Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SEKAR PATI (Part 4) - Teror Semakin Meluas

Hampir di setiap malam, pekik tawa dan rintihan tangis terdengar mengelilingi kampung. Sejak berita itu merebak, orang-orang lebih memilih menutup pintunya ketika gelap datang.


Bagian 4 - Teror Sekar Yang Semakin Meluas

Malam itu, Desa Sumberlawang diterpa hujan sangat deras, angin pun yang bertiup hingga menimbulkan suara yang cukup keras di telinga.

Sudah satu bulan sejak berita kematian Sekar diterima, di dalam rumahnya, Bu Wulandari masih kerap menangisi kepergian Sekar. Terlebih lagi dengan cara yang cukup mengenaskan.

“Kapan ibu akan ikhlas ya, Pak?” tanyanya pada suaminya.

“Pelan-pelan ibu akan ikhlas dan terbiasa. Insya Allah Sekar sudah diberi tempat terbaik oleh Allah, Bu. Kita hanya bisa mendoakan Sekar setiap harinya setelah sholat” ujar Pak Darmani.

Bu Wulandari mengusap matanya dengan tisu, berusaha menghapus sisa-sisa air matanya yang masih memaksa keluar.

Diantara hujan yang masih turun, tiba-tiba timbul suara ketukan dari kaca rumah beberapa kali.

Awalnya hanya pelan, sehingga Pak Darmani dan Bu Wulandari hanya menganggap itu disebabkan oleh hujan atau angin yang membentur kaca tersebut. Namun, lama-kelamaan suara ketuan itu semakin kencang dan lebih semakin cepat.

“Ada orang? Siapa malam-malam dan hujan begini ke rumah” gerutu Pak Darmani.

Pak Darmani melangkah ke depan, tangannya meraih gagang pintu lalu membukanya. Tapi, setelah pintunya terbuka, tidak ada seorang pun yang terlihat.

Pak Darmani menengok kanan, kiri mencari keberadaan orang yang mengetuk kaca rumahnya barusan.

“Kok nggak ada orang ya, Bu” teriak Pak Darmani dari luar.
Namun, saat Pak Darmani hendak menutup pintunya lagi, tiba-tiba dia mendengar suara bisikan yang entah dari mana asalanya.

“Bapak” ucap suara tanpa tuan itu.

Sontak tubuh Pak Darmani semakin dingin, bulu kuduknya merinding.

“Kenapa, Pak?” tanya Bu Wulandari saat melihat suaminya melangkah cepat kembali ke arahnya.

“Pak… Bapak…. Ibu….” suara itu kembali muncul, dan kali ini Bu Wulandari ikut menyadarinya juga.

“Astagfirullah… Pak? Bapak dengar?” tanya Bu Wulandari.

Pak Darmani dan Bu Wulandari diam, diantara suara rintikan air hujan di atas atap rumahnya, mereka menajamkan indera pendengarannya, lalu mendengarkan suara itu dengan seksama.

Berbekal nekat dan penasaran, Pak Darmani mengintip melalui celah gorden pada jendelanya, ia yakin jika suara itu berasal dari luar.

“Bapak….”

Dengan tatapan tegang, Pak Darmani menoleh ke istrinya, “Suaranya semakin jelas, Bu.”

Suara kilatan petir mengejutkan mereka berdua. Tak lama dari situ, ketukan dari kaca depan kembali lagi mereka dengar.

Tapi, kali ini disertai ketukan pintu dengan tempo yang terdengar lambat, dan lama kelamaan ketukannya semakin cepat, semakin cepat.

“Tookkkk…… tokk…… tokkk……”

“Siapa, Pak?” tanya Bu Wulandari panik.

Pak Darmani dan Bu Wulandari saling bertatapan bingung. Beberapa detik kemudian, suara ketukan itu hilang. Keheningan menenggelamkan mereka untuk sesaat, sebelum akhirnya sesuatu menggebrak pintu dengan keras seperti ada seseorang yang ingin memaksa masuk.

Mereka berdua hanya terdiam, sambil berusaha untuk tidak mengeluarkan suara. Diantara ketegangannya itu, tiba-tiba saja…

“Daarrrrr….” Gebrakan itu kembali muncul. Hingga membuat pintu rumah terbuka satu sisinya.

Spontan, Pak Darmani melindungi istrinya, khawatir ada orang yang berniat jahat kepada mereka. Namun, setelah beberapa waktu, mereka tak melihat siapapun di luar rumahnya, yang ada hanyalah terpaan angin membawa rintikan air hujan hingga ke dalam rumah.

