asih sedang duduk menangis ketakutan, menjerit-jerit dengan tubuh gemetaran.

“Ada apa, Bu?” tanya Pak Satria seraya duduk di bibir ranjang kamarnya. Namun, istrinya masih belum membuka mulutnya, dia masih tampak terkejut seperti baru saja menjumpai sesuatu. Tapi, istrinya tidak meresponnya.

Pak Satria semakin cemas, ia ke belakang lantas mengambilkannya air putih, kemudian diminumkan pada Asih agar sedikit lebih tenang.

Tapi, yang terjadi setelah itu benar-benar di luar dugaannya. Asih yang semula diam dengan wajah tegang, tiba-tiba wajahnya memerah, napasnya pun berubah cepat sampai terengah-engah.

“Bu, kamu kenapa, Bu?” tanya Pak Satria lagi yang mulai panik oleh keadaan istrinya, namun tak lagi mendapat jawaban.

Pak Satria mencoba menyentuh istrinya, berusaha merebahkan tubuhnya dan membuatnya tenang. Namun, tiba-tiba Asih menggeram bagai anjing, matanya melotot penuh amarah dan giginya bergemelutuk. Tidak hanya disitu,tiba-tiba saja tangannya mencengkeram leher Pak Satria dengan kencang

“Haaaarrggggghhhhhhh” teriak Asih semakin keras. Semakin keras teriakannya, semakin keras pula cengkeraman tangannya.

“Arrggghh” rintih Pak Satria. Wajahnya dengan cepat memerah, napasnya tersengal sulit bernapas. Sambil membaca doa, tangannya berusaha membuka cengkeraman tangan istrinya dari lehernya.

Pak Satria mendorong tubuhnya, hingga menyebabkan tubuh istrinya pun terdorong hingga cengkeramannya melemah. Merasa mendapat kesempatan, dengan cepat Pak Satria menarik kepalanya, lantas menjauh dari tempat istrinya yang sedang kesetanan.

Tapi, belum jauh dia menghindar, sepakan kaki Asih menghantam tubuh Pak Satria hingga membentur dinding lalu terkulai ke lantai.

“Asih!!! Tenanglah!!!”

“Apa yang terjadi padamu!!!???” teriak Pak Satria panik, namun tak berpengaruh apa-apa pada istrinya.
Sungguh mengerikan. Keadaan Asih kini tak ubahnya seperti orang tidak waras yang menyerang orang di sekitarnya.

Melihat suaminya terkulai lemas, Asih justru tertawa lepas sampai suaranya melengking membuat telinga Pak Satria sakit. Dari suara tawa yang keluar dari mulut Asih, barulah Pak Satria sadari.

“Tidak salah lagi. Ini Sekar!!!” batin Pak Satria.

Asih pun melangkah mendekati Pak Satria bagai seorang dengan tatapan tajam. Wajahnya penuh amarah dan napasnya terengah-engah bagai banteng mengamuk, membuat Pak Satria pun takut melihat istrinya sendiri.

Pak Satria kembali mendapat serangan membabi buta dari istrinya. Dengan beringas Asih melompat lalu menghantam tubuh Pak Satria. Dia merasa dirinya ingin dibunuh oleh malam itu.

Berulang kali ia dapat terkaman dari tangan istrinya sendiri hingga tenaga Pak Satria tak dapat menahan energi besar di dalam tubuh istrinya.

“TOLONG!!! ASIH…. HENTIKAN!!!” Pak Satria berusaha berteriak.

***

Sementara, di sisi lain Pak Sukri, tetangga dekat rumah Pak Satria tiba-tiba saja mendengar suara tidak wajar dari rumah tetangga sebelahnya. Kebetulan malam itu Pak Sukri dan istrinya Lilis belum tidur karena baru saja pulang dari acara nikahan saudaranya di kelurahan sebelah.

“Ada apa di rumah Pak Satria ya, Bu? Kok gaduh sekali di rumah Pak Satria?” tanya Pak Sukri.

“Iya, ya? Ada apa ya, Pak?” jawab istrinya, seraya menajamkan indera pendengarannya.

Mereka berdua lantas keluar kamar, sama-sama memastikan apakah benar suara gaduh yang mereka dengar berasal dari rumah Pak Satria.

