Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BABAK TERAKHIR NGIPRI KETHEK KELUARGA NINGRAT (Part 29) - Astana Tali Mongso

"Tiga orang pembesar bersatu untuk memperebutkan ambisinya masing-masing lewat ngipri kethek."


Untuk part 1-28, bisa langsung baca disini.

Babak akhir Ngipri Kethek Keluarga Ningrat Bagian 2 - Ancaman Baru

Di kediaman rumah Keluarga Ningrat, raden angkoro memimpin pertemuan antar semua orang yang berkaitan dengan tragedi kematian yang memilukan yang terjadi di Desa Alas Wingit beberapa waktu lalu.

Untuk para anggota keluarga yang mengikuti pertemuan tersebut antara lain:
1.Mas Pangarep
2.Mbak mawar (Isteri Mas Pangarep)
3.Mbak Neneng
4.Satu orang anggota kepo****** (Bersama isterinya)

Tampaknya, kematian dari Raden Jogopati dan juga Masmo menjadikan pihak mereka kehilangan pion terpenting untuk bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan.
‘’Kang Mas Raden…‘’ Ucap Mas Pangarep.

Raden Angkoro menatap wajah Mas Pangarep dengan tatapan dingin.

‘’Ijinkan aku bergabung dan mengikuti langkah selanjutnya. Bukankah lebih baik jika kita menyatukan semua anggota yang masih terkait pesugihan keluarga Ningrat ini.’’ Jelas Mas Pangarep.

Raden Angkoro terdiam. Dia benar-benar tahu kapasitas yang dimiliki oleh Mas Pangarep. Untuk Kang Waris dan yang lainnya, mungkin raden angkoro membutuhkan orang yang tepat seperti layaknya Raden jogopati.

‘’Dirimu yang sekarang hanyalah beban pangarep. Apakah kau mau, isterimu (Mbak Mawar) mendapati tubuhmu sudah tak bernyawa?’’ Jelas Raden Angkoro dengan tegas.

Perkataan dari Raden Angkoro benar-benar mengguncang ketenangan mereka semua.
Semua orang yang berada di sana hanya terdiam. Perkataan dari Raden Angkoro adalah hal yang mutlak dan tidak bisa diganggu gugat.

Jikalau ada sesuatu yang memang dibutuhkan, raden angkoro akan lebih dulu mengungkapkan keinginannya di hadapan mereka.

‘’Kematian yang tidak terduga dari Raden Jogopati adalah contohnya. Apakah kau pernah berpikir, jika anak yang belum dilahirkan dari kandungan adikmu itu (Nyi Esa – Isteri Raden Artonegoro) memiliki Khodam yang sangat mengerikan hingga mampu memenggal kepala Raden Jogopati?’’

Mas Pangarep tertunduk lesu. Dia tahu raden jogopati adalah salah seorang dari keturunan Keluarga Brotoseno yang memiliki kanuragan ireng.

Kanuragan Ireng yang dia ketahui memiliki daya kekuatan yang sangat besar dan mampu mengubah wujudnya menjadi seekor siluman.
Jika hal ini tidak bisa dikalahkan, kemungkinan besar, khodam turunan yang menjaga anak Nyi Esa adalah salah satu yang terkuat.

‘’Khodamnya bukan sembarang khodam. Bagaimana bisa siluman kethek putih bisa dikalahkan di hutan alas wingit?”
Raden Angkoro masih mencari cara agar bisa mengalahkan khodam turunan yang menjadi penghalan baginya.

Dengan mengalahkan khodam turunan, maka usaha untuk mendapatkan anak dari Raden Artonegoro akan mudah dicapai.
Terlebih lagi, persyaratan yang harus mereka miliki hanya kurang satu yaitu menumbalkan salah seorang bayi yang berasal dari keluarga ningrat.

‘’Bagaimana jika aku yang ikut serta dalam rencanamu angkoro?” Tanya salah seorang po**** yang memang memiliki pangkat tinggi dalam divisinya.

Raden Angkoro tersenyum lebar. Ia kemudian mengarahkan senyuman itu kepada polisi yang berhasil menyelamatkannya dari maut yang hampir saja merenggut nyawanya.

