Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SEKAR PATI (Part 5) - Teror Yang Sebenarnya

Kabar bayi hilang secara misterius menggemparkan kampung, upaya pencarian pun dilakukan hingga larut malam. Hingga sampai pada titik dimana semua orang melihat wujud Sekar yang mirip Kuntilanak.


Bagian 5 - Teror Yang Sebenarnya

Matahari belum tinggi, tiba-tiba suara teriakan seorang laki-laki menggema di sebuah rumah, wajahnya panik dan khawatir. Kakinya melangkah mondar-mandir kesana-kesini guna mencari anaknya yang baru lahir satu minggu hilang dari dalam kamar.

“Anakku... Dimana anakku....” Teriaknya memanggil-maggil anaknya sambil berlarian keliling di halaman dekat rumahnya.

Orang-orang yang lalu-lalang di dekat rumahnya pun tak luput dari sasaran pertanyaannya. “Lihat anak saya, Pak? Lihat anak saya, Bu? Anak saya tidak ada di rumah! Anakku hilang!” cecarnya pada semua orang yang ia lihat.

Laki-laki itu adalah Susilo. Dia baru saja pulang kerja setelah semalaman dapat jatah berangkat shift malam.

Tapi, sepulangnya di rumah, ia hanya mendapati istrinya Arum pingsan, tergeletak di atas lantai dekat ranjang tidurnya, sementara anaknya tidak ia ketahui keberadaannya dimana. Hal itu, membuat orang-orang di sekitarnya penasaran.

“Ada apa, Mas Susilo? Anaknya kenapa?” tanya Pak Toha yang rumahnya bersebelahan langsung dengan Susilo.

“Anak saya nggak ada di rumah, Pak.”

“Nggak ada gimana maksudnya?”

“Hilang” jawab Susilo singkat.

“Hilang? Hilang gimana maksudmu? Dimana istrimu?”

“Bu... Bu... Cari Mbak Arum, Bu...” teriak Pak Toha kepada istrinya.

Pak Toha dibantu Pak Arga, menenangkan Susilo yang masih sangat cemas seraya menuntunnya ke dalam rumah, agar lebih mudah ketika diajak bicara.

Namun, meski sudah sedikit tenang, Susilo masih tertunduk lesu, karena merasa telah gagal menjaga istri dan anaknya. Saat sudah di dalam rumah, barulah Pak Toha tahu, jika Arum, istri Susilo, juga terbujur lemas di atas ranjang kamarnya.

“Mbak Arum kenapa, Bu?”

“Nggak tau, Pak, waktu ibu ke dalam, Mbak Arum sudah pingsan” tutur istri Pak Toha.

Pak Toha dan Pak Arga mulai curiga, ia lantas memeriksa setiap sudut rumah Susilo,

Hingga, Pak Toha menemukan beberapa bekas tetesan darah di kamar Susilo. Karena penasaran, ia mengikuti tetesan itu mengarah kemana.

Pelan-pelan ia mengikuti bekas tetesan darah itu dan semakin jauh semakin memudar hingga belakang rumah Susilo yang berbatasan langsung dengan area sawah milik warga.

“Anakku dimana....”

“Anakku....”

“Aku baru jadi bapak... Bantu saya cari anak saya, Pak.” Susilo memohon kepada Pak Toha dan Pak Sukat.

Saat itu, Pak Toha melangkah keluar, katanya hendak ke rumah Pak Basori untuk melaporkan kejadian ini.
“Assalamualaikum, Pak Basori.” Ucap salamnya saat tiba di depan rumah Pak Basori.

Tak berselang lama, Pak Basori keluar rumah, kemudian mempersilakan Pak Toha masuk ke dalam rumahnya. Mengetahui Pak Toha datang dengan raut wajah panik, ia pun langsung bertanya kepadanya.

“Ada apa, Pak? Kok pagi begini sudah sampai di rumah saya.” Tanya Pak Basori sembari mengabcingkan kemejanya satu-persatu.
Pak Toha tidak langsung menjawab. Ia bingung ingin menceritakannya darimana.

