Perjalanan Mistis Gunung Semeru Tabah Sampai Akhir
Awalnya hanya mengantar papan nama Masjid ke Ranu Pane dan langsung balik pulang. Namun ternyata nyampai juga di atap pulau Jawa.
Berangkat berdua aja, aku dan Mail. Diawali dengan smack down melawan petinju mabuk dan diakhiri dengan langkah seribu gegara lawan mengangkat celurit.
Esok hari kami berdua dijemput Samsul dengan Jeep yang sudah terisi oleh rombongan pendaki. Ada dua orang bule cewek disana. Dengan modal bahasa Inggris amat cekak campur bahasa Tarzan iseng aku tanya dari mana asalnya. Ternyata dari Swiss. Mail ikutan nimbrung dengan bahasa Indonesia, si bule diam dan celinguk an akhirnya kami pada diam. Aku tahu si bule tidak paham bahasa Indonesia dan kami nol besar dalam bahasa asing. Sementara para penumpang yang lain nampaknya tidak tertarik ngajak si bule ngobrol. Atau mungkin mereka 11 - 12 dengan kami.....
Sampai di Ranu Pane uda tengah hari, langsung menemui pak Tumari selaku tetua adat dan pemilik lahan yang yang dipakai mendirikan Masjid. Setelah ngobrol penuh canda dan diakhiri santap siang kami bermaksud pamit pulang. Karena Samsul uda datang menjemput kami untuk turun ke Tumpang jeep sudah berpenumpang penuh.
Pak Tumari berdiri berkacak pinggang langsung menceramahi kami berdua
"ra isin babar blas, wis nyampe Ranu ra mentas nang Mbah Semeru"
(gak punya malu sama sekali, uda nyampe Ranu tidak sekalian naik ke mbah Semeru)
ribet nih dialog beliau pake bahasa tengger jawa langsung aku terjemah aja ya....
"Itu gunungnya uda kelihatan memanggil-manggil kalian"
"watduh.... kami tak bawa perlengkapan apapun"
"gak pake ribet, nih bawa"
sambil menyodorkan nesting berisi karon (makanan khas tengger), kentang dan kubis, tak lupa kopi hitam ala tengger Ranu Pane.
Aku dan Mail saling berpandangan.
"sudah sana berangkat, keburu maghrib"
pak Tumari ngomong sambil pergi, itu berarti perintah. Tak seorangpun masyarakat tengger Ranu Pane berani menentang perintah beliau.
Kami berdua menuju pos perijinan, sudah sepi tinggal dua orang bule tadi. Pos dikawal mas Agus saat itu.
"Knapa mas, diomeli bapak barusan disuruh muncak ya...."
"iya mas Agus, kami tidak ada niatan muncak kok malah diomeli suruh muncak"
"ya udah bawah sekalian ini bule, klo ada sampean berdua saya ijinkan berangkat perjalanan malem"
"Kami lewat jalur Ayek-ayek mas"
spontan Mail menjawab dengan cepat, seolah tidak mau memandu kedua bule itu.
Mas Agus lantas menjelaskan ke si bule itu klo kami berdua akan mengambil rute jalur evakuasi yang tentu jalurnya lebih berat, namun lebih cepat. Si kedua bule goyah akhirnya disarankan petugas untuk bermalam dulu di Ranu Pane.
Pukul 5 sore waktu setempat kami berdua pamit ke mas Agus untuk berangkat, beliau juga menginformasikan klo di Ranu Kumbolo uda banyak pendaki.
Do'a kami panjatkan kehadirat Illahi untuk mengawali angkat kaki. Kebun Bawang, kentang dan kubis nampak tumbuh subur. Baru beberapa meter kami melangkah ditegur petani setempat
"mau kemana mas.....?"
"ke Ranu pak"
"kok tidak besok pagi aja, ini uda nenjelang magrib"
"kami mengejar waktu pak"
klo begitu hati-hati mas".
teguran serupa terjadi sampai 5 kali aku hitung tadi. Barulah aku ingat klo menurut kepercayaan setempat jangan masuk hutan jalur gunung Ayek-ayek menjelang maghrib. namun aku tidak sampaikan ke Mail, khawatirnya dia nanti minta balik. Kepalang tanggung depan sudah batas hutan dan nampak langit masih terang. Ternyata si Mail mempunyai perasaan yang sama dengan aku disaat ada teguran orang terakhir tadi.