‘’Bapak Komandan yang terhormat, bukankah bapak termasuk bagian kami juga?’’ Senyum Raden Angkoro.
Polisi itu hanya tersenyum. Ia menatap wajah isterinya yang tertarik dengan apa yang menjadi kesepakatan antara dirinya dan tujuan yang dimiliki Raden Angkoro dan yang lainnya.

‘’Baiklah. Aku akan membantu seperti apa yang kalian butuhkan saat ini. Isteriku juga akan ikut serta dalam menyelesaikan tujuan kalian.’’ Ucap Polisi yang belum menyebutkan namanya itu.

Raden Angkoro tersenyum melihat hal itu. Ia kemudian menatap wajah Mbak Neneng dengan tatapan yang tidak biasa.

Sepertinya, ada sesuatu yang memang sudah dirahasiakan serta terencanakan oleh Raden Angkoro kepada Mbak Neneng.

‘’Jika sudah saatnya tiba dan anak itu dilahirkan, kau harus siap untuk menjalankan ritual yang sama agar bisa merebut bayi itu.’’ Ucap Raden Angkoro kepada Mbak Neneng.

Mbak Neneng hanya menganggukkan kepalanya. Namun hatinya masih ragu. Hatinya masih bergejolak. Ingin rasanya dia kembali menjadi manusia biasa seperti umumnya.

Akan tetapi, takdir yang dia jalankan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Mbak Neneng tetaplah menjadi pion terpenting saat ritual itu berlangsung.

***

Desa Astana Talimongso

Semenjak kejadian yang terjadi di desa tersebut, ibu semakin tidak bisa dikendalikan. Ia masih terbayang-bayang dengan mimpinya.

Menurut Ibu, apa yang baru saja dia impikan sama persis dengan kenyataan yang sedang ia hadapi sekarang.
Banyak wanita hamil yang perutnya menjadi kosong. Jabang bayi menghilang dan tangisan serta rintihan minta tolong ada dimana-mana.

Sebenarnya, ada apa dengan Desa Astana Talimongso ini? Mengapa desa ini begitu menyeramkan hingga banyak wanita hamil dan bayinya tiba-tiba menghilang hanya dalam semalaman saja?

Sebagai pendatang, Bapak dan Ibu belum tahu mengenai aturan yang berlaku di desa tersebut.
Karena itulah, bapak dan juga Kang Waris berencana untuk mencari sesepuh dari desa agar bisa dijadikan sebagai patokan untuk mencari tahu terkait latar belakang desa yang mereka tempati saat ini.

Bapak dan juga Kang Waris berkeliling ke seluruh tempat hingga mengunjungi rumah-rumah warga untuk menanyakan lokasi rumah sesepuh yang ada di Desa Astana Talimongso.

Untungnya ada salah seorang warga yang berbaik hati yang ingin memberitahu terkait rumah dari sesepuh di Desa Astana Talimongso. Dia juga sekaligus menyebutkan nama dari sesepuh tersebut.
Namanya adalah Ki Batoro.

Awalnya, bapak dan juga Kang Waris ingin menuju ke rumah Ki Batoro.
Namun saat mereka ingin menuju ke tempat yang sudah diberitahu oleh salah seorang warga itu, bapak dan kang waris terkejut saat melihat sebuah bangunan yang disebut-sebut sebagai astana (tempat pemakaman yang dikhususkan) di desa tersebut.

Pandangan mereka berdua terhenti pada sebuah bangunan tua yang tersusun rapi dengan sesajen berserakan di sekitarnya.
"Kang, ini bangunan apa?" Tanya Bapak kepada Kang Waris.

‘’Mungkin ini yang dikatakan oleh mereka. Tempat pengikatan.’’

‘’Tempat pengikatan?’’

‘’Setiap wanita yang ingin hamil atau sedang hamil, mereka harus ke tempat ini.’’
Percakapan mereka berdua pun terhenti oleh suara langkah kaki dari arah belakang mereka.

"Kalian pendatang?" Tanya seseorang dari belakang.

"Eh iya. Kami berdua pendatang pak." Jawab Bapak.

