Malapetaka Pendakian Gunung Papandayan
Sebuah perjalanan diukur bukan dari seberapa jauh dan indahnya suatu tempat, tapi lebih ke pengalaman yang ada di dalamnya. Pendakian Gunung Papandayan kali ini jadi salah satu yang paling berarti.
Sayangnya, nggak semua orang beranggapan sama, malah lebih pada pencarian status “udah pernah” doang. Demi menuai status tersebut, banyak orang yang terlalu santai menganggap suatu hal. Mentang-mentang sering didatengin, terus bisa gampang ditempuh, gitu? Ya, nggak lah.
Setiap hasil itu butuh proses, dan proses itu punya sensasi yang berbeda-beda. Nggak akan mungkin sama.
“Gunung akan terus jadi gunung. Ia punya keindahan, tapi Ia juga menyimpan misteri dan bahaya di dalamnya.”
Manusia itu sering banget meremehkan hal-hal kecil. Ini dibilang gampang, itu dibilang biasa. Kalo keterusan kayak gitu, bisa bahaya banget.
Beberapa waktu lalu, tim Gloob! menjelajah lagi ke tempat wisata terkenal, yaitu gunung Papandayan, buat nyari cerita baru tentang jalan-jalan. Alhasil, dapatlah sebuah cerita yang sebenernya nggak enak buat jadi pengalaman tim.
Salah satu gunung yang terletak di Kabupaten Garut, Jawa Barat ini emang punya popularitas yang bukan main tingginya. Ibarat aktris, Papandayan tuh Angeline Jolie versi gunungnya. Selain karena punya pemandangan yang nyihir banget, Gunung Papandayan juga disebut sebagai gunung yang mudah untuk didaki. Katanya sih begitu. Pendakian menuju puncak gunung tersebut emang nggak makan waktu lama, sekitar 3-4 jam kita udah bisa nikmatin atapnya.
Gunung yang terletak didaerah tenggara Kota Bandung ini tuh sering banget dibilang gunung untuk pemula, untuk orang yang nggak mau capek-capek nikmatin pesona yang ada di puncak gunung.
Gara-gara julukan ini, banyak orang yang nganggap Gunung Papandayan ini enteng. “Gunung akan terus jadi gunung. Ia punya keindahan, tapi Ia juga menyimpan misteri dan bahaya di dalamnya,” kalimat satir dari Aki (sebutan Gloob! untuk salah satu penjaga Gunung Papandayan).
Pendakian kali ini diikuti oleh 11 orang, mereka adalah Deni, Keken, Bang Bars, Bal, Jack, Aquh, Dewa, Yogi, Mba Dina, Kojel, dan Madoy. Jauh sebelum tim memulai pendakian, Bang Bars sering banget berkoar soal julukan itu.
Ia bener-bener nganggap bahwa Papandayan mudah untuk ditaklukin. Bang Bars keliatan optimis banget buat ngedaki Gunung Papandayan. Soalnya, dia juga belum pernah naik gunung itu.
Sampai di lokasi, tim bersiap untuk melakukan pendakian. Semua diatur dengan cermat dan sesempurna mungkin, baik itu logistik maupun fisik. Bang Bars menjadi pemimpin regu. Ia memimpin pendakian yang dilakukan tim.
Emang nggak bisa diraguin, saking tingginya antusias Bang Bars, dia jalan cepet banget. Kayak ada empat paru-parunya. Sampai beberapa kali harus dipanggil untuk ngatur jarak. Pendakian pun tergolong aman, dan kami sampai camping ground kurang lebih setelah tiga jam melakukan pendakian.
Apes-nya adalah, kami membangun tenda disaat gelap datang dan hujan turun. Dingin yang terus menusuk tulang, harus kami tahan. Sampai akhirnya, hanya dua dari tiga tenda yang bisa dipasang, karena lebih dari setengah pendaki udah basah dan kedinginan. Air yang masuk ke dalam tenda membuat tim semakin mengigil.
Nggak kuat dengan kondisi, dua rekan tim lainnya, Jack dan Kojel, memberanikan diri untuk melawan dingin dan membangun tenda. Usaha dan waktu yang dibutuhkan lebih banyak karena air dan suhu dingin udah masuk ke sela-sela terkecil tubuh dan mengaburkan fokus.
Ketiga tenda pun berdiri dan siap untuk menjadi tempat beristirahat. Grup dipecah. Di Tenda 1 ada Deni, Keken, dan Mba Dina; di tenda 2 ada Bal, Bang Bars, dan Jack; sisanya ada di tenda yang baru aja dibangun.
Hujan mulai berhenti, tim mulai membagi tugas. Ada yang menyiapkan makanan dan ada yang ngerapihin perintilan tenda.
Beberapa saat setelah makanan tersaji dan tenda sepenuhnya rapih, tiba-tiba Deni meminta ekstra jaket. Ia merasakan tanda-tanda akan terkena hipotermia.
Perlu kalian ketahui. Hipotermia adalah sebuah kondisi dimana terjadi penurunan kemampuan tubuh untuk mengatur suhu pada zona termonetral, sehingga bisa bikin nggak sadar diri dan berpotensi besar menyebabkan kematian.
Suasana jadi agak panik. Deni terus disuguhin selimut dan minuman hangat. 30 menit berselang, Deni memberi tahu kami bahwa kondisinya udah membaik. Kami tenang. Kami pun melanjutkan kewajiban yang tertunda: makan!