Kebun penduduk tlah kami tinggalkan dan memasuki hutan, hanya kami berdua berjalan dalam sepi. Binatang hutan mulai bernyanyi. Ada persimpangan aku berhenti senjenak untuk orientasi. Mail langsung ambil jalan sebelah kiri. Aku ragu karena aku hafal jalur ini, tidak ada persimpangan. Aku tebas salah satu cabang pohon yang agak besar sebagai tanda. Cabang itu sedikit terkulai tapi tidak putus. Kuikuti Mail, tak seberapa jauh ada padang Savana yang amat indah nampak di depan mata kami.
"Mail kita salah jalur, selama kita lewat sini tak pernah kita ketemu pemandangan itu, lagian klo kita turun jurang sebelah kiri logikanya klo berangkat jurang harusnya sebelah kanan, tapi ini kita naik kok jurang sebelah kiri".
"tapi itu di depan bagus banget Dhox, dan jalur ini kan lintasannya hanya satu".
blum selesai kami berdebat terlihat didepan ada seorang bapak yang lagi merumput dengan memakai caping jadi tidak nampak wajahnya.
Dalam hati aku mau bertanya, tapi kedahuluan beliau
"mau ke mana sampeyan"
tanya beliau tanpa menoleh pada kami berdua
"ke Ranu pak"
"kembali saja"
"di depan itu apa pak namanya kok bagus banget"
"wono (hutan) sudah balik saja"
"kami mau ke wono pak"
Mail ngeyel
"sudah sana kembali saja"
dengan setengah membentak beliau menegaskan.
Aku semakin was-was ku paksa Mail untuk kembali.
Sebelum balik badan aku mau sampaikan terimakasih. Si bapak sudah tidak ada ditempat, masih pake logika saja oh sudah pindah tempat beliau
"terimakasih pak"
aku berteriak sambil balik kanan maju jalan.
Tak ada sahutan hutan kembali sepi.
Sampai pada tempat yang aku tandai di depan ada seekor sapi. Logikaku masih aku pakai, sapinya bapak tadi.
Tiba-tiba Mail beraksi dipeganginya si sapi, diam aja tak bergerak.
"Dhox, kamu jalan duluan aku pegangi sapi ini"
aku menurut ku lewati Mail dan sapi. Keraguanku mulai muncul, aneh klo orang tadi mau merumput ngapain sampai masuk ke dalam hutan. Ditepiannya aja rumput sudah melimpah, lagian kok sapinya dibawah ke sini. Satu lagi di tengger tidak ada sapi, selain babi. Otakku mulai kacau antara logika dan kejanggalan berperang. Orientasi medan jalur sudah benar.
Hati masih berkecamuk saat dikagetkan Mail, dengan berkacak pinggang menghadap kebelakang, ia menunjuk-nunjuk rerimbunan sambil berteriak lantang
"jangan hanya menggoda ikut aja sekalian dengan kami"
"watduh, temanmu nampaknya mulai berulah il"
"masak dari tadi mengganggu aja dari belakang, diajak aja sekalian Dhox"
Memang setelah melewati sapi tadi ada suara jejak kaki yang mengikuti dibelakang kami. Setiap kami toleh kebelakang kembali sepi hanya nampak semak yang bergoyang seperti barusan tersentuh orang lewat.
Langkah kami lanjutkan, kali ini Mail di depan. Tepat disebelah kanan kami jurang. Aku berteriak kencang
"Maiiiiiil jurang"
karena Mail tiba-tiba hendak melintas ke jurang.
"jurang sebelah kiri Dhox"
Dia menjawabku dengan menatap bingung.
Nalarku masih bekerja dengan sempurna, ini sudah jalur yang benar dan jelas jurang di sisi kanan kenapa kok Mail ngotot jurang di sisi sebelah kiri. Padahal mata kepalaku melihat sisi sebelah kiri hutan belantara.
Aku pegang Mail dan ku lalui dia, ganti aku di depan. Karena aku yakin pandangan mataku yang benar. Aku jalan duluan.
"Awaaaassss"
Mail berteriak dengan keras. Aku spontan berhenti dan menoleh kepadanya.
Dia menatapku dengan terbelalak sesekali mengusap matanya.