“Pak Toha?” panggil Pak Basori.
Agak sedikit ragu, Pak Toha akhirnya buka suara.

“Begini, Pak. Saya baru saja dari rumah Susilo.” Ucapnya berat. Pak Basori memperhatikannya dengan seksama. Sepertinya ia sudah merasa ada sesuatu yang janggal dengan kedatangan Pak Toha.

“Anak Mas Susilo hilang, Pak.”

“Hilang? Hilang gimana maskudnya, Pak Toha?” Tanya Pak Basori heran.

“Iya, Pak. Benar hilang. Tadi pagi, waktu di dalam rumah, saya tiba-tiba dengar Susilo teriak-teriak keluar rumah sambil memanggil-manggil anaknya. Istrinya pun pingsan di dalam rumah entah apa sebabnya, karena sampai sekarang belum siuman.”

“Bagaimana bisa, Pak? Kemana Mas Susilo sampai tidak tahu anak dan istrinya dalam bahaya?”

“Dia semalam kerja, dapat jatah berangkat malam. Sepulangnya di rumah, dia sudah mendapati istrinya pingsan dan anaknya tidak ada di rumah.”

Setelah Pak Basori paham, ia langsung meminta Pak Toha mengantarnya ke rumah Susilo. Diluar dugaan Pak Toha, ternyata di rumah Susilo sudah ada banyak orang. Mereka datang karena Arum yang tiba-tiba kejang dan berteriak-teriak saat mulai siuman

“Arrrgggghhhh......”

“Dimana anakku”

Teriak Arum. Pak Toha dan Pak Basori yang baru sampai depan rumah Susilo pun lantas berlari masuk ke dalam. Pak Arga membawa mereka masuk ke dalam kamar dimana Susilo dan istrinya sedang terbaring lemas.

“Bagaimana ini, Pak?” tanya istri Pak Toha.

Pak Toha melirik Pak Basori, karena beliau lah yang dia harapkan dapat memberi solusi atas masalah ini.

“Saya harus mendengar keterangan dari Mbak Arum dulu agar kita bisa bertindak.” Ucap Pak Basori.

“Pak Basori. Apa mungkin ulah penculik? Tapi untuk apa dia menculik anak yang masih bayi?” tanya Bu Toha, seraya mengambilkan satu gelas air putih.

“Kita belum bisa mengambil kesimpulan apa-apa, sebelum mendengar keterangan dari Arum.”

Pak Toha berdiri, lalu melangkah ke bekas tetesan darah yang ia temukan tadi. “Coba lihat ini, Pak. Ini mengarah ke belakang rumah, dan hilang di sana” kata Pak Toha.

Tidak hanya Pak Toha dan Pak Basori, semuanya bingung dengan teka-teki hilangnya anak Susilo ini.

“Bu Toha, bisa minta tolong buatkan air hangat?” perintah Pak Basori.

Setelah beberapa menit, Bu Toha kembali dengan membawa satu gelas air hangat dan menyerahkannya pada Pak Basori. Pak Basori tampak merapalkan doa-doa pada air itu, sebelum akhirnya ia berikan kepada Arum.

Setelah diminumkan, di hadapan mereka, tubuh Arum bereaksi, tubuhnya kejang, lalu memuntahkan isi dalam perutnya.

“Alhamdulillah” ucap Pak Basori.

Semua orang terhenyak dan melihat Arum dengan wajah bingung.

“Berikan air itu pada Mas Susilo juga, agar dia lebih tenang” perintah Pak Basori.

Toha memberikan segelas air itu pada Susilo dan langsung menenggaknya sampai habis. Selepas itu, ia bersandar di kursi rumahnya, sejenak melemaskan badannya, mengatur napas dan berusaha tenang.

Butuh waktu tiga jam untuk menunggu Arum sedikit tenang, agar bisa dimintai keterangan.