“Coba lihat, Pak. Tapi hati-hati” suruh Bu Wulandari.

Pak Darmani kembali lagi keluar, namun masih dengan kehampaan di luar rumahnya. Meski begitu, entah kenapa Pak Darmani merasa tidak nyaman, dia merasa jika ada yang sedang memperhatikannya entah dari arah mana.

Lama Pak Darmani mengamati, “Nggak ada siapa-siapa, Bu. Kayaknya karena angin, lagi pula pintu rumah kita ini kan juga udah agak rusak” terang Pak Darmani seraya menutup pintu lalu berbalik.

Baru beberapa langkah masuk, langkahnya terhenti, tubuhnya tiba-tiba saja bergetar hebat sembari berkata kepada istrinya “Bu, tetap disitu ya, jangan kemana-mana”.

“Pak…. Pak…. Ada apa, Pak…..” tanya Bu Wulandari. Ia semakin panik melihat gelagat suaminya yang tampak berubah dengan seketika. Disini, perasaan tak nyaman Pak Darmani mulai terjawab, sorot matannya mengarah jauh ke lorong rumahnya yang langsung menuju dapur itu.

“Se… Se….” ucap Pak Darmani gugup. Tidak ada pergerakan di tubuhnya.

Bu Wulandari bertambah panik, ia tak memedulikan perkataan suaminya barusan. Pak Darmani sempat menggelengkan kepalanya, melarang istrinya menghampirinya.

Bu Wulandari bangkit dari duduknya, lalu melangkah mendekat ke tempat Pak Darmani. Tapi, saat matanya menoleh ke belakang, bersamaan dengan itu pula tubuh Bu Wulandari melemas dan terkapar pingsan.

“Bu… Bu….” Panggil Pak Darmani dengan suara terbata.

Di depannya, kini berdiri jasad anaknya yang beberapa hari lalu telah mati. Tubuhnya pucat, mengenakan gaun putih yang biasa ia pakai.

Pak Darmani pun tak asing dengan gaun itu, karena biasa Sekar pakai juga ketika di rumah. Tapi, di setiap sisi gaun itu, banyak sekali darah yang belum mengering.

(Gaun yang dimaksud disini adalah daster)

“Se-Se-Sekar…. Mau apa kamu, Nak…..” ucap Pak Darmani.

Mata Pak Darmani melotot melihat Sekar. Mendiang anaknya itu membalas menatap Pak Darmani sambil menyeringai, seolah menyimpan arti walau tak mengucapkan kata apa-apa.

“Apa yang kamu lakukan disini, Nak?”

“Nak. Kamu sudah tiada, yang tenang di sana, Nak… Bapak, Ibu selalu berdoa untukmu” ucap Pak Darmani lagi, dan mulai beringsut mundur.

Arwah Sekar berjalan pelan dengan langkah gontai, tangannya sambil memegang perutnya yang setengah membesar. Menyadari Sekar mendekat, degup jantung Pak Darmani semakin kencang dirasakan, menegaskan bahwa rasa takutnya bertambah banyak.

Pak Darmani terdiam. Ia tidak dapat berbicara banyak. Ketakutan sudah memenuhi seluruh tubuhnya. Namun, saat jarak mereka hanya terpaut dua langkah, Sekar lenyap begitu saja, menghilang dari hadapannya.

Pak Darmani kaget setengah mati, ini pertama kalinya ia didatangi Sekar setelah kematiannya.

Pak Darmani memeriksa istrinya yang masih terkapar lemas. “Bu… Bangun, Bu… Kita masuk ke kamar” ucap Pak Darmani, namun istrinya Bu Wulandari masih belum sadarkan diri dengan penuh.

Ia pun menggotong istrinya masuk dan tidur malam itu dengan rasa takut bercapur ngeri bila mengingat kejadian barusan yang di luar nalarnya itu.

Sejak hari itu, Pak Darmani dan Bu Wulandari semakin merasa tidak tenang disetiap harinya.

***

(Di awal lupa saya sebutkan, jika nama Kampung bekas kos Sekar adalah Kampung Kramat)

Semenjak berita mengenai arwah Sekar itu beredar, kini banyak warga kampung Kramat yang tak berani keluar di atas jam delapan malam.