Dalam pandangan matanya aku berdiri melayang di atas jurang. Padahal aku aman-aman saja berpijak di atas jalan setapak.
Aku mulai yakin Mail dihajar oleh makhluk yang diajaknya tadi. Akhirnya dia merelakan dirinya pasrah penuh padaku. Hutan serasa milik kami berdua, tak berpapasan dengan manusia satupun. Tiba-tiba Mail menunjuk ke depan
"itu puncak uda nampak Dhox"
aku semakin bingung, puncak apa yang dimaksud, karena di depan kami hanyalah belantara liar.
"puncak apa il"
"itu pohon besar, puncak Ayek-ayek"
Mail menjawab sambil menunjuk ke arah seberang jurang.
Gila Mail diteror habis-habisan, belum terbersit rasa takut dibenakku, hanya perasaan aneh saja. Ini mungkin yang penduduk kampung percayai klo tidak boleh melintas dijalur ini menjelang maghrib. Hal ini yang bakalan terjadi. Aku merekah-rekah sendiri dalam hati. Mail menunjuk puncak lagi dan berulang kali itu terjadi. Padahal aku tak melihat pohon besar yang dia maksud.
Akhirnya puncak Ayek-ayek tlah kami capai, anehnya Mail masih menunjuk ke depan dan berucap
"Dhox, puncak sudah sedikit lagi"
aku duduk selonjor, Mail mengikuti.
"Mail coba kamu pejam mata sejenak trus orientasi medan, posisi kita sekarang di mana....?"
Mail menurut dan segera orientasi.
"Lho......kita uda di puncak Ayek-ayek Dhox, ini prasasti dan Trianggulasinya".
aku siapkan kamera legendku Yasicha FX-7
bersiap mengabadikan Mail dipohon besar yang disebut-sebut tadi.
"Ayo kamu mendekat ke pohon besar yang selalu kamu tunjuk tadi".
Mail mendelik dan segera mengajak aku beranjak pergi melanjutkan perjalanan kami.
Aku penasaran, ada apa ini. Saat dijurang klosot dia baru bercerita
"pohon besar yang selalu aku tunjuk tadi ternyata sepasang kaki yang teramat besar dan berbulu hitam nampak kasar, gedhenya kaki melebihi gedhenya pohon di puncak tadi".
"gila banget itu kaki gedhe dan tinggi aku tak sampai ngeliat ke kepalanya, mending kita tinggalin aja".
dia ngomel sambil ngos-ngosan. aku mulai merinding.
Jurang klosot begitu nukiknya itu turunan, suasana hutan sudah mulai mencekam atau mungkin mentalku yang mulai kendor. Berulang kali kami berdua jatuh tergelincir.
Tak lama kemudian nampaklah di depan kami batas hutan dan padang rumput. Pangonan Cilik, pertanda di depan sana Ranu Kumbolo sudah siap menanti.
Subhanallah.... aku berhenti seketika dengan rasa takut yang luar biasa. Di padang rumput yang luas itu penuh dengan aneka satwa liar yang berlarian saling berkejaran. Tak ketinggalan suara mereka terdengar hiruk pikuk saling bersautan. Kakiku lemas seketika tak kuasa untuk berdiri. Bersimpuh ditempat tanpa suara.
Mail mendekat sambil berbisik lirih di telingaku, dia tahu kalau aku dalam kondisi ketakutan yang sangat.
"kamu melihat apa Dhox....?"
"itu di Pangonan cilik penuh dengan satwa liar"
"aku tak melihat apapun, sepi bahkan hening"
"watduh.....!!!"
Aku perbanyak sholawat sambil terus menatap ke binatang-binatang liar itu, aku mulai ragu dengan pandangan mataku. Ini hoax apa fakta. Keraguanku semakin nyata pada pandangan mataku, karena terlihat rombongan gajah. Ini pulau Jawa hutannya tidak ada gajah ditambah ada si Raja hutan yang mengaum menyerampan sampai merinding berat aku saat itu. Singa hanya ada di Afrika nalarku masih jalan.
"Mail, di sini kok ada singa dan gajah"
tanyaku terbatah antara heran dan takut yang luar biasa.