“Mbak Arum?” panggil Pak Basori.

Arum melirik Pak Basori dan yang lainnya dengan tatapan lemas dan air mata yang masih mencoba keluar dari sela-sela kelopak matanya.

“Apa yang sebenarnya terjadi, Mbak Arum?” Pak Basori mulai melontarkan pertanyaannya.

Semua orang di ruangan menatap fokus ke arah Arum dan tidak ada sedikit pun yang bersuara.

“Ceritakan saja pelan-pelan, Mbak. Supaya kami bisa membantu.” Terang Pak Toha

Arum menghela napas, tampak di matanya ia sedang mencoba mengingat-ingat lagi apa yang sebelumnya terjadi di rumahnya tadi malam. Beberapa menit berselang, Arum mulai bersuara, tergambar jelas amarah dan kesedihan yang tak tertahan di wajahnya.

Arum melirik Susilo, kemudian menegakkan posisi duduknya dan mulai menceritakan kronologi kejadiannya.

Semalam, saat Arum baru saja menidurkan anaknya Galih, tiba-tiba saja Arum mendengar suara pekik tawa di sekitar rumahnya. Hal itu spontan membuat Arum merasa takut lalu langsung mencoba tidur agar menghilangkan rasa takutnya.

Karena ia meyakini, jika itu merupakan suara arwah Sekar yang belakangan ini kerap gentayangan di dalam kampung. Namun, entah pada pukul berapa, Arum terbangun dari tidurnya.

Ia merasa perutnya melilit dan ingin buang air besar. Ia melirik anaknya di samping, anaknya masih tidur pulas dengan selimut tebal di atasnya.

Arum lantas beranjak dari tempat tidurnya pelan-pelan, menyingkap selimutnya lalu melangkah pelan keluar kamar dengan tujuan toilet di belakang. Baru tiga langkah, Arum teringat dengan suara cekikikan Sekar, ia mulai ragu, tapi rasa melilit di perutnya tak dapat ia tahan lagi.

Jadi, dengan rasa takut, Arum menarik napas panjang, lalu memberanikan diri kembali melangkah.

Toilet rumah Arum ini berada di belakang, terpisah dengan rumah utamanya. Jika pagi dan sore hari, area belakang rumah Arum ini terasa segar udaranya karena berbatasan langsung degan persawahan milik warga.

Namun, saat malam tiba, menjelma menjadi area gelap gulita karena minim penerangan. Arum berlari kecil, hajatnya sudah tak tertahan ingin dikeluarkan. Begitu sampai di belakang, Arum segera meraih gagang pintu kamar mandi, lalu membukanya tergesa-gesa.

Tanpa berpikir lama, Arum langsung membuang hajatnya sambil menahan degup jantungnya yang semakin terasa.

Setelah selesai, Arum ingin segera beranjak dan kembali ke dalam kamar. Namun, nasib baik belum berpihak pada Arum, pintu toiletnya mendadak sukar ketika henda dibuka. Padahal, kala itu Arum tak mengancing pintunya, melainkan hanya ditutup dan dirapatkan saja.

Arum semakin keras mencoba menarik pintu dari dalam. Namun semakin dicoba, semakin pintu itu tidak bisa dibuka. Arum semakin panik, degup jantungnya semakin keras ia rasakan.

Di tengah rasa takutnya yang tinggi, telinganya mendengar suara berisik dari dalam. Seperti suara tumpukan benda di belakang rumahnya yang sedang diacak- acak.

“Astagfirullah” Arum terlonjak sambil beristigfar. Ia mulai khawatir dengan anaknya yang ia tinggal di dalam, apa lagi pintu belakang rumahnya masih terbuka dengan lebar.

Arum menarik pintu toiletnya lagi sekuat tenaga, namun belum berhasil terbuka. Arum mulai putus asa, ia lantas menggedor-gedor pintu sambil terus menarik, bahkan mendorong pintu toiletnya dari dalam.