Bahkan, setelah isya pun, hampir semua rumah sudah tampak tertutup pintu dan jendelanya. Warung-warung dan toko yang biasa buka hingga malam pun terlihat lebih awal menutup dagangannya. Para orang tua melarang anak-anaknya keluar rumah jika sudah lewat maghrib.

Suasana mencekam itu pun tercipta di kampung. Terkhusus di rumah kos Bu Turi. Meski masih ada yang menyewa kosnya, tapi tak jarang, warga merasa takut saat melintas di depannya. Beberapa diantara mereka, bahkan mengaku melihat Sekar di sekitar rumah kos Bu Turi.

“Pak RT… Apa yang harus kita lakukan, apa kita terus diam dan sembunyi di dalam rumah? Apa tidak ada cara untuk menghilangkan arwah Sekar?” tanya salah seorang warga saat pertemuan RT yang digelar sore hari itu. Lebih awal dari biasanya yang biasa dilakukan malam hari.

Diantara kumpulan bapak-bapak sore itu, tampak salah satu bapak-bapak tengah duduk bersila dengan wajah sangarnya. Dia adalah Pak Satria. Dia sedari tadi menyimak percakapan warga dengan seksama, memperhatikan setiap kronologi yang dicertiakan.

Dia baru sepuluh tahunan tinggal di kampung Kramat ini, namun, ternyata ia punya pengalaman terkait teror semacam ini.

Pak Satria terus diam sampai pertemuan itu selesai. Namun, setelah beberapa orang pergi, menyisakan tiga orang pengurus RT, barulah dia bicara. Tiga orang itu adalah Pak Yoga (Pak RT), Pak Prawita (Sekretaris RT) dan Pak Dewa (Bendahara RT).

“Pak, apa boleh saya ikut bantu dengan masalah ini?” tanyanya.

Pak RT bingung dengan pertanyaannya. “Masalah yang mana, Pak?”

“Sekar” jawab Pak Satria singkat.

“Bantu dengan cara bagaimana ya, Pak? Kok saya bingung” balas Pak Prawita dengan sedikit tertawa.

“Datang saja ke rumah saya nanti jam delapan malam kalau memang saya diizinkan membantu” ujar Pak Satria.

“Kenapa tidak disini saja, Pak?” tanya Pak RT

Pak Satria tersenyum.“Saya rasa lebih aman jika dicertiakan di rumah saya saja” balas Pak Satria

Singkat cerita, Pak RT ditemani Pak Dewa dan warga yang jaga malam saat itu yakni Pak Rangga dan Pak Sukat bertamu ke rumah Pak Satria

Setibanya disana, Pak Satria sudah menunggu di pelataran rumahnya. Dia tersenyum ketika melihat kedatangan Pak RT bersama dengan rombongannya.

“Mari, bapak-bapak, masuk” sambut Pak Satria dengan ramah.

Di dalam, istrinya pun sudah menyiapkan satu teko kopi dan pisang goreng untuk jamuan.

Namun, ketika berada di dalam rumah, Pak RT dan yang lain heran melihat seisi rumahnya yang dipenuhi oleh ornamen-ornamen dan pajangan antik di setiap sudutnya.

“Itu koleksi saya, Pak” ucap Pak Satria ketika menyadari orang-orang melihat-lihat isi rumahnya

“Jadi begini Pak RT, mengenai teror dari sosok wanita yg belum begitu lama meninggal itu, belasan tahun yang lalu sebelum saya pindah kesini, saya pernah mengalami kejadian serupa”

“Dulu malah lebih parah, karena sampai menelan korban” ujar Pak Satria yang membuat Pak RT dan yang lainnya kaget.

“Lalu, bagaimana solusinya waktu itu, Pak? Apa kita bisa lakukan di sini juga” tanya Pak RT.

“Mungkin bisa, tapi saya tidak tahu persis” jawab Pak Satria.

“Kalau bapak-bapak bersedia, besok saya antar ke rumah teman saya, dulu dia yang berperan penting mengusir demit di kampung saya yg lama” ucap tawaran Pak Satria.

“Bagaimana?” tanya Pak RT kepada yang lain.

Tanpa lama, semua mengangguk tanda setuju. Mereka pun mengatur waktu untuk datang ke teman Pak Satria yang letak rumahnya berjarak satu jam jika ditempuh dengan kendaraan.

