Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BABAK TERAKHIR NGIPRI KETHEK KELUARGA NINGRAT (Part 30 END) - Astana Tali Mongso

"Tiga orang pembesar bersatu untuk memperebutkan ambisinya masing-masing lewat ngipri kethek."



Untuk part 1-29, bisa langsung baca disini.

Babak akhir Ngipri Kethek Keluarga Ningrat Bagian 3 - Rencana Busuk

Pak Subroto dan ibu Melan namanya. Mereka berdua merupakan orang yang sudah menutup-nutupi kejadian di Pabrik bawang.

Di saat tragedi memilukan itu terjadi, pak subroto dan juga Ibu Melan membantu Raden Angkoro untuk menutupi kebusukan yang selama ini dilakukan oleh Keluarga Brotoseno dan juga Keluarga Ningrat.

Mereka berdua juga mengurusi peristiwa yang terjadi di alas wingit. Bisa dibilang, setiap langkah yang dilakukan oleh Raden Angkoro sudah mendapatkan back-up dan perlindungan dari Pak Subroto dan juga Ibu Melan.

‘’Apa langkahmu selanjutnya angkoro?’’ Tanya Pak Subroto.
Raden Angkoro terdiam sejenak. Ia membakar rokok kretek kesukaannya sembari memikirkan strategi apa yang akan dia lakukan selanjutnya.

‘’Astana Talimongso.’’ Ucap Raden Angkoro.

‘’Astana Talimongso?’’ Tanya Pak Subroto.

‘’Desa itu adalah desa yang tidak memiliki norma. Kematian hanyalah permainan yang dijadikan percobaan untuk meningkatkan kekuatan kanuragan yang dimiliki oleh leluhurnya.’’

Tidak seperti Alas wingit, astana talimongso sendiri merupakan ancaman bagi Raden Angkoro. Pasalnya, leluhur di sana juga berkeinginan untuk mendapatkan jabang bayi yang diincarnya.

Pak Subroto hadir sebagai pendamping yang tepat bagi Raden Angkoro. Kematian Raden Jogopati memang sangat disesali, namun, untuk sekarang, dia hanya membutuhkan orang yang memiliki kekuasaan untuk menutupi segala tragedi berdarah yang akan terjadi.

‘’Kita akan ke sana.’’ Ucap Raden Angkoro.

***

Desa Astana Talimongso
Tengah malam menyapa...
Tiba-tiba ibu terbangun dari tidurnya.

Ibu berniat untuk melakukan sholat isya. Dia tahu, walaupun dirinya bukan berada dalam lingkungan agamis, tapi dia perlu menanamkan diri sebagai seorang muslimah yang taat terhadap Robb-Nya.

Selepas sholat, Ibu mendengar suara langkah kuda. Dia terkejut manakala suara kuda itu berhenti tepat di depan rumahnya.
Saat Ibu ingin mendekati pintu, ia merasakan aura berbeda yang dirasakan dari balik pintu rumahnya.

"Siapa di depan?" Tanya Ibu yang masih menggunakan mukenah.

Suara tawa kecil layaknya nenek tua yang menertawakan tingkah lucu cucunya.
Tubuh Ibu merinding seketika. Ia tahu bahwa yang di depan rumahnya manusia, melainkan setan!

"wilujeng peteng. Abdi karuhun kampung ieu."(Selamat datang. Saya leluur di desa ini) Ucap suara nenek tua itu.
Ibu baru ingat bahwa desa ini memiliki leluhur sesuai apa yang dikatakan oleh Ki Batoro kepadanya.

Dia pun ingin mencoba menanyakan tentang desa ini, namun aura hitam yang ia rasakan tiba-tiba menghilang.

Ibu pun membuka pintu untuk memastikan sosok itu berada di tempatnya atau tidak, namun begitu ia melihat keluar, terkejut melihat para ibu-ibu yang sedang berada di depanan rumahnya dengan perut membesar seperti orang hamil.

Kedua mata Ibu terbelalak manakala satu persatu dari perut mereka tersobek secara perlahan karena bayi yang berada di dalamnya sudah tidak sabar untuk keluar.

Darah bercucuran kemana-mana. Ibu berteriak sekencang-kencangnya. Ia pun segera menutup pintunya dan masuk ke dalam. Namun, baru saja ia menutup pintu, Ibu mendengar suara tangisan bayi yang membuat dia tertidur.

Ibu memegangi sambil menutup mata, namun suara itu terus meningkatkan seperti halnya bayi-bayi itu sudah tepat di depanannya.
"Ulah sieun." (Jangan takut) Ucap nenek tua itu.

Ibu pun terkejut saat dirinya melihat sosok Nyi Randasari yang sedang di kelilingi bayi-bayi yang tidak memiliki kedua bola mata.
Nyi Randasari terbang ke arahnya sambil membawakan bayi ke arahnya yang menandakan bahwa bayi itu adalah miliknya nanti.

"Ieu orok anjeun." (Ini bagimu)
Ucap Nyi Randasari yang sudah berada di dekat.
Saat Ibu membuka mata kembali, ia melihat bayi itu sudah penuh darah dan matanya tidak ada. Ibu pun berteriak karena ketakutan.
Tiba-tiba, ...

"Bu, kamu kenapa? Kamu kenapa?" Tanya Bapak yang membangunkannya
"Pak...Ada Setan!" Jelas Ibu.
"Kamu dari tadi tiduran di sini, bu. Kamu mimpi buruk?" Tanya Bapak.

Ibu baru sadar bahwa dirinya masih berada di tempat sholat. Ia pun memeluk Bapak karena kejadian buruk yang di alamnya adalah hanya sebuah mimpi.
"Pak, ibu takut ... " Ucap Ibu.
"Iya, bu. Ada Bapak di sini. Sebentar lagi, kita akan tahu tentang desa ini.’’ Jelas Bapak.

Ibu pun mengiyakan. Bapak mengambil air minum terlebih dahulu
"Ini, bu. Diminum sampai habis," Jelas Bapak.

hanya satu tegukan yang diminum oleh Ibu namun air itu langsung dengan cepat. Bapak tersenyum melihat air yang menetes dari mulut Ibu karena rasa haus dahaganya yang begitu menguras energi dari dalam tubuhnya.

‘’Sekarang tidurlah. Aku takut bayi yang ada di kandungan kamu nanti akan sakit." Ucap Bapak.

Hari berjalan seperti biasanya. Tidak ada perbedaan dalam diri Ibu kecuali nafsu makan yang begitu lahap sehingga tubuhnya mengalami pelebaran yang signifikan. Perut Ibu semakin hari semakin membesar.

Pertanyaan demi pertanyaan masih terus mengambang di pikiran Ibu dan yang lainnya. Semenjak kejadian dimana Ibu dimimpikan atau bahkan diperlihatkan sosok asli dari Nyi Randasari,

ki batoro sering mengunjungi rumah Ibu dengan tujuan mengulik informasi dan mengetahui lebih jauh terkait keadaan jabang bayi yang diinginkan Ibu.

Kang Waris dan yang lainnya hanya bisa memantau pergerakan dari Ki Batoro dan kedua ajudannya tersebut. Jika memang ada sesuatu yang sangat mencurigakan, kang waris akan bertindak lebih dulu untuk menghentikan langkah yang akan diambil oleh Ki Batoro

‘’Apakah dia datang kemari?’’ Tanya Ki Batoro kepada Ibu.
"Maksud Ki Batoro, leluhur itu adalah nenek tua yang menginap mendatangi rumah ini?" Tanya Ibu.
"Kamu pernah menemuinya?" Tanya Ki Batoro sambil tersenyum.

"Semalam aku bertemu dengannya..." Ucap Ibu sambil mengingat-ingat kembali.
Tiba-tiba Ibu merasakan sakit yang luar biasa di perutnya. Seperti ada kontraksi kencang yang membuat perutnya tiba-tiba mengeras tidak seperti biasanya,

"Bu, kamu kenapa?" Tanya Bapak.
"Pak, sakit! Perutku seperti di tekan-tekan!" Jelas Ibu.
Ki Batoro pun meninggalkan mereka dengan wajah tersenyum. Ia menuju ke arah Astana untuk melakukan sesuatu.

Sementara itu di Astana
"Nyi ... Sebentar lagi aku akan sempurnakan dirimu.’’ Jelas Ki Batoro.

Hitungan terakhir dari bayi yang ditumbalkan untuk Nyi Randasari kembali 99. Dan bayi terakhir yang dipercepat pertumbuhannya jatuh kepada Ibu. Dimana bayi yang akan dijadikan tumbal akan genap 100. Jika berhasil dengan sempurna, maka Ki Batoro sendiri akan mendapatkan ilmu hitam

Tiba-tiba langit mengamini apa yang diminta oleh Ki Batoro. Hujan mengguyur desa itu. Kilatan petir menggelegar seperti akan ada sesuatu yang tidak disukai.
Ki Batoro keluar dari Astana sambil melihat ke arah langit. Ia dengan senangnya berteriak,

"Sebentar lagi keinginanku terwujud! Hahaha!"
Teriak Ki Batoro

Ibu kembali memimpikan sesuatu yang sangat aneh
"Anakku, jangan kau ambil." Ucap Ibu dalam keadaan mengigau.

Dari luaran kamar, Bapak dan juga Kang Waris masih memikirkan cara bagaimana agar mereka bisa menyelamatkan Ibu yang terus menerus dihantui oleh ketakutan yang telah dibuat oleh Ki Batoro.

‘’Entah mengapa. Ada sesuatu yang mungkin menjadi keterkaitan selama aku hidup. Apakah ada sesuatu yang akan terjadi di malam nanti?’’ Tanya Kang Waris
‘’Maksud Kang Waris?’’ Tanya balik Bapak.
‘’Lihatlah langit…‘’
‘’Bulannya…‘’

Mungkin, kang waris dan yang lainnya memiliki pemikiran yang sama. Purnama bukanlah sebuah keindahan yang tergambarkan dalam diri mereka masing-masing.

Akan tetapi, dengan kehadiran purnama yang begitu sangat mengerikan yang sudah pernah terjadi, apakah purnama yang sama akan terjadi juga di hari ini?

Tepat di malam hari, ibu terbangun dari tidur karena merasa ada sesuatu yang hadir tepat di malam itu juga. Entah mungkin karena ada keterkaitan yang memang terjadi dengan perutnya yang tiba-tiba kembali mengalami hal yang aneh.

Ibu segera membangunkan Bapak. Disusul dengan yang lainnya, mereka pun dibangunkan secara satu persatu karena ada firasat Ibu yang kurang baik yang terjadi pada malam itu.

Saat dimana mereka terbangun, dari luaran terdengar suara tawaan nenek tua.
‘’wilujeng peteng. Abdi karuhun kampung ieu." (Selamat datang. Saya leluhur di desa ini)

Aura merinding tiba-tiba menghampiri tubuh mereka. Lampu di rumah bergerak-gerak sendiri. Bayangan hitam membesar secara perlahan dari sudut pintu,
"Bersembunyilah di bawah meja!" Ucap Kang Waris.

Mereka pun segera bersembunyi di bawah meja.
Makin lama, bayangan itu membentuk sosok yang tawanya. Angin di luaran yang sangat kencang,

Nyi Randasari berdiri tepat di hadapan mereka sembari memainkan jari-jemarinya. Ia kemudian mencari bebauan bayi yang mungkin saja menjadi sinyal baginya.

Bapak yang melihat langsung sosok itu hanya bisa terdiam. Baru kali ini bergetar hebat ketika melihat sesosok leluhur yang sering menggunakan itu. Hadirnya Nyi Randasari di tengah-tengah mereka bukan kebetulan.

Ini adalah wujud dari panggilan yang dilakukan oleh Ki Batoro terhadap Nyi Randasari untuk menjenguk bayi terakhir yang akan dijadikan tumbal.

Nyi Randasari mengeluarkan sebuah suara seperti suara kelelawar di tengah malam. Suara itu sangat berisi hingga membuat gendang telinga Bapak.
Tubuh Nyi Randasari melayang. Hanya saja, penampilan seperti hitam yang kainnya menempel hingga ke lantai.

Anehnya, Nyi Randasari tidak berani masuk ke dalam kamar. Hal ini juga disebabkan oleh seorang wanita yang mengenakan pakaian adat jawa yang sudah berdiri sembari menatap tajam ke arah Nyi Randasari.

Bersamaan dengan munculnya angin yang entah dari mana asalnya, sosok Nyi Randasari akan meninggalkan mereka. Tawaran dan suara yang mengitari kepergian Nyi Randasari dari rumah Bapak.

Sesaat setelah Nyi Randasari keluar,
"Kemari!" Ucap Kang Waris.
Bapak segera menuju ke Kang Waris. Sepertinya, ini adalah waktu yang tepat untuk Kang Waris sendiri agar bisa menyelesaikan permasalahan yang berada di desa Astana Talimongso.

Sebelum Kang Waris dan juga Bapak berangkat menuju Astana, mereka berdua meminta kepada Jaja dan yang lainnya untuk mengawasi Ibu di rumah.
Bersamaan dengan itu, raden angkoro beserta dengan beberapa orang yang menjadi kepercayaannya juga berangkat menuju ke Astana Talimongso.

Mereka berkeinginan untuk merebut kembali apa yang menjadi keinginannya yaitu mendapatkan jabang bayi yang masih dalam kandungan Ibu.

Bapak dan Kang Waris mempercepat langkah mereka. Sepertinya, ki batoro sedang melakukan sebuah ritual yang digunakan untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.

Dan benar saja. Saat Kang Waris dan juga Bapak tiba di sana, mereka berdua melihat Ki Batoro sedang memegang bejana berisi cairan berwarna merah.

‘’Jadi, kau adalah iblis di balik ini semua?’’ Tanya Kang Waris.
Ki Batoro hanya tertawa mendengar hal itu. Dia kemudian meminum perlahan cairan yang diyakini sebagai darah dengan sekali tegukan.

Bersamaan dengan itu, ki batoro merapalkan sebuah mantra yang digunakan untuk memanggil Nyi Randasari yang memang sudah menjadi waktunya untuk kembali dikeluarkan.

‘’Wahai penguasa malam yang gelap. Demi Astana yang menjadi kokoh karena terbunuhnya puluhan tumbal bayi. Demi kutukan yang menjalar ke dalam nadi tiap wanita yang akan melahirkan. Keluarlah kesesatan yang mumpuni, nyi randasari!’’

Dari dalam astana, keluarlah sosok hitam yang memiliki bentuk yang tidak seperti apa yang diperkirakan oleh Kang Waris dan juga Bapak. Dia adalah sosok Nyi Randasari yang bentukannya sama seperti apa yang telah mereka lihat saat berada di rumah.

Sosok itu mendekati Ki Batoro. Ia kemudian berteriak dengan sangat kencang seperti memekikkan suara layaknya kelelawar yang berada di dalam gua.

Sontak saja, kang waris dan bapak langsung menutupi kedua telinganya karena suara itu benar-benar menggema di dalam otak dan juga mengganggu pendengarannya.

Tidak lama kemudian, bapak yang terlebih dulu merasakan efek samping karena suara tersebut. Dari hidung dan juga telinganya keluar darah secara perlahan. Sedikit demi sedikit, tubuh bapak kemudian melemas. Wajahnya memucat.

‘’Arto?’’ Ucap Kang Waris sembari menatap wajah Bapak yang sudah sangat pucat. Lalu, tidak berselang lama, bapak langsung pingsan karena tidak mampu menahan

Suara itu terus dibunyikan sampai Kang Waris juga merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan Bapak. Tubuh Kang Waris melemah dan tidak bisa menggerakkan sedikit pun anggota badannya.

Kang Waris tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Ia hanya bisa mendengar suara tawaan yang mungkin saja berasal dari Ki Batoro yang sedang menikmati kekuatan besar dari Nyi Randasari.

Tapi, kebahagiaan dari Ki Batoro tidak berlangsung lama. Tiba-tiba, terdengar suara gamelan dari kejauhan. Bersamaan dengan suara itu, muncul suara-suara lainnya seperti suara monyet, kincringan dan suara-suara menggunakan bahasa jawa kuno.

Kang Waris tidak bisa mengetahui apa yang terjadi saat itu. Namun, sayup-sayup yang dia lihat, ada dua orang asing yang sedang menaiki Astana. Lalu, di belakang mereka berdua telah berdiri sosok hitam besar yang tampaknya sangat familiar.
‘’Kethek Ireng?’’

Tidak berselang lama, suara dari Nyi Randasari langsung menghilang. Akan tetapi, suara teriakan yang mengerikan terjadi kepada Ki Batoro.

Entah apa yang terjadi, sebelum hal yang mengerikan terjadi, ki batoro seperti berteriak bahwa dirinya memohon ampun agar mau melepaskan cekikan leher yang sedang dia rasakan saat itu juga.

Tidak berselang lama, kobaran api membakar seluruh Astana. Api itu dengan cepatnya melahap seluruh isi Astana. Ki Batoro terbakar di dalamnya. suara teriakannya melonglong bagaikan anjing yang menunggu.

Para warga yang melihat ada kobaran api membesar langsung menuju ke arah dimana si jago merah itu terlihat.
Namun, mereka melihat ada dua orang yang sudah terkapar di dekat Astana. Mereka yang mengenali kedua orang itu langsung membawanya ke rumah.

Sesampainya di rumah, ibu dan yang lainnya terkejut karena mendapapti Bapak dan juga Kang Waris dalam keadaan sudah tidak sadarkan diri.
Mereka berdua pun dirawat untuk beberapa waktu lamanya sampai benar-benar pulih.

Sampai akhirnya, desa tersebut didatangi oleh polisi untuk menyelidiki tragedi yang baru saja terjadi.
Terkhusus penyidikan yang sedang berlangsung, ada salah seorang wanita yang langsung menuju ke tempat Ibu sembari menanyakan terkait keadaan Bapak dan juga Kang Waris.

‘’Bagaimana keadaan suamimu?’’ Tanya Seorang wanita itu
‘’Maaf, anda siapa, ya?’’ Tanya Ibu.
‘’Saya Melan. Suami saya kebetulan bertugas di sini. Namanya Pak Subroto.’’
‘’Kami semua baik-baik saja.’’ Ucap Ibu.

‘’Kami memiliki sebuah tempat untuk kalian semua huni. Siapa tahu, tempat tersebut sangat nyaman untuk kalian semua.’’
‘’Maksudnya tempat tinggal?’’
‘’Benar.’’ Ucap Bu Melan.

Ibu tersenyum lebar mendengar berita baik tersebut. Tidak berselang lama, seorang komandan polisi yang bernama Pak Subroto mendekati Ibu
‘’Kami akan menjaga anakmu sampai kelak lahir.’’

(ASTANA TALIMONGSO TAMAT)

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close