"ini aneh Dhox, aku tak melihat apapun bahkan heningnya amat mencekam sampai merinding aku, baru kali ini aku merasakan suasana seperti ini"
"atau kali ini kamu yang mulai dikerjai mereka Dhox"
Logikaku berusaha terus aku pakai sekalipun rasa takut masih kuat menguasaiku. Aku mulai berdiri ku intip jalur sebelah kiri dengan perlahan.
"Ya allaaaah......."
se ekor babi hutan yang amat besar dan taringnya gedhe melengkung berlari kencang ke arahku. Tak sempat aku menghindar dan wusssss......dia tembus menabrakku, aku terpental ke belakang. Mail menatapku keheranan.
"kenapa kamu Dhox.....?"
"kali ini kamu benar il, ayo kita lanjutkan perjalanan tapi kamu di depan"
"memangnya apa yang barusan terjadi.....?"
"aku barusan diterjang babi hutan, tapi tembus ke dadaku"
"ini gila, benar-benar gila"
Mail ngomel sambil mengawali melanjutkan langkah. Aku mengekor dibelakangnya masih dengan ketakutan tingkat tinggi. Karena disekelilingku masih terlihat banyak binatang liar yang saling berkejaran. Sholawat terus mengalir, perang antara dunia nyata dan ghoib terus berlangsung dibatinku. Akhirnya kembali sepi, arah tujuan mulai nampak gelap. Perasaan mulai lega.
"Mail itu di depan watu babi apa babi hutan beneran"
aku melihat onggokan batu yang nenyerupai babi, jadi kamu menyebutnya watu babi bertanda di depan sudah terbentang Ranu Kumbolo.
"watu babi Dhox"
"alhamdulillah berarti pandanganku sudah mulai normal"
Hari telah gelap, secara bersamaan aku dan Mail berhenti dan secara bersamaan pula kami reflek berucap
"feelingku ini sudah di gubuk pendaki"
"iya, tapi mana gubuknya"
"danaunya juga tidak ada"
kami berdua berpandangan keheranan.
Suara adzan tiba-tiba terdengar, berbarengan dengan munculnya gubuk pendaki di depan kami. Kami berdua berdiri tepat di depan pintu gubuk.
"Lho.......ini gubuknya.... "
"itu danaunya..... "
kedua tempat yang semula tidak nampak dimata kami sekarang hadir dengan nyata.
Aku melongok ke dalam gubuk yang ternyata penuh dengan pendaki, ku tanya pada pemilik radio yang mengumandangkan suara adzan itu.
"mas itu adzan apa.....?"
beberapa orang menyahut bersamaan
"adzan maghrib mas"
"apaaaa....... maghribbbbb..... "
kami berdua terbelalak tak percaya.
Siapapun yang pernah ke Ranu Kumbolo tak akan ada yang percaya, perjalanan Ranu Pane ke Ranu Kumbolo ditempuh kurang dari satu jam. Kami berdua selaku pelaku sejarah sampai saat ini seakan tak percaya, aneh tapi nyata.
Belum habis rasa heran kami, saat membalikkan badan hendak mencari tempat istirahat. MasyaAllah di kanan kiri jalan yang kami lalui tadi penuh tenda yang berjajar. Sebelumnya tidak kelihatan oleh mata dan anehnya lagi tidak satupun tertubruk oleh kami.
Mereka semua memandang kami penuh keheranan, sebaliknya kami berdua.
Ada seonggok api unggun bekas porter yang ditinggal, masih ada baranya disana. Daypack aku buka kluarin kentang, jejalkan ke dalam bara. Jurus berikutnya kopi hitam khas tengger kami seduh. Menunggu air mendidih merenung masih tak percaya dengan apa yang barusan kami alami. Kopi hitam tlah tersaji seruput dengan mesrah.
"kita dibantai kali ini Dhox, aku lupa pertahanan diri"
Mail berguman lirih sambil mengembang tipis senyumnya.
"baru nyadar aku klo mereka mengikuti kita sejak dari ladang penduduk tadi"
"sejak teguran terakhir penduduk itulah mereka sudah mulai muncul, tapi aku cuekin aja"
tiba-tiba alunan suara adzan terdengar lagi dari radio tetangga, ya benar itu adzan isyak.
kentang bakar siap disantap, gosong dan menghitam ditemani kopi dan api unggun yang kami nikmati berdua, seperti di film-film koboi.
penderitaan belum berakhir kantuk datang menyerang. Mendekap kaki yang dilipat sambil menunduk khidmat pejamkan mata. Mata ngantuk berat tapi pikiran berkelana kemana-mana.