Singkatnya, lusa pagi, mereka akan kesana, menggunakan mobil Pak RT. Namun, saat Pak RT, Pak Dewa, Pak Rangga dan Pak Sukat hendak pulang, tiba-tiba saja terdengar suara tertawa cekikikan perempuan dari luar rumah.

“Khihh… kihhh…. Kihhhh…..”

Suaranya kedengaran lama dan berpindah-pindah tempat.

“Sekar? Apa itu dia?” tanya spontan Pak Dewa.

“Sepertinya iya, Pak. Dia memang sering mengganggu warga akhir-akhir ini. Apa lagi rumah saya berada di ujung desa dan mengarah langsung ke pemakaman umum” kata Pak Satria.

Semua orang terdiam mendengar perkataan pak Satria. Mereka tampak diam sambil saling pandang dengan pikirannya masing-masing yang sepertinya sudah mulai didatangi rasa takut.

Pak RT dan yang lain tampak bingung. Hendak pulang, namun dicegat Sekar, hendak bertahan, tidak mungkin jika harus lama-lama di rumah Pak Satria.

Diantara kegelisahan itu, Pak Satria masuk ke dalam kamarnya, lalu keluar dengan membawa tabung kendi yang di dalamnya berisi garam krosok dan beberapa bawang putih.

“Tunggu beberapa saat, kalau dia masih belum hilang, biar saya antar bapak-bapak semua” ucap Pak Satria.

“Itu apa, Pak Satria?” tanya Pak Rangga dan Pak Sukat.

“Ini garam dan bawang putih, Pak. Dulu salah satu ikhtiarnya memakai ini.”

“Di rumah saya ada, apa bisa dipakai juga?” tanya Pak RT.

“Ini bukan garam sembarangan, Pak” jawab Pak Satria sambil tersenyum.

Setelah tiga puluh menit menunggu, suara cekikikan Sekar massih beberapa kali terdengar. Pak RT dan yang lainnya pun sudah tampak lelah ingin istirahat. Pak Satria pun mengambil alih, dia berdiri lalu mempersiapkan diri.

“Mari, Pak, saya antar pulang” ucap Pak Satria.

Pak Satria berjalan paling depan, diikuti Pak RT, Pak Dewa, Pak Rangga dan Pak Sukat yang berjalan berkerumun bersama-sama.

“Bu. Nggak usah keluar-keluar rumah. Tunggu bapak pulang saja” pesan Pak Satria kepada istrinya.

Baru beberapa langkah keluar, tawa cekikikan Sekar terdengar dari kejauhan.

Pak Satria mengeluarkan garam dari dalam tabung kendinya lalu ditaburkan sedikit demi sedikit di dekat tempatnya berjalan.

“Pelan-pelan saja, Pak. Nggak perlu cepat-cepat, karena mereka yang hidup di dunia berbeda dengan kita, sangat menyukai jika manusia sudah merasa takut. Dan dia akan memanfaatkannya” ujar Pak Satria.

“Itu ampuh nggak, Pak?” tanya Pak Dewa karena ketakutan.

“Tenang saja, Pak” balas Pak Satria.

Yang akan sampai duluan adalah Pak Rangga. Dia tersenyum lega ketika rumahnya sudah terlihat dari kejauhan.

Namun, suara Sekar malah kedengaran semakin jelas seiring dengan mereka yang akan sampai ke rumah Pak Rangga. Langkah dipercepat, dan Pak Rangga pun berhasil sampai di rumahnya. Selanjutnya Pak Dewa, meski jarak terdekat selanjutnya dia, tapi rumahnya tergolong pada posisi seram,

karena letaknya sebelahan dengan rumah kosong yang sudah terbengkalai belasan tahun. Kali ini, cekikikan Sekar tak terdengar, namun berganti dengan aroma bau busuk yang tiba-tiba saja tercium ke hidung semua orang disitu.

“Bau apa ini, Pak Satria?”

“Tenanglah, Pak. Katanya, kalau suara setan semakin tidak kedengaran, justru keberadaannya dekat dengan kita” terang Pak Satria yang membuat lainnya semakin bergidik ketakutan.

Tak berapa lama, Pak Dewa berhasil masuk rumahnya. Berikutnya Pak RT dan Pak Sukat. Mereka berdua rumahnya bersebelahan, namun jaraknya terjauh dari rumah Pak Satria.

Semuanya berjalan normal tak seperti sebelumnya, Suara tawa cekikikan dan aroma busuk pun tak mengganggu mereka bertiga.