Seolah firasatnya benar, suara dari tumpukan barang dari belakang rumahnya berhenti. Arum sejenak lega. Namun, beberapa saat kemudian ia mendengar anaknya Galih menangis dari dalam kamar.

Arum semakin panik, ia semakin kuat menarik dan mendorong pintu toiletnya. Bahkan sampai mendobrak pintunya berkali-kali. Arum putus asa, ia menangis karena mengkhawatirkan anaknya di dalam. Tubuhnya melemas, lalu berjongkok sambil terus memegang gagang pintu dan menariknya.

Beruntung, saat ia sudah mulai pasrah dan hanya menariknya pelan, tiba-tiba pintu di depannya terbuka dengan sendirinya. Tanpa pikir panjang, Arum berlari ke dalam rumah, menyusul anaknya yang sedang menangis di dalam kamar.

Saat sampai di bibir pintu kamar, Arum terpaku di sana, karena di hadapannya, ada sosok wanita dengan gaun putih lusuh penuh darah sedang menimang anaknya diantara kedua tangannya. Rambutnya acak-acakan menjuntai hingga pinggang.

Arum masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Arum berkali-kali memgusap matanya, tapi sosok itu benar-benar nyata di depannya. Arum semakin ketakutan, tubuhnya bergetar hebat.

Sosok wanita itu menoleh pelan ke arah Arum, sambil tersenyum menyeringai melihat Arum yang berdiri mematung ketakuan. Namun, ibu mana yang bisa tenang melihat anaknya dalam bahaya. Arum lantas melawan rasa takutnya demi menyelamatkan anaknya yang kini berada di tangan Sekar.

“Kembalikan anakku!!” teriak Arum seraya berlari ke arah Sekar.

Namun, yang terjadi selanjutnya sungguh diluar dugaannya.

Langkah Arum terhenti dengan sendirinya, tubuhnya mematung beberapa detik sebelum akhirnya tubuhnya terpental hingga membantur tembok kamarnya dan tak sadarkan diri.

Dan setelah itu, ia tidak tahu lagi selanjutnya. Arum menangis sesenggukan menceritakan kronologi kejadian dimana anaknya hilang dibawa Sekar.

Mendengar semua penjelasan Arum, membuat Pak Toha, Pak Basori dan Susilo terkejut. Rupanya, ini semua adalah ulah Sekar yang terornya sudah sampai sejauh ini.

“Lapor ke Pak Bayan, Mbok Rondo dan minta bantuan orang-orang yang bisa diandalkan untuk mengatasi masalah ini.” Suruh Pak Basori.

(Bayan = perangkat desa atau kelurahan)

“Siapa orang-orang yang bisa diandalkan itu, Pak?” tanya Pak Arga.

“Siapa saja. RT, RW atau yang lain, Pak.” Tukas Pak Basori.

Karena sudah gusar dan ingin segera bergerak, akhirnya Pak Basori pun turun tangan ikut mencari orang- orang itu.

“Biar saya ikut cari orang-orang itu.”

***

Sepulangnya dari rumah Pak Sasongko, Pak Satria dan yang lainnya pulang ke rumahnya masing-masing untuk istirahat. Rencananya, besok pagi mereka akan ke rumah Pak Bayan. Selain untuk laporan, juga untuk membicarakan rencana selanjutnya yang akan mereka lakukan.

Paginya, sekitar pukul sembilan, Pak RT dan Pak Surat lebih dulu memulai perjalanannya ke rumah Pak Bayan. Namun belum lama mereka keluar gang rumahnya, mereka berdua berpapasan dengan Pak Basori, Pak Toha dan Pak Arga dengan wajah sedikit tegang.

“Ada apa toh, Pak Basori? Kok sepertinya sedang buru-buru.”

“Mau cari njenengan, Pak.”

“Cari saya?”

“Iya. Mas Susilo, warga RT sebelah, anaknya hilang, Pak.” ucap Pak Basori.

“Hilang? Bagaimana ceritanya bisa hilang?”