Makanan habis dalam hitungan menit. Kuman-kuman di lambung nggak lagi berisik. Bal, Bang Bars, Deni, Keken, dan Mba Dina kembali ke tendanya masing-masing. Sisanya: Jack, Aquh, Yogi, Kojel, Dewa, dan Madoy berhimpitan dalam satu tenda, ngobrol panjang tanpa arah.
Jack dengan gesitnya menyeduh kopi dukun alias kopi tanpa gula. Pahit, tapi super mantul! Menyium aromanya, Bal keluar dari tendanya dan bergabung dalam tenda yang padet nan sumpek itu, meninggalkan Bang Bars sendirian.
“Malam pun semakin merayu, obrolan yang nggak jelas semakin menjadi-jadi. Gelak tawa membahana di dalam tenda.”
Jack bukan pribadi yang egois. Ia juga menyeduhkan kopi untuk rekan lain yang berisitarat di tendanya masing-masing. Jack, dengan kopi panas yang begitu pahit, menghampiri dua tenda lain yang diisi oleh Deni, Keken, dan Mba Dina yang tengah berbincang soal asmara. Jack sejenak menyimak. Setelah muak dengan drama cinta modern, Jack lanjut menjajakan kopi ke tenda Bang Bars.
Belum lama Jack masuk ke tenda Bang Bars, tiba-tiba dengan muka panik, Jack keluar dari tirati jendela sambil teriak “Bang Bars hipo!” Kesebelas pendaki pun menghampiri tenda yang hanya berkapasitas 4 orang tersebut.
Bang Bars udah menggigil parah, badannya kaku, kulitnya pucat, dan nggak sedikit pun nanggepin seruan yang kami beri. Semua orang panik. Gosokan demi gosokan kami berikan ke tubuh Bang Bars, dengan harapan nggak ada hal buruk yang akan terjadi padanya.
Capek, sumpek, dan perih karena wewangian obat penghangat kami rasakan, namun belum ada kemajuan sedikit pun dari kondisinya. Segala trik yang kami tau udah kami laksanakan, tapi tetep gagal!
Bal yang tiba-tiba keluar ternyata memiliki ide. Bal memasak air, lalu memasukannya kedalam kantong plastik. Sambil mengigil dan diselimuti rasa takut, bal memberikan kantong plastik yang berisi air hangat itu dan bilang, “totol-totolin ke badannya”.
Kami pun melakukan apa yang dipintanya, dan ternyata mulai menuai hasil. Beberapa saat setelah metode ‘totol-totolin’ diterapkan, Bang Bars mulai merespon seruan rekan-rekan lainnya.
Hal itu terus dilakukan hingga Bang Bars kembali sadar. Nggak lama berselang, responsnya makin meningkat, Bang Bars-pun bangkit dari kritis yang dialaminya. Kesadarannya belum sepenuhnya balik.
Sambil duduk, dengan muka yang masih keliatan jelas bingung sekaligus syok, Bang Bars bercerita apa yang Ia rasakan saat kesadarannya hilang karena hipotermia.
“Gue nggak bisa ngeliat apa-apa. Suara lu kedengeran, tapi kecil banget, dan gue juga nggak bisa ngomong. Sebisa mungkin usaha buat nyautin… Gelap dah. Badan semuanya nggak bisa gerak,” celoteh Bang Bars yang masih nggak nyambung tapi cukup kuat terkenang di kepala tim.
Sebelum hilang kesadarannya, Bang Bars merasakan rangkaian gejala. Awalnya, Ia merasakan dingin yang sangat menusuk di ujung dari kakinya. Dingin tersebut terus menjalar ke anggota tubuh lain.
Kondisi tersebut memburuk. Kakinya sulit digerakan, dan Ia pun tidak dapat berteriak. Saat Bang Bars menyadari bahwa kondisinya menuju kritis, Ia mulai pasrah hingga akhirnya hilang kesadaran.
Kami pun bingung bagaimana Bang Bars bisa terkena hipotermia. Biar nggak penasaran, kami bertanya langsung ke Bang Bars.
Terdapat dua faktor yang diduga menjadi penyebab hipotermia. Pertama, Bang Bars masih menggunakan celana dalam yang basah; Kedua, kondisi tenda masih berair.
Ia sadar betul bahwa dirinya kedinginan. Bukan jorok, tapi alasan Bang Bars nggak mengganti celana dalam yang basah tersebut adalah lupa. Ia meninggalkan pakaian dalam yang udah dikemas 2 hari sebelum perjalanan di rumah Bal, ketika Bang Bars merapihkan dan mengemas ulang bawaannya.
Perihal kenapa Bang Bars nggak memberi tau kami, katanya Ia nggak mau menyusahkan. Itulah yang akhirnya membuat kami jengkel.
Tentunya situasi ini mengajarkan bahwa jangan pernah meremehkan sesuatu hal, sekecil apa pun itu. Saat mendaki kemarin juga tim memperhatikan, ada tiga barang penting yang jarang dibawa, yaitu oksigen portable, matras khusus, dan penghangat ekstra. Hal ini dianggap perlu, karena traveling bukan hanya tentang tujuan, tapi juga tentang persiapan dan keselamatan.
KISAH MISTERI BERDASARKAN KISAH NYATA
-------------------------------------------------------
~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~