"Untuk pendatang seperti kalian setidaknya jangan sering mengunjungi tempat-tempat yang tidak boleh di lalui. Pamali." Ucap warga itu.

Kang Waris dan Bapak terdiam. Mereka berdua tidak tahu jika yang di katakan warga itu adalah bagian dari aturan yang diterapkan untuk para pendatang.
"Kalau boleh tau, tempat ini apa namanya?" Tanya Bapak.

Warga itu hanya terdiam sambil menatap tajam Kang Waris dan juga Bapak,
"Sudah saya bilang! Jangan ke sini!" Ucap warga itu.

"Eh iya pak. maafkan kami. Kami berdua pamit dulu." Ucap Bapak sambil menundukkan badannya dan mengajak Kang Waris untuk kembali ke rumah.

Saat mereka berdua hendak kembali, kang waris masih penasaran akan bangunan tua di pojok desa itu. Bangunan itu menyimpan energi mistis yang dapat dirasakan begitu melihat ke arah bangunan tersebut.

Waktu berlalu berganti hari, para warga menyuruh anak-anak masuk ke rumah masing-masing karena ada seorang warga yang akan melahirkan.
Ibu dan Bapak melihat secara jelas rasa ketakutan pada warga desa di saat hari menjelang malam.

"Mas, kamu ngerasa aneh gak sama desa ini?" Tanya Ibu.

"Aneh kenapa?" Tanya Bapak.

‘’Aku masih belum mengerti dengan desa ini. Mengapa jika ada wanita yang akan melahirkan membuat takut orang-orang yang ada di desa ini?’’ Tanya Ibu.

‘’Maksud kamu apa bu?’’

‘’Sore tadi, banyak warga yang berteriak ketakutan karena ada salah seorang wanita yang akan melahirkan. Mereka merasa ketakutan karena bayi itu tidak hilang dari dalam kandungan.’’

Bapak masih belum mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Ibu barusan.
‘’Bukannya bagus karena selamat.’’

‘’Justru itu adalah petaka.’’

‘’Petaka bagaimana?’’

‘’Bayi itu harus diserahkan ke Astana.’’

‘’Maksudnya bangunan tua itu?’’

Ibu terkejut mendengar jawaban yang baru saja Bapak katakan.
‘’Bapak tahu tempat itu?’’

‘’Tahu. Tapi keburu diusir oleh seorang warga. Niatnya, aku bersama dengan Kang Waris akan menemui sesepuh yang bernama Ki Batoro. Katanya dia tahu terkait latar belakang desa ini.’’

Ibu hanya terdiam. Dia tampak asing mendengar nama dari sesepuh itu. Namun, bukan itu yang menjadi permasalahannya.

Yang masih terpikirkan Ibu hingga saat ini adalah mengapa tidak ada tindak lanjut dari sesepuh Desa Astana Talimongso terkait kejadian yang baru-baru terjadi?

Apakah ada sesuatu yang benar-benar ditutupi oleh sesepuh desa ini, hingga dirinya sengaja membiarkan kejadian ini terus berlarut-larut dan berlanjut sampai ada sesuatu yang bisa menghentikannya?

Malam itu ibu tertidur dalam pelukan Bapak. Ibu ingin menenangkan pikirannya yang kalut dalam hal yang tidak menyenangkan dan membuatnya tidak betah untuk tinggal di desa ini.
Akan tetapi, berbeda dengan yang terjadi di malam itu.

Malam itu, seorang warga telah melahirkan anak laki-laki dengan selamat dan keadaan normal, sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Ki Batoro

"Ki, apakah anak ini akan dibawa ke bangunan itu?" Tanya Bapak dari anak itu kepada Ki Batoro.

"Harus! Semua yang lahir di desa ini harus di bawa ke desa! Jika tidak..."

"Kalau tidak kenapa, ki?" Tanya pria tersebut.

"Desa ini akan terkena kutukan!" Jelas Ki Batoro.

Setelah dibersihkan, Ki Batoro dan pria dari bayi itu membawanya ke bangunan tersebut.

"Ki, saya mohon jangan bawa anak kami, ki." Ucap Bapak dari bayi itu.