“Digondol Sekar.” Jawab Pak Toha singkat.

Pak RT dan Pak Sukat terlonjak mendengarnya. Tanpa basa-basi lagi, mereka berlima berangkat bersama ke rumah Pak Bayan. Di sana, sudah ada Pak Satria, Pak Rangga dan Pak Dewa.

“Ini gawat” ucap Pak RT pada ketiga rekannya di sana.

“Kenapa, Pak?” balas Pak Dewa.

“Teror sekar sudah sejauh ini. Tadi malam, anak Susilo diambil

Total ada sembilan orang termasuk Pak Bayan berkumpul pagi itu. Pak Basori dan Pak Toha melaporkan tentang berita hilangnya anak Susilo, sementara Pak RT dan rombongannya bercerita mengenai rencana yang mereka buat dari arahan Pak Sasongko.

Singkatnya, mereka sepakat, melakukan tirakat sesuai arahan dari Pak Sasongko mulai sore nanti. Selain itu, di waktu yang bersamaan, mereka akan mulai melakukan pencarian terhadap anak Susilo.

Dan pencarian mereka, akan fokus pada sepanjang jalan dan daerah dari rumah Susilo hingga kuburan Sekar.

Setelah beres, mereka bergerak ke rumah Susilo, sebelum itu, Pak Basori dan Pak Toha lebih dulu bertandang ke rumah Mbok Rondo, dia adalah salah satu tetua kampung.

Dia dipanggil Mbok Rondo karena ditinggal mati suaminya sejak masih berusia tergolong muda dan tidak menikah lagi sampai sekarang. Dia diyakini banyak orang memiliki ilmu spiritual yang bisa diandalkan.

Di sela-sela itu, Pak Satria dibantu Pak Dewa, Pak Rangga dan Pak Sukat pun mempersiapkan perlengkapan yg akan mereka gunakan dalam tirakatan pertamanya, yakni 4 botol kecil yg akan diisi oleh garam krosok yg telah bercampur dengan bawang putih dan benda pemberian Pak Sasongko

“Siapa yang akan melakukan tirakat ini?” tanya Pak Dewa.

“Siapa lagi jika bukan kita semuanya, Pak.” jawab Pak Satria.

“Sampai kapan?”

“Sampai kampung dirasa aman” kata Pak Satria.

“Haduh. Artinya, bisa saja sebentar, atau malah lama ya, Pak?” ujar Pak Dewa sambil menghela napas panjang.

Singkat cerita, saat masuk sore, banyak orang sudah berkumpul di rumah Susilo, rombongan dipecah menjadi dua, Pak RT dan Pak Dewa dengan rombongannya melakukan tirakatnya,

sementara Pak Bayan, Pak Basori, Pak Toha, Mbok Rondo bersama warga yang lain melakukan pencarian anak Susilo. Pencarian mereka lakukan dari rumah Susilo, lalu menyisir jalanan kampung dan akan menuju ke kuburan Sekar.

Riuh warga memanggil-manggil nama Galih kedengaran ramai sore itu. Setiap orang yang mereka lewati dan tidak tahu tentang berita hilangnya anak Susilo pun bergabung ketikamelihat keramaian itu.

“Sepertinya mustahil bisa ditemukan kalau dalam keadaan masih terang begini.” ucap Mbok Rondo.

“Bukannya kalau masih terang begini malah semakin mudah untuk mencari keberadaannya, Mbok?” tanya salah satu warga yang mendengar perkataannya.

“Iya. Tapi, hilangnya anak Susilo ini bukan hilang diculik orang, tapi dibawa lelembut yang sedang gentayangan di kampung ini. Kita tidak cukup mencarinya dengan penglihatan mata biasa” terang Mbok Rondo.

Dan benar saja, sesuai perkataan Mbok Rondo, sampai adzan maghrib berkumandang, tanda-tanda keberadaan Galih belum juga muncul.
“Kita lanjut lagi nanti malam setelah isya.” Perintah Pak Bayan.

