Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BABAK TERAKHIR NGIPRI KETHEK KELUARGA NINGRAT (Part 31) - Ritual Buhul Tali Mayit

"Tiga orang pembesar bersatu untuk memperebutkan ambisinya masing-masing lewat ngipri kethek."


Untuk part 1-30, bisa langsung baca disini.

Babak akhir Ngipri Kethek Keluarga Ningrat Bagian 1 - Ritual Buhul Tali Mayit

BABAK BARU
‘’MEREKA KEMBALI.’’
Perjalanan Raden Artonegoro dan yang lainnya masih berlanjut. Kali ini, mereka tidak memiliki pilihan selain menerima tawaran tersebut.

Tawaran yang di arahkan oleh Ibu Melan dan juga Pak Subroto untuk menempati tempat yang berada di dekat rumahnya sangatlah menarik.

Awalnya, kang waris tidak menyetujui tawaran tersebut. Ia tampak curiga dengan kebaikan yang diberikan oleh Pak Subroto dan juga isterinya mengenai tempat yang gratis untuk semua anggota keluarga Raden Artonegoro dan orang-orang yang berada di dalam ruang lingkupnya.

Namun, apa boleh buat. Semua akan merasakan hal yang mungkin dirasakan oleh Kang Waris saat itu. Belum lagi, usia kehamilan dari Ibu sudah tua. Itu tandanya, kelahiran anak perempuan yang menjadi sorotan Keluarga Ningrat dan Keluarga Brotoseno benar-benar sangat ditunggu.

Mereka akhirnya berangkat menuju ke rumah yang dimaksud dengan menaiki kendaraan yang sudah disediakan oleh Pak Subroto dan juga Ibu Melan.

Tempat yang disediakan oleh Pak Subroto dan juga Ibu Melan lumayan besar. Intinya, di dalam rumah tersebut ada beberapa kamar. Lalu, segala fasilitas sudah disediakan di sana.

Terlebih lagi, di dalam rumah tersebut, ibu melan juga sudah menyediakan ruangan khusus untuk Ibu yang nantinya digunakan bersama dengan bayinya yang akan dilahirkan.

‘’Ini adalah tempat kalian. Kalau butuh apa-apa, kalian bisa menghubungi kami berdua.’’ Ucap Ibu Melan kepada Ibu dan yang lainnya
‘’Terima kasih, bu.’’

Ibu Melan dan Pak Subroto meninggalkan mereka semua. Ibu dan yang lainnya segera berkemas dan menempati rumah baru tersebut.
Entah mengapa, banyak sekali hal-hal yang masih dalam pikiran Kang Waris sewaktu Ibu Melan mempersilahkan rumah itu tanpa percuma.

‘’Apakah ini jebakan, arto?” Tanya Kang Waris.
‘’Maksud Kang Waris?’’ Tanya Bapak.
‘’Aku rasa, aku kenal dengan polisi itu.’’
‘’Pak Subroto?”

‘’Benar. Sewaktu kejadian di Tragedi Pabrik Bawang, aku melihat Pak Subroto dan yang lainnya bersama dengan Raden Angkoro.’’ Jawab Jaja dengan nada yang serius.
‘’Kalian yakin?’’ Tanya Bapak.

Jaja kemudian mengangguk. Ia membenarkan keraguan yang di arahkan oleh Kang Waris kepada polisi yang bernama Pak Subroto tersebut.
‘’Sepertinya, ada sebuah rencana yang memang sudah mereka jalankan.’’

Setiap harinya, ibu melan dan juga Pak Subroto selalu menengok Ibu. Yang mereka tanyakan adalah,
‘’Berapa usia kandungannya sekarang?’’
‘’8 bulan, bu.’’
‘’Berarti, satu bulan lagi, ya.’’
‘’Perkiraan seperti itu, bu.’’

Ibu Melan mengelus perut Ibu secara perlahan. Ia juga tidak lupa untuk menyanyikan sebuah kidung jawa yang tidak pernah disangka-sangka,

‘’Bu, kok ibu tahu kidung jawa ini?”
‘’Kamu kaget aku bisa nyanyikan kidung ini? Haduh, esa. Ini kan kidung yang digunakan untuk menenangkan sang bayi.’’

Ibu Melan kemudian mencium perut Ibu. Dia lalu membacakan sesuatu dalam bahasa jawa. Suaranya berbisik-bisik seperti sedang melakukan sebuah percakapan khusus antara dirinya dengan sesuatu,
‘’Bu? Ibu sedang apa?’’
‘’Aku sedang meruwat bayimu, esa.’’
‘’Untuk apa?’’