“Alhamdulillah, satu belokan lagi sampai” ucap Pak Sukat lega.

Tepat setelah tubuh mereka berbelok dan berganti arah, tepat di depan mereka kini sudah berdiri Sekar tengah melayang menghalangi jalan yang akan mereka lalui. Pekik tawanya menggelegar menyakiti telinga. Aroma busuk pun seketika menusuk hingga membuat tenggorokan terasa sakit.

Mereka bertiga kaget, sekaligus ketakutan dalam waktu bersamaan, sampai membuat Pak Satria, Pak RT dan Pak Sukat terhuyung jatuh ke tanah saat berusaha untuk berlari menjauh.

Pak Satria langsung berdiri lagi dan bersiap dengan kendi dan garamnya.

“Pergilah kau setan berengsek!” umpat Pak Satria memberanikan diri meskipun raut wajahnya juga tampak ketakutan.

“Tetap di belakangku, Pak” suruh Pak Satria.

Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Pak RT dan Pak Sukat lari tunggang langgang meninggalkan Pak Satria seorang diri berhadapan dengan Sekar.

Pak Satria memejamkan matanya, sambil merapalkan mantra dan doa bersamaan.

Seraya melemparkan garam dari dalam kendi di tangannya dengan kepalan tangannya ke arah depan, arah dimana menurutnya Sekar berada. Hingga beberapa detik kemudian, saat Pak Satria membuka matanya lagi, Sekar sudah menghilang dari hadapannya.

Suasana pun kembali normal, setelah sejenak menenangkan diri, Pak Satria mencari keberadaan Pak RT dan Pak Sukat yang meninggalkannya.

“Kemana mereka? Aku berniat mengantar pulang malaha saya yang ditinggalkan. Dasar penakut” ucap kesal Pak Satria.

“Pak RT…. Pak Sukat….” Panggil Pak Satria.

Mereka berdua muncul dari teras rumah yang tak jauh dari sana dengan wajah tersenyum merasa tak enak karena telah meninggalkannya sendirian.

“Sudah pergi” ucap Pak Satria.

Sekarang, mereka berdua berhasil sampai rumah walau harus berhadapan dengan Sekar terlebih dulu. Tugas Pak Satria selesai, sekarang dia akan pulang. Pak Satria bersenandung untuk menghilangkan rasa takutnya, sambil matanya was-was memperhatikan sekitarnya.

Namun, tanpa ia duga, ternyata Sekar muncul lagi. Suara cekikikan tawa Sekar mulai terdengar lagi, aroma busuk pun kembali ia cium. Pak Satria mempercepat langkahnya, sambil tangannya bersiap melemparkan garam ke arah yang dicurigainya Sekar berada.

“Aku nggak takut”

“Aku tidak akan takut”

Ucap Pak Satria di setiap langkah yang ia keluarkan. Namun, tak selamanya perkataan yang diucapkan selaras dengan tindakannya.

Pengalamannya pun tak kemudian membuatnya kebal akan rasa takut ketika bertemu dengan makhluk gaib seperti Sekar. Sekar tiba-tiba saja muncul di depannya entah dari mana arah datangnya.

“Pak Satria” Lelembut itu kini memanggilnya dengan suara pelan namun menakutkan. Dia menyeringai dan matanya menatap tajam ke arah Pak Satria. Untuk beberapa detik Pak Satria terpaku melihat seringai itu. Tubuh Pak Satria susah digerakkan, seperti diperdaya oleh Sekar di depannya

“Pak Satria” panggilnya lagi. Beberapa detik setelah itu, pekik tawanya keluar dan kedengaran sangat keras. Barulah saat ini, tubuh Pak Satria dapat digerakkan dan berlari sekencang yang ia bisa.

“Aaaarrrggghhhhhhh…..”

“Astagfirullah…. Ya Allah….”

“Pergilah!!!” Teriak Pak Satria.

Sambil berdoa, Pak Satria berlari tanpa jeda. Ia memaksa tubuhnya berlari dengan langkah tertatih-tatih dan napasnya yang sudah terasa berat.

Beruntung, semakin jauh langkahnya, suara Sekar tak lagi ia dengar. Kini Pak Satria berhasil sampai di rumahnya walau dengan bermandikan air keringat di seluruh tubuhnya.

***

Hari sudah terang, beberapa warga sudah mulai beraktivitas di luar rumah. Namun, pagi itu tampak berbeda dari biasanya, orang-orang banyak keluar rumah saling menceritakan hal yang sama, mengenai Sekar yang berkeliling kampung semalam.