"Dhox si manis datang ke sini, coba lihat"
si manis adalah julukan kami pada makhluk yang sering menggoda pendaki.
wajahnya putih cantik berpenampilan pendaki full asesoris, topi rimba celana lapangan, PDL yang dibalut rompi serta bandana dan sepatu treck. Tampilan dambaan pendaki kala itu.
Dia munculnya selalu dari tepian danau yang ada pohon tumbang menjorok ke danau.
"dia semakin mendekat Dhox"
"uda biarkan, aku nggantuk"
padahal sebenarnya rasa takutku masih belum juga hilang.
terdengar suara langkah mendekat dengan menyeret sesuatu, masuk ke dalam gubuk berputar masuk lagi sampai tiga kali.
"Mail gubuk ini kan hanya satu pintu, kok dia bisa berputar sampai tiga kali"
"kalau dia sih bebas Dhox mau lewat mana"
"He.... tinggalin ponconya kami tidak bawa apa-apa nih"
Mail menegur seseorang yang tiba-tiba langkahnya terhenti, aku masih menunduk dan menutup mata, tapi merasa ada yang melihatku dengan lekat.
"il aku ini nunduk dengan mata masih terpejam, tapi kok sepertinya ada yang nenatapku"
"iya ini si manis berhenti tepat di depanmu"
Rekan Rofik kami persilahkan berangkat duluan dengan para tamunya kami bertiga menyusul di belakang.
Mendekati batas vegetasi Mail berhenti.
Di depan kami ada onggokan bayangan hitam yang menyerupai orang sedang duduk.
" hai, minggir jangan ditengah jalan, nanti kalau tertabrak teman-teman kami yang disalahkan"
Mail ngomel sambil menunjuk onggokan hitam itu.
"Mail gendheng..... Avos gendheng kabeh"
Rofik nampak puncat ketakutan sambil ngomel
"Syal mu bagus, sini buat aku"
Mail berucap sambil menadahkan tangannya.
Subhanallah, saat itu juga ada selembar syal hijau yang indah ditangan Mail.
"terimakasih ya, aku mau naik dulu. tolong teman-temanku jangan diganggu"
Mail berucap sambil ngeloyor pergi.
Rofiq sudah melesat duluan, rasa takutku sudah hilang sama sekali sejak jumpa si manis kemarin.
Ciri khas lereng Semeru mulai terasa, pasir dingin sampai kedalam tulang. Hempasan angin nakal menambah dinginnya malam. Langkah kakiku ku kayuh maksimal, satu per satu rombongan aku lewati. JP dan Caren posisi terdepan tak lama tersusul juga. Caren menghampiriku dengan senyumnya yang teramat manis. Disodorkan sebatang coklat buatku. Batang coklat kunikmati di ketinggian. Nikmat mana lagi yang kau dustakan. Pada akhirnya ada gigitan yang tak dapat aku patahkan. MasyaAllah ternyata jari tangan ku yang aku gigit, tidak terasa sakit akibat dihajar dingin yang kelewatan. Caren tahu nampaknya disodorkan lagi coklat sebatang. Mail lari naik menyusul minta jatah coklat, lagi-lagi senyum manis Caren mengembang.
Atap 3676 masih gelap saat kami mencapainya. Belakangan baru kami ketahui kalau ke dua Bule Belgia itu ilmuwan yang sedang mengadakan penelitian tentang gunung berapi di Pulau Jawa. Caren ahli Nuklir dan JP ahli Vulkanologi.
Aku tinggalkan mereka, berdua dengan Mail kunikmati sudut lain Mahameru.
Mentari pagi terbangun dari tidurnya, semburat warna kuning dan jingga di horison langit timur.
"Dhox...... itu apa....? kok nampak seperti danau"
"Lho.... sejak kapan ya ada danau berwarna kuning ke emasan gitu il"
"Klo kita lihat kok posisinya di arah oro-oro ombo ya"
Perbincangan kami belum selesai, mentari telah berubah warna. Semakin terang namun anehnya danau yang kami perbincangan telah menghilang dari pandangan mata.