‘’Nanti malam ada banyak tamu yang datang. Aku takut, anak ini jadi sasarannya.’’
Setelah menjelaskan maksud dan tujuan Ibu Melan membacakan sesuatu kepada perut Ibu, ia bergegas pergi meninggalkan Ibu sembari tersenyum tipis.

Malam harinya, ibu tidak bisa tertidur. Ia seperti mengingat apa yang dikatakan Ibu Melan kepadanya. Pernyataan Ibu Melan terhadap ‘’Para Tamu’’ yang nantinya akan datang ke rumah seperti memberikan sebuah gambaran yang tak biasa.

Pasalnya, ibu sedari tadi memperhatikan di sekitaran dan sempat menanyakan kepada Jaja, kang waris bahkan kepada Bapak terkait tamu yang nantinya akan datang tepat di malam hari.
‘’Pak? Ada gak tamunya?’’
‘’Tamu apa, bu?’’

‘’Kata Bu Melan, malam ini rumah kita akan kedatangan banyak tamu.’’
‘’Dari tadi gak ada tamu, kok.’’
Ibu hanya menghela nafas panjang. Hatinya berdegup kencang mana kala tamu yang dikatakan oleh Ibu Melan belum juga datang.

Sempat terpikir untuk keluar dari kamar dan ingin melihat secara pribadi keadaan di luar rumah.

Akan tetapi, ibu tahu, jika bayi yang berada di dalam kandungannya belum aman. Bisa saja, serangan dari Raden Angkoro dan yang lainnya akan datang secara tiba-tiba dan membuat semuanya akan berakhir dalam sekejap.

Untuk melegakan hati Ibu, bapak pun menyuruh kepada Jaja untuk berjaga di luar rumah. Tujuannya agar ketika tamu yang dikatakan oleh Ibu Melan itu tiba, maka, jaja akan segera memberitahu kepada Ibu dan juga Bapak.

‘’Ja, kamu jaga di luar rumah dulu gapapa, kan? Biar Mas Rahardian tidur sendiri.’’
‘’Iya gapapa, pak. Tapi, aku ijin sebentar menemani Mas Rahardian, ya.’’
‘’Silahkan.’’

Jaja baru-baru ini memang sedang dekat dengan Mas Rahardian. Mungkin, bagi Mas Rahardian, jaja adalah kakak baginya.
Terlebih lagi, tingkat keperdulian dari Jaja memang sangat menyentuh untuk anak seumuran Mas Rahardian yang membutuhkan teman.

Di dalam kamar, jaja masih menemani Mas Rahardian. Ia membelai rambut Mas Rahardian seolah-olah dengan penuh kasih sayang.

‘’Mas, jangan cepat tumbuh besar, ya. Nikmati masa-masa kecilmu. Kamu boleh merengek dan menangis karena tidak bisa bermain denganku. Tapi, jika kau sudah dewasa, kau akan merengek dan menangis ketika sudah dipermainkan dengan yang namanya dunia.’’

Bersamaan dengan itu, kedua tangan Mas Rahardian langsung memeluk tubuh Jaja. Padahal, dirinya sedang tertidur. Namun, apa yang sedang dilakukan oleh Jaja seperti membuat Mas Rahardian tersadarkan bahwa yang ada di hadapannya sekarang adalah Jaja.

Berbeda dengan Ibu, ia sama sekali tidak bisa tertidur. Entah apa yang selama ini ia pikirkan, tampaknya, ada sesuatu yang menjanggal dalam pikiran Ibu.

Bukan hanya perkataan dari Ibu Melan yang membuatnya kembabli teringat akan ‘’para tamu’’ yang akan datang. Akan tetapi, yang menjadi penasaran adalah siapa ‘’para tamu’’ itu dan mengapa Ibu Melan mengetahui hal-hal yang memang tidak diketahui olehnya sendiri.

Semakin malam, udara semakin dingin. Bapak sudah tertidur terlebih dahulu. Sedangkan Ibu, ia masih mencoba untuk menidurkan diri dan menutup matanya rapat-rapat.

Tatkala rasa kantuknya sudah berada di ambang batas, ibu akhirnya tertidur. Ia seperti merasakan kenikmatan yang tiada tara tatkala rasa kantuknya benar-benar sudah hilang dan mampu tertidur dengan nyenyak.