"Sudah! Jangan banyak bicara! Kau mau desa kita terkena tulah?" Tanya Ki Batoro.

"Tapi ki, ini malam hari. Udaranya sangat dingin, saya takut anak saya kenapa kenapa." Ucap Pria yang sudah menjadi Bapak dari bayi itu.
Namun Ki Batoro tetap berjalan sambil menyanyikan sebuah kidung aneh yang disebut-sebut sebagai kidung pemanggil sosok Nyi Randasari.

"Kamu yakin akan ikut sampai ke Astana 'Makam'?" Ucapkan Ki Batoro.

"Itu anak saya ki. Saya gak mau terjadi apa-apa pada anak saya." Jelas Bapak itu.

"Jika Nyi Randasari menerima anak kamu, maka bayi kamu akan selamat dalam keadaan utuh, namun jika tidak, apakah kamu rela hanya melihat dua bola mata yang utuh?" Tanya Ki Batoro.

Pria itu hanya terdiam. mungkin ingin memberontak dan menarik paksa bayi itu namun tidak mungkin. Bapak itu seperti tertunduk di hadapan Ki Batoro. Aura hitam yang di pancarkan oleh Ki Batoro sangat kuat.

Sesampainya di Astana, Ki Batoro menyuruh pria itu menunggunya di luar. Sedangkan Ki Batoro masuk ke dalam Astana sambil membawa bayi yang baru dilahirkan.

"Ki, tolong sampaikan kepada Nyi Randasari untuk menerima bayi saya. Tolong kembalikan dalam keadaan utuh." Jelas Pria itu.

"Tunggulah di sini."
Senyum Ki Batoro.
Sesampainya di dalam, Ki Batoro meletakkan bayi itu disebuat altar kecil.
Bersamaan dengan itu, Ki Batoro mengucapkan sebuah mantra pemanggilan Nyi Randasari.

Dari luaran, angin berhembus semakin kencan. Pepohonan bergoyang ke sana-kemari. Pria dari anak tersebut khawatir akan terjadi sesuatu pada anaknya itu.

Beberapa saat kemudian, Ki Batoro keluar sambil membawakan kain dari bayi itu yang masih digendongnya.
"Ki, anak saya diterima?"
Tanya Pria itu dengan nada penasaran sekaligus senang karena dibalik selimut itu ia masih merasakan bentuk dari anaknya.

Ketika selimut itu diserahkan kepada Pria dari anak itu, ia berteriak dengan kencang karena yang di dapati nya adalah dua bola mata yang dimiliki oleh anaknya itu.
Ki Batoro tersenyum dan berkata,
"Nyi Randasari menyukai anakmu tapi dia hanya mengembalikan kedua bola mata saja."

Keesokan harinya, para warga berduyun-duyun keluar untuk mengantarkan seserahan menuju ke Astana atau bangunan itu.

Ibu dan Bapak serta yang lainnya melihat dengan jelas para warga yang membawa banyak sekali makanan untuk diserahkan kepada Astana itu.

Mereka berdua pun bertanya-tanya kepada warga sekitar mengenai kegiatan tersebut,
"Bu, ini rame-rame ada apa ya?" Tanya Ibu kepada salah seorang warga.

"Ooh ini mbak. Mbaknya pendatang ya?" Tanya Ibu yang sedang hamil itu.

"Iya bu. Saya dan suami saya baru saja bermukim di desa ini." Jawab Ibu.

"Iya gapapa kalo belum tahu. Jadi jika ada wanita hamil yang akan melahirkan atau ingin memiliki anak, maka harus menuju ke Astana untuk menyerahkan sesajen. Biar Nyi Randasari senang." Ucap warga itu.

"Nyi Randasari itu siapa bu?" Tanya Ibu.

"Nyi Randasari itu..." Ucap warga itu dengan memotong perkataannya karena dari arah belakang sudah berdiri Ki Batoro.

"Eh Ki Batoro. Saya ke Astana dulu ya?" Ucap warga itu.

"Silahkan."

Ibu dan Bapak serta yang lainnya terkejut akan kehadiran Ki Batoro yang telah dulu ada di sekitarnya.
Tiba-tiba kang waris merasakan hal yang berbeda. Dia merasa ada bentrokan energi yang kuat yang berasal dari tubuh dari Ki Batoro.
"Kalian mau ke Astana juga?" Tanya Ki Batoro.