Diantara waktu jeda itu, Mbok Rondo memberikan intruksi khusus kepada beberapa warga untuk mengambil kentungan di pos kamling, tambir, dan peralatan dapur.

“Untuk apa, Mbok?” tanya para warga.

“Sudah, lakukan saja. Nanti Mbok jelaskan” tutur Mbok Rondo.

Setelah lepas isya, orang-orang kembali memadati rumah Susilo, kali ini Arum sudah tampak lebih segar dan akan ikut mencari keberadaan anaknya itu.

“Kenapa lebih sedikit dari tadi sore, ya?” tanya Pak Bayan.

“Mungkin mereka takut keluar rumah malam-malam begini, Pak. Takut ketemu Sekar di tengah jalan.” Tukas Pak Satria.

“Ya sudah, segini juga sudah baik. Mari kita mulai sekarang saja”

Sebelum pencarian dilakukan, Mbok Rondo menjelaskan beberapa aturan atau cara yang akan ia terapkan dalam pencarian malam ini.

Mbok Rondo mengambil salah satu tambir dan peralatan dapur yang dibawa warga, dia mengarahkan warga untuk memukul tambir dan peralatan dapur yang mereka bawa saat berkeliling nanti seraya memanggil nama Galih.

“Apa cara ini efektif, Mbok?” tanya Pak Basori.

“Orang-orang tua dulu, biasa melakukan ini jika ada anak hilang yang diduga diambil oleh makhluk gaib.”

“Dan berhasil, Mbok?” tanya warga.

“Lakukan saja, jangan banyak tanya. Ini salah satu usaha.” tutur Mbok Rondo. Pak Basori dan Pak Bayan pun hanya diam dan mendukung arahan yang Mbok Rondo berikan.

Kali ini, pencarian dimulai dari belakang rumah Susilo yang dicurigai kalau sosok Sekar keluar dari rumah Susilo melalui belakang rumah karena di situlah bekas tetesan darah yang ditemukan Pak Toha terakhir terlihat.

“GALIH”

“GALIH”

“KEMBALIKAN ANAKKU GALIH”

“SEKAR!!! KEMBALIKAN GALIH”

Teriak para warga bersahutan, termasuk Arum dan Susilo yang memanggil nama anaknya dengan cemas.

Riuh bunyi kentungan, tambir dan peralatan dapur pun turut mengisi jalanan kampung malam itu. Pak Basori, Pak Satria dan Pak Bayan berada di barisan depan. Sementara Mbok Rondo ditemani beberapa warga yang lain berada di belakang.

Mbok Rondo menoleh ke kanan, kiri, bahkan menatap ke atas rimbunnya pohon untuk mencari tanda-tanda keberadaan Galih. Bagaimanapun juga, hilangnya anak Susilo bukan diakibatkan ulah manusia, melainkan ulah lelembut yang sudah meneror kampung beberapa waktu terakhir.

Sehingga, proses pencarian tak hanya dengan ilmu dan mata di kepala saja, melainkan dengan spiritual dan mata yang bisa melihat lebih jauh sekadar melihat sesuatu yang kasat mata.

Seolah terpanggil dengan teriakan yang dilontarkan warga., tiba-tiba saja warga dikagetkan oleh suara cekikikan perempuan yang dicurigai adalah suara Sekar.

Semakin lama, suara itu terdengar kian jelas diantara suara jangkrik. Seketika warga berhenti dari aktivitasnya, seraya menajamkan telinga.

“Sekar!”

“Sekar muncul! Sekar datang!” teriak orang-orang yang mulai panik mendengar itu.

“Tetap tenang, jangan sampai kita takut dan terpengruh dengan itu. Dia hanya menakut-nakuti agar kita lengah dan gagal mencari keberadaan Galih.” Ucap Mbok Rondo dengan suara lantang.