Namun, kedua mata Ibu seperti bergerak ke arah kanan kiri walau dengan mata tertutup. Kedua tangannya mencengkram kuat-kuat selimut yang sudah menutup sebagian tubuhnya.

Ibu mengalami mimpi buruk. Ia melihat sesuatu yang tidak biasa di dalam mimpi tersebut. Mimpi yang nantinya akan menjadi kenyataan.

Di dalam mimpi tersebut, ibu melihat ada banyak bayangan putih yang sedang berdiri sembari enggerak-gerakkan kepalanya. Mereka memiliki jumlah belasan.

Sayup-sayup, terdengar suara panggilan dari belasan bayangan tersebut. Mereka semua menyebutkan nama yang sama secara berbarengan,
‘’ESA!’’
‘’ESA!’’
‘’ESA!’’
‘’ESA!’’
‘’ESA!’’

Ibu yang mendengar panggilan itu langsung mundur beberapa langkah. Ia tahu, jika yang di hadapannya bukanlah manusa.
Perlahan, mereka semua yang berada di hadapan Ibu mendekat dengan cara melompat secara berurutan.
‘’ESA!’’
‘’ESA!’’
‘’ESA!’’
‘’ESA!’’
‘’ESA!’’

Ibu semakin ketakutan mendengar suara itu bersamaan dengan mendekatnya belasan sosok putih dengan melompat-lompat layaknya pocong.
‘’ESA!’’
‘’ESA!’’
‘’ESA!’’
‘’ESA!’’

Ibu menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Ia kemudian berteriak sekencang-kencangnya,
‘’Jangan mendekat! Jangan mendekat!’’

Sementara itu, jaja yang telah usai menemani Mas Rahardian, ia pun segera menuju ke luaran rumah untuk berjaga-jaga.
Namun kali ini, jaja merasakan hawa yang tidak biasa. Ia merasa, malam ini sangat sunyi dan benar-benar sangat sepi.

Mungkin karena lokasi tempat yang mereka huni ini terbatas dan tidak semua orang atau warga bisa bermukim di tempat ini.
Akan tetapi, tubuh Jaja berkali-kali merasakan hawa merinding yang tak biasa. Detak jantungnya juga berdegup lebih kencang.

Pikirannya mulai mengarah kepada hal-hal yang aneh. Ia segera menguatkan diri dengan membaca do’a yang ia tahu.
Tujuannya adalah untuk menenangkan hati, pikiran dan juga apa-apa yang ia takutkan saat malam itu.

Langkah Jaja mulai menuju ke ruangan depan. Dari luaran, ia mendengar sayup-sayup suara agak berisik dan bersahutan secara bergantian.

Suaranya mirip-mirip seperti suara tikus yang terjepit perangkap atau seperti suara tikus yang hendak dimangsa oleh pemburunya.
‘’Suara apa ini?’’

Berkali-kali Jaja mencoba untuk memiliki pikiran yang tenang dan juga positif. Entah, mengapa malam ini begitu terasa aneh tatkala Raden Artonegoro (Bapak) memerintahkan kepadanya untuk menyambut tamu yang nantinya akan datang pada malam ini.

‘’Ini sudah hampir tengah malam. Mana mungkin ada tamu dari luaran yang akan datang.’’
Jaja pun segera mengintip luaran rumah dengan membuka sedikit gorden. Tatapannya mulai mengarah kepada sekitaran yang ada di luaran.

Ia juga melihat dedaunan kering banyak yang beterbangan akibat terhempas oleh tiupan angin yang sangat kencang.

Walaupun begitu, jaja tetap yakin, jika firasat yang dikatakan oleh Raden Artonegoro mungkin saja akan ada benarnya.
Selama ini, ia mempercayai hal-hal yang dikatakan oleh Raden Artonegoro kepadanya.

Baik itu tentang hal-hal mustahil yang tidak mungkin terjadi atau meang sekedar firasat buruk yang sama sekali tidak berbentuk dan tidak terduga-duga kedatangannya.
‘’Krek!”

Jaja membuka pintu depan rumah. Satu langkah kakinya sudah berada di luar. Hembusan angin mulai bertiup ke arahnya secara perlahan,
‘’Hussss … ‘’
Lagi-lagi, suara-suara tikus itu mulai terdengar kembali. Ia masih mencari, apa penyebab dari suara itu bermunculan.