Mereka semua hanya terdiam. Namun kali ini kang waris menjawab pertanyaan dari Ki Batoro dengan cepat.
"Untuk apa?" Tanya Kang Waris.

"Jika kalian ingin tahu tentang desa ini, ikutlah ke Astana. Tidak usah membawa sesajen. Cukup kamu hadir. Kelak bayimu akan selamat.’’ Ucapkan Ki Batoro.

Tatapan Ibu yang mengarah ke arah Ki Batoro seperti memberi sinyal kepada Bapak bahwa desa yang mereka tempati merupak desa yang menganut sebuah kepercayaan terhadap iblis.

Begitu juga dengan Kang Waris. Dia seperti merasakan ada sesuatu yang memang sedang direncanakan oleh Ki Batoro agar orang-orang yang ada di desanya mau mendatangi tempat yang disebut sebagai Astana itu.

Ki Batoro pun meninggalkan mereka semua. Tidak seperti biasanya, mas rahardian juga merasakan apa yang menjadi ketakutan Ibu.
Dia terus memegangi tangan Ibu sembari menatap ke arah wajah Ibu dengan tatapan yang penuh dengan kekhawatiran.

‘’Kang…‘’ Ucap Ibu.

‘’Aku tahu maksudmu esa.’’ Jawab Kang Waris.

Di dalam astana, ki batoro menyuruh para warga untuk meletakkan sesajen tersebut di dekat sebuah makam tua.

Makam itu disebut-sebut sebagai makam dari Nyi Randasari. Belum jelas, mengapa para warga sangat menghormati Nyi Randasari.

Namun mereka yang memiliki kepentingan tertentu, mereka sangat mengharapkan keberkahan yang memang sudah tertanam dalam diri Nyi Randasari melalui Ki Batoro.

‘’Jadi, apa yang kalian inginkan?” Tanya Ki Batoro kepada para warga yang hadir di dalam Astana.

‘’Saya ingin punya anak ki.’’ Ucap salah seorang wanita yang sudah belasan tahun belum memiliki anak.

‘’Saya juga ki.’’

‘’Kalau saya ingin kaya raya, ki.’’

‘’Saya mau punya sawah yang luas, ki.’’

‘’Ki, saya mau punya isteri yang cantik.’’

Ki Batoro hanya tersenyum. Dia menatap semua warga yang memohon-mohon kepadanya sembari mengangung-agungkan namanya layaknya seseorang yang sangat diharapkan oleh para warga.
‘’Permintaan kalian aku kabulkan.’’ Ucap Ki Batoro dengan mudahnya.

Para warga senang mendengar jawaban itu. Mereka kemudian menundukkan badannya sembari memohon-mohon kepada Ki Batoro agar mengabulkan apa yang mereka inginkan.

Ki Batoro terdiam sejenak. Ia meminta kepada para warga untuk terdiam sejenak karena sudah saatnya dirinya ia berkomunikasi dengan Nyi Randasari.

Sembari merapalkan mantra, ki batoro mencoba untuk berkomunikasi dengan Nyi Randasari.
Bersamaan dengan itu, angin berhembus dengan kencangnya. Para warga mulai merasakan ketakutan karena hembusan angin tersebut tidak seperti angin pada umumnya.

Tidak lama kemudian, ki batoro berjalan mengelilingi warga satu persatu sembari menyentuh kepala mereka masing-masing,

Setelah melakukan hal semacam itu, ki batoro kembali ke tempatnya semula sembari mengatakan kabar yang menggembirakan,
‘’Nyi Randasari telah berkata kepadaku bahwa dia akan mengabulkan semua keinginan dan permintaan kalian hari ini.’’

Para warga ikut senang mendenagr berita tersebut. Mereka pun memberikan pujian kepada Ki Batoro sembari memuja-mujanya seperti layaknya Tuhan.
‘’Terima kasih, ki.’’

‘’Ki Batoro adalah harapan kami!’’

‘’Sembah hormat untuk Ki Batoro.’’

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close