Pak Basori dan Pak Bayan pun ikut meredamkan suasana, senter pada genggamannya pun bergerak pelan, menyorot ke segala arah di sekitarnya.
Ikut merasa khawatir dan waspada, Pak Satria sudah berjaga-jaga dengan kendi keramatnya,

sedikit demi sedikit ia menaburkan garam itu ke jalanan yang ia lewati bersama para warga.

“SEKAR! KEMBALIKAN ANAK YANG KAU BAWA!”

“KEMBALIKAN GALIH!” teriak Mbok Rondo.

Jalan semakin sepi ketika tak terasa sudah tiba di batas kampung, artinya sebentar lagi mereka akan sampai di area pemakaman umum yang di dalamnya bersemayam jasad Sekar.

Pohon asam berukuran cukup besar berjejer serta lebatnya pohon bambu menjadi pertanda, jika itu adalah pintu masuk menuju pemakaman. Arum yang sedari tadi berteriak dan terus melihat ke segala arah, tiba-tiba pandangannya tertuju oleh sesuatu.

Sebuah sobekan jarik yang menggantung diantara ranting pohon. Karena merasa curiga, sontak ia lari menyalip beberapa orang lalu menghampiri benda yang ia curigai itu.

“Ini.... Ini kain jarik yang saya pakai buat selimut Galih tadi malam!” ujar Arum pada orang-orang.

Orang-orang pun menghampiri Arum.
“Kamu yakin?” tanya Pak Basori penasaran.

Arum mengangguk. Pak Basori dan Pak Bayan mengamati kain jarik itu.

“Mungkin benar, ini adalah jejak keberadaan Galih yang dibawa Sekar” ucap Pak Basori.

Tanpa perintah lagi, orang-orang mulai mengedarkan pandang ke atas pohon-pohon di sekitar situ dengan senter dan penerangan lainnya yang mereka bawa.

“GALIH! DIMANA KAMU, NAK” teriak Arum. Instingnya sebagai seorang ibu mulai muncul. Ia merasa, jika anaknya Galih berada tak jauh dari sini.

“Saya merasa Galih ada di sekitar sini, Pak.” ucap Arum.

Pak Bayan lalu memerintahkan orang-orang untuk mulai menyisir sambil terus memukul kentungan dan seluruh peralatan dapur yang mereka bawa. Dari belakang, Mbok Rondo melangkah ke depan, tangannya terlihat bergerak kesana-kemari seperti sedang melakukan sebuah ritual.

Mulutnya pun tampak komat-kamit seolah merapalkan sebuah mantra. Orang-orang yang pun dibuat bingung dengan tingkah lakunya. Ini di luar skenario yang dibuat

“Mbok? Mbok Rondo sedang melakukan apa?” tanya Pak Dewa heran. Namun langsung dibungkam oleh Pak Satria agar diam dan perhatikan saja.

Sambil melakukan ritualnya, Mbok Rondo bergerak pelan di dekat barisan pohon asam di dekatnya.

Tak lama setelah itu, sayup-sayup ia mendengar suara salah satu batang pohon dan daun pohon asam berisik saling bergesekan. Mbok Rondo yang merasa curiga pun memeriksanya, dengan mulutnya yang terus komat-kamit merapalkan mantra.

Matanya tajam memeriksa setiap dahan pada setiap pohon di sekitarnya.

“SEKAR! KEMBALIKAN ANAK ITU!” teriak Mbok Rondo.

Mbok Rondo mengambil beberapa kerikil di dekatnya, lalu melemparkannya ke titik yang ia curigai. Sementara, semua orang hanya menatapnya dengan tatapan heran.

Cukup lama Mbok Rondo melakukan itu, hingga akhirnya muncul sebuah tanda, diawali dengan suara tawa cekikikan yang tadi sempat hilang kini kembali terdengar.

Di atas pohon asam yang Mbok Rondo curigai, di atas salah satu batangnya, muncul sosok putih dengan wajah yang menyeramkan. Sosok yang ia cari sedari tadi, akhirnya muncul di hadapannya.