Ternyata, tidak hanya Pak Satria, Pak RT, Pak Dewa, Pak Rangga dan Pak Sukat yang menyadari kedatangan Sekar semalam, namun banyak warga yang mengaku mendengar suara pekik tawa Sekar keliling kampung.

Bahkan, beberapa warga mengaku jika pintu rumahnya diketuk secara misterius pada tengah malam. Dan mereka yakin, jika itu adalah ulah dari arwah Sekar yang bergentayangan. Mereka bertahan, saling waspada bersama keluarganya di bawah atap rumahnya masing-masing.

Semenjak kejadian itu, warga jadi semakin cemas, keadaan kampung semakin sepi setelah matahari terbenam. Mereka memilih sembunyi di rumahnya masing-masing daripada harus bertemu dengan arwah Sekar di tengah jalan saat keluar rumah.

***

Pak RT menghubungi beberapa warga yang ikut dengannya ke rumah Pak Satria dua hari lalu, karena hari ini adalah hari yang ditentukan. Dia akan menemui kenalan Pak Satria untuk membantu memgusir arwah Sekar dari kampungnya.

Singkat cerita, saat sudah menjelang siang, mereka sudah berkumpul di rumah Pak Satria sambil saling cerita mengenai arwah Sekar.

“Ayo, bapak-bapak, kita berangkat” ajak Pak Satria.

Mereka pun berangkat menuju rumah kenalan Pak Satria dengan memakai mobil milik Pak RT. Wajah-wajah penuh harapan akan hilangnya arwah Sekar pun ketara di wajah mereka di sepanjang perjalanan. Setelah lebih dari satu jam perjalanan, mereka pun sampai.

“Siapa namanya, Pak?”

“Pak Sasongko. Beliau dikenal ustaz di daerahnya. Tapi, nanti cukup panggil dengan Pak Sasongko saja, karena beliau tak suka disebut sebagai ustaz”

“Assalamualaikum” ucap salam Pak Satria.

Tak berapa lama, keluarlah sosok laki-laki berparas muda dengan satu batang rokok di antara dua bibirnya.

“Wah. Ada tamu… Pak Satria? Silakan duduk, Pak… Saya kira nggak jadi kesini” ucapnya sambil tertawa. Pak Sasongko meminta mereka duduk, kemudian pergi ke dalam kamar. Katanya hendak berganti pakaian.

Pak RT dan yang lainnya melihatnya dengan wajah ragu. “Ini Pak Sasongko?” bisik Pak Dewa kepada Pak RT.

“Ini yang namanya Pak Sasongko, Pak?” tanya Pak RT kepada Pak Satria.

Pak Satria mengangguk.

Untuk pertemuan pertamanya, Pak RT merasa heran. Pasalnya, menurut penuturan Pak Satria, Pak Sasongko adalah ustaz dan memiliki ilmu tinggi sehingga mampu meredakan serangan tak kasat mata dari kampungnya dulu, tapi, yang ia lihat sekarang, jauh dari ekpektasinya.

Pak Sasongko cenderung seperti pemuda yang baru masuk usia 30an dan memiliki wajah layaknya orang yang tidak memiliki kesaktian.

“Benar ini yang namanya Pak Sasongko?” tanya Pak RT memastikan.

“Iya, Pak. Memangnya kenapa?” tanya Pak Satria.

“Oh, enggak. Saya hanya memastikan” jawab Pak RT.

Saat Pak Sasongko kembali, mereka mulai dengan percakapan basa-basi. Setelah dirasa cukup, akhirnya Pak Satria mulai pada obrolan inti.

“Kendi yang waktu itu masih kau simpan?” tanya Pak Sasongko kepada Pak Satria.

“Masih. Masih aman di rumah, Pak”

Pak Sasongko lantas mengeluarkan bungkusan merah di dalam kantongnya, lalu memberikannya pada Pak Satria.

“Ini. Kau lakukan seperti selayaknya dulu kau membantuku mengusir demit di desa lamamu itu. Letakkan ini di dalam kendi itu, biarkan menjadi satu dengan garam dan bawang putih di dalamnya”

“Tolong yang lain, bantu Pak Satria menyiapkan botol kaca kecil seukuran botol parfum. Pada sore hari menjelang malam, taruh garam yang sudah bercampur bawang putih dan barang pemberian saya ini ke setiap ujung kampung”

“Berapa jumlahnya, Pak?” tanya Pak Dewa.