Pasalnya, baru beberapa hari dirinya berada di rumah yang ditawarkan oleh Ibu Melan, jaja sama sekali tidak pernah mendengar atau mendapati hal-hal aneh yang ada di sekitarannya.

Akan tetapi, baru kali ini, ia menemukan suara tikus yang terus menerus memikkan suarannya serasa seperti ada di berbagai arah.

Jaja kemudian mencari-cari suara itu. Ia tampak sedikit khawatir dengan suara yang aneh mungkin akan menciptakan sesuatu yang aneh juga.
‘’Dimana suara itu?’’

Beberapa kali Jaja mondar-mandir untuk mencari arah dari suara itu. Namun, ia sama sekali tidak mendapatinya.

Saat dirinya sudah merasa lelah dan tidak bisa mendapati suara itu. Jaja langsung terdiam. Ia menghela nafas panjang dan menutupi telinganya untuk menghindari suara-suara tersebut.

Perlahan, suara itu menghilang. Bersamaan dengan suara itu menghilang, suasana langsung menjadi tenang.

Jaja kemudian mencoba untuk menutup matanya dan kembali menghela nafasnya. Namun, saat dirinya membuka kedua matanya, tiba-tiba, dia mendengar sesuatu yang sangat mengerikan,
‘’Selamat malam, calon mayit!’’

Ibu masih terus berteriak. Mimpi yang sedang dilaluinya berasa seperti masuk ke dalam kehidupan nyata.
Berkali-kali, suara itu terdengar jelas hingga membuat telinganya kesakitan.
‘’ESA!’’
‘’ESA!’’
‘’ESA!’’
‘’ESA!’’

Suara yang digaungkan oleh mereka berbeda-beda. Beberapa ada yang tampak familiar, beberapa juga tidak pernah ia kenal dan baru kali ini dia mengenalnya.

‘’AKU INGIN BAYIMU!’’
‘’KAMU MASIH INGAT DENGANKU KAN, SA?’’
‘’ESA, ADIKKU. KAPAN KAU PULANG?’’
‘’ESA … IBU SENDIRIAN DI KUBURAN.’’
‘’APAKAH KAMU SUDAH BAHAGIA, SA?’’

Deg! Ibu langsung mengingat semua suara-suara itu. Itu adalah suara-suara mereka yang sudah meninggal dunia.
Saat dimana Ibu membuka kedua matanya, ia terkejut bukan kepalang, di hadapannya sudah berdiri belasan pocong tanpa ikat tali pocong yang berada di hadapannya,

Mereka semua berdiri sembari memanggil nama Ibu secara bergantian,
‘’ESA!’’
‘’ESA!’’
‘’ESA!’’
‘’ESA!’’
‘’AKU INGIN BAYIMU!’’
‘’KAMU MASIH INGAT DENGANKU KAN, SA?’’

‘’ESA, ADIKKU. KAPAN KAU PULANG?’’
‘’ESA… IBU SENDIRIAN DI KUBURAN.’’
‘’APAKAH KAMU SUDAH BAHAGIA, SA?’’

Mereka semua menggoyang-goyangkan kepalanya secara bersamaan. Dari yang memiliki rambut panjang, wajah yang sudah hancur, perut yang sudah berantakan bentukannya bahkan sampai mereka yang tidak memiliki kedua matanya,

Namun, ada salah satu dari mereka yang tidak menyebut nama Ibu. Wajar, mulutnya tertutup oleh sesuatu seperti benang yang dijahit ke mulutnya.
‘’Kaaa-uuuuuu…‘’

Lalu, perlahan, sosok itu menggerak-gerakkan bibirnya seperti akan membuka mulutnya dengan terpaksa walau dalam keadaan bibirnya terjahit dengan benang.
‘’Mbak! Jangan… tolong pergi! Dunia kita sudah berbeda, mbak! Ibu, mas! Kalian semua! Tolong pergi!”

Namun, mereka malah menggaungkan suara itu secara bersahutan. Memanggil nama Ibu secara bersamaan dan menyebut kalimat-kalimat yang tidak ingin Ibu dengar,
‘’ESA!’’
‘’ESA!’’
‘’ESA!’’
‘’ESA!’’

‘’AKU INGIN BAYIMU!’’
‘’KAMU MASIH INGAT DENGANKU KAN, SA?’’
‘’ESA, ADIKKU. KAPAN KAU PULANG?’’
‘’ESA … IBU SENDIRIAN DI KUBURAN.’’
‘’APAKAH KAMU SUDAH BAHAGIA, SA?’’