“Arrrgghhhh”

“Asih! Hentikan!”

Kini muncul suara teriakan Pak Satria dari dalam rumahnya. Pak Sukri dan istrinya mulai curiga, kemudian memutuskan keluar rumah untuk memeriksanya. Pak Sukri dan istrinya melangkah pelan menuju teras rumah Pak Satria.

Disitu, semakin jelas mereka mendengar suara erangan Pak Satria yang seperti menahan rasa sakit pada dirinya. Menyadari ada yang janggal di rumah Pak Satria, Pak Sukri lantas mengetuk pintu rumahnya berulang kali tapi tak kunjung mendapat sahutan.

Pak Sukri pun semakin cemas, ia coba mengayunkan gagang pintu di depannya, beruntung, pintu tidak terkunci dan dapat dibuka dengan mudah. Pak Sukri ditemani istrinya di belakangnya melangkah pelan ke dalam rumah.

Mereka berdua tidak melihat Pak Satria dan istrinya di ruang tamu atau ruang tengah rumahnya.

“Pak Satria” panggilnya pelan.

Saat mata Pak Sukri mencoba melirik ke arah kamar yang pintunya terbuka, seketika matanya terbelalak, jantungnya seakan berhenti berdetak saat melihat pemandangan di depannya.

Jelas sekali, di situ ia melihat Bu Asih dengan amarah di wajahnya sedang mencengkeram erat leher Pak Satria sambil berucap pelan “Mati…. Mati…” Bergegas Pak Sukri bergegas ke dalam. Di bantu istrinya, dia berusaha melepaskan cengkeraman tangan Bu Asih di leher Pak Satria.

“Bu Asih! Apa yang kamu lakukan!” hardik Pak Sukri. Cengkereman tangannya benar-benar kencang. Butuh tiga orang dengan tenaga ekstra sampai akhirnya cengkeramannya melemah.

“Apa yang terjadi di sini, Pak Satria?” tanya Pak Sukri saat berhasil melepas cenrkeraman di lehernya.

“Sekar… Sekar” ucap singkat Pak Satria.

“Sekar? Apa maksudmu?” tanya Pak Sukri lagi.

“Istriku dirasuki Sekar!!”

“Brakkk…. Brakkk…..” suara benda melayang, berjatuhan membentur tembok dan lantai rumah akibat ulah Asih yang sedang kerasukan.

Pak Satria kemudian mengajak Pak Sukri dan Bu Lilis keluar kamar, mengunci istrinya di dalam kamar, lalu berjalan ke belakang mencari keberadaan tabung kendi keramat miliknya yang ia percaya mampu meredakan suasana malam itu.

Beberapa menit kemudian, ia kembali dengan tabung kendi berisikan garam keramat miliknya. Ia lantas kembali membuka kamar lalu melemparkan garam-garam itu ke tempat istrinya Asih berada.

“Pergilah kau Sekar! Jangan kau sakiti istriku! Pergilah…. Pergiii!!!!” ucapnya sambil terus melemparkan garam miliknya ke arah Asih sampai dirasa kondisi berubah aman.

Di situ, Asih menjerit-jerit kesakitan, berulang kali Pak Satria melemparkan garam miliknya sambil terus merapalkan doa. Ada rasa kasihan di hatinya saat melihat istrinya meronta-ronta kesakitan.

Tapi, secepat mungkin pikiran itu ia buang, karena sejatinya yang sedang berada di hadapannya bukanlah istrinya lagi. Melainkan Sekar.

“Jika kamu tidak mau pergi sendiri, maka aku yang akan mengusirmu!” hardik Pak Satria pada arwah Sekar yang kini berada di dalam tubuh istrinya.

Pak Sukri dan istrinya hanya bengong melihat peristiwa di hadapannya. Sampai entah lemparan ke berapa, sepertinya usaha Pak Satria untuk mengusir Sekar dari tubuh istrinya mulai membuahkan hasil.

Asih menjerit-jerit seperti kesakitan. Melihat istrinya dalam keadaan demikian. ada rasa tidak tega dalam benak Pak Satria, namun mau apa lagi, hanya dengan cara ini dia bisa menyelamatkan istrinya dari jerat Sekar di dalam dirinya.

Perlahan, Asih mulai tenang, tubuhnya yang semula tegak berdiri dengan wajah penuh amarah, menjadi gontai sempoyongan sampai akhirnya tergeletak pingsan di depannya. Dibantu Pak Sukri dan istrinya, Pak Satria memapah istrinya ke atas ranjang sambil terus membacakan doa.

Saat sudah dirasa aman, Pak Sukri dan istrinya kembali pulang ke rumahnya dengan membawa rasa cemas yang hinggap di dalam benaknya sejak peristiwa tadi.

***

Hingga tiga puluh menit kemudian, di atas ranjang, Asih masih tergeletak tak berdaya. Pak Satria masih terus membaca doa, sambil membersihkan tubuh Asih yang baru ia sadari penuh sayatan luka.

Saat kesadarannya berangsur kembali, Pak Satria memberikannya segelas air hangat, lalu meminumkannya secara perlahan. Sungguh malang nasib Asih malam itu. Seluruh badannya lemas dibasahi banyak sekali keringat.

Energinya habis setelah dirasuki oleh sosok arwah Sekar. Perempuan yang tidak mengerti apa-apa malah menjadi sasaran kemarahan Sekar. Sejak saat itu, Pak Satria semakin terbakar ingin segera menghilangkan Sekar.

Dia akan cari petunjuk lain. Dari mana Sekar berasal, dan apa yang menyebabkannya gentayangan mengganggu banyak orang sampai sekarang.

***

Pak Satria tak membuka tokonya di hari itu. Ya, sehari-hari Pak Satria adalah pedagang di toko yang ia bangun sendiri dengan istrinya. Anaknya? Dia memiliki satu anak dan sudah bekerja di salah satu kota besar di seberang pulau sana.

Pak Satria menitipkan istrinya pada tetangga dekat rumah untuk menunggui istrinya yang masih terbaring lemas di atas ranjang. Dia tak tega jika meninggalkannya sendirian di dalam rumah. Terlebih lagi, tubuhnya sudah ditandai oleh Sekar, dia bisa datang kapan saja

“Minta tolong, saya ada urusan keluar rumah. Istri saya sakit semalaman, aku nggak tega kalau meninggalkannya sendirian.” Ucap Pak Satria.

“Sakit apa, Pak Satria?” tanyanya.

“Meriang saja, kena angin malam.” tutur Pak Satria yang tidak terus terang kepadanya.

Setelahnya, Pak Satria lalu keluar rumah. Langkahnya buru-buru di bawah matahari yang belum terlalu tinggi. Tujuannya adalah rumah Pak RT.

“Pak RT!” seru Pak Satria sambil berlari saat melihat Pak RT sedang menyiram beberapa pot bunga di depan rumahnya.

Pak RT menoleh, menghentikan aktivitasnya. Ia menyipitkan mata melihat ke arah suara yang memanggilnya karena cahaya matahari menyilaukan penglihatannya.

“Nggak mau ke ladang, Pak?” tanya Pak Satria basa-basi.

“Tidak. Sudah saya pasrahkan ke yang lainnya dulu.” Jawab Pak RT.

“Ada apa pagi-pagi begini sudah sampai sini, Pak Satria? Kan masih nanti sore kita melakukan tirakatnya.” tanya Pak RT sedikit heran.

Bukannya menjawab, Pak Satria justru bengong, bingung menjelaskan dari mana.

“Ada apa toh, Pak? Sepertinya kok ada masalah serius.”

“Pak Dewa dan Pak Rangga sudah cerita?” tanya Pak Satria.

Pak RT menggeleng.

“Aduh…. Anu, Pak. Semalam kami melihat Sekar. Dan istri saya dirasuki Sekar semalaman. Saya hampir mati di tangannya.” ucap Pak Satria sambil memperlihatkan beberapa bagian tubuhnya yang lebam akibat serangan dari istrinya.

Pak RT yang dari awal bingung pun jadi semakin bingung.

“Astagfirullah. Gangguan Sekar sudah sejauh itu?”

“Sepertinya, kita juga harus semakin cepat lagi menanggapi masalah ini. Jika tidak, akan ada korban berjatuhan karenanya.”

“Kita cari tahu penyebab Sekar mati. Saya rasa pasti ada sebab tersendiri yang menyebabkannya gentayangan setelah dia mati.”

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close