Suasana semakin terang kami segera persiapan turun. JP dan Bush termangu melihat ke bawah. Ternyata berpikir bagaimana caranya turun. Mail turun duluan memberikan contoh pada mereka berdua. Aku pilih modus aja, gandeng Caren dengan mesrah. Sesaat setelah Caren mulai terbiasa menuruni pasir aku lepaskan gandengan tangan kami dan aku pantau dari belakang.
Terlihat ada beberapa pendaki merayap ke atas. Bush tiba-tiba jatuh tergelincir menabrak pendaki yang di bawahnya, terpental ke atas dan melorot ke bawah sejauh 10 meter. Kasihan banget, seketika hancur mentalnya. Tidak jadi lanjut puncak balik kanan Arcopodho pilihannya.
Rombongan telah lengkap di Arcopodho, kami berdua pamit turun duluan karena harus secepatnya sampai di Malang.
Kalimati telah terlewati, saat posisi kami tepat antara Jambangan dan gunung Kepolo terdengar auman, dibalas oleh Mail dengan auman juga.
"Di Puncak Kepolo ada yang ngecamp Dhox"
"Lho emangnya ngapain camp di situ"
Blum selesai perbincangan kami, tiba-tiba semak dan pohon perdu bergoyang-goyang dan terdengar suara herrrrr............. herrrr.........
tanpa dikomando kami berdua angkat kaki seribu gas poooollll.......
didepan banyak pendaki tanpa permisi kami lewati. Mereka ikut berlari sambil menghunus parang
"mas macan ya.......????"
tanpa jawaban kami terus berlari. Ternyata mereka juga mendengar auman tadi.
Keren lomba lari di belantara gunung Semeru.
Ranu Kumbolo hanya mampir tuk seruput kopi, tengok markas si manis, sepi.
"il, jalur Ayek-ayek lagi ya"
"ok, siapa takut"
Puncak Ayek-ayek telah kami capai
"il, kakinya masih ada gak.....?"
"uda gak ada, ilang"
Mail mendekati pohon besar di puncak dan mengukurnya dengan tangan
"segini Dhox kakinya kemarin"
"wihhhh gedhe banget"
ukuran yang ditunjukkan Mail gedenya melebihi pohon gede yang ada di puncak itu.
Lanjut tancap turun, sampai pada pohon yang kemarin ku tandai aku berhenti
"il, ini pohon yang aku tandai kemarin, trus mana persimpangannya"
simpangan tang kami lewati kemarin, dimana kami temui lelaki bercaping tidak ada lagi. Hanya satu jalan lurus tanpa ada cabang.
Mail berhenti sebentar, memandang sekitar kembali tersenyum menjengkelkan.
Ranu Pane telah di depan, langsung menuju rumah pak Tumari.
Kami tanyakan langsung danau yang kami lihat di puncak. Pak Tumari menatap lekat ke arah kami berdua.
Kami tunjukkan posisi tepat yang kami lihat.
"iku ranu lus, ranu kuning"
(itu danau jadian, danau kuning).
"Jangan coba-coba kalian cari, tidak bisa kembali pulang kalian nanti"
"tidak semua orang bisa ngeliat danau itu, kalian uda diakui sebagai orang tengger"
kami berdua tercengang dalam diam.
Lantas kami ceritakan awal perjalanan kami sejak berangkat yang penuh dengan teror. Dengan tertawa lepas beliau menjawab singkat
"kapok, biar kalian pernah merasakan"
hadewww......
Selanjutnya pak Tumari bercerita banyak tentang mistis dan makhluk ghaib di Ranu Pane dan Gunung Semeru.
sejak saat itu nama tengger aku abadikan jadi lebel produkku, disamping tengger menyimpan rekam jejak memori yang amat dalam buatku.
Perlu diketahui Syal hijau Mail masih tersimpan rapi sampai saat ini.
Dan sampai tulisan ini tersaji aku masih bingung dengan kecepatan tempuh kami Ranu Pane - Ranu Kumbolo tidak ada satu jam kami lalui, aneh tapi nyata.
Nesting kami kembalikan dan pamit pulang. Sekali lagi pak Tumari berpesan
"Jangan sekali-kali kalian cari Ranu Kuning, awas"
"siaaap pak bos"
dalam hati siapa yang edan mau mencari-cari danau misteri, memangnya cari mati
BACA JUGA : Malam Mencekam Di Gunung Saptorenggo