“SEKAR!! SEKAR!!” ucap Mbok Rondo meninggikan suaranya, namun tidak berteriak.

“Kembalikan anak itu!”

Mbok Rondo kembali melemparnya dengan kerikil yang masih ia genggam ke arah batang pohon dimana sosok Sekar itu berada. Lemparan itu dibalas dengan suara tawa melengking hingga membuat takut semua orang yang mendengarnya.

“Tidak perlu takut!” ujar Mbok Rondo pada semua orang di belakangnya.
Cukup lama Mbok Rondo memaksa Sekar agar mengembalikan Galih yang dibawanya. Sampai akhirnya, diantara suara cekikikan tawa itu, tiba-tiba saja terdengar suara tangis bayi. Ya, itu adalah suara tangis Galih.

“Galih!!!” panggil Susilo dan Arum spontan saat mendengar suara tangis anaknya.

Mbok Rondo memanggil beberapa orang untuk membantu menerangi penglihatannya ke atas.

Seketika raut wajah mereka berubah menjadi raut wajah takut yang teramat sangat ketika melihat wujud Sekar yang mirip kuntilanak. Bergaun putih dan penuh darah.

“Arahkan saja senter kalian ke atas, tatapanmu nggak perlu melihat ke sana.” Suruh Mbok Rondo.

Setelah itu, Mbok Rondo kembali memanggil lebih banyak orang lagi untuk berjaga-jaga di sekitarnya. Ia khawatir jika Galih anak Susilo tiba-tiba saja Sekar jatuhkan dari atas pohon. Orang-orang terlihat ragu saat hendak menghampiri Mbok Rondo.

“Apa yang kalian pikirkan? Cepat kesini!” ucap Mbok Rondo dengan suara meninggi

Suasana semakin mencekam bersamaan dengan suara Sekar semakin keras terdengar di telinga banyak orang. Beberapa diantaranya tampak tak tahan dan ingin lari dari sana, namun dicegah oleh yang lainnya

“Jangan ada yang lari sebelum pencarian ini selesai!” teriak Pak Bayan.

“SEKAR! KEMBALIKAN ANAK ITU!” hardik Mbok Rondo.

Beberapa menit setelahnya, Sekar terlihat bergerak, tubuhnya melayang dan berpindah tempat. Semua orang di sana melihat Sekar melayang di atas mereka.

Namun, diantara situasi yang mencekam itu, Mbok Rondo kembali berujar, “Sudah, biarkan dia pergi! Galih sekarang berada di atas sana. Cepat ambil ke atas!”

Mendengar itu, tanpa basa-basi Susilo bergegas memanjat pohon yang cukup tinggi itu untuk mengambil anaknya.

“Hati-hati, Mas!” teriak Arum menangis.

Susilo memanjat pohon dengan hati-hati, para warga yang melihat membantunya dengan mengarahkan semua senternya ke atas.

Setelah Galih berhasil di pelukannya, kini Susilo perlahan turun. Suasana malam itu menjadi sukit dijelaskan. Mencekam, sekaligus haru karena Galih anak Susilo dan Arum telah ditemukan.

“Alhamdulillah” ucap syukur semua orang melihat Galih telah ditemukan selamat.

Pak Basori mendekat ke Susilo, kemudian ia tempelkan tangannya dan sedikit mengusap-usap kepala Galih sambil membacakan doa.

“Besok, bawalah Galih ke puskesmas atau ke dokter untuk dicek kondisi tubuhnya.” Suruh Pak Basori.

“Terima kasih banyak, bapak, ibu, Mbok Rondo.” ucap Susilo dan Arum kepada semua orang yang telah membantunya.

“Sama-sama. Ini sudah kuasa Yang Kuasa. Ayo. Sekarang segera pulang.” ucap Mbok Rondo pada semua orang.

Hingga kurang lebih pukul satu pagi, orang-orang pun kembali ke rumahnya masing-masing dan kondisi kampung pun kembali sepi.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close