“Empat saja. Timur, barat, utara dan selatan kampung. Jangan kurang dan jangan lebih. Pendam botolnya ke dalam tanah biar tidak di rusak orang”

“Ini tidak langsung menghilangkan teror lelembut itu dari kampung. Lakukan saja setiap dua hari sekali dan jangan sampai terlewat” ucap Pak Sasongko.

“Berpengaruh atau tidaknya cara ini, kita pantau bersama-sama” tambah Pak Sasongko.

Semuanya hanya diam menyimak sambil mengangguk-angguk mendengar penjelasan Pak Sasongko yang sebenarnya mereka sendiri tidak sepenuhnya paham cara kerjanya.

Saat semuanya dirasa cukup jelas, obrolan pun berakhir, dan rombongan Pak Satria dan Pak RT berpamitan pulang dari rumah Pak Sasongko.

“Kami pulang dulu, Pak Sasongko. Terima kasih banyak. Semoga bisa berhasil.” Ucap Pak RT.

Pak Sukat mengambil kemudi mobil. Sejak berangkat, ia sudah diminta menjadi supir saat perjalanan ini.

“Mari, Pak Sasongko.” Ucap Pak Sukat seraya melambaikan tangan ke arahnya.

Semilir sore menemani perjalanan mereka. Segarnya udara sore itu, sesegar harapan yang mereka bawa setelah pulang dari rumah Pak Sasongko.

Saat perjalanan pulang, mereka sempatkan mampir makan terlebih dahulu, sehingga saat jalan lagi, terik matahari perlahan turun dan berganti gelapnya malam.

Tak terasa, roda mobil sudah mulai memasuki area hutan jati, tandanya sebentar lagi akan sampai. Disini, keadaan sudah dipenuhi oleh kegelapan. Pak Sukat yang semula tenang, seketika membanting setir ke kiri, seraya berteriak sampai-sampai membuat seisi mobil terperanjat kaget.

Pak Sukat menepikan mobilnya. Ia menghela napas, wajahnya tampak tegang dihiasi butir-butir keringat di atas dahinya.

“Kenapa, Pak Sukat?” tanya Pak RT.

“Sekar lewat. Jalannya cepat sekali” kata Pak Sukat. Dia merasa matanya setelah melihat sosok yang ia duga Sekar, lamat-lamat berubah gelap dan menutupi penglihatannya.

“Jangan sembarangan, Pak” tegur Pak Rangga.

“Nggak, Pak. Beneran” jawab Pak Sukat.

Keadaan yang semula tenang, mendadak berubah tegang. Terlihat raut muka tegang bercampur takut di wajah masing-masing diantara mereka.

“Pak Sukat. Biar saya yang gantian nyupir. Lagian sebentar lagi sampai” ucap Pak RT. Pak Sukat pun setuju.

Pak RT pun meulai kemudinya. Namun, saat mobil dinyalakan. Di ujung lampu mobilnya, tampak samar-samar bayangan wanita tengah berdiri di pinggir jalan sambil tangannya melambai-lambai ke arahnya.

“Itu siapa?” tanya Pak RT.

Awalnya, Pak RT mengira jika itu adalah warga kampung yang hendak meminta tumpangan, sehingga tanpa curiga, ia menginjak pedal gas nya menghampiri wanita itu.

“Pak, Pak RT cari siapa?” tanya Pak Sukat saat mobil kembali melambat.

“Tadi ada yang melambai-lambai, minta tolong disini”

“Nggak ada siapa-siapa, Pak, lanjut saja. Mana ada orang di tengah jalan sepi begini.” tukas Pak Dewa dan yang lainnya.

Namun, setelah Pak RT memasukkan gigi pertamanya, tiba-tiba saja di depan mobilnya kini berdiri sosok Sekar dengan mengenakan gaun putih lusuh penuh darah di bagian perutnya. Sontak, membuat Pak RT dan orang yang menyadarinya berteriak seketika.

“Arrrggghhh!!!” teriak Pak RT.

“Injak gasnya saja, Pak! Injak!!” suruh Pak Satria sambil menepukkan tangannya ke bahu Pak RT.

Pak RT menegakkan badannya, kemudian mengambil ancang-ancang sebelum akhirnya menginjak gasnya menerobos sosok Sekar yang tengah berdiri menghalangi jalan.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close