Mulut dari sosok itu langsung terbuka. Bunyi suara mulut yang dibuka dengan paksa terdengar sangat mengilukan,
‘’KRAK!’’

Air mata Ibu menetes. Bibir mulai bergetar. Kedua tangan sudah tidak bisa digerakkan. Keringat basah mulai bercucuran. Detak jantungnya benar-benar berdegup dengan kencang.

Acap kali, ibu berusaha untuk bisa bergerak dan kabur dari hadapan sosok-sosok pocong yang tidak memiliki tali pocong di kepalanya, namun, semua sia-sia, salah satu sosok yang memang sudah membuka mulutnya mulai mengatakan sesuatu,
‘’MAU NYUSUL BARENG KITA GAK, SA?’’

BRUK! Ibu pun langsung terbangun. Bersamaan dengan teriakan Ibu yang terdengar nyata, bapak langsung terkejut dan terbangun.
‘’Bu? Ibu kenapa?’’
‘’Pak! Ibu takut!’’
‘’Ibu mimpi buruk?’’
‘’Mereka datang lagi, pak!”
‘’’Siapa?’’
‘’Para korban ngipri kethek!’’

Jaja langsung terkejut. Ia langsung memundurkan tubuhnya dan mencoba untuk masuk ke dalam rumah akan tetapi pintu terkunci dengan sendirinya,
‘’Siapa, kau?’’
‘’Namaku Pangarep.’’
‘’Pangarep?’’
‘’Kau Jaja, kan?’’
‘’Dari mana kau tahu namaku?”

Ternyata, orang itu adalah Mas Pangarep. Ia datang ke tempat Raden Artonegoro dengan seorang diri. Namun, yang masih menjadi pertanyaan, dari mana ia tahu lokasi rumah yang bahkan tidak semua orang bisa mengetahuinya.

‘’Namamu cukup terkenal di kalangan kami, ja. Apakah kamu tahu, siapa kalangan kami yang aku maksud tadi?’’
‘’Siapa?’’

Mas Pangarep mendekati Jaja. Ia kemudian membisikkan sesuatu kepada Jaja dengan bisikan yang mengerikan,
‘’Keluarga Ningrat dan Pabrik Bawang.’’

Deg! Jaja langsung mundur saat dirinya mendengar kalimat itu. Mas Pangarep tertawa kegirangan melihat raut wajah Jaja yang penuh dengan ketakutan.

Bersamaan dengan itu, kabut turun secara perlahan. Dari tebalnya kabut, terlihat ada beberapa sosok sedang melompat-lompat ke arahnya,
‘’Selamat malam, calon mayit.’’

Jaja mencoba untuk membuka pintu. Ia melakukan berbagai cara dan salah satunya adalah dengan cara menggedor-gedor pintu hingga mendobraknya dengan sekuat tenaga.

Akan tetapi, yang membuat Jaja tidak habis pikir, mengapa suara gedoran pintu dan dobrakan pintu yang dilakukannya tidak terdengar oleh orang dalam rumah?

‘’Percuma, ja. Kamu sudah ditakdirkan untuk menjadi korban dari ritual tali buhul mayit.’’
‘’Tali buhul mayit?’’
Mas Pangarep merogoh sesuatu dari kantong celananya. Ia kemudian mengambil sesuatu dari dalam kantong celananya,

‘’Ini adalah belasan tali pocong dari mereka yang aku ambil. Lengkap dengan tali pocong milik temanmu, masmo.’’

‘’Tap!’’
‘’Tap!’’
‘’Tap!’’
‘’Tap!’’
‘’Tap!’’
Jaja terdiam dan mematung saat melihat belasan sosok pocong tanpa ikat tali pocong di kepalanya itu sudah berada di hadapannya,
‘’Masmo…‘’ Ucap Jaja.
‘’Krek!’’

Sosok yang bernama Masmo itu mengarahkan kepalanya ke bagian kanan. Ia kemudian menatap Jaja dalam-dalam seperti memendam dendam yang sangat besar di dalamnya,
Mas Pangarep kemudian menundukkan kepalanya. Lalu, ia memberikan aba-aba dengan kedua tangannya,

‘’Ing dino iki, awakku merintahke kabeh demit kangge dadiake ing arepanku dadi mayit!’’
Bersamaan dengan itu, mereka semua langsung menuju ke arah Jaja dengan wajah yang sangat mengerikan!
‘’TIDAAAAAAAAAAAAAAKKKKKK